Ads

Saturday, September 22, 2012

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 050

◄◄◄◄ Kembali

Sementara itu, di istana Sang Prabu Erlangga juga terjadi hal-hal yang menggegerkan, walaupun Sang Prabu Erlangga merahasiakan peristiwa itu dan dengan bijaksana sekali mempersiapkan segala sesuatu untuk mengatasi keadaan.

Terjadinya dua hari yang lalu. Pada hari itu, pada waktu siang, Dyah Untari selir pertama Sang Prabu Erlangga, mencari angin di taman karena hari itu panas bukan main. Dengan ditemani dua orang pelayan, yaitu dua orang gadis dayang Dyah Untari duduk di dekat kolam ikan yang ada air mancurnya sehingga terlindung pohon rindang, hawa udara disitu sejuk dan nyaman. Selagi ia duduk diatas bangku panjang dan menikmati semilirnya angin, tiba-tiba datang Puspa Dewi menghampirinya.

Karena di situ terdapat dua orang dayang pelayan selir pertama Sang Prabu Erlangga, Puspa Dewi berjongkok dan menyembah sebagaimana layaknya seorang dayang terhadap majikannya.

"Gusti Puteri Dyah Untari, perkenankan hamba menghadap dan menyampaikan seuatu yang amat penting kepada paduka." kata Puspa Dewi.

Dyah Untari memandang dan ia tersenyum. Sejak gadis ini menjadi dayang melayani Mandari, selir sang prabu yang paling baru, ia memperhatikannya dan ternyata sikap dayang ini baik, hormat dan ramah, terutama kepadanya sehingga sudah beberapa kali Dyah Untari bertemu dan mengajaknya bercakap-cakap. Ia menilai sikap Puspa Dewi baik sekali dan ia merasa suka kepada dayang ini, walaupun semula ia curiga karena Puspa Dewi adalah dayang pelayan Puteri Mandari.

"Ah, engkaukah itu, Puspa Dewi? Apakah engkau diutus Puteri Mandari kemari?"

"Maafkan hamba, gusti puteri. Hamba mempunyai urusan teramat penting yang hanya dapat hamba sampaikan kepada paduka seorang, tanpa didengar oleh orang lain." kata Puspa Dewi sambil mengerling ke arah dua orang dayang pelayan yang duduk bersimpuh tak jauh dari situ.

Dyah Untari mengangguk, lalu berkata kepada dua orang dayang pelayannya "Kalian pergilah ke pintu taman di sana dan jangan sekali-kali mendengarkan percakapanku dengan Puspa Dewi, juga jangan sekali-kali mengatakan kepada siapapun juga bahwa Puspa Dewi menghadap padaku."

Dua orang dayang itu menyembah lalu pergi. Puspa Dewi merasa kagum kepada Dyah Untari karena sebelum ia bicara puteri itu agaknya sudah tahu bahwa ia akan membicarakan hal penting sekali dan juga dapat menduga bahwa ia tidak ingin diketahui, terutama oleh Puteri Mandari bahwa siang hari itu ia menghadap Puteri Dyah Untari di dalam taman.

"Nah, bicaralah, Puspa Dewi." kata Dyah Untari. "Duduk sajalah di sini." Ia menunjuk ke sisi bangku di sebelahnya.

"Biar hamba di sini saja, gusti puteri. Kalau terlihat orang lain hamba duduk sejajar dengan paduka, sungguh akan menimbulkan kecurigaan dan keheranan orang."

"He , pada hakekatnya, kalau bicara dengan orang yang kurasa cocok, aku lebih suka bicara seperti sahabat, bukan seperti pelayan dengan majikannya. Akan tetapi sudahlah, mungkin engkau benar. Nah, apa yang hendak kaukatakan?"

"Perkara yang besar sekali, gusti puteri, yang juga mengancam keselamatan kerajaan paduka."

Dyah Untari terbelalak dan kini duduk tegak, alisnya berkerut dan ia memandang kepada Puspa Dewi dengan sinar mata menyelidik.

"Puspa Dewi, perkara sepenting itu sebaiknya kaulaporkan langsung kepada Gusti Sinuwun!"

"Tidak, gusti. Hamba tahu bahwa ada bahayanya laporan hamba tidak akan dipercaya dan hanya menimbulkan kegemparan. Hamba merasa bahwa di dalam istana ini, hanya paduka yang percaya kepada hamba, karena itu hamba memberanikan diri memberitahukan kepada paduka, dengan bahaya ketahuan."

"Cepat katakan, perkara apakah itu?" tanya sang puteri cemas mendengar bahwa ada perkara yang mengancam keselamatan kerajaan Kahuripan.

Puspa Dewi menoleh ke arah pintu ruangan itu. "Maaf, gusti puteri, hamba harus menutupkan daun pintu dan jendela itu dulu." Lalu ia bangkit dan menutupkan daun pintu jendela.

Dyah Untari memandang heran melihat kelakuan dayang yang muda dan cantik jelita itu.

"Ada apakah sebenarnya, Puspa Dewi, Engkau begitu penuh rahasia!" tanyanya

Puspa Dewi sudah duduk kembali diatas lantai, bersimpuh dan dekat sekali dengan Dyah Untari sehingga dengan berbisik saja ia sudah dapat didengar oleh puteri itu. Dengan suara berbisik Puspa Dewi menceritakan akan terjadinya persekutuan untuk membunuh Ki Patih Narotama, Nurseta, Senopati Sindukerta, dan pemberontakan yang direncanakan Pangeran Hendratama yang dibantu oleh empat kerajaan kecil. Mendengar ini, wajah Dyah Untari menjadi pucat, matanya terbelalak memandang kepada Puspa Dewi. Ada keraguan dalam pandangan matanya seolah ia kurang percaya akan laporan itu.

"Puspa Dewi, laporanmu ini merupakan perkara yang amat gawat! Akan tetapi sukar dapat dipercaya! Bagaimanakah engkau dapat mengetahui semua itu?" Mata yang lembut itu kini menatap wajah Puspa Dewi penuh selidik.

"Gusti puteri, sebaiknya hamba mengaku terus terang saja. Sesungguhnya, Hamba bukanlah dayang biasa. Hamba diselundupkan ke istana oleh Puteri Mandari."

"Ahh? Aku sudah menduga bahwa Engkau bukan gadis biasa seperti para dayang lainnya. Puspa Dewi, siapakah engkau sesungguhnya?"

"Hamba mempunyai seorang guru yang juga menjadi ibu angkat hamba dan ibu angkat itu kini menjadi Permaisuri Kerajaan Wura-wuri sehingga hamba diangkat menjadi sekar kedaton (kembang istana Kerajaan Wura-wuri.)"

"Ohh.....!" Dyah Untari terkejut bukan main. Wura-wuri adalah sebuah diantara kerajaan-kerajaan yang menjadi musuh bebuyutan Kahuripan. Jadi, gadis ini adalah puteri kerajaan yang memusuhi kerajaan suaminya! "Lalu..... apa maksudmu..... eh, apakah engkau hendak membunuh aku?"

Puspa Dewi tersenyum. "Mengapa paduka mempunyai kekhawatiran seperti itu? Kalau hamba hendak membantu persekutuan itu, pasti hamba tidak akan bercerita seperti ini kepada paduka. Memang hamba ikut dalam rapat pertemuan sebagai wakil Wura-wuri karena hamba ditugaskan oleh Raja Wura-wuri yang menjadi ayah angkat hamba. Akan tetapi hamba sama sekali tidak setuju dengan perilaku mereka yang amat curang ini. Sekarang hamba mohon paduka cepat melapor kepada Gusti Sinuwun bahwa Pangeran Hendratama hendak memberontak dengan mengandalkan keris pusaka Sang Megatantra yang berada di tangannya agar wahyu keraton dan dia bersekutu dengan Kerajaan Parang Siluman yang diwakili oleh Puteri Mandari dan Puteri Lasmini, Kerajaan Siluman Laut Kidul yang diwakili oleh ratunya sendiri yaitu Ratu Mayang Gupita, Kerajaan Wengker yang diwakili oleh Linggajaya yang kini menjadi juru taman di kepatihan, dan Kerajaan Wura-wuri yang diwakili oleh hamba sendiri. Adapun rencana mereka adalah membunuh Ki Patih Narotama yang akan dilakukan oleh Puteri Lasmini dan Linggajaya, membunuh Nurseta dan Senopati Sindukerta yang akan dilakukan oleh Ratu Mayang Gupita yang dibantu oleh orang-orang sakti lain, kemudian empat kerajaan hendak mengirim pasukan ke dalam hutan selatan, bergabung dengan pasukan yang akan di kerahkan Pangeran Hendratama dan para senopati pendukungnya untuk menyerbu Istana."

"Aduh, bagaimana, ya? Kalau aku sendiri yang melapor tentu akan menimbulkan kecurigaan dan aku khawatir akan diketahui Mandari yang selalu mengamati kalau aku dekat dengan Sinuwun. Padahal urusan ini harus segera dilaporkan! Dan cara melaporkan harus dirahasiakan agar jangan bocor dan diketahui oleh orang orangnya persekongkolan jahat itu!"

"Terserah kepada paduka karena paduka tentu lebih mengetahui bagaimana sebaiknya hal ini dapat dilaporkan kepada Gusti Sinuwun. Akan tetapi hamba mohon dapat dilaporkan dengan secepatnya agar tidak terlambat. Sekarang hamba hendak mencari jalan untuk menghubungi Nurseta dan Senopati Sindukerta di rumah tahanan. Hamba pamit undur, gusti."

Dyah Untari mengangguk. "Terima kasih, Puspa Dewi. Engkau telah berjasa besar terhadap Kerajaan Kahuripan. Jasamu tidak akan kami lupakan. Hanya sebuah pertanyaanku yang akan selalu mengusik hatiku kalau belum kaujawab yaitu; Kenapa engkau yang sudah menjadi sekar kedaton Wura-wuri membela Kahuripan?"

Puspa Dewi tersenyum. "Alasannya banyak, gusti puteri. Pertama, hamba adalah penduduk Karang Tirta dan ibu kandung hamba juga berasal dari sana, dan mengingat bahwa Karang Tirta termasuk wilayah Kahuripan, maka berarti hamba juga kawula Kahuripan. Kedua, guru yang juga ibu angkat hamba itu biarpun sudah melepas banyak budi kepada hamba, namun ia adalah seorang datuk sesat dan raja Wura-wuri juga bukan orang yang berbudi luhur, maka hamba tidak suka membantunya dan lebih condong membela Kahuripan. Ketiga, persekutuan itu adalah persekutuan yang jahat dan curang dan hamba selamanya tidak suka akan kejahatan dan kecurangan. Apalagi hamba sudah banyak mendengar akan kebajikan yang diucapkan Ki Patih Narotama dan Nurseta."

Setelah Puspa Dewi keluar dari ruangan itu, Dyah Untari cepat menyuruh dayangnya untuk memanggil Bancak dan Doyok, dua orang hamba sahaya yang menjadi kiangenan (kesukaan) Sang Prabu Erlangga. Dua orang abdi yang sudah menjadi pengasuh Erlangga sejak dia masih kecil itu merupakan dua orang abdi yang selain terkasih juga paling dipercayai oleh Sang Prabu Erlangga. Hanya dua orang abdi inilah yang mampu mendekati Sang Prabu tanpa ada yang mencurigai mereka. Biarpun sedang berada di dalam kamarnya, kalau dua orang abdi ini yang datang menghadap, tentu akan diterima oleh Sang Prabu Erlangga.

Setelah Bancak dan Doyok datang menghadap, terheran-heran mengapa mereka dipanggil Dyah Untari hal yang langka terjadi, Dyah Untari lalu menyuruh para dayangnya keluar dari ruangan. Kemudian dengan berbisik-bisik ia menceritakan semua hal yang baru saja didengarnya dari Puspa Dewi itu kepada mereka. Dua orang abdi yang setia itu mendengarkan penuh perhatian dan wajah mereka menjadi pucat, mata mereka terbelalak, berulang-ulang mereka menggeleng kepala dan menghela napas panjang, terheran-heran mendengar akan rencana pemberontakan yang amat jahat itu. Setelah menceritakan semuanya dengan jelas dan lengkap, Dyah Untari lalu berkata kepada mereka.

"Nah, demikianlah apa yang dilaporkan Puspa Dewi kepadaku, Paman Bancak dan Paman Doyok. Karena aku tidak tahu bagaimana akan dapat menyampaikan berita ini kepada Gusti Sinuwun tanpa diketahui orang lain, maka aku memanggil andika berdua dan setelah aku menceritakannya kepada kalian, sekarang menjadi tugas kalian untuk menyampaikannya kepada Gusti Sinuwun tanpa diketahui orang lain."

"Jangan khawatir, Gusti Puteri. Hamba berdua pasti akan dapat menyampaikan berita penting ini kepada Gusti Sinuwun." kata Bancak yang segera pamit dan bersama Doyok lalu cepat keluar dari ruangan itu dan bergegas mencari kesempatan untuk dapat menghadap Sang Prabu Erlangga.

Akhirnya Bancak dan Doyok mendapat kesempatan itu. Mereka dapat menghadap Sang Prabu Erlangga ketika Sri Baginda berada seorang diri dalam ruangan perpustakaan. Sang Prabu Erlangga terkejut bukan main mendengar laporan Bancak dan Doyok. Akan tetapi sebagai seorang raja yang bijaksana, Sang Prabu Erlangga tidak mau percaya begitu saja kepada laporan yang disampaikan Puspa Dewi kepada selirnya itu. Harus ada buktinya, barulah dia akan dapat bertindak menghukum mereka yang bersalah. Maka, dia merahasiakan urusan itu, akan tetapi diam-diam mengatur segalanya untuk mengatasi bahaya yang mengancam. Dia menulis sebuah surat perintah dan mengutus Bancak dan Doyok menyerahkan surat itu kepada Senopati Wiradana yang dipercaya karena Sang Prabu Erlangga sudah yakin akan kesetiaan senopati tua yang menjadi kepala dari semua senopati di Kahuripan.

Biasanya dia menyerahkan urusan penting ini kepada Ki Patih Narotama, akan tetapi karena dia mendengar bahwa komplotan itu juga merencanakan pembunuhan atas diri Narotama, maka ia memerintahkan Senopati Wiradana untuk mempersiapkan segalanya dan menghancurkan usaha pemberontakan itu, kalau benar-benar terjadi pemberontakan seperti yang dilaporkan Puspa Dewi itu.

Sementara itu, Puspa Dewi juga mencari akal untuk dapat memperingatkan Nurseta akan bahaya yang mengancam dirinya karena menurut rencana, malam itu ia dan Ratu Mayang Gupita beserta dua pembantunya, yaitu Dibya Mamangkoro dan Cekel Aksomolo, akan melaksanakan tugas membunuh Nurseta dan Senopati Sindukerta. Adapun tugas membunuh Ki Patih Narotama akan dilakukan malam itu juga oleh Puteri Lasmini dan Linggajaya. Gadis yang cerdik ini akhirnya mendapat akal Ia menghadap Puteri Mandari untuk merundingkan dengan lebih terperinci tentang tugas membunuh dua orang tawanan itu.

Setelah berhadapan berdua saja, Puspa Dewi tidak bersikap sebagai seorang dayang karena ia menganggap dirinya sederajat dengan Mandari. Mandari adalah puteri Ratu Durgamala dari Parang Siluman akan tetapi iapun puteri Raja Bhismaprabhawa dari Wura-wuri, walaupun hanya anak angkat!

"Agar tugas yang kami lakukan dapat berhasil baik, saya minta diberi kesempatan untuk melakukan penyelidikan kerumah tahanan itu, melihat ruangan di mana Nurseta ditahan agar nanti malam kami dapat melaksanakan rencanan itu dengan hasil baik." katanya.

Mandari tidak menaruh curiga dan tentu saja menyetujui usul Puspa Dewi Itu. Ia lalu menuliskan surat kuasa untuk Puspa Dewi. Dan dengan membawa surat ini, Puspa Dewi dapat dengan mudah memasuki rumah tahanan karena para petugas yang menjaga di situ tentu saja tidak ada yang berani menentang surat perintah Gusti Puteri Mandari!

Para penjaga itupun tidak curiga karena mereka melihat dayang itu hanya lewat saja di depan kamar tahanan sambil memandang ke dalam. Nurseta yang sedang duduk bersila didalam ruangan tahanan yang berpintu baja dengan ruji ruji (terali), melihat Puspa Dewi dan dia merasa heran sekali. Akan tetapi, tanpa dapat dilihat para penjaga yang hanya memandang dari jauh, ada berkelebat sinar putih kecil memasuki kamar tahanannya. Dia cepat menangkap kertas terlipat-lipat yang meluncur ke arahnya itu. Setelah Puspa Dewi pergi, dia cepat membaca surat itu tanpa diketahui para penjaga. Tulisan itu rapi dan cukup jelas hanya singkat saja.

Bersiaplah! Malam nanti engkau dan Senopati Sindukerta akan dibunuh. Juga Ki Patih Narotama. Tinggalkan rumah tahanan dan selamatkan ki patih! Surat itu singkat namun cukup jelas. Walaupun Puspa Dewi tidak menyebut siapa yang akan membunuhnya, namun Nurseta dapat menduga bahwa pembunuhnya tentu ada hubungan dengan Pangeran Hendratama. Karena pangeran itulah yang merasa terancam olehnya. Tidak mungkin Sang Prabu Erlangga yang hendak membunuhnya karena Ki Patih Narotama juga terancam! Hemm, sebetulnya dia tidak takut dan tidak perlu melarikan diri. Akan tetapi dia teringat akan eyangnya Senopati Sindukerta juga hendak dibunuh dan biarpun eyangnya bukan seorang yang lemah, namun dia tidak bisa membiarkan eyangnya terancam bahaya maut. Si pembunuh tentu seorang yang sakti mandraguna karena tidak mungkin Pangeran Hendratama mengirim pembunuh yang kepandaiannya biasa saja. Malam nanti ....., Nurseta mengambil keputusan untuk bertindak sebelum para pembunuh muncul dan dia sudah tahu apa yang akan dia lakukan untuk menyelamatkan eyangnya, juga untuk membantu Ki Patih Narotama yang juga akan dibunuh.

Kita telah mengetahui apa yang terjadi di kepatihan pada malam harinya. Pembunuhan yang diusahakan oleh Linggajaya dan Lasmini terhadap Ki Patih Narotama telah gagal, bahkan terpaksa Lasmini dan Linggajaya melarikan diri karena Ki Patih Narotama telah berhasil mengorek rahasia Lasmini dari mulut Sarti yang kemudian dibunuh Linggajaya dengan Pasir Saktinya.

Dan pada malam itu juga, usaha pembunuhan terjadi pula di rumah tahanan dalam kompleks istana Sang Prabu Erlangga. Ratu Mayang Gupita bersama Ki Dibyo Mamangkoro dan Cekel Aksomolo dapat diselundupkan ke dalam taman istana oleh Puteri Mandari. Tiga orang ini mengenakan pakaian serba hitam dan kepala mereka dikerudungi kain hitam yang ada lubangnya di bagian kedua mata. Puspa Dewi juga muncul dan gadis inipun menggunakan pakaian dan kerudung kepala yang sama. Karena sebelumnya memang sudah diatur, maka tanpa banyak cakap lagi mereka berempat sudah bergerak dengan cepat, menyusup di antara pohon-pohon dan tanaman bunga di taman mendekati rumah tahanan.

Sejam kemudian empat orang ini bergerak, pelayan pribadi Puteri Mandari yaitu Kanthi wanita berusia tiga puluh lima tahun yang tinggi kurus dan bermuka burik hitam, membawa beberapa guci terisi anggur merah dan membawa minuman itu ke tempat para perajurit yang menjaga rumah tahanan itu. Jumlah mereka ada tujuh orang.

"Saya diperintahkan Gusti Puteri Mandari untuk menghadiahkan anggur ini kepada kalian dengan pesan agar kalian bertujuh tidak lengah dan menjaga benar benar supaya disini aman dan tidak ada tahanan yang dapat melarikan diri." kata Kanthi sambil menyerahkan guci-guci terisi anggur itu.

Para penjaga menjadi gembira bukan main, apalagi setelah mereka membuka tutup guci dan tercium bau anggur yang harum dan sedap bukan main. Setelah Kanthi pergi, mereka lalu minum-minum sampai lima guci anggur itu habis pindah ke dalam perut mereka. Dan beberapa lama kemudian, mereka bertujuh sudah rebah tumpang tindih di dalam gardu penjagaan dalam keadaan pulas dan mendengkur. Ternyata Mandari telah mengisi racun pembius yang amat kuat dalam anggur yang ia hadiahkan. Maka, empat orang calon pembunuh Itu mudah saja memasuki rumah tahanan karena semua penjaga telah tertidur dan suara apa saja tidak mungkin dapat mengugah mereka dari keadaan tidur yang lebih mirip pingsan itu.

Mereka segera memasuki rumah tahanan dan Puspa Dewi berjalan paling depan karena ia yang dianggap sebagai penunjuk jalan karena yang mengenal keadaan di situ. Puspa Dewi berjalan dan bersikap gagah, siap dengan pedangnya seolah ia yang akan bergerak lebih dulu menyerang dua orang yang harus mereka bunuh!

Akan tetapi ketika mereka tiba depan ruangan di mana Nurseta ditahan ruangan itu kosong! Mereka memeriksa ruangan kedua di mana Senopati Sindukerta dikeram, akan tetapi ruangan inipun kosong! Diam-diam Puspa Dewi tersenyum lega. Ternyata Nurseta telah mampu menggunakan kesaktiannya untuk membuka kamar tahanan itu dan keluar dari situ!

"Wah, celaka! Mereka berdua telah kabur!" kata Puspa Dewi.

Ratu Mayang Gupita dan dua orang pembantunya tentu saja menjadi terkejut bukan main. Ratu yang seperti raksasa betina ini tadinya sudah merasa yakin bahwa mereka berempat pasti akan dapat membunuh dua orang tahanan itu dan mereka sama sekali tidak khawatir karena yang menyelundupkan mereka masuk istana adalah Puteri Mandari selir terkasih Sang Prabu Erlangga sendiri. Juga andaikata mereka gagal, jalan keluar untuk kabur sudah dipersiapkan Puteri Mandari. Akan tetapi ternyata sekarang, dua orang tawanan itu sudah kabur, tidak berada di dalam kamar tahanan.

"Mereka ke mana? Ke mana kita harus mencari mereka?" tanya Ratu Mayang Gupita kepada Puspa Dewi.

"Aku khawatir kita terjebak....." kata Cekel Aksomolo dengan suaranya yang tinggi kecil seperti suara wanita. Bagaimanapun juga, kalau teringat akan nama besar Sang Prabu Erlangga yang terkenal sakti mandraguna, tiga orang itu merasa gentar bukan main.

Tiba-tiba Nurseta muncul dari kegelapan. "Kalian mencari aku? Nah, aku berada di sini!"

Dibyo Mamangkoro yang sudah gentar itu berseru, "Celaka, kita terjebak!"

Akan tetapi Ratu Mayang Cupita cepat mendorongkan kedua tangannya kearah Nurseta yang berdiri dalam jarak lima depa. Dari kedua tangan wanita raksasa ini keluar bola api yang mengeluarkan suara meledak!

Nurseta mengenal serangan ampuh dan dahsyat sekali. Diapun lalu mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut serangan orang tinggi besar berkerudung hitam itu.

"BLAARRR....!,,

Dua tenaga sakti bertemu dan tubuh tinggi besar itu terhuyung kebelakang. Diam-diam Ratu Mayang Gupita terkejut bukan main.

"Bahaya, hayo kita lari!" kata Puspa Dewi dan Nurseta segera mengenal gadis itu. Seruan gadis itu tentu mengandung maksud agar dia membiarkan mereka berempat itu melarikan diri. Dia tidak tahu mengapa Puspa Dewi menghendaki demikian, akan tetapi yakin bahwa gadis itu tentu berniat baik terhadap dirinya, pun tidak mengejar dan membiarkan mereka berempat melarikan diri! Mereka berempat lari ke tempat yang sudah ditentukan sebelumnya, yaitu kedalam taman lalu menuju ke sudut taman di mana terdapat semak-semak tebal. Di tempat itu muncul Puteri Mandari menyongsong mereka.

"Bagaimana hasilnya? Kenapa kalian berempat berlari seperti ketakutan? Sudah berhasilkah.....?" tanya sang puteri.

"Celaka, kita gagal' Mereka itu sudah keluar dari dalam kamar tahanan!" kata Ratu Mayang Gupita.

"Kita harus cepat lari dari sini!" kata Puspa Dewi.

"Jangan khawatir. Mari!" Puteri Mandari berkata dan mengajak mereka menyelinap di belakang semak-semak tebal.

Di sana ternyata terdapat sebuah pintu kecil yang memang disediakan untuk para abdi kalau ada keperluan di luar istana dan pintu kecil ini hanya diketahui oleh penghuni istana keputren. Biarpun tugas membunuh para tahanan itu gagal, namun Puteri Mandari tidak merasa gentar karena mereka berempat itu berkerudung sehingga Nurseta tentu tidak mengenal mereka dan kini mereka telah berhasil melarikan diri dengan selamat. Keadaannya menjadi aman sudah walaupun rencana ke dua itu gagal. Ia mengharapkan rencana pertama membunuh Ki Patih Narotama berhasil dan terutama yang terpenting adalah rencana ketiga, yaitu mengerahkan pasukan gabungan untuk menyerbu istana dan menggulingkan kedudukan Sang Prabu Erlangga. Biarpun demi membela kerajaan ibunya ia tetap mencelakakan dan membunuh Sang Prabu Erlangga akan tetapi kalau ingat akan kejantanan suaminya itu, ingat akan ketampanan dan kegagahannya, kelembutannya kalau bermesraan, ia menjadi sedih karena maklum bahwa akan sukar mencari seorang pria seperti Sang Prabu Erlangga. Setelah empat orang pembunuh gagal itu keluar dari taman melalui pintu kecil, Puteri Mandari masih berdiri termenung. Ia merasa kecewa dan menyesal bahwa usaha empat orang itu gagal.

Selagi ia hendak kembali ke istana keputren, tiba-tiba ada bayangan berkelebat, la sudah siap untuk menyerang, akan tetapi niat itu urung ketika ia mengenal bahwa yang muncul di depannya bukan lain adalah Lasmini, mbakayunya! Dari sinar lampu taman, ia melihat wajah Lasmini pucat dan tegang.

"Mbakayu Lasmini ....."

"Ketiwasan (celaka), Mandari! Hayo cepat kita pergi dari sini. Cepat sebelum terlambat!" kata Lasmini memotong ucapan adiknya.

"Eh, ada apakah?" tanya Mandari terkejut dan heran.

"Jangan banyak bertanya, nanti kuceritakan. Sekarang, mari kita cepat melarikan diri!"

Mandari dengan ragu menengok ke arah istana. "Akan tetapi aku harus mengambil pakaian..... dan perhiasan....."

"Aduh, apa artinya semua itu dibandingkan keselamatan nyawamu? Cepat, sebentar lagi Ki Patih Narotama datang dan Sang Prabu Erlangga mendengar tentang kita. Rahasia kita telah pecah! Hayo kita lari!"

Mendengar ini, Mandari terkejut dan iapun menjadi ketakutan. Jelas bahwa usaha Lasmini dan Lingga jaya membunuh Narotama telah gagal. Kalau hanya gagal tidak mengapa, akan tetapi kalau rahasia mereka berdua yang bersekutu dengan pemberontak, hal itu sungguh berbahaya sekali. Maka, dengan hati tidak karuan rasanya mereka cepat melarikan diri melalui pintu kecil itu yang juga diketahui Lasmini sehingga ia tadi masuk dari situ. Dua orang puteri cantik jelita yang juga sakti itu malam-malam terus melarikan diri menuju ke Kerajaan Parang Siluman di selatan.

-00000000000000000dewi0000000000000000-
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment