Ads

Saturday, October 6, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 007

◄◄◄◄ Kembali

Ki Gandarwo, senopati muda Wura-wuri yang bertindak sebagai pemimpin rombongan, dan pada saat itu sedang marah karena tadi dia terpental dan terbanting roboh ketika beradu tenaga melawan Puspa Dewi.

"Serang... !"

Dia memberi komando dan lima orang itu sudah bergerak menyerang dari depan, kanan kiri dan belakang. Senjata mereka menyambar-nyambar dengan ganasnya. Puspa Dewi menggerakkan tubuhnya dan tampak sinar hitam bergulung-gulung di seputar dirinya ketika ia mainkan pedang hitam itu. Puspa Dewi bukan hanya melindungi dirinya dengan perisai sinar pedangnya, melainkan ia juga membagi-bagi serangan dengan pukulan jarak jauh, yaitu Aji Guntur Geni. Aji pukulan ini memang dahsyat sekali, menyambar-nyambar mengeluarkan hawa panas. Akan tetapi lima orang lawannya juga bukan orang-orang lemah, terutama sekali Cekel Aksomolo dan Ki Gandarwo. Betapapun juga, menghadapi amukan Puspa Dewi yang mengeluarkan seluruh kesaktiannya itu, mereka kewalahan juga. Mereka sudah mencoba untuk mendesak, namun senjata mereka selalu terpental apabila bertemu dengan gulungan sinar hitam itu. Selain itu, mereka harus waspada dan cepat mengelak apabila dorongan telapak tangan kiri Puspa Dewi yang mengandung hawa panas itu menyambar ke arah muka.

"Cring-cring-trangg...!"

Bunyi dentingan nyaring dari bertemunya pedang hitam di tangan Puspa Dewi dengan senjata para pengeroyoknya diikuti percikan bunga api membuat orang-orang yang datang merasa ngeri. Penduduk dusun yang mendengar akan adanya keributan di pekarangan Lurah Karang Tirta, berbondong-bondong datang menonton.

Akan tetapi mereka hanya bergerombol di luar pekarangan, tidak berani masuk melihat betapa Puspa Dewi dikeroyok lima orang dan mereka bertanding dengan cepat sekali. Tubuh mereka berkelebatan, sukar diikuti pandang mata penduduk dusun itu.

"Puspa Dewi...!" tiba-tiba Nyi Lasmi yang sudah berada di ambang pintu depan berteriak, penuh kekhawatiran. Ia lalu berlari keluar dari pendopo, menghampiri medan perkelahian dengan nekat karena khawatir akan keselamatan puterinya.

"Ibu, jangan mendekat" teriak Puspa Dewi ketika melihat Ibunya mendekati tempat yang berbahaya bagi Ibunya itu.

Akan tetapi ia harus mencurahkan perhatiannya kepada para pengeroyoknya karena sedikit saja ia membagi perhatiannya tadi, nyaris pundaknya terkena sambaran ruyung di tangan Kala Teja. Cepat ia mengelebatkan pedangnya menangkis karena serangan ruyung itu diikuti tusukan keris di tangan Kala Muka.

"Trangg.... cringgg....!" Kala Teja dan Kala Muka terhuyung karena tangkisan pedang hitam itu kuat bukan main. Akan tetapi terdengar bunyi mendesing pedang Ki Candarwo sudah menyambar dengan bacokan ke arah lehernya dari belakang. Puspa Dewi memutar tubuh dan. karena pedangnya tidak keburu menangkis, ia menggunakan tangan kiri untuk menampar pedang yang menyambarnya itu.

"Wuuuttt.... plakk!" Ki Gandarwo juga terhuyung ke belakang.

"Rrrik-tik-tik-tik....!" Tasbeh di tangan Cekel Aksomolo kini menyambar ganas, diikuti tikaman klewang di tangan Kala Manik.

Puspa Dewi kini sudah sempat mengelebatkan pedangnya yang sekaligus menangkis dua senjata itu.

"Trakk-tranggg...!" Dua senjata lawan itupun terpental dan selagi Puspa Dewi hendak membalas serangan, tiba-tiba ia mendengar ibunya menjerit.

"Ouhhh...., lepaskan aku, keparat!"

Puspa Dewi cepat melompat ke belakang dan memutar tubuh memandang. Ia marah sekali melihat ibunya sudah diringkus Ki Gandarwo. Nyi Lasmi mencoba untuk melepaskan diri dengan meronta-ronta, akan tetapi tentu saja ia tidak mampu berkutik melawan Ki Gandarwo yang kuat, kedua tangan Nyi Lasmi ditelikung ke belakang dan pergelangan kedua tangannya dicengkeram tangan kiri Ki Gandarwo yang menggunakan pedang di tangan kanannya untuk mengancam Nyi Lasmi dengan menempelkan pedangnya di leher wanita itu. Sepasang mata Puspa Dewi berkilat. Suaranya terdengar mengandung kekuatan dahsyat.

"Jahanam pengecut! Lepaskan Ibuku!"

"Puspa Dewi, menyerahlah dan aku akan melepaskan Ibumu." kata Ki Gandarwo, tegang dan gentar hatinya beradu pandang mata dengan gadis itu.

"Lepaskan atau kubunuh kamu!" kembali Puspa Dewi membentak dan pedang hitam di tangannya sudah bergetar.

"Mungkin aku mati di tanganmu, akan tetapi Ibumu akan lebih dulu mati!" kata Ki Gandarwo sambil menempelkan pedangnya lebih ketat di leher Nyi Lasmi.

"Dewi, jangan mau menyerah! Tidak mengapa dia membunuhku. Ibumu tidak takut mati!" Nyi Lasmi berteriak. Ki Gandarwo tentu saja menjadi panik mendengar ini.

"Puspa Dewi, sekali lagi menyerahlah dan aku akan melepaskan Ibumu!"

Kala Muka lalu berkata, "Gusti Puteri, sebaiknya Paduka menyerah saja dan membiarkan kami membawa Paduka menghadap Gusti Adipati."

Puspa Dewi merasa bingung dan tidak berdaya. Lalu la berpikir cepat. Yang terpenting sekarang adalah agar ibunya selamat. Biarlah ia menyerah dan ditangkap, karena kalau ibunya selamat ia sendiri nanti akan dapat mencari jalan untuk melepaskan diri.

"Baiklah, aku menyerah. Lepaskan Ibuku."

"Ho-ho-hi-hik, tidak mudah begitu saja Andika menipu kami, Puspa Dewi!" kata Cekel Aksomolo sambi! tertawa. "Jangan lepaskan dulu wanita itu, Gandarwo. Kalau ia dilepaskan, Puspa Dewi tentu akan melawan lagi. Puspa Dewi, kalau benar engkau mau menyerah,. lepaskan dulu pedangmu dan biarkan aku mengikat kedua tanganmu! Kalau engkau tidak menurut, terpaksa Ibumu kami bunuh dulu!"

Puspa Dewi maklum, bahwa percuma saja berbantahan dengan mereka. Ia benar-benar ingin menolong ibunya, maka ia melepaskan pedang Candrasa Langking sehingga pedang hitam itu jatuh ke atas tanah. Kemudian ia merangkap kedua tangan di belakang tubuhnya, menyerah untuk diikat!

Sambil terkekeh Cekel Aksomolo berkata kepada adik seperguruannya.
"Gandarwo, hati-hati, jangan sampai wanita itu terlepas sebelum Puspa Dewi kuikat kedua tangannya. Kalau ia menyerang jangan ragu-ragu, bunuh saja Ibunya itu lebih dulu!"

SETELAH berkata demikian, Cekel Aksomolo melolos sebatang sabuk lawe kuning dari ikat pinggangnya dan mengikat kedua pergelangan tangan Puspa Dewi di belakang tubuhnya. Puspa Dewi tidak berdaya, tidak mau membahayakan keselamatan Ibunya. Akan tetapi ia juga merasa bahwa tali yang dipergunakan mengikat kedua pergelangan tangannya itu bukan tali biasa, melainkan sabuk lawe yang sudah dirajah, yaitu di-manterai dan diisi dengan kekuatan sihir sehingga tidak akan mudah ia dapat melepaskan diri. Setelah kedua tangannya terikat, Puspa Dewi berseru kepada Ki Gandarwo.

"Sekarang bebaskan Ibuku!"

Akan tetapi Ki Gandarwo tertawa.
“Ha ha ha, kami tidak mau terancam bahaya engkau mengamuk lagi, Puspa Dewi. Ibumu akan kami bawa pula agar kalau dalam perjalanan engkau membuat ulah, kami dapat membunuhnya!" Ki Gandarwo lalu mendorong Nyi Lasmi. "Hayo kau ikut dengan kami!"

Nyi Lasmi lari menghampiri dan merangkul Puspa Dewi.
"Ah, Dewi, mengapa engkau menyerah? Kini malah kita berdua yang tertawan. Mereka ini orang-orang yang licik dan curang!"

Tiba-tiba puluhan orang dusun penduduk Karang Tirta berduyun-duyun memasuki pekarangan itu sambil berteriak-teriak menuntut agar Puspa Dewi dan Nyi Lasmi dilepaskan. Sikap mereka marah dan mengancam, bahkan ada yang mengacung acungkan parang, pisau, tongkat dan lain-lain.

Melihat ini, Tri Kala menyambut mereka dengan tamparan dan tendangan. Belasan orang kocar-kacir, berpelantingan dan yang lain menjadi Jerih lalu mundur. Akan tetapi ada seorang kakek yang tidak ikut mundur, bahkan dia melangkah maju dengan tenang. Semua orang, termasuk Puspa Dewi, memandang ke arah kakek itu. Sinar bulan ditambah sinar lampu dari pendopo cukup terang sehingga Puspa Dewi dapat melihat wajah kakek itu dengan jelas. Kakek itu sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi agaknya sudah lebih dari enam puluh tahun. Tubuhnya tinggi tegap dan masih tegak, langkahnya juga tegap, walaupun lembut dan perlahan.

Pakaian kakek itu berupa jubah berwarna kuning yang potongannya amat sederhana. Rambutnya panjang dan hampir putih semua, dibiarkan terurai di atas pundak dan punggungnya, yang di atas dibelah tengah. Dahinya lebar, mata seperti mata kanak-kanak, bening lembut dan mata itu juga tampak gembira, sesuai dengan mulutnya yang selalu mengembangkan senyum. Wajah kakek ini termasuk tampan dan gerak-geriknya lembut.

Melihat ini, Puspa Dewi mengerutkan alisnya. Kakek itu mencari mati, pikirnya, ia tidak mau kalau ada orang lain sampai menjadi korban karena hendak membelanya. Maka ia cepat berseru dengan lantang.

"Eyang, pergilah jangan mendekat, jangan mencampuri umsanku. Berbahaya sekali bagimu. Pergilah, Eyang!"

Kakek itu memandang kepadanya dan senyumnya mengembang dan ketika pandang mata mereka bertemu, Puspa Dewi terkejut dan tertegun. Ia pernah melihat pandang mata seperti itu dan ia teringat. Yang memiliki pandang mata seperti itu adalah Ki Patih Narotama, Sang Prabu Erlangga, dan Nurseta! Akan tetapi, pandang mata mereka, bahkan sinar mata Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama sekalipun, tidak sekuat dan sehebat sinar mata kakek ini yang membuat ia tertegun dan seolah tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi, hanya memandang dengan terbelalak. Kini kakek itu sudah tiba di depan Tri Kala. Kala Muka membentak marah,

"Heh, pergi kamu! Apakah kamu ingin pula kupukul?"

"Shanti shanti shanti...!"

Kakek itu berkata lirih namun suaranya terdengar oleh semua orang, begitu jelas terdengar walaupun lirih, bahkan terdengar oleh penduduk dusun yang berada di luar pekarangan.

"Aku tidak ingin dipukul, akan tetapi kalau Andika ingin memukulku, silakan." Kata-katanya diucapkan dengan lembut dan bukan merupakan tantangan, lebih seperti orang menyerah.

Mendengar jawaban ini, Kaia Muka menjadi marah. Tadi dia tidak segera menampar atau menendang karena dia melihat orang itu tampak ringkih dan pakaiannya bukan seperti orang dusun, lebih mirip pakaian seorang pertapa atau pendeta. Kini, mendengar ucapan itu, dia melompat ke depan dan melayangkan tangan kanannya untuk menampar dada orang itu sambil membentak marah.

"Pergilah kamu!!"

Semua orang memandang dengan hati tegang dan ngeri. Kakek itu tentu akan terpental dan terbanting keras seperti mereka yang tadi terkena tendangan atau tamparan tiga orang itu. Akan tetapi, semua orang terbelalak ketika melihat bahwa yang terjengkang bukan kakek yang dipukul, melainkan Kala Muka sendiri! Padahal, semua orang melihat bahwa tamparan itu belum sampai menyentuh dada kakek itu. Kakek itu tersenyum dan wajahnya yang bersih, tanpa jenggot tanpa kumis itu, tampak sabar.

"Shanti-shanti-shanti..., Andika memetik buah perbuatan Andika sendiri, Ki Sanak."

Ucapan yang maksudnya menasihati itu diterima oleh Kala Muka sebagai ejekan. Dia melompat berdiri dan kini dia menyerang lagi, menggunakan kedua tangannya, memukul dengan dorongan penuh tenaga sakti ke arah dada kakek itu. Akibatnya lebih parah lagi. Tubuh Kala Muka terpental sampai tiga tombak dan terbanting keras. Padahal serangannya tadi belum menyentuh dada lawannya!

Kini tiga orang Kala itu maklum bahwa kakek itu bukan orang biasa, melainkan seorang yang memiliki kesaktian. Maka, dengan marah mereka bertiga mengeluarkan senjata masing-masing. Kala Muka mencabut kerisnya, Kala Manik mengeluarkan klewangnya dan Kala Teja mengeluarkan ruyungnya. Kakek ini harus dibunuh dulu agar jangan menjadi penghalang.

Seperti dikomando, ketiganya menerjang ke depan. Kala Muka menusukkan kerisnya ke arah perut, Kala Manik membacokkan klewangnya ke arah leher dan Kala Teja menghantamkan ruyungnya ke arah kepala. Kakek itu masih diam saja, berdiri santai dengan mulut tersenyum. Semua orang merasa ngeri bahkan banyak yang memejamkan mata, tidak tega melihat tubuh kakek itu menjadi bulan-bulanan tiga macam senjata itu. Akan tetapi kembali mereka terbelalak heran ketika melihat betapa sebelum senjata itu menyentuh tubuh kakek itu, Tri Kala terpental ke belakang dan terbanting jatuh sampai terguling-guling.

Melihat ini, lima orang itu terkejut bukan main. Kini mereka menyadari sepenuhnya bahwa kakek itu bukan hanya sakti biasa saja, melainkan sakti mandraguna.

"Orang tua, kalau Andika masih menentang kami, terpaksa kubunuh wanita ini!" kata Gandarwo. Dia menekan pedangnya lebih kuat ke leher Nyi Lasmi. Akan tetapi kakek itu menuding ke arahnya dan tiba-tiba Ki Gandarwo terjengkang sehingga Nyi Lasmi terlepas dari pegangannya. Nyi Lasmi berlari menghampiri Tuspa Dewi, akan tetapi Cekel Aksomolo menghadangnya dan hendak menangkapnya. Kembali kakek itu menudingkan telunjuknya ke arah Cekel Aksomolo dan laki-laki yang seperti Pendeta Durna ini terpelanting! Melihat semua ini, Kala Muka yang sudah mendapat pesan Adipati Bhismaprabhawa bahwa kalau tidak dapat menangkap Puspa Dewi lebih baik gadis itu dibunuh saja, lalu menggunakan kesempatan itu untuk membawa kerisnya dan lari menghampiri Puspa Dewi, langsung menusukkan kerisnya ke arah lambung gadis itu!

Biarpun kedua lengannya diikat ke belakang tubuhnya, namun Puspa Dewi masih dapat bergerak dengan lincah. Ia mengelak dari tusukan keris itu dengan loncatan ke samping, kemudian ia memutar tubuhnya dengan cepat dan kakinya mencuat, merupakan tendangan kilat yang menyambar ke arah tubuh Kala,Muka.

"Wuuuttt... desss!" Tubuh Kala Muka terlempar dan jatuh berdebuk di atas tanah. Melihat keadaan mereka kini terancam bahaya, tanpa dikomando lagi lima orang itu segera melarikan diri meninggalkan pekarangan dan sebentar saja mereka lenyap ditelan kegelapan malam.

Nyi Lasmi berusaha untuk melepaskan ikatan pada kedua pergelangan tangan puterinya, akan tetapi, tidak berhasil. Ikatan itu kuat bukan main.

"Mari kubantu melepaskan ikatan itu," terdengar suara lembut. Nyi Lasmi menengok dan ia melihat kakek tadi sudah berdiri di dekatnya.

"Ah, terima kasih, Paman. Tolonglah, ikatan itu kuat bukan main dan saya tidak dapat membukanya."

Kakek itu tersenyum dan tangannya menyentuh ikatan sabuk lawe itu. Tiba-tiba saja ikatan itu putus dan kedua tangan Puspa Dewi bebas! Puspa Dewi tadi melihat kesaktian kakek iru, dan kini kembali memperlihatkan kesaktiannya. Ikatan yang demikian kuat sekali sentuh saja sudah putus! Maka tanpa ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki orang tua itu dan menyembah.

"Kanjeng Eyang, banyak terima kasih atas pertolongan Eyang. Saya berhutang budi dan nyawa kepada Eyang. Saya mohon, sudilah kiranya Eyang menerima saya menjadi murid Eyang agar saya mendapat kesempatan untuk melayani Eyang."

"Sadhu-sadhu-sadhu...! Hanya Sang Hyang Widhi Maha Penolong dan hanya kepada Dia-lah kita mengucapkan syukur dan terima kasih. Shanti-shanti-shanti....'" Kakek itu lalu memutar tubuhnya dan melangkah pergi dari situ.

"Kanjeng Eyang....!" Puspa Dewi bangkit dan hendak mengejar.

"Dewi...!" Nyi Lasmi mengejar dan merangkul puterinya.

"Engkau hendak ke mana, Nak?"

"Ibu, Ibu melihat tadi betapa saktinya Kakek itu. Aku harus berguru kepadanya, Ibu, agar kelak dapat melawan orang-orang jahat itu. Sebaiknya Ibu tinggal di rumah Paman Lurah sini dulu dan menunggu sampai saya pulang. Saya harus berguru kepada Kakek itu lalu saya akan pergi mengunjungi Ayah Prasetyo!" Setelah berkata demikian, sekali melompat Puspa Dewi sudah lenyap ditelan kegelapan malam.

"Dewi....!"

Akan tetapi teriakan dan panggilan Nyi Lasmi itu tidak mendapatkan jawaban. Ki Lurah Pujosaputro dan keluarganya yang sejak tadi mengintai dan tidak berani keluar, kini berlari menghampiri Nyi Lasmi yang menangis. Mereka menghibur Nyi Lasmi dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Para penduduk juga bubaran dan kembali ke rumah masing-masing, tiada hentinya membicarakan peristiwa yang mereka tonton tadi.

00000oooo00000
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment