Ads

Saturday, September 22, 2012

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 047

◄◄◄◄ Kembali

Pada saat itu juga Narotama sudah mengambil keputusan apa yang harus dia lakukan. Dia sudah mendapat keterangan tentang Nurseta dan dapat mengambil kesimpulan bahwa Nurseta adalah seorang pemuda yang baik. Dan agaknya di Karang Tirta ini dia tidak akan bisa mendapatkan keterangan tentang Sang Megatantra. Akan tetapi yang sudah jelas, sebagai seorang pejabat tinggi kerajaan Kahuripan, sebagai patih yang mewakili raja, dia harus bertindak terhadap seorang pamong praja yang lalim dan sewenang-wenang.

"Lurah Suramenggala, sekarang aku minta andika mengeluarkan tanda memanggil semua penduduk yang berada di dusun ini untuk datang berkumpul di sini. Cepat laksanakan!"

Karena ketakutan, sang lurah memanggil para anak buahnya dengan berteriak lantang, namun tak seorangpun anak buahnya muncul. Ternyata dua belas orang yang tadi merasa telah menghina dan mengeroyok Ki Patih Narotama, sudah melarikan diri pergi dari dusun Karang Tirta karena takut menerima hukuman berat!

Karena tidak seorangpun muncul Ki lurah Suramenggala terpaksa menghampiri sebuah kentungan yang tergantung di depan pendapa lalu menabuh kentungan Itu dengan alat pemukulnya, memberi tanda untuk mengumpulkan penduduk seperti biasanya.

Mendengar bunyi kentungan, semua penduduk Karang Tirta, tua muda, laki-laki perempuan, yang tidak sedang bekerja di ladang luar dusun, berdatangan berbondong-bondong memenuhi halaman kelurahan. Memang kebanyakan dari mereka ingin sekali melihat sang lurah di marahi Gusti Patih dan tadi mereka terpaksa pergi karena disuruh oleh para jagoan anak buah Ki Lurah Suramenggala

Ketika melihat penduduk dusun memasuki halaman dan tampaknya mereka agak takut-takut sehingga mereka berdiri bergerombol dekat pintu gerbang tidak berani terlalu mendekat pendapa.
Narotama lalu bangkit dan melangkah keluar, berdiri di tepi pendopo yang lebih tinggi daripada tanah halaman itu dan berkata sambil melambaikan tangan

"Seluruh warga dusun Karang Tirta dipersilakan maju saja semua, jangan takut. Tidak ada yang mengancam andika sekalian. Aku, Ki Patih Narotama, yang menjamin keamanan dan keselamatan andika sekalian. Hayo, maju dan mendekatlah'"

Mendengar ini, orang-orang itu yang sesungguhnya takut kepada Ki Lurah Suramenggala, menjadi gembira dan timbul keberanian mereka. Dipelopori oleh beberapa orang pemuda, mereka lalu melangkah maju sampai tiba di pendopo. Wajah mereka berseri dan memancarkan harapan agar terjadi perubahan yang baik bagi mereka dalam dusun mereka itu. sementara itu, dari ruangan dalam rumah, ketika kentungan dibunyikan bertalu-talu, para keluarga dan pelayan Kilurah Suramenggala juga bermunculan keluar dan duduk, bergerombol di atas lantai dekat pintu tembusan. Hanya seorang saja di antara para keluarga yang tidak tampak, yaitu Nyi Lasmi, ibu kandung Puspa Dewi. Wanita ini, yang dulu diambil sebagai selir oleh Ki Lurah Suramenggala dengan bujukan dan ancaman sehingga terpaksa ia mau menjadi selir ki lurah, sebetulnya merasa tersiksa hidupnya. Ia hanya melayani ki lurah atas dasar rasa takut dan melihat sepak terjang lurah yang menjadi suaminya itu seringkali ia merasa tidak suka dan menyesal sekali. Berbagai tindakan kejam dilakukan suaminya itu terhadap penduduk Karang Tirta. Akan tetapi ia tidak mampu berbuat sesuatu. Juga perlakukan ki lurah terhadap dirinya kasar dan kejam. Baru setelah Puspa Dewi muncul, sikap ki lurah agak berbeda, tidak berani bersikap terlalu kasar, apalagi kejam kepadanya. Dan di dalam hatinya, Nyi Lasmi juga mulai merasa tidak takut karena ia tahu bahwa suaminya itu takut kepada Puspa Dewi yang kini menjadi seorang gadis sakti. Mulailah ia sering berani membantah kehendak ki lurah. Tadi ketika melihat munculnya Ki Patih Narotama yang merobohkan para tukang pukul dan memarahi ki lurah, Nyi Lasmi merasa senang, mengharap agar kedatangan ki patih itu akan mengubah watak suaminya dan akan membela kepentingan rakyat Karang Tirta yang selama ini tertindas, dalam ketakutan dan kekurangan. Maka, ketika ki lurah memanggil semua orang lewat kentungan, diam-diam ia malah keluar dari kelurahan melalui pintu belakang dan dengan jalan memutar kini ia bergabung dengan para penduduk!

Setelah tidak ada yang datang lagi, Ki Patih Narotama mengangkat tangan ke atas dan berdiri di tepi lantai pendapa sambil mengajak ki lurah berdiri di sampingnya. Suara hiruk-pikuk orang penduduk sehingga suasananya seperti dalam pasar itu segera berhenti dan suasana penjadi sunyi. Semua orang memandang kepada ki patih.

“Warga dusun Karang Tirta sekalian! Kami, Ki Patih Narotama dalam hal ini mewakili junjungan kita Sang Prabu Erlangga ingin mengadakan perubahan di dusun Karang Tirta ini yang sesuai dengan keinginan andika sekalian. Oleh karena itu, kami akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada kalian yang hanya membutuhkan jawaban ya atau tidak, atau sekadar mengacungkan tangan, Nah, sekarang kami hendak mengajukan Pertanyaan pertama dan kami minta agar yang merasa terkena suka mengacungkan tangannya ke atas. Dengarkan baik-baik. Siapa di antara andika sekalian yang merasa tidak memiliki tanah sejengkal pun?"

Banyak sekali tangan diacungkan keatas, hampir semua. Hanya ada belasan orang yang berdiri di bagian depan yang tidak mengacungkan tangan. Melihat ini, Narotama mengerutkan alisnya dan menoleh kepada ki lurah yang tampak menundukkan mukanya yang basah oleh peluh. Narotama menggapai kepada mereka yang tidak mengacungkan tangan dan berdiri di bagian depan kelompok itu

"Apakah di antara kalian ada yang suka naik ke sini untuk memberi penjelasan kepada kami? Jangan takut kepada siapa pun, kami, Ki Patih Narotama yang menjamin keselamatanmu. Hayo, siapa yang berani menjadi wakil saudara-saudara sedusun. Maju dan naiklah!"

Mereka saling dorong dan akhirnya seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun maju dan naik anak tangga lalu memberi hormat dengan sembah kepada ki patih. Narotama melihat laki laki ini berwajah cukup terang dan tampaknya selain pemberani juga cerdas.

"Siapa nama andika?" tanya ki patih. "Jawab dengan keras agar semua orang mendengar."

"Nama hamba Pujosaputro."

"Nah, ceritakanlah keadaan penduduk di Karang Tirta ini. Bagaimana sampai hamper semua orang tidak memiliki tanah garapan?"

Pujosaputro menoleh kepada Ki Lurah Suramenggala dan berkata lirih,

"Ki Lurah, maafkan kalau saya harus bercerita sejujurnya." Kemudian dia menoleh kepada Ki Patih Narotama dan berkata dengan suara lantang. "Dulu, hampir semua penduduk dusun kami ini mempunyai sebidang tanah, tidak terlalu luas namun hasilnya cukup untuk menghidupi keluarga masing-masing. Lalu beberapa tahun yang lalu datang musim kemarau yang panjang sekali. Tanah tidak menghasilkan apa-apa. Kami beberapa orang yang memiliki simpanan jagung
dan gaplek berusaha menolong para saudara yang kekurangan makan, akan tetapi masih juga tidak mencukupi. Lalu Lurah Suramenggala yang mempunyai kelebihan uang, mendatangkan bahan makanan dari daerah lain. Semua penduduk mendapatkan bahan makanan, akan tetapi mereka harus menjual tanah mereka kepada Ki Lurah. Karena itulah maka sebagian besar di antara penduduk kini tidak mempunyai tanah lagi."

"Hemm, begitukah? Dan mereka semua lalu menggarap tanah siapa?"

"Tentu saja menggarap tanah ki lurah gusti patih, dan mereka mendapatkan upah kerja sekadarnya."

"Dan semua hasil panen masuk gudang ki lurah?"

Kembali Pujosaputro mengerling pada ki lurah yang hanya menundukkan muka, lalu menjawab,

"Benar begitu gusti."

Narotama mengangguk-angguk. “Pujosaputro, apakah selama ini Ki Lurah Suramenggala menggunakan kekuatan para anak buahnya untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat?"

Ki Pujosaputro meragu. "Ampun, gusti patih. Hamba tidak berani menjawab, tidak enak terhadap ki lurah. Mohon paduka tanyakan saja kepada semua penduduk."

Narotama lalu berseru kepada semua penduduk. "Dengar, warga sekalian. Apakah selama ini Ki Lurah Suramenggala bertindak sewenang-wenang menggunakan para tukang pukulnya, memaksakan kehendaknya terhadap andika sekalian? Kalau tidak, kalian diam saja, kalau benar, angkatlah tangan ke atas."

Serentak semua orang mengangkat tangannya ke atas! Dengan hadirnya Ki Patih Narotama dan melihat Ki Lurah Suramenggala mati kutu dan para tukang pukul juga tidak ada yang muncul, orang orang itu menjadi berani, apalagi kini mereka berkumpul dan keselamatan mereka dijamin oleh Ki Patih Narotama.

"Baik, sekarang kami yakin bahwa Ki suramenggala memang bertindak sewenang-wenang kepada penghuni dusun Ini. Sekarang, apakah andika sekalian menghendaki lurah dusun ini diganti?"

Kembali semua tangan mengacung keatas. Orang-orang mulai hiruk-pikuk saling bicara sendiri dan rata-rata mereka gembira dan bersemangat. Dengan melambaikan kedua tangannya Narotama minta agar semua orang diam Dia lalu berkata kepada Ki Suramenggala suaranya lantang dan penuh wibawa.

"Ki Suramenggala, sepatutnya andika ini dihukum karena telah menyalah-gunakan wewenang sehingga andika mencemarkan nama baik semua pamong praja dan kerajaan Kahuripan. Akan tetapi kami hanya menjatuhkan hukuman agar andika sekeluarga pergi dari dusun Karang Tirta dan boleh membawa barang-barang andika. Akan tetapi, semua tanah akan di kembalikan kepada para petani dan semua hutang para petani kepada andika dihapus. Dusun ini akan mendapatkan seorang lurah lain."

“Ki Suramenggala mengangkat mukanya dan pandang matanya berkilat, sekilas menatap wajah Narotama penuh kebencian, kemudian dia menyapu para penduduk dengan kilatan matanya sehingga para penduduk menjadi gentar. Akan tetapi Narotama dengan lantang membesarkan hati para penduduk.

"Jangan andika sekalian merasa takut. Lurah baru akan membentuk pasukan keamanan terdiri dari para pemuda sehingga kalau ada yang hendak mengacaukan Karang Tirta, kalian dapat melawannya. Pula, kalau kami mendengar ada pengacau di sini, pasti kami akan datang atau mengirim senopati dengan pasukannya untuk menghukum si pengacau!"

Mendengar ucapan yang lantang dan tegas ini, Ki Lurah atau lebih tepat mantan lurah Suramenggala menundukkan mukanya dan semua orang tiba-tiba bersorak gembira. Sudah terlalu lama mereka merindukan perubahan nasib mereka yang tertindas dibawah tangan besi Ki Suramenggala. Kini, KI Suramenggala dicopot dari kedudukanya, bahkan tanah mereka yang dibeli secara paksa oleh Ki Suramenggala karena mereka membutuhkan makan di waktu paceklik, kini dikembalikan begitu saja kepada mereka. Juga mereka yang masih terikat hutang oleh Ki Suramenggala kini telah bebas! Muncul harapan baru bagaikan sinar matahari pagi di hati para penduduk.

"Nah, Ki Suramenggala, berkemaslah dengan keluargamu dan hari ini juga andika harus meninggalkan Karang Tirta." kata Narotama kepada mantan lurah yang mukanya berubah pucat itu.

Ki Suramenggala mengangkat muka memandang kepada Narotama dengan sinar mata berapi, penuh kebencian. Kemudian, di bawah hiruk-pikuk suara orang-orang yang saling bicara dengan gembira, dia berkata lirih dan hanya terdengar oleh Narotama, bahkan Ki Pujosaputro yang berdiri pula di tepi pendopo itu tidak mendengarnya karena dia asyik memperhatikan kegembiraan penduduk Karang Tirta.

"Ki patih, karena paduka patih dan saya lurah, maka terpaksa saya menaati keputusan paduka. Akan tetapi, harap diingat bahwa saya tidak akan melupakan penghinaan ini. Tunggulah pembalasan anak-anakku kelak!" Setelah berkata demikian, Ki Suramenggala dengan muka berubah merah karena marah sudah meninggalkan pendapa itu dan masuk kedalam rumah, diikuti oleh semua keluarganya yang tadi duduk di lantai pendapa. Dengan hati yang sakit dan dendam, Ki Suramenggala lalu mengajak semua keluarganya, kecuali Nyi Lasmi karena selirnya ini ikut bergembira dengan penduduk dan tidak kembali lagi ke dalam rumah, untuk pergi meninggalkan gedung kelurahan melalui pintu belakang dan boyongan keluar dari dusun Karang Tirta. Barang-barang berharga mereka bawa semua dengan gerobak, juga ternak mereka, kuda dan sapi mereka bawa serta. Mereka meninggalkan gedung kelurahan dengan prabot-prabot rumahnya.

Sementara itu, Narotama melanjutkan usahanya untuk mengatur agar dusun Karang Tirta menjadi sebuah dusun yang penghuninya hidup tenteram dan tenang, tidak ada penindasan, dipimpin oleh seorang lurah yang baik dan yang membawa penduduk ke dalam kehidupan yang lebih sejahtera dan bergotong royong sebagaimana layaknya kehidupan di dusun sejak jaman nenek moyang mereka dahulu. Dia mengangkat kedua tangan minta agar semua orang diam. Setelah keadaaan menjadi tenang, Narotama bertanya

"Sekarang kami hendak bertanya, apakah kalian bersedia sekarang untuk memilih dan mengangkat seorang lurah baru. Kalau bersedia, harap angkat tangan tanda setuju!"

Semua orang mengacungkan tangan dan ada yang berteriak-teriak lantang

"Setujuuuu .....!"

"Baik, kalau andika sekalian setuju, pilihlah seorang di antara kalian untuk menjadi lurah baru di dusun ini!"

Bagaikan sekumpulan burung, terdengar mereka menyebutkan nama seseorang,

"Ki Pujosaputro .....!!"

Narotama tersenyum. Ki patih ini memiliki batin yang selalu dekat dengan Sang Hyang Widhi sehingga dia memiliki kepekaan yang amat halus. Tadi begitu melihat Ki Pujosaputro, dia sudah merasa suka kepada orang ini.

"Dengarkan semua! Kami mendengar seruan nama Ki Pujosaputro? Benarkah andika sekalian memilih Ki Pujosaputro sebagai lurah kalian yang baru? Kalau benar, acungkan tangan!"

Semua orang bersorak sambil mengacungkan tangan mereka. Ki Pujosaputro sendiri yang berdiri di pendopo segera mendekati Ki Patih Narotama dan berkata dengan muka kemerahan.

"Aduh, Gusti Patih! Hamba..... hamba seorang yang bodoh dan lemah, bagaimana mungkin dapat menjadi seorang lurah yang baik? Mohon paduka memilih lain orang saja."

Narotama tersenyum kepadanya. "Justeru ucapan penolakanmu ini yang meyakinkan hati kami bahwa andika adalah orang yang tepat untuk menjadi lurah yang baik hati untuk dusun ini. Bukan orang pintar dan kuat yang kami butuhkan, melainkan orang yang rendah hati dan baik budi."

Narotama melihat Ki Wirodipo, orang pertama yang dia jumpai ketika memasuki dusun Karang Tirta, dan yang dia titipi kudanya, berdiri di bagian depan kelompok penduduk dusun itu. Narotama menggapai kepada Ki Wirodipo dan berkata,

"Paman Wirodipo, naiklah ke sini, kami hendak bertanya kepada andika."

Ki Wirodipo tergopoh-gopoh naik pendapa dan begitu tiba di depan Narotama dia lalu sungkem dan menyembah

"Ampunkan hamba, sama sekali hamba tidak tahu bahwa paduka adalah Gusti Patih ....."

"Bangkitlah, Paman Wirodipo dan jawab pertanyaanku dengan suara nyaring agar semua orang dapat mendengarkan. Coba ceritakan tentang keadaan diri Ki Pujosaputro ini. Andika mengenalnya bukan?"

Ki Wirodipo bangkit berdiri dan dengan muka berseri dia memandang kepada Ki Pujosaputro lalu menjawab dengan suara lantang.

"Tentu saja hamba mengenal Ki Pujosaputro. Sejak kecil dia tinggal di dusun ini dan dia adalah seorang yang mewarisi sawah ladang yang luas. Ki Pujosaputro inilah yang mengajak para penduduk yang mampu untuk membantu penduduk yang kekurangan. Kalau tidak ada Ki Pujosaputro dan teman-temannya, hamba semua tentu semakin payah di bawah tekanan Ki Suramenggala. Karena itulah, Gusti Patih, maka hamba sekalian memilih Ki Pujosaputro untuk menjadi lurah Karang Tirta yang baru."

Narotama lalu menghadapi Ki Pujosaputro dan berkata, "Ki Pujosaputro, kami harap andika tidak menolak lagi karena andika telah dipilih oleh semua penduduk Karang Tirta."

"Ampun, Gusti Patih, bagaimana hamba dapat melaksanakannya?"

"Itu dapat diatur nanti, kami akan memberi petunjuk."

Setelah berkata demikian dan melihat Ki Pujosaputro tidak memperlihatkan sikap menolak lagi, Narotama lalu menghadapi para penduduk dan berkata dengan lantang.

"Kami sebagai Patih Kahuripan mewakili Gusti Sinuwun mengangkat Ki Pujosaputro sebagai lurah dusun Karang Tirta, sesuai dengan keinginan semua penduduknya. Semua pengembalian tanah kepada pemiliknya dahulu akan diatur dengan tertib oleh Ki Lurah Pujosaputro .yang akan dibantu oleh Ki Wirodipo dan para pembantu lain yang akan dipilih dan ditunjuk oleh Ki Lurah Pujosaputro. Sekarang, andika sekalian harap kembali ke pekerjaan masing masing."

Orang-orang itu bersorak sorai dan berlarian meninggalkan halaman kelurahan itu. Halaman itu sebentar saja kosong dan hanya tinggal seorang yang tinggal situ, seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tujuh tahun dan wanita itu mendeprok di atas tanah sambil menangis

"Ki Lurah Pujosaputro, siapakah wanita itu? Kenapa ia menangis dan tinggal di sana?"

K i Pujosaputro dan Ki Wirodipo memandang dan Ki Pujosaputro berkata,

"Ia adalah Nyi Lasmi yang sudah beberapa tahun ini menjadi selir Ki Suramengga, gusti. Hamba juga tidak tahu mengapa ia menangis."

"Selir Ki Suramenggala? Kenapa ia tidak ikut pergi bersama Ki Suramenggala? Coba panggil ia ke sini! "

Ki Wirodipo tanpa diperintah mendahului lurahnya turun dari pendopo menghampiri Nyi Lasmi. Melihat sikap Wtrodipo ini, Ki Lurah Pujosaputro merasa senang. Tidak salah pilihan Ki Patih Narotama untuk memperbantukan Ki wirodipo kepadanya!

"Nyi Lasmi, andika dipanggil oleh Gusti Patih. Mari menghadap, beliau bijaksana, tentu akan dapat membikin terang persoalan yang menggelapkan hatimu."

Nyi Lasmi menahan tangisnya, bangkit dan mengikuti naik ke pendopo kelurahan. setelah tiba di depan Narotama, ia menekuk lututnya dan menyembah.

"Nyi Lasmi, mari ikut ke dalam, kita bicara di dalam." Kata Narotama dan mereka semua memasuki ruangan depan rumah yang telah kosong itu. Di situ terdapat sebuah meja besar dengan beberapa buah kursi. Narotama mengajak tiga orang itu duduk berhadapan dengannya, terhalang meja. Di depan ki patih, Nyi Lasmi tidak berani menangis, hanya matanya masih merah dan terkadang ia harus mengusap air mata yang tergantung di bulu matanya.

"Nyi Lasmi, katakan kenapa andika tidak ikut Ki Suramenggala pergi?" tanya Narotama, suaranya lembut dan ramah sehingga hilanglah rasa takut Nyi Lasmi "Bukankah andika ini isterinya?"

Nyi Lasmi menggunakan sehelai sapu tangan yang sudah basah untuk menyusut dua butir air mata, lalu menyembah

"Ampunkan hamba, gusti patih, hamba menjadi isteri Ki Suramenggala karena terpaksa dan sekarang setelah dia terusir dari dusun ini, hamba merasa bebas dan tidak ingin ikut dengannya."

Narotama menoleh kepada Ki Pujosaputro. "Benarkah bahwa Nyi Lasmi ini terpaksa menjadi isteri Suramenggala?"

Ki Pujosaputro melaporkan sejujurnya "Dahulu, Nyi Lasmi adalah seorang janda dengan seorang anak perempuan. Kurasa lebih lima tahun yang lalu anaknya diculik orang. Dalam keadaan hidup seorang diri itu dia dibujuk dan diancam oleh Ki Suramenggala dan ia agaknya tidak dapat menolak ketika diambil sebagai selir."

Narotama mengangguk-angguk, ia bertanya lagi kepada wanita itu. "Kalau memang andika sudah mengambil keputusan untuk tidak mengikuti Ki Suramenggala, kenapa andika menangis di halaman itu?"

"Hamba merasa bingung harus pergi mana, gusti patih. Hamba tidak mempunyai tempat tinggal, hidup sebatang kara."

"Hemm, apakah andika tidak mempunyai sanak keluarga sama sekali?"

Wanita itu kembali mengusap dua bulir air mata. "Hamba hanya mempunyai seorang anak perempuan yang ketika berusia tiga belas tahun diculik orang. Akan tetapi lima tahun kemudian, baru beberapa bulan yang lalu, ia pulang ke sini dan telah pergi lagi. Kalau saja ada Puspa Dewi anak hamba, tentu hamba tidak menjadi bingung seperti ini."

Narotama melebarkan matanya. "Puspa Dewi? Ia itu anakmu? Gadis yang memiliki kesaktian itu?"

"Kasinggihan (benar), gusti. Setelah pulang, anak hamba Puspa Dewi menjadi seorang gadis yang memiliki kesaktian, akan tetapi kini ia pergi entah ke mana hamba tidak diberitahu."

Tiba-tiba Ki Lurah Pujosaputro menyembah dan berkata,

"Kalau hamba boleh mengajukan usul, gusti. Biarlah Nyi Lasmi tetap tinggal di rumah ini. Hamba hanya akan menggunakan ruangan depan dan pendopo untuk tempat para pamong desa bekerja dan untuk rapat pertemuan warga dusun."

"Bagaimana, Nyi Lasmi?" tanya Narotama.

"Terima kasih atas kebaikan hati Ki Lurah, akan tetapi rumah ini terlalu besar untuk saya tempati seorang diri saja. Saya hanya ingin mondok untuk sementara sambi menanti anak saya pulang."

"Hemm, kalau begitu, Ki Lurah Pujosaputro, sebaiknya andika sekeluarga boyongan pindah ke rumah kelurahan ini dan biarkan Nyi Lasmi mondok di sini. Setujukah andika?"

"Tentu saja hamba setuju, gusti patih!" kata Ki Lurah Pujosaputro dengan wajah cerah.

"Nah, kalau begitu urusan Nyi Lasmi sudah beres. Masuklah dan siapkan ke perluanmu, Nyi Lasmi. Kami masih mempunyai banyak persoalan untuk dibicarakan"

Nyi Lasmi menyembah dan berkata, "Gusti patih, hamba menghaturkan banyak terima kasih. Sesungguhnya, selain hamba terpaksa menjadi selir Ki Suramenggala, juga hamba tidak ingin anak hamba Puspa Dewi dibawa ke jalan sesat olehnya maka sekarang setelah mendapat kesempatan hamba memisahkan diri dari keluarga Ki Suramenggala."

Narotama mengangguk-angguk, dan berkata, "Keputusan yang andika ambil itu bijaksana."

Nyi Lasmi lalu memberi hormat lagi dan mengundurkan diri, masuk ke ruangan dalam rumah gedung itu. Narotama lalu memberi petunjuk kepada lurah baru itu. Agar segera memilih pembantu-pembantu yang jujur dan rajin bekerja, lalu membentuk penjaga keamanan dengan memilih pemuda-pemuda dusun itu yang baik budi. Menertibkan pemilikan kembali sawah ladang para penduduk yang dulu diambil Ki Suramenggala, dan agar mengajak semua warga untuk menjaga keamanan dan mengusahakan kesejahteraan penduduk dengan bergotong royong.

"Tentu saja untuk mengurus dan menertibkan semua itu andika memerlukan tenaga bantuan, karena itu, bersama Wirodipo yang telah mengenal semua penduduk di sini, harap andika pilih siapa kiranya yang tepat untuk menjadi pembantu kelurahan. Jangan mendahulukan orang pintar, akan tetapi lebih baik mencari pembantu yang jujur dan baik budi. Orang pintar sekarang ini banyak terdapat di mana-mana, akan tetapi mencari orang yang jujur, setia dan baik budi amatlah
sulitnya. Soal kepintaran dapat dipelajari oleh orang yang bodoh, akan tetapi kebaikan budi tidak dapat dipelajari oleh orang yang jahat. Kalau kami sudah kembali ke kota raja, akan kami kirim pejabat yang berwenang untuk mengesahkan pengangkatan andika sebagai Lurah baru."

Setelah meninggalkan semua pesan itu Narotama lalu kembali ke kota raja. Dia ditugaskan oleh Sang Prabu Erlangga untuk menyelidiki urusan antara Nurseta dan Pangeran Hendratama, untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Untuk itu, dia membutuhkan bukti yang nyata. Dia sudah melakukan penyelidikan tentang diri Nurseta dan keterangan yang diperolehnya menyatakan bahwa Nurseta adalah seorang pemuda yang baik wataknya. Apalagi mengingat betapa pemuda itu menjadi murid mendiang Sang Empu Dewamurti, maka dia mendapatkan kesan baik terhadap pemuda itu. Kini dia harus melakukan penyelidikan kepada Pangeran Hendratama.

-00000oooooo00000-
Lanjut ke Jilid 048 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment