Ads

Saturday, September 22, 2012

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 042

◄◄◄◄ Kembali

Sang Prabu Erlangga adalah seorang raja yang di waktu mudanya banyak bergaul dengan rakyat kecil dan terkenal sebagai seorang ksatria, seorang pendekar yang gagah perkasa dan baik budi. Setelah menjadi raja, diapun bijaksana, adil dan memperhatikan kehidupan rakyat, bukan seperti kebanyakan penguasa yang hanya mementingkan kesenangan diri pribadi, menumpuk harta benda untuk diri sendiri dan keluarganya, sanak dan handai tautannya, tanpa memperdulikan penderitaan rakyat miskin yang hidup sengsara. Diapun memiliki kewaspadaan dan kepekaan tinggi.

Namun semua perasaannya tidak pernah diperlihatkan pada sikap dan wajahnya. Tentu saja sebagai manusia, dia memiliki kelemahan karena tidak ada seorangpun manusia yang sempurna di dunia ini. Betapapun baiknya seorang manusia, pasti mempunyai cacat. Adapun kelemahan Sang Prabu Erlangga adalah kelemahan pria, pada umumnya, yaitu lemah terhadap rayuan wanita cantik. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau Sang Prabu Erlangga terlena dalam rayuan Mandari yang memang cantik jelita dan pandai sekali merayu dan menyenangkan hati pria. Tentu saja kewaspadaannya membuat dia merasa bahwa Mandari bukanlah seorang wanita yang baik budi. Semua rayuan, kemanjaan, kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya itu hanya polesan atau indah diluar saja. Wanita ini tidak mempunyai perasaan cinta kasih murni terhadap dirinya. Yang ada hanya cinta nafsu dan di balik semua bagian tubuhnya yang serba menggairahkan itu, tersembunyi pamrih untuk dirinya sendiri. Namun, dan inilah kelemahan pria pada umumnya, semua itu tertutup oleh gairah dan kenikmatan nafsu kedagingan. Apa lagi ditambah dengan alasan bahwa ditariknya Mandari sebagai selirnya berarti menanam perdamaian dengan Kerajaan Parang Siluman.

Sang Prabu juga mempunyai perasaan bahwa Pangeran Hendratama adalah seorang yang tidak baik bahkan berbahaya. Biarpun sikapnya ramah dan merendah, namun dari sinar matanya kadang dia menangkap getaran nafsu kebencian terhadap dirinya. Namun raja yang bijaksana ini dapat memaafkannya, dalam hatinya dia memaklumi bahwa nafsu kebencian itu timbul dari perasaan iri hati karena pangeran Itu merasa sebagai putera mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa lebih berhak menjadi raja Kahuripan daripada dia yang hanya seorang mantu. Biarpun Sang Prabu Erlangga telah memaafkan, namun dia juga tetap waspada.!

Setelah peristiwa kunjungan Nurseta di tengah malam digedung Pangeran Hendratama, pada keesokan harinya, pagi-pagi Pangeran Hendratama telah naik kereta yang dikawal, menuju keistana raja. Dia mohon menghadap Sang Prabu Erlangga yang ketika itu sedang hendak makan pagi.

Mendengar laporan bahwa Pangeran Hendratama mohon menghadap dan laporan itu didengar pula oleh Permaisuri Pertama dan Permaisuri Ke Dua yang menemaninya makan pagi, sang Prabu Erlangga segera memerintahkan pengawal untuk mengundang kakak iparnya itu untuk makan pagi bersama dan ditunggu di ruangan makan. Hal ini dilakukan Sang Prabu Erlangga untuk menyenangkan hati Permaisuri Pertama dan memang benar, Permaisuri Pertama tampak gembira ketika mendengar bahwa kakak tirinya datang berkunjung dan diundang makan pagi bersama.

Akan tetapi Pangeran Hendratama memasuki ruangan makan dengan wajah muram dan lesu dan setelah memberi salam dan dipersilakan duduk menghadapi meja makan, dia hanya makan sedikit sekali dan selama makan tidak banyak bicara dan wajahnya dibayangi kegelisahan.

Sang Prabu Erlangga dapat menduga bahwa tentu ada urusan yang membuat kakak iparnya itu gelisah. Akan tetapi dia cukup bijaksana untuk tidak membicarakan atau menanyakan urusan itu kepada kakak iparnya di depan kedua orang permaisurinya. Setelah selesai makan pagi, Sang Prabu Erlangga mengajak Pangeran Hendratama ke ruangan tamu untuk bicara berdua saja. Para pengawal dan pelayan disuruh meninggalkan ruangan itu sehingga mereka dapat bicara berdua tanpa didengarkan orang lain.

"Nah, Kakang Pangeran, sekarang ceritakanlah urusan apa yang merisaukan hati andika dan yang membuat andika sepagi ini sudah datang berkunjung." kata Sang Prabu Erlangga dengan nada suara lembut.

"Ah, ketiwasan (celaka), Yayi (Adinda) Prabu .....!" Sang pangeran mengeluh dimukanya tampak muram dan gelisah sekali. "Tadi malam hampir saja saya dibunuh orang ....."

Sang Prabu Erlangga hanya merasa heran, namun tidak terkejut.
"Hemm, siapa yang hendak membunuh andika, dan kenapa?"

"Sesungguhnya, ceritanya panjang Yayi Prabu. Beberapa bulan yang lalu saya yang memang sejak dahulu suka sekali mengumpulkan pusaka kuno, seorang pengemis tua menawarkan sebuah pusaka kuno yang katanya didapatkannya di dekat pantai Laut Kidul. Saya membeli keris pusaka itu dengan murah dan setelah penjual itu pergi dan saya meneliti keris yang kotor itu, saya gosok-gosok bukan main kaget hati saya karena keris pusaka itu ternyata adalah Sang Megatantra."

"Jagad Dewa Bathara .....!" Sekali ini Sang Prabu Erlangga terkejut. "Pusaka Mataram yang hilang puluhan tahun yang lalu itu, Kakang Pangeran?"

"Benar, Yayi Prabu. Karena benda keramat itu merupakan pusaka Mataram, maka saya bermaksud menghaturkan Sang Megatantra kepada paduka. Akan tetapi ternyata pengemis tua jahanam itu ....."

"Kakang Pangeran, pengemis tua itu sudah berjasa besar menemukan Sang Megatantra!" Sang Prabu Erlangga memotong dengan suara mencela mendengar Pangeran Hendratama memaki pengemis tua itu.

"Maaf, Yayi Prabu, hati saya masih mendongkol. Dia ternyata menceritakan tentang Sang Megatantra kepada seorang maling muda yang sakti mandraguna. Maling itu mencuri Sang Megatantra dan meninggalkan keris palsu ini sebagai gantinya." Pangeran Hendratama mengeluarkan sebatang keris yang mirip Sang Megatantra dan menyerahkannya kepada Sang Prabu Erlangga. Sang Prabu menerima keris itu dan sekali jari-jari tangannya menekuk, keris itu patah-patah menjadi tiga potong!

"Hemm, ini terbuat dari besi biasa, Kakang Pangeran."

"Memang demikianlah. Setelah Sang Megatantra tercuri, saya mengerahkan segala daya untuk mencari pencuri itu. Akan tetapi selalu gagal dan saya lalu pindah ke kota raja setelah mendapat perkenan paduka."

"Kenapa selama ini andika tidak memberitahukan kepada kami, Kakang Pangeran?"

"Maaf, Yayi Prabu. Saya ingin mendapatkan kembali pusaka itu agar saya dapat menghaturkannya kepada paduka, Dan malam tadi, pencuri Sang Megatantra itu menyerbu rumah saya dan nyaris membunuh saya. Masih beruntung bahwa para pengawal dapat melindungi saya dan jahanam busuk itu dapat melarikan diri."

"Hemm, ceritamu aneh, kakang. Kenapa pencuri itu hendak membunuhmu setelah dia berhasil mencuri Sang Megatantra?"

"Hal itu sudah saya selidiki, Yayi Prabu. Setelah saya mengetahui kemana larinya pencuri itu yang diam-diam diikuti oleh para pembantu saya, dan tahu apa yang berdiri di belakangnya, maka tidak aneh kalau dia hendak membunuh saya. Ada yang hendak mempergunakan Sang Megatantra untuk mengangkat diri sendiri menjadi raja karena dikabarkan bahwa pusaka itu merupakan tanda turunnya wahyu kedaton (istana) sehingga berhak menjadi raja. Berarti, pemilik Sang Megatantra itu, si pencuri dan orang yang berada dibelakangnya, jelas merencanakan pemberontakan terhadap paduka, Yayi Prabu. Karena saya satu-satunya orang yang mengetahui rahasianya, maka dia berusaha untuk membunuh saya."

Sang Prabu Erlangga mengerutkan alisnya. "Kakang Pangeran, katakan, siapa pencuri itu dan siapa pula yang berdiri di belakangnya, yang merencanakan pemberontakan?"

"Pencuri muda yang sakti mandraguna itu bernama Nurseta, Yayi Prabu, dan paduka tidak akan merasa heran karena pemuda itu adalah cucu dari Senopati Sindukerta! Senopati Sindukerta itu memang sejak mendiang Rama Prabu Teguh Dharmawangsa memimpin kerajaan ini sudah memperlihatkan wataknya yang memberontak. Yayi Prabu tentu sudah mendengar betapa dahulu dia menghina saya dan mendiang Ramanda Prabu dengan menyembunyikan puterinya yang sudah kami pinang dan sudah diterima. Nah, maling muda Nurseta itu adalah anak dan puterinya yang disembunyikan dan diam-diam melarikan diri dengan seorang laki-laki sesat."

Sang Prabu Erlangga mengerutkan alisnya dengan hati panas. Berani benar senopati tua itu merencanakan pemberontakan, pikirnya. Dia lalu bertepuk tangan memberi isyarat dan dua orang perajurit pengawal yang berjaga di luar pintu ruangan segera berlari masuk dan berlutut menyembah.

"Cepat undang Kakang Patih Narotama ke sini, sekarang juga!" perintahnya.

Dua orang perajurit pengawal itu memberi hormat dan mereka berlari keluar. Melihat kemarahan Sang Prabu Erlangga, Pangeran Hendratama diam diam merasa girang. Muslihatnya berhasil. Mampuslah kau, Nurseta, begitu suara hatinya. Dia lalu berkata kepada Sang Prabu Erlangga.

"Saya merasa girang dan aman dari ancaman Nurseta dan Senopati Sindukerta setelah paduka hendak mengambil tindakan tegas. Sekarang perkenankan saya pulang untuk beristirahat karena semalam suntuk saya tidak dapat tidur, gelisah memikirkan ancaman terhadap nyawa saya."

"Baik, Kakang Pangeran. Terima kasih atas semua laporanmu, akan tetapi kalau pencuri dan kakeknya itu sudah kami tangkap, harap Kakang Pangeran bersedia untuk menjadi saksi bahwa dia mencuri sang Megatantra dan berusaha membunuh andika."

"Tentu saja, Yayi Prabu. Bahkan saksi-saksi mata yang paling mengetahui karena melihat sendiri maling itu, yaitu tiga orang selir saya yang juga bertugas bagai pengawal-pengawal pribadi, akan saya hadirkan sebagai saksi pula."

"Baik, terima kasih, Kakang Pangeran Hendratama."

"Mohon pamit, Yayi Prabu."

Pangeran Hendratama lalu keluar dari istana dan dengan pengawalan kuat dia kembali naik kereta pulang ke gedungnya. Di dalam kereta, dia menggosok gosok kedua telapak tangannya dan tersenyum-senyum gembira. Orang yang dia takuti sebentar lagi akan dihukum! Kini tinggal memikirkan siasat pemberontakan yang akan dia lakukan dengan bantuan para sekutunya dari Kerajaan Wengker, Wura-wuri, Siluman Laut Kidul, dan Parang Siluman, dibantu pula oleh para pembesar sipil dan militer yang sudah jatuh di bawah pengaruhnya.

-0000000000000000oooooooo0000000000000000-

Lanjut ke Jilid 043 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment