Ads

Saturday, October 6, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 004

◄◄◄◄ Kembali

Kegagalan yang dialami persekutuan para tokoh kerajaan Wengker, Wura-wuri, Parang Siluman, dan Kerajaan Laut Kidul, membuat Adipati Adhamapanuda, Raja Wengker, menjadi kecewa dan kehilangan semangat untuk menentang Kahuripan. Dan untuk menghibur hatinya karena kekecewaannya itu, hampir setiap hari Sang Adipati Adhamapanuda mengadakan pesta untuk dirinya sendiri.

Permaisurinya yang cantik genit diperintahkan untuk mempersiapkan segala keperluan untuk bersenang-senang itu. Pesta itu diadakan hampir setiap malam, dengan menghidangkan bermacam-macam masakan daging bermacam hewan, bukan saja daging hewan ternak, melainkan dia memerintahkan agar dimasakkan daging binatang-binatang yang tidak umum dimakan orang. Yang menjadi kesukaan Adipati Adhamapanuda adalah daging macan dipanggang setengah matang, bahkan lebih mentah daripada matang, dengan darah masih merah basah. Minum-minuman towak dan arak yang memabokkan juga menjadi kegemarannya. Sambil makan minum dilayani Dewi Mayangsari, permaisuri yang cantik genit, dibantu pula oleh tujuh orang selirnya, Adipati Adhamapanuda nonton dan mendengarkan para waranggana berjoget dan bertembang.

Joget para penari di Kadipaten Wengker sungguh jauh bedanya dengan tarian para penari Kahuripan yang tariannya lembut dan sopan. Tarian para penari Wengker ini kasar dan gerakannya menggairahkan, penuh daya tarik membangkitkan berahi dengan memutar-mutar pundak, perut dan pinggul. Kalau sudah makan kenyang dan minum sampai mabok, Adipati Adhamapanuda lalu bersenang-senang dengan para selirnya.

Akan tetapi, keadaan ini amat tidak menyenangkan hati Dewi Mayangsari. Ialah yang selalu mendesak suaminya agar menentang Kahuripan dan berusaha membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama dari Kerajaan Kahuripan. Kini melihat suaminya setelah persekutuan menentang Kahuripan itu gagal lalu setiap malam bersenang-senang, sama sekali tidak ada semangat untuk menentang Kahuripan, ia menjadi kesal dan marah. Ia selalu menolak kalau suaminya mengajaknya bersenang-senang, tidak mau menanggapi kalau suaminya mengajaknya memadu kasih dalam kamarnya. Ia mewakilkan kepada para selir muda untuk melayani Sang Adipati.

Dewi Mayangsari berusia hampir tiga puluh tahun, cantik jelita dengan tubuh padat langsing, tampak jauh lebih muda. Dalam usia dua puluh tahun, ia menjadi permaisuri Adipati Adhamapanuda yang ketika itu berusia tiga puluh tujuh tahun. Sekarang ia berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Delapan tahun menjadi permaisuri Adipati Adahamapanuda dan belum mempunyai keturunan. Dewi Mayangsari sejak kecil mendapat pendidikan aji kanuragan karena ia adalah puteri seorang tokoh warok yang sakti, yaitu Ki Surogeni yang menjadi guru para warok di Wengker. Di antara para murid itu adalah Ki Wirobento dan Wirobandrek. Akan tetapi, tingkat kepandaian Dewi Mayangsari kini jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat ayahnya sendiri! Hal ini adalah karena selama tiga tahun ia mendapat guru baru. Gurunya itu adalah Nini Bumigarbo yang di waktu mudanya bernama Ni Gayatri. Nini Bumigarbo ini seorang datuk wanita yang sakti mandraguna.

Pada suatu malam, tiga tahun lebih yang lalu, Nini Bumigarbo secara aneh tiba-tiba muncul dalam kamar Dewi Mayangsari. Tentu saja permaisuri ini terkejut bukan main. Akan tetapi segera ia mengerti bahwa nenek yang muncul secara aneh seperti setan ini adalah seorang yang amat sakti yang memilih ia menjadi murid. Nini Bumigarbo mengambil Dewi Mayangsari sebagai murid dengan syarat bahwa Dewi Mayangsari harus berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan suaminya agar memerangi Kahuripan dan berusaha membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama!

Setelah digembleng dengan tekun selama tiga tahun, Dewi Mayangsari menguasai ilmu-ilmu yang dahsyat, juga pandai menggunakan ilmu sihir yang menyeramkan. Nini Bumigarbo kembali mengulang pesannya agar muridnya ini berusaha membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama.

"Harap Kanjeng Ibu Guru tidak khawatir. Saya pasti akan memusuhi Kahuripan dan akan berusaha agar dapat membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Tanpa perintah itu pun, sejak dahulu memang Kerajaan Wengker menjadi musuh besar Kahuripan. Akan tetapi mengapa Ibu Guru menghendaki kematian mereka berdua?"

Nini Bumigarbo menghela napas panjang. "Aku menaruh dendam sakit hati kepada guru mereka, yaitu Resi Satyadharma. Karena membunuh resi yang amat sakti mandraguna itu tidak mungkin dapat kulakukan, maka aku sudah puas kalau dapat membunuh kedua orang muridnya itu."

"Akan tetapi Paduka memiliki kesaktian demikian tinggi, mengapa tidak Paduka bunuh saja mereka berdua itu sejak dulu?"

"Ah, kalau saja aku ada kesempatan untuk itu. Akan tetapi, tidak, Dewi Mayangsari, aku tidak dapat membunuh mereka dengan tanganku sendiri. Karena itulah maka aku memilih engkau untuk mewakili aku membunuh mereka."

"Mengapa tidak dapat?"

"Itu merupakan rahasiaku. Sudahlah, jangan banyak bertanya. Engkau sudah berjanji akan membunuh mereka, dan dengan bantuan pasukan Wengker dan juga orang-orang pandai di Wengker seperti Resi Bajrasakti, Senopati Linggawijaya dan lain-lain, engkau pasti akan berhasil." Nini Bumigarbo tentu saja tidak mau menceritakan bahwa ia sudah berjanji kepada Bhagawan Ekadenta untuk tidak membunuh raja dan patihnya itu, maka ia tidak dapat turun tangan sendiri.

Kemudian Nini Bumigarbo berpamit dan meninggalkan istana Wengker. Demikianlah mengapa Dewi Mayangsari menjadi kesal hatinya melihat suaminya agaknya tidak mau lagi menyerang Kahuripan dan kini hanya bersenang-senang saja. Kalau pasukan Wengker tidak dikerahkan untuk menyerang Kahuripan, bagaimana mungkin ia akan dapat memenuhi perintah gurunya untuk membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama?.

Sore itu, seperti biasa, Adipati Adhamapanuda yang berusia empat puluh lima tahun itu mulai dengan pesta poranya. Kini Dewi Mayangsari tidak lagi melayaninya makan. Sudah beberapa hari ia tidak mau ikut berpesta dengan suaminya. Bahkan sore itu ia keluar dari istana memasuki
tamansari yang indah. Matahari telah condong ke barat dan Dewi Mayangsari duduk termenung di atas bangku taman.

Sinar matahari yang kemerahan mengelus wajahnya. Sepasang pipi yang berkulit halus dan putih kuning itu menjadi kemerahan oleh sinar matahari. Alis yang hitam kecil melengkung itu berkerut, bibir yang mungil kemerahan itu cemberut dan sinar matanya sayu, terkadang menyinarkan kemarahan. Hidung yang kecil mancung itu berkali-kali menarik napas panjang. Ia semakin muak dan benci kepada suaminya, Sang Adipati Adhamapanuda. Dulu ia mau menjadi isterinya karena sebagai puteri seorang warok ia menjadi permaisuri adipati, berarti naik derajatnya. Akan tetapi ia tidak pernah dapat mencinta Adipati Adhamapanuda yang bertubuh tinggi besar, mukanya penuh brewok dan tubuhnya berbulu seperti monyet, suaranya parau besar menjemukan. Kini ia merasa kecewa, maka ia semakin muak dan benci kepada orang yang menjadi suaminya itu. Suaminya itu mulai bermalas-malasan dan setiap malam makan minum bersenang-senang dengan para selirnya setelah mendengar pelaporan Linggajaya tentang kegagalan usaha persekutuan membantu pemberontak menggulingkan Sang Prabu Erlangga.

Sementara itu, di bagian lain dari bangunan istana itu, Linggajaya berunding dengan gurunya, Sang Resi Bajrasakti.

"Engkau benar, Linggajaya. Kerajaan Wengker harus dijadikan sebuah kerajaan yang besar dan jaya dan sekarang Inilah saatnya. Aku mendukung rencanamu itu. Adipati Adhamapanuda sudah sepatutnya disingkirkan. Dia lemah dan dibawah pimpinannya, tidak dapat diharapkan Wengker akan dapat menjatuhkan Kahuripan. Rencanamu yang pertama dan kedua harus kaulaksanakan sendiri dan engkau harus berhati-hati sekali karena Dewi Mayangsari sekarang bukan seperti dulu lagi. Ingat, ia adalah murid Nini Bumigarbo, walaupun aku sendiri belum tahu ajian apa saja yang ia dapatkan dari datuk wanita itu, namun aku yakin ia tentu memiliki kepandaian tinggi sekarang. Engkau harus pandai-pandai menarik dan menguasai hatinya. Nanti pada tahap ke tiga dan terakhir, akulah yang akan membantumu dan memperkuat kedudukanmu."

"Terima kasih, Bapa Guru!" kata Linggajaya girang. "Harap jangan khawatir, rencana kita pasti berhasil."

"Sudahlah, cepat berangkat dan laksanakan!"

Sore itu, selagi Adipati Adhamapanuda mulai dengan pestanya makan minum sambil mendengarkan alunan suara pesinden dan menonton para penari bertubuh sintal memutar-mutar pinggul mereka, Linggajaya atau Senopati Linggawijaya tahu bahwa Permaisuri Dewi Mayangsari tidak ikut berpesta. Dia sudah tahu bahwa permaisuri cantik itu diam-diam tidak suka dengan pesta pora yang dilakukan suaminya dan kini tengah duduk makan angin sejuk di dalam taman.

Linggajaya telah mandi sehingga tubuhnya segar, wajahnya yang tampan berseri. Dia mengenakan pakaian baru, bersolek sehingga bertambah ganteng. Pakaiannya menyiarkan bau harum cendana. Ketika memasuki taman dan melihat Sang Permaisuri duduk termenung seorang diri di atas bangku taman yang panjang sambil memandang ke arah kolam di depannya, di mana tumbuh bunga-bunga teratai merah dan putih, dan banyak ikan berwarna hitam, putih, kuning dan merah berenang hilir mudik, Linggajaya menghampiri dari belakang. Diam-diam dia berkemak-kemik membaca mantera Aji Pameletan Mimi-Mintuna. Setelah membaca mantera, dia mengerahkan tenaganya dan meniup ke arah tubuh Dewi Mayangsari dari belakang, dalam jarak satu tombak lebih.

Dewi Mayangsari yang sedang melamun merasa ada angina menghembus tengkuknya dan hidungnya mencium harum cendana. Jantungnya berdebar dan ia merasa ada sesuatu ketidak wajaran yang membuat tubuhnya terasa panas dingin dan jantungnya berdegup kencang, la lalu bangkit berdiri dan memutar tubuhnya. Dewi Mayangsari tidak pantas menjadi murid Nini Bumigarbo kalau ia begitu mudah tunduk oleh aji pengasihan.

Ia segera dapat menyadari bahwa pemuda tampan yang berdiri di depannya ini tentu menggunakan aji pengasihan. Ia mengerahkan tenaga batinnya dan pengaruh aji pengasihan yang membuat tubuhnya panas dingin dan jantungnya berdebar-debar itu pun lenyap.

"Hemm, Senopati Linggawijaya. Biar digunakan seribu satu macam aji pengasihan, kalau aku menolak, siapa akan mampu memaksaku? Sebaliknya, tanpa aji pengasihan, kalau aku mau, siapa pula yang akan melarangnya?"

Wajah Linggajaya berubah kemerahan. Gurunya benar. Dia harus berhati-hati terhadap wanita ini. Jelas bahwa aji pengasihannya yang amat kuat itu dapat ditolaknya! Akan tetapi dia tidak putus asa, bahkan mendapatkan harapan baik. Bukankah permaisuri itu tadi juga mengatakan bahwa tanpa pengasihan sekalipun, kalau ia mau, siapa yang dapat melarangnya? Maka dia segera tersenyum manis dan membungkuk dengan sembah ke depan dada.

"Maafkan saya, Gusti Puteri. Kalau kehadiran saya mengganggu peristirahan Paduka, biarlah saya mengundurkan diri."

"Tidak, Linggajaya. Kebetulan engkau datang. Aku ingin mengajakmu bicara tentang Kahuripan."

"Ah, terima kasih, Gusti Puteri. Saya akan senang sekali kalau dapat menceritakan dengan jelas apa yang Paduka ingin ketahui." Setelah berkata demikian Linggajaya yang pandai mengambil hati itu lalu duduk di atas rumput di depan permaisuri. "Nah, saya siap mendengarkan dan melaksanakan semua perintah Paduka."

"Ah, engkau adalah senopati muda kami. Tidak perlu merendahkan diri seperti seorang hamba sahaya, Linggajaya. Duduklah di bangku ini agar kita dapat lebih leluasa dan enak bicara."

"Saya tidak berani, Gusti Puteri."

"Hayolah, takut apa? Aku yang memerintahmu. Bangkit dan duduk di bangku ini."

Linggajaya tidak membantah lagi lalu duduk di atas bangku, memilih di ujung sana. Tentu saja hatinya girang sekali akan tetapi dia tidak memperlihatkan kegembiraan itu dan bersikap sopan dan penuh hormat kepada permaisuri yang sedang dipikatnya itu.

"Linggawijaya, bagaimana menurut pendapatmu. Apakah Kerajaan Kahuripan yang dipimpin Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama itu benar-benar amat tangguh sehingga tidak mungkin ditalukkan?"

Linggajaya berpikir sejenak, lalu mengerutkan alisnya dan berkata, "Menurut pendapat saya, Gusti Puteri, mereka itu juga manusia-manusia biasa saja dan pasukan Kahuripan tidaklah tangguh benar sehingga mereka itu pasti dapat ditalukkan!"

Suaranya mengandung ketegasan dan keyakinan.

"Hemm, kalau begitu, Senopati Linggawijaya, mengapa pemberontakkan Pangeran Hendratama yang didukung para tokoh yang mewakili Empat Kerajaan termasuk engkau sendiri, gagal sama sekali?"

"Kegagalan itu disebakan oleh beberapa hal, Gusti Puteri. Pertama, Pangeran Hendratama itu tidak becus menghimpun laskar sehingga pasukan Kahuripan yang dapat dibujuk untuk mendukungnya hanya sedikit dan tidak setia sehingga ketika bertempur, banyak yang cepat menyerah dan melarikan diri. Kedua, di antara para wakil Empat Kerajaan ada yang berkhianat, yaitu Puspa Dewi, murid dan juga anak angkat Nyi Dewi Durgakumala yang menjadi Permaisuri Wura-wuri. Ia berkhianat dengan berbalik membela Kahuripan dan lebih dari itu, ia sengaja mengirim laporan terlambat sehingga Wura-wuri terlambat pula mengirim bantuan pasukan. Dan yang ke tiga, sungguh menggemaskan, dua orang puteri Parang Siluman itu, agaknya mereka yang telah menjadi selir-selir Sang Prabu Erlangga dan Ki patih Narotama...."

"Maksudmu Puteri Mandari dan Lasmini?"

"Benar, Gusti Puteri. Mereka itu menjemukan sekali, agaknya mereka tidak tega kepada raja dan patihnya itu, atau mungkin karena terlanjur mencinta mereka sehingga tidak melakukan usaha sungguh-sungguh, bahkan mereka melarikan diri lebih dulu kembali ke Parang Siluman. Kalau saja ketiga hal itu tidak terjadi, sudah pasti sekarang Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama telah dapat dibinasakan dan Kahuripan dapat ditalukkan."

"Ya, sayang sekali. Akan tetapi setelah usaha itu gagal, mengapa sama sekali tidak ada gerakan dari semua Empat Kerajaan?"

"Itulah yang membuat saya merasa jengkel dan juga menyesal, Gusti Puteri. Mereka itu mungkin ketakutan terhadap Kahuripan setelah kegagalan itu sehingga tidak ada yang perduli lagi. Bahkan ada yang bersembunyi di balik pelesir berfoya-foya, mungkin agar tidak diketahui bahwa di dalam hati, mereka itu sebenarnya ketakutan. Ah, maafkan saya, Gusti Puteri! Bukan maksud saya untuk... maksud saya... saya tidak menyinggung Gusti Adipati...."

DEWI MAYANGSARI tersenyum memandang wajah pemuda itu.

"Tidak, Senopati Llnggawijaya, aku tidak menyalahkan engkau. Memang apa yang kaukatakan itu benar dan tepat sekalli cocok dengan suara hatiku. Mereka itu memang orang-orang pengecut! Termasuk Adipati Adhamapanudal. Ketahuilah Llnggawijaya, tidak ada orang yang merasa lebih penasaran lebih benci dan muak, daripada aku sendiri melihat ulah Adipati Adhamapanuda yang setiap hari hanya berpesta pora, mabok-mabokan, sedikit pun tidak mempunyai semangat untuk menentang musuh besar kita Kahuripan. Sungguh aku merasa muak dan benci sekali padanya!"

"Maaf, Gusti Puteri. Kalau Paduka tidak pernah mengeluarkan isi hati seperti itu, tentu saya tidak akan berani mengusulkan ini. Akan tetapi kalau Paduka menderita batin melihat semua foya-foya yang menyakitkan hati itu, mengapa Paduka tidak memegang sendiri kendalinya?"

"Lingga.... apa maksudmu?"

Berdebar rasa jantung Lingga jaya mendengar namanya disebut Lingga saja dan terdengar begitu mesra. Dia menatap wajah wanita itu dan sepasang matanya membayangkan kemesraan dan cinta yang jelas sekali tampak, apalagi oleh seorang wanita yang sudah hampir tiga puluh tahun usianya, sudah mengenal betul apa yang terpancar dari dalam hati pria melalui pandang matanya. Maka, permaisuri cantik itu pun segera mengetahui bahwa Sang Senopati muda ini tergila-gila kepadanya!

Hal seperti ini tidak aneh baginya karena banyak sudah laki-laki yang memandang kepadanya seperti itu! Akan tetapi selama Ini la tidak pernah melayani para pria yang tergila-gila kepadanya. Pertama karena la harus memegang kehormatannya sebagai seorang prameswari yang dimuliakan orang, ke dua karena ia tidak merasa tertarik kepada seorang pun di antara para pengagumnya Itu. Akan tetapi kini, sejak setahun yang lalu ketika Linggajaya dibawa Resi Bajrasakti menghadap Sang Adipati, la sudah tertarik oleh ketampanan dan kegagahan pemuda itu. Bahkan la yang mengusulkan kepada suaminya untuk mengangkat Linggajaya menjadi senopati dengan nama Llnggawijaya. Dan kini, baru sekali ini mereka duduk bercakap-cakap berdua saja, ia semakin tertarik karena terdapat persamaan perasaan dan pendapat. Maka ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang terang-terangan menyatakan kekaguman dan cinta dari pemuda itu, ia merasa jantungnya berdegup tegang.

''Maksud saya, Gusti Puteri. Kalau Paduka yang memegang kendali atau memimpin langsung Kerajaan Wengker Ini, maka kita dapat menghimpun kekuatan dan kerajaan kitalah yang akan mampu menghancurkan Kahuripan dan membinasakan Erlangga dan Narotama!"

"Kita...?" Permaisuri itu mendesak dan memandang tajam penuh selidik ke arah wajah Linggajaya.

"Ya, Paduka dan saya, kita ini. Saya akan membantu Paduka dengan setia dan saya rela berkorban nyawa untuk membantu Paduka!"

Dewi Mayangsari mulai terpikat. Linggajaya memang seorang pemuda yang ganteng dan tutur bahasanya juga lembut, sopan dan memikat. Ditambah lagi dengan sinar matanya yang mengandung daya meruntuhkan hati wanita, senyumnya yang menawan. Hati Dewi Mayangsari yang memang sedang jengkel melihat ulah suaminya, segera terpikat.

"Lingga, katakan terus terang, mengapa engkau rela berkorban nyawa untukku? Mengapa? Hayo jawab, Lingga."

Pemuda itu menundukkan mukanya, tampak rikuh. "Saya.... saya tidak berani menjawab Gusti Puteri. Saya takut Paduka akan marah kepada saya."

Cuaca mulai gelap. Senja telah tua dan cuaca remang-remang, malam mulai menjelang. Ada sesuatu dalam suara pemuda itu yang menggetarkan jantung Dewi Mayangsari. Agar dapat melihat lebih jelas wajah dan sinar mata pemuda itu. Dewi Mayangsari menggeser duduknya mendekat dan la emegang sebelah tangan Linggajaya. Jari-jari tangan mereka saling menggenggam dan keduanya merasa kehangatan yang menggairahkan menyelinap dari tangan itu ke seluruh tubuh.

Melihat pemuda Itu diam saja seolah ketakutan, Dewi Mayangsari berkata lirih. "Jangan takut, Lingga. Bagaimana aku dapat marah kepada engkau yang begini setia kepadaku? Katakan sajalah terus terang karena aku ingin sekali mengetahui. Mengapa engkau rela berkorban nyawa untukku?"

"Karena.... karena saya.... hemm, maafkan saya.... sesungguhnya saya mencinta Paduka dengan seluruh jiwa raga saya!" .

Pernyataan cinta itu terdengar seperti bunyi gamelan dari sorgaloka bagi telinga Dewi Mayangsari. Betapa Indahnya! Dewi Mayangsari dibakar gairah berahi yang belum pernah ia rasakan sehingga sukar dikatakan siapa yang memulai lebih dulu, akan tetapi tahu-tahu dua orang itu saling rangkul dengan mesra. Dua orang itu tenggelam dalam gelora nafsu sehingga mereka lupa segala. Dewi Mayangsari lupa bahwa ia adalah seorang permaisuri, isteri Sang Adipati, sedangkan Linggajaya lupa bahwa dia seorang ponggawa, diangkat oleh Sang Adipati Adhamapanuda yang kini dia khianati. Selagi keduanya berasyik-masyuk seperti mabok sehingga kehilangan kewaspadaan, mereka tidak tahu kalau ada bayangan tinggi besar menghampiri mereka sampai dekat.

"Hordah!" orang bertubuh raksasa itu membentak. "Siapa Andika, berani mencuri masuk tamansari?"

Dewi Mayangsari dan Linggajaya terkejut. Buaian asmara tadi membuat mereka mabok dan lengah. Mereka mengenal suara yang membentak itu. Suara Limantoko, pengawal pribadi Adipati Adhamapanuda yang bertubuh raksasa dan memiliki tenaga sekuat gajah. Akan tetapi jagoan ini pernah dikalahkan Linggajaya ketika pemuda itu baru datang di Wengker menghadap Sang Adipati kemudian dia diuji dan dihadapkan kepada raksasa ini. Karena selagi bermesraan tadi mereka ketahuan Limantoko, maka Dewi Mayangsari berbisik kepada kekasihnya.

"Lingga, bunuh dia!"

Tanpa diperintah dua kali, Linggajaya melompat dan bagaikan seekor harimau kelaparan, dia menerkam dan menerjang pengawal pribadi Sang Adipati itu. Karena dia menyerang untuk membunuh maka dia sudah mencabut kerisnya yang luk tiga belas, yaitu keris pusaka Kyai Candalamanik pemberian Resi Bajrasakti. Serangannya demikian tiba-tiba dan cepat datangnya sehingga Limantoko tidak sempat menghindar lagi.

"Capp....!" Keris pusaka yang mengandung racun itu memasuki rongga dada Limantoko dan mengenai jantungnya.

"Auggghhh....!" Limantoko terhuyung sambil mendekap luka di dada yang mengucurkan darah. Akan tetapi selagi dia hendak berteriak, Linggajaya sudah menyusulkan sebuah tamparan Aji Siung Naga ke arah kepalanya.

"Wuuutt... prakkk" Kepala itu pecah berantakan. Tubuh Limantoko terpelanting dan dia tewas seketika.

"Bagus, Lingga." Dewi Mayangsari memuji. "Kebetulan sekali. Kelancangan Limantoko ini menguntungkan kita. Dengarkan baik-baik, Lingga. Kita harus segera lakukan Ini."

Dewi Mayangsari mendekati kekasihnya, merangkul pundaknya dan menempelkan mulutnya dekat telinga Linggajaya. Pemuda itu terkejut, akan tetapi hanya sebentar. Kecerdikan Mayangsari membuatnya kagum. Dia mencium bibir wanita itu dan berbisik.

"Akan kulakukan semua perintahmu, Dewi. Mari kita laksanakan seperti yang kaurencanakan itu." Kini sikap dan kata-kata Linggajaya terhadap Dewi Mayangsari sudah berubah sama sekail, bukan sikap seorang bawahan terhadap atasan atau junjungannya, melainkan sikap dan kata-kata seorang laki-laki terhadap kekasihnya!

Terjadi kesibukan di malam yang gelap itu. Sang Adipati Adhamapanuda sendiri masih tenggelam ke dalam pesta poranya, makan minum sepuasnya sambil menonton para penari menggoyang pundak dan pinggul sambil bernyanyi gembira. Seperti biasa, para selir Sang Adipati, tujuh orang jumlahnya, melayani suami mereka dan ikut pula makan minum dengan gembira. Dari permaisuri dan tujuh orang selirnya. Adipati Adhamapanuda hanya mempunyai dua orang putera yang dilahirkan dua orang selirnya. Dua orang puteranya itu bernama Rajendra dan Mahendra, berusia sepuluh dan delapan tahun. Karena dua orang kakak dan adik ini tidak mempunyai saudara lain, maka mereka akrab sekali dan tidur pun mereka minta agar sekamar.

Mereka memiliki sebuah kamar sendiri, kamar yang cukup luas dan mewah. Dan mereka ditemani seorang inang pengasuh, seorang wanita setengah tua berusia empat puluhan tahun. Pada malam hari itu, seperti biasa, Raden Rajendra dan Raden Mahendra sudah berada dalam kamar mereka. Mereka memang tidak diperbolehkan ikut hadir dalam pesta Sang Adipati Adhamapanuda. Mereka bermain-main dalam kamar ditemani Nyai Ranu, sang inang pengasuh. Suara gamelan terdengar sampai ke kamar mereka.

Seperti biasa pada malam-malam pesta yang lalu, para penghuni istana kadipaten tertarik untuk nonton pesta itu, walaupun tidak hadir di ruangan itu. Tujuan mereka tertarik untuk menonton dan mendengarkan para penari yang berjoget sambil bertembang. Karena perhatian para pelayan dan pengawal tertuju ke arah ruangan pesta, maka suasana dalam istana itu menjadi sunyi.

Tiba-tiba daun pintu kamar kedua orang pangeran muda itu terbuka dari luar. Linggajaya melompat masuk sambil membawa sebuah ruyung besar. Nyai Ranu terkejut dan menjerit. Akan tetapi hanya satu kali saja ia menjerit karena ruyung Itu telah menyambar dan terdengar suara gaduh ketika kepalanya disambar ruyung dan tubuhnya terbanting ke atas lantai, tewas seketika! Dua orang pangeran kecil itu terbelalak lalu berloncatan berdiri dengan muka pucat. Melihat pengasuh mereka roboh mandi darah, mereka lalu menjerit minta tolong.

Akan tetapi Linggajaya sudah bergerak cepat, ruyungnya menyambar-nyambar dan dua orang pangeran kecil itu pun roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika. Setelah itu, Linggajaya cepat keluar, menyeret mayat Limantoko, setelah berada dalam kamar dia menaruh ruyung ke dalam tangan pengawal pribadi Sang Adipati itu dan dia sendiri berdiri dengan keris pusaka Candalamanik di tangan kanan!

Jeritan-jeritan itu memancing datangnya para pengawal dan pelayan. Mereka terkejut sekali ketika memasuki kamar Pangeran. Setelah mendengar dari Linggajaya bahwa Limantoko membunuh dua Pangeran dan pengasuh mereka, para pengawal segera lari melaporkan malapetaka ini kepada Sang Adipati Adahamapanuda.

Mendengar laporan mengerikan itu, Sang Adipati dan tujuh orang selirnya berlari-lari menuju ke kamar itu. Tampak pula Sang Permaisuri Dewi Mayangsari keluar dari kamarnya dan ikut berlarian bersama mereka.

Dua orang selir Sang Adipati, ibu kandung dua orang Pangeran itu, menjerit-jerit, menubruk mayat anak-anak mereka dan meraung-raung. Para selir lain dan para pelayan wanita juga ikut menangis sehingga suasana menjadi riuh dan menyedihkan.

Sang Adipati Adhamapanuda yang setengah mabok itu berdiri dengan wajah pucat memandang ke arah mayat kedua orang puteranya, lalu kepada mayat Limantoko. Dia terhuyung akan roboh, akan tetapi Dewi Mayangsari cepat menangkap lengannya dan diajaknya suaminya itu keluar kamar. Ia menarik Sang Adipati duduk di atas bangku yang terdapat di luar kamar, lalu berteriak memanggil.

"Senopati Linggawijaya, Andika ke sinilah!" Sang Permaisuri memanggil.

Linggajaya yang sedang bercerita kepada para pengawai, cepat keluar dan menjatuhkan diri duduk bersila menghadap Sang Adipati. Akan tetapi, saking kaget dan sedihnya, Adipati Adhamapanuda tidak dapat bicara dan diam saja sambil memandang Linggajaya dengan bingung. Dewi Mayangsari yang bertanya kepada Linggajaya dengan suara lantang.

"Hei, Senopati Linggawijaya! Cepat ceritakan selengkapnya dengan jelas, apa yang telah terjadi di sini? Andika menjadi saksi tunggal, awas, jangan berbohong!"

Karena pertanyaan itu diajukan dengan suara lantang, semua orang mendengarnya dan kini mereka yang berada dalam kamar pun keluar untuk mendengarkan jawaban Senopati Linggawijaya.

Linggajaya lalu berkata dengan sikap hormat kepada Adipati Adhamapanuda.

"Maafkan hamba, Gusti Adipati dan Gusti Puteri, hamba sungguh menyesal sekali bahwa hamba
terlambat dan tidak dapat menyelamatkan kedua orang Gusti Pangeran Alit (kecil) dari malapetaka yang membawa maut. Tadi hamba keluar dari kamar hamba dengan maksud menonton tarian. Akan tetapi hamba melihat berkelebatnya bayangan dan ketika hamba membayanginya, bayangan itu lenyap. Hamba menjadi curiga dan hamba kembali ke kamar untuk mengambil keris pusaka hamba. Ketika hamba keluar lagi dari kamar, hamba mendengar jeritan-jeritan dari kamar Gusti Pangeran ini, maka hamba cepat berlari ke sini. Ternyata hamba melihat Limantoko telah membunuh kedua orang Gusti Pangeran dan inang pengasuh mereka. Hamba segera menyerangnya dengan keris, lalu memukulnya dengan tangan kiri sehingga dia roboh dan tewas. Begitulah, Gusti, apa yang telah terjadi dan hamba menyesal sekali bahwa hamba terlambat menyelamatkan para Gusti Pangeran."

"Duh Jagad Dewa Bathara...!" Adipati Adhamapanuda mengeluh dengan suaranya yang biasanya besar itu menjadi semakin parau. "Mengapa Limantoko dapat melakukan kekejian ini? Padahal, sudah lama dia menjadi pengawal pribadiku yang setial Mengapa dia lakukan ini? Apa dia sudah
gila....?"

Resi Bajrasakti yang baru saja datang ke tempat itu, menghampiri Sang Adipati, menyentuh lengannya dan berkata dengan suaranya yang penuh wibawa.

"Harap Paduka tenang, Adimas Adipati. Kematian adalah hak Sang Yamadipati dan sudah ditentukan oleh para dewa. Saya dapat menduga mengapa Limantoko melakukan perbuatan ini."

"Mengapa, Kakang Resi? Mengapa dia membunuh putera-puteraku?”

“Tentu saja bukan keluar dari hatinya sendiri, tidak ada sesuatu yang menguntungkan dia dengan membunuh kedua orang putera Paduka. Maka jelaslah bahwa dia pasti dipengaruhi orang lain dan siapa orang yang begitu membenci Paduka sehingga tega melakukan pembunuhan ini? Hanya ada satu orang, yaitu Sang Prabu Erlangga! Kerajaan Wengker merupakan musuh bebuyutan Kahuripan, maka saya merasa yakin bahwa peristiwa ini pasti didalangi oleh Raja Kahuripan itu."

Hening sejenak. Lalu tiba-tiba Adipati Adhamapanuda mengeluarkan teriakan parau seperti seekor binatang buas terluka.

“Jahanam engkau Erlangga"

Setelah berteriak seperti itu, Adipati Adhamapanuda terkulai lemas dan jatuh pingsan. Dewi Mayangsari, dibantu para selir, segera mengangkat Sang Adipati ke dalam kamarnya. Sejak saat itu, Adipati Adhamapanuda jatuh sakit. Tidak ada dukun yang dapat mengobatinya. Makin hari penyakitnya semakin parah. Dewi Mayangsari, permaisurinya, turun tangan sendiri merawat Sang Adipati siang malam. Bahkan ia tidak memperbolehkan selir-selir Sang Adipati menggantikannya merawat suami mereka. Permaisuri ini merawat suaminya dengan penuh ketekunan dan tampaknya amat mencinta Sang Adipati. 

Lanjut ke Jilid 005 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment