Ads

Saturday, October 6, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 003

◄◄◄◄ Kembali

"Diri saya sendiri?"

"Ya, dirimu yang palsu, yang mengaku-aku sebagai jati dirimu, yaitu hati akal pikiran berikut seluruh anggauta tubuhmu yang telah dikuasai nafsu-nafsu setan. Jasmanimu yang selalu haus akan kenikmatan, lapar akan kesenangan yang menimbulkan dendam, kemarahan, kebencian, iri hati, angkara murka. Nah, jasmanimu yang kotor berasal dari debu itulah yang harus kau kalahkan lebih dulu. Dengan demikian, rohanimu yang tumbuh, bersatu dengan Kekuasaan Sang Hyang Widhi sehingga segala tindakanmu akan terbimbing oleh-Nya dan segala tindakan, ucapanmu, pikiranmu hanya menjadi alat yang dipilih oleh-Nya untuk menyalurkan berkat kepada sesama hidupmu di dunia ini."

"Wah, saya tidak mengerti, Paman. Saya ini seorang manusia hidup, untuk apa kalau tidak mengejar kebahagiaan hidup? Dan kebahagiaan hidup hanya dapat diperoleh kalau kita mempunyai kedudukan tinggi, memiliki kekuasaan, memiliki harta benda berlimpah, dan untuk mendapatkan itu, saya harus memiliki aji kesaktian yang tidak terkalahkan untuk memusnahkan semua musuh dan saingan saya!"

Kakek itu menghela napas panjang.
"Jagad Dewa Bathara! Gusti, segala Kehendak dan Rencana Paduka pasti terjadi, hamba tidak kuasa mengubahnya." Ucapan ini dia keluarkan lirih seperti bicara kepada diri sendiri. Kemudian dia memandang kepada Linggajaya.

"Linggajaya, ceritakan dulu siapa dirimu dan apa kedudukanmu."

Karena dia menemukan kakek ini di daerah Kadipaten Wengker, bahkan tempat itu pun sudah dekat dengan ibu kota Wengker, tanpa ragu lagi Linggajaya lalu membuat pengakuan.

"Ketahuilah, Paman. Saya adalah senopati muda Linggajaya Kerajaan Wengker, murid Sang Resi Bajrasakti yang menjadi penasehat Sang Adipati Wengker. Baru-baru ini saya mengalami kegagalan di Kahuripan dan saya ingin membalas kekalahan itu. Akan saya hancurkan dan tundukkan Kerajaan Kahuripan, akan saya binasakan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, musuh-musuh besar saya. Untuk itu saya harus memiliki aji kesaktian yang lebih tinggi daripada mereka. Maka, demi kejayaan Kerajaan Wengker, bantulah saya, Paman. Terimalah saya menjadi murid Paman untuk mempelajari semua aji kesaktian yang Paman kuasai!"

"Jagad Dewa Bathara...! Andika telah keliru memahami hidup ini, Angger. Keliru, sungguh keliru kalau engkau berpendapat bahwa kedudukan, kekuasaan dan harta benda menjadi sarana manusia merasakan kebahagiaan hidup. Sarana kesenangan, mungkin. Akan tetapi apakah artinya kesenangan? Kesenangan itu tipis dan rapuh sekali, orang muda. Saat kepala atau sakit gigi saja sudah dapal mengusir semua kesenangan! Jenguklah orang-orang yang berkuasa dan orang-orang yang kaya-raya. Betapa mereka itu selalu dikejar rasa gelisah dan takut kehilangan kekuasaan, kedudukan atau harta benda. Makanan mewah hanya terasa lezat dalam bayangan seorang yang tidak mampu mengadakannya. Rumah dan istana mewah megah hanya terasa indah dan nyaman dalam bayangan seorang yang rumahnya kecil dan sederhana. Tengok keadaan mereka yang berkedudukan tinggi dan yang kaya-raya, dan lihatlah kenyataannya! Mereka yang setiap hari mendapat hidangan yang serba mahal dan mewah, sama sekali tidak merasakan kenikmatan hidangan itu, bahkan merasa bosan dan merindukan hidangan sederhana yang biasa dimakan para petani sederhana! Mereka yang tinggal dalam istana megah tidak lagi merasakan keindahannya, tidak merasakan kenyamanannya karena mereka merasa jenuh, mungkin mereka merindukan lapangan terbuka dimana mereka dapat bermandikan cahaya matahari, menghirup udara pegunungan segar dan berteduh di bawah pohon yang rindang! Kenikmatan hanya dapat dirasakan orang yang hatinya tenteram dan damai, Angger. Dan rasa tenteram dan damai itu hanya dapat dirasakan orang yang setiap saat berserah diri terhadap Kekuasaan Hyang Widhi. Penyerahan diri ini akan mendatangkan bimbingan kepada kita sehingga apa pun yang kita pikirkan, ucapkan dan lakukan pasti didasari Kasih yang datangnya dari Hyang Widhi Wasa dan kalau semua gerakan hati akal pikiran dan tubuh ini didasari Kasih atas bimbingan-Nya, sudah pasti benar dan baik. Kalau sudah begitu, ketenteraman dan kedamaian itu ada, sehingga Kebahagiaan selalu berada bersama kita."

"Wah, Paman. Saya ingin berguru kepada Paman mempelajari aji-aji kesaktian, bukan untuk mendengarkan wejangan-wejangan yang memusingkan itu." kata Linggajaya sambil mengerutkan alisnya dan suaranya terdengar penasaran dan hilang kesabarannya.

"Hemm, jawablah dulu, Senopati Linggawijaya! Seorang murid sudah semestinya menaati semua perintah gurunya. Nah, kalau Andika ingin menjadi muridku, siapkah Andika untuk menaati perintahku?"

Setelah diam meragu sesaat, Linggajaya yang ingin sekali memperoleh aji kesaktian dari kakek ini, menjawab.

"Tentu saja, saya siap dan bersedia menaati perintah Bapa Guru."

Dia langsung saja menyebut bapa guru.

"Bagus, kalau begitu perintahku yang pertama adalah begini. Mulai saat ini, berhentilah menjadi Senopati Kerajaan Wengker dan jangan lagi memusuhi Sang Prabu Erlangga."

Mendengar ini, Linggajaya bangkit berdiri. Mukanya merah, alisnya berkerut dan pandang matanya berkilat penuh kemarahan.

"Apa? Kiranya engkau adalah seorang pembela Kahuripan?" teriaknya penasaran.

"Aku tidak mencampuri permusuhan antara kerajaan. Aku hanya membela siapa saja yang benar, membela keadilan dan kebenaran dan menentang yang jahat."

"Keparat, kiranya engkau pun seorang pengkhianat, kawula Wengker akan tetapi membela Kahuripan!" Dengan marah sekali Linggajaya lalu melompat ke depan dan mengerahkan seluruh tenaganya, menghantam ke arah kepala kakek itu dengan Aji Gelap Sewu!

"Wuuuttt.... wirrr....!!!"

Tubuh Linggajaya terpental ke belakang seolah diterbangkan angin taufan! Tadi dia memukul, akan tetapi pukulannya seolah mengenai perisai lunak yang tidak kelihatan, yang membuat tenaga pukulannya membalik dan tubuhnya terlempar ke belakang lalu terbanting jatuh! Linggajaya terbelalak, merasa dadanya agak sesak. Dia cepat bangkit berdiri, memandang ke arah kakek itu yang masih duduk bersila di atas rumput dengan sikap tenang dan mulut tersenyum sabar.

Linggajaya bukan bodoh. Dia maklum bahwa orang itu memiliki kesaktian luar biasa dan dia mengerti pula bahwa kalau dia menyerang lagi dengan menggunakan senjata, tentu akibatnya akan semakin parah baginya.

"Orang tua, aku yang muda sekarang mengaku kalah. Akan tetapi katakan siapa namamu agar lain kali aku dapat mencarimu untuk menebus kekalahan ini!"

Kakek setengah tua itu masih tersenyum. "Senopati Linggajaya, aku adalah Bhagawan Ekadenta. Aku menasihati engkau agar tidak memusuhi Sang Prabu Erlangga karena kalau engkau lanjutkan akibatnya akan buruk bagi dirimu sendiri. Keangkara-murkaan hanya tampak unggul pada permulaannya saja, akan tetapi pada akhirnya akan hancur. Camkanlah kata-kataku ini."

Akan tetapi Linggajaya tidak mau mendengarkan lagi. Dia sudah melompat jauh dan melarikan diri menuju ibu kota Wengker. Dia tidak akan melupakan nama Bhagawan Ekadenta. Biarpun orang sakti mandraguna itu tidak mengaku sebagai pendukung atau pembela Kahuripan, namun jelas dia tidak akan berpihak kepada Wengker kalau terjadi perang antara kedua kerajaan itu. Berarti, Bhagawan Ekadenta termasuk jajaran orang-orang yang tidak disuka dan harus dimusuhinya.

000000ooooo00000
◄◄◄◄ Kembali

1 comment:

  1. Terima kasih sudah Menawarkan kerinduanku ..... Kalau Bisa dibikin Ruang Baca ... seperti ADBM SH. Mintadja

    ReplyDelete