Ads

Saturday, October 6, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 008

◄◄◄◄ Kembali

Hati Puspa Dewi merasa girang karena akhirnya ia dapat melihat bayangan kakek itu. Untung bulan tidak terhalang mendung sehingga ia dapat melihat bayangan itu. la segera mengerahkan tenaganya untuk mengejar, tidak berani memanggil-manggil karena khawatir akan mendatangkan kesan lancang atau kurang ajar. Akan tetapi, Puspa Dewi tertegun dan membelalak-belalakkan kedua matanya untuk memandang lebih jelas menembus cuaca yang remang-remang itu. Ia mengerahkan tenaga saktinya untuk berlari cepat, diseling loncatan-loncatan jauh, akan tetapi sungguh aneh bukan main, karena jarak antara ia dan kakek itu tetap sama! Ia tidak pernah dapat mendekati, padahal ia mengerahkan ilmu berlari cepat dan kakek itu tampaknya hanya berjalan seenaknya, melangkah satu-satu. Puspa Dewi menjadi penasaran sekali dan terus melakukan pengejaran ke manapun bayangan kakek itu pergi.

Ternyata kakek itu tidak pernah berhenti sejenak pun! Dia terus saja melangkah, tampak santai namun kenyataannya, Puspa Dewi yang mengerahkan tenaga sakti untuk berlari cepat sama sekali tidak pernah dapat menyusulnya. Puspa Dewi sudah merasa lelah sekali karena selama lebih dari setengah malam ia terus berlari cepat yang menggunakan banyak tenaga. Sampai matahari fajar mulai menyingsing, kakek itu tidak pernah berhenti, bahkan kini mendaki bukit-bukit dari Pegunungan Seribu. Makin payahlah Puspa Dewi melakukan pengejaran karena sekarang ia harus berlari mendaki bukit dan menuruni jurang!

Setelah matahari naik agak tinggi, Puspa Dewi tidak kuat lagi dan ia pun roboh terguling. Ia bangkit lagi, akan tetapi terguling lagi karena kedua kakinya sudah tidak kuat lagi menyangga tubuhnya! Ia merasa nelangsa sekali, akan tetapi tidak berani memanggil kakek itu. Selain takut dianggap kurang ajar, ia pun mempunyai harga diri, bahkan ketinggian hati. Ia memang mohon dijadikan murid, akan tetapi untuk minta-minta, nanti dulu! Maka, ia kini merebahkan tubuhnya dan membiarkan tubuh yang berdenyut-denyut karena penat itu mengaso.

Alangkah nikmtnya rebahan beglnil Bau tanah terasa sedap harum, bahkan bau daun-daun yang membusuk terasa sedap. Dan sinar matahari yang terpecah-pecah oleh celah-celah daun pohon itu tampak amat indah.

"Sadhu-sadhu-sadhu....!"

Bagaikan mendapat semangat dan tenaga baru, Puspa Dewi bangkit duduk dan ternyata kakek tadi kini sudah berdiri di depannya sambil tersenyum lebar. Betapa ramah senyum itu, dan betapa sabar penuh pengertian sinar mata yang lembut itu!

Puspa Dewi lalu menyembah. "Eyang, sekiranya Eyang berkenan, sudilah kiranya Eyang menerima saya sebagai murid."

"Bocah manis, sungguh besar sekali tekad dan semangatmu. Jarang ada seorang bocah, apalagi seorang wanita, memiliki tekad dan semangat seperti yang telah engkau perlihatkan. Aku akan menjadi seorang berhati keras dan kejam kalau tidak menuruti keinginanmu yang amat besar itu."

"Aduh Eyang, terima kasih.... terima kasih....!" Puspa Dewi menyembah-nyembah dan.... ia menangis saking girang hatinya.

Kakek itu lalu duduk di atas batu di bawah pohon, berhadapan dengan Puspa Dewi yang duduk bersimpuh di depannya. Semua rasa lelah tadi kini lenyap, tak terasa lagi oleh Puspa Dewi.

"Anak baik, siapakah namamu?"

"Nama saya Puspa Dewi, Eyang."

"Siapa orang tuamu dan di mana mereka? Apakah di dusun tadi?"

"Ibu saya bernama Nyi Lasmi dan tinggal di dusun Karang Tirta tadi, Eyang. Akan tetapi Ayah saya bernama Prasetyo dan tinggal di kota raja Kahuripan."

Puspa Dewi sudah merasa bimbang apa yang harus ia ceritakan kalau kakek itu bertanya mengapa ayah dan ibunya berpisah. Akan tetapi agaknya kakek itu tidak hendak bertanya tentang hal itu.

"Puspa Dewi, aku melihat bahwa engkau telah memiliki aji kanuragan yang cukup tangguh walaupun agak liar. Akan tetapi sukurlah, sifat aji-ajimu itu tidak nempengaruhi jiwamu. Dari siapakah engkau mempelajari semua ilmu itu?"

"Guru saya adalah Nyi Dewi Durgakumala yang sekarang menjadi permaisuri di Kerajaan Wura-wuri, Eyang."

"Nyi Dewi Durgakumala? Shanti-shanti-shanti....! Pantas ilmumu seperti itu sifatnya. Akan tetapi sungguh engkau patut bersukur kepada Hyang Widhi bahwa watak Nyi Durgakumala tidak menurun kepadamu. Sekarang jawablah, mengapa engkau ingin sekali menjadi muridku7"

"Saya melihat Eyang seorang yang sakti mandraguna dan saya ingin mempelajari ilmu yang lebih tinggi agar kuat untuk menghadapi semua tantangan orang-orang yang jahat seperti yang tadi menyerang saya. Saya pun ingin menggunakan tenaga saya untuk berbakti kepada Kahuripan. Sesungguhnya, guru saya, Nyi Durgakumala telah mengakui saya sebagai puteri angkatnya dan saya bahkan diangkat menjadi Sekar Kedaton di Wura-wuri. Akan tetapi karena saya melihat watak orang-orang Wura-wuri yang sesat dan saya .melihat kebijaksanaan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, maka saya mengambil keputusan untuk membela Kahuripan karena sebagai penduduk dusun Karang Tirta saya adalah kawula Kahuripan Eyang,"

“Memang engkau berjodoh dengan aku, puspa Dewi. Akan tetapi, melihat tingkat kepandaianmu, aku hanya ingin memoles saja dan mencoba untuk melenyapkan sisa-sisa sifat liar dari ilmumu. Dan untuk itu, aku hanya dapat membimbingmu selama tiga bulan dan selanjutnya, Sang Hyang Widhi sendiri yang dengan kemahakuasaan-Nya akan menjadi guru dan pembimbingmu"

''Terima kasih, Eyang. Saya akan menaati semua bimbingan dan petunjuk Eyang"

''Sekarang karena aku sedang melakukan perjalanan dan tidak mempunyai tempat tinggal, carikan sebuah tempat tinggal yang baik untuk kita berdua tinggal selama tiga bulan, yang terpencil dan tidak berdekatan dengan orang lain."

“Baik, Eyang. Silakan Eyang menunggu di sini, saya akan mencarikan tempat tinggal yang Eyang kehendaki itu."

Setelah berkata demikian, biarpun tadi kedua kakinya demikian lelahnya sampai berdiri pun ia tidak mampu, kini timbul semangat yang demikian besarnya sehingga semua kelelahan itu tidak terasa lagi dan Puspa Dewi lalu mencari-cari sebuah tempat yang baik seperti yang dikehendaki kakek itu. Sambil mencari-cari di sekitar bukit-bukit Pegunungan Kidul, Puspa Dewi masih merasa kagum dan heran akan kesaktian kakek itu. Baru teringat olehnya bahwa ia belum mengetahui siapa nama kakek yang kini menjadi gurunya itu. Nanti saja, pikirnya, sekarang yang terpenting mencari tempat tinggal yang dibutuhkan gurunya itu.

Akhirnya setelah matahari mulai condong ke barat, ia menemukan sebuah guha yang cukup luas dan bersih, lantainya juga merupakan batu datar sehingga cukup enak untuk dijadikan tempat tinggal. Juga guha itu terletak di sebuah bukit yang jauh dari dusun karena dari atas ia hanya melihat sebuah dusun kecil di kaki bukit. Guha itu terletak sejauh bukit dari tempat di mana ia meninggalkan kakek itu. Dengan girang Puspa Dewi siap untuk kembali ke tempat tadi dan memberitahukan gurunya bahwa ia sudah menemukan tempat tinggal yang baik. Akan tetapi baru saja ia keluar dari dalam guha yang diselidikinya tadi, kakek itu telah duduk bersila di atas sebuah batu besar yang berada tepat di depan guha!

"Eyang Guru....!" Puspa Dewi berseru dengan girang, heran dan kagum sambil bersimpuh dan menyembah di depan batu yang diduduki kakek itu.

Kakek itu tersenyum dan wajahnya berseri, "Bagus, Puspa Dewi, tempat yang kautemukan ini cukup indah, bersih dan hawanya sejuk sekali. Aku suka tempat ini, Puspa Dewi."

"Saya bersyukur sekali, Eyang. Perkenankan saya mencari kayu-kayu, untuk membuat api unggun di waktu malam pengusir nyamuk dan mimik (kutu terbang kecil yang suka menggigit), dan rumput kering untuk tilam Eyang mengaso."

Gurunya mengangguk dan dari wajah yang lembut itu dapat dilihat bahwa dia suka sekali kepada murid baru ini. Puspa Dewi lalu pergi lagi. Tanpa mengenal lelah ia mengumpulkan kayu dan rumput kering, lalu menggotongnya ke dalam guha. Kayu-kayu kering itu ia tumpuk di ujung guha dan rumput kering yang sudah ia pilih, yang benar-benar kering dan bersih dari tanah, ia tumpuk dan rapikan di atas bagian yang paling tinggi dari lantai guha itu. Tempat itu memang yang paling enak untuk berbaring atau duduk. Ia sendiri menaburkan rumput kering di sudut yang lain untuk tempat ia mengaso. Setelah selesai, ia mempersilakan gurunya memasuki guha. Kakek itu masuk ke dalam guha dan tersenyum-senyum melihat tumpukan kayu dan rumput kering itu.

"Ini saya persiapkan untuk tempat Eyang mengaso." katanya menunjuk ke arah tumpukan rumput di lantai yang paling tinggi itu. Gurunya mengangguk-angguk, lalu naik dan duduk bersila di atas tumpukan rumput kering.

"Nyaman di sini." katanya memuji.

"Eyang, sekarang perkenankan saya mencari semua kebutuhan untuk makan dan minum Eyang. Saya akan turun bukit pergi ke dusun di bawah sana. Saudara-saudara di dusun itu pasti dapat menyediakan semua kebutuhan kita."

"Hemm, bagaimana caranya engkau akan mendapatkan dari mereka? Orang-orang dusun itu hidupnya sudah serba sederhana bahkan kekurangan. Bagaimana mungkin mereka memberikan sebagian dari milik mereka yang sedikit itu kepadamu?"

"Eyang, tentu saja saya tidak tega minta kepada mereka. Akan tetapi saya mempunyai perhiasan-perhiasan dari emas ini untuk ditukar dengan kebutuhan kita. Mereka dapat menjual emas ini di kota dan dapat membeli keperluan mereka yang lebih banyak." Puspa Dewi memperlihatkan perhiasannya berupa gelang kalung, cincin dan lain-lain yang amat mahal harganya kepada gurunya. Ia mendapatkan semua perhiasan yang amat indah dan mahal Itu dari Adipati Wura-wuri ketika ia berada di istana Wura-wuri sebagai Sekar Kedaton.

Kakek itu mengangguk-angguk. "Bagus, memang sepatutnya begitu. Para Saudara di dusun itu perlu diberi bantuan, bukan dimintai bantuan. Akan tetapi jangan pergi sekarang, Puspa Dewi. Sebentar lagi malam tiba. Besok saja pagi-pagi engkau cari semua kebutuhan itu. Yang penting sekarang cobalah cari dimana adanya air jernih untuk membersihkan badan dari debu. Pergilah ke sana." Kakek itu menunjuk dengan tangan kirinya ke arah selatan.

Puspa Dewi lalu keluar dari guha dan menuju ke arah yang ditunjuk gurunya. Dan... belum jauh ia pergi, ia melihat sumber air mancur dari sebuah batu besar. Sejenak ia berdiri tertegun memandang air mancur itu, seolah terpesona dan tidak percaya. Dewakah kakek guru-nya itu? Banyak keajaiban dilakukan kakek itu. Cara kakek itu membuat lima orang penyerangnya melarikan diri ketakutan karena semua serangan membalik dan memukul penyerangnya sendiri sebelum senjata penyerang itu menyentuh tubuhnya.

Kemudian ketika ia melakukan pengejaran, kakek yang jalan santai itu tidak dapat ia susul padahal ia lari dengan pengerahan tenaga saktinya. Setelah itu, ketika ia mencari guha dan menemukannya, tahu-tahu gurunya telah berada di depan guha! Dan sekarang, gurunya itu seolah sudah tahu bahwa di sebelah selatan guha, tidak jauh dari situ, terdapat air yang dibutuhkan. Segera ia berlari memasuki guha dan menghadap gurunya,

"Eyang, betul terdapat sebuah pancuran air jernih di sana!"

"Bagus, biar aku membersihkan badan lebih dulu," kata kakek itu dan dia lalu bangkit berdiri dan melangkah perlahan keluar dari guha menuju pancuran itu. Puspa Dewi duduk termenung, masih terpesona oleh rasa kagum dan heran terhadap gurunya. Tampaknya demikian ringkih, namun tubuh yang tampak ringkih itu ternyata mengandung kekuatan yang amat hebat!

Tak lama kemudian kakek itu memasuki guha kembali. Wajahnya segar dan basah, demikian pula tangan dan kakinya Dia tertawa lembut kepada Puspa Dewi

"Sekarang giliranmu membersihkan badanmu, Puspa Dewi. Cepatlah sebelum keburu gelap."

Dengan hati gembira Puspa Dewi mandi di pancuran. Biarpun ia tidak dapat berganti pakaian karena kepergian-nya secara mendadak sehingga tidak sempat membawa pakaian pengganti, namun tubuhnya terasa segar bukan main. Juga rasa lelahnya lenyap ketika ia minum air pancuran yang amat jernih itu.

Ketika ia kembali ke dalam guha, dalam keremangan cuaca senja ia melihat gurunya duduk bersila di atas tumpukan rumput dengan kedua mata terpejam. Puspa Dewi tahu bahwa kakek itu sedang tenggelam dalam samadhi, maka ia tidak mau mengganggunya. Malam mulai gelap, bulan belum muncul. Ia membuat api unggun di mulut guha, lalu duduk dekat api unggun yang menghangatkan badan dan mengusir nyamuk.

Puspa Dewi duduk melamun dekat api unggun. Karena melamun, Puspa Dewi lupa akan waktu. Seperti biasa, kalau dilupakan, waktu melesat cepat sekali tanpa terasa. Sesekali gadis itu menambah kayu kering agar api unggun itu tidak padam, la merasa perutnya menagih nasi, berkeruyuk seperti ayam hutan bersahut-sahutan.

"Puspa Dewi, engkau lapar?"

Puspa Dewi tersentak dan sadar dari lamunannya. Cepat ia menengok dan gurunya sudah berdiri di situ. Ia cepat bangkit berdiri dan mukanya terasa panas. Tentu mukanya berubah merah karena malu mendengar pertanyaan gurunya. Apakah gurunya itu mendengar bunyi dari dalam perutnya yang berkeruyuk tadi? Ia memandang wajah gurunya dan ikut tersenyum lalu mengangguk.

"Benar, Eyang."

"Ha-ha-ha." kakek itu tertawa lembut, "Bagus sekali, Puspa Dewi. Memang orang tidak perlu munafik menyembunyikan kelemahannya. Bukan engkau saja, perutku ini pun menagih karena sudah tiga hari tiga malam tidak menerima makanan. Akan tetapi, kita tahan malam ini lagi. Besok engkau boleh mencari makanan untuk perut kita. Sekarang, padamkan api unggun itu. Sinarnya mengganggu keindahan sinar bulan yang sudah muncul. Mari kita duduk di atas batu depan guha."

Mereka berdua duduk berhadapan di atas batu depan guha. Sejenak mereka berdiam diri dan sinar bulan membuat suasana seperti dalam dongeng atau seperti dalam dunia lain, penuh keindahan ajaib, mengandung rahasia keagungan yang meresap melalui udara yang sejuk sampai ke tulang sumsum.

"Nah, sekarang kita sempat bercakap-cakap, Puspa Dewi. Engkau belum menceritakan semua pengalamanmu sampai engkau dikeroyok lima orang itu. Akan tetapi sebelum itu, adakah sesuatu yang ingin kau tanyakan kepadaku?"

Kembali Puspa Dewi tertegun. Kakek ini seolah dapat menjenguk isi hatinya. Memang sejak siang tadi ia ingin sekali bertanya siapa adanya kakek yang luar biasa ini. Kini ia diberi kesempatan bertanya, maka ia segera berkata.

"Mohon maaf, Eyang. Kalau saya boleh bertanya, siapakah asma (nama besar) Eyang? Eyang datang dari mana dan hendak ke mana? Maafkan kalau pertanyaan saya ini lancang."

"Ha-ha, sama sekali tidak lancang, Puspa Dewi. Sudah sewajarnya seorang murid mengetahui nama gurunya. Aku adalah Resi Satyadharma, pertapaanku di Gunung Agung, Bali-dwipa. Aku sedang mengadakan perjalanan berkunjung ke Kahuripan dan kebetulan bertemu denganmu,  maka aku menunda kunjunganku selama tiga bulan untuk membimbingmu."

Nama itu tidak berkesan apa-apa dalam hati Puspa Dewi karena ia memang belum pernah mendengarnya. Ia tahu bahwa di Nusa Bali memang terdapat banyak orang-orang sakti.

"Nah, sekarang ceritakanlah tentang pengalamanmu dan mengapa engkau tadi dikeroyok orang-orang itu."

"Mereka berlima itu adalah para senopati Wura-wuri yang hendak memaksa saya kembali ke Wura-wuri, Eyang. Karena saya telah bersalah terhadap Wura-wuri dan saya tahu bahwa Guru saya Nyi Dewi Durgakumala pasti marah dan tidak mau mengampuni saya, maka saya menolak ketika diajak ke Wurawuri. Selain itu, juga saya telah mengambil kepastian untuk memutuskan semua hubungan saya dengan Nyi Dewi Durgakumala dan Kerajaan Wura-wuri."

"Mengapa engkau dimusuhi mereka, Puspa Dewi?"

"Karena saya telah mengkhianati Kerajaan Wura-wuri, Eyang."

Kakek itu tersenyum lebar. Dia senang melihat betapa gadis itu amat jujur. Mudah dan enak saja mengakui bahwa ia telah menjadi pengkhianat!

"Hemm, begitukah? Coba ceritakan."

Puspa Dewi menceritakan betapa sebagai anak angkat Nyi Dewi Durgakumala ia menjadi Sekar Kedaton di Wura-wuri, kemudian ia diberi tugas oleh Sang Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala untuk mewakili Wura-Wuri dalam persekutuan dengan para kadipaten lain, membantu gerakan Pangeran Hendratama yang memberontak kepada Sang Prabu Erlangga. Akan tetapi, setelah berhasil diselundupkan ke dalam istana Kerajaan Kahuripan, Ia membalik, membantu Kahuripan dan menentang persekutuan yang hendak menjatuhkan Sang Prabu Erlangga.

"Demikianlah, Eyang. Karena saya telah mengkhianati Wura-wuri, maka saya tidak mau kembali kesana menerima hukuman."

Kakek itu mengangguk-angguk setelah mendengarkan cerita Puspa Dewi yang panjang lebar itu. "Aku senang melihat kejujuranmu, Puspa Dewi. Akan tetapi katakan, mengapa engkau mengkhianati Wura-wuri di mana engkau telah diangkat menjadi Sekar Kedaton?"

"Arnpun, Eyang. Tadinya memang saya hendak membela Wura-wuri karena saya telah menjadi Sekar Kedaton. Akan tetapi setelah berada di Kahuripan dan bertemu dengan Nurseta, Ki Patih Narotama dan Sang Prabu Erlangga, saya menyadari akan kesalahan saya. Pertama, saya sesungguhnya adalah kawula Kahuripan. Ke dua, saya melihat betapa para pimpinan Kahuripan itu bijaksana sekali, sebaliknya saya melihat betapa persekutuan itu terdiri dari orang-orang jahat. Ketiga, saya memang sejak dulu selalu menentang perbuatan Nyi Dewi Durgakumala yang amat keji, walaupun ia menjadi guru saya. Karena semua itulah saya lalu membalik, membela Kahuripan dan menentang persekutuan jahat itu, Eyang.",

"Sadhu-sadhu-sadhu, bersyukurlah kepada Sang Hyang Widhi yang telah memberimu kesadaran itu, Puspa Dewi sehingga engkau tidak terseret ke dalam kesesatan. Engkau telah berjasa besar untuk Kahuripan, mungkin pertemuanmu dengan aku ini merupakan imbalan jasamu. Ketahuilah, Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang telah kau bantu itu, mereka adalah murid-muridku, Puspa Dewi."

"Ahhh....!" Puspa Dewi menyembah. "Sungguh merupakan anugerah besar sekali Eyang sudi menerimaku sebagai murid." Gadis itu merasa girang sekali. Pantas kakek ini demikian sakti mandraguna! Kiranya guru dari Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang amat sakti itu!

Pada keesokan harinya, Puspa Dewi menuruni bukit dan mendapatkan semua kebutuhannya untuk makanan dan pengganti pakaiannya. Juga ia mendapatkan pakaian untuk pengganti pakaian gurunya. Sejak hari itu, Puspa Dewi mendapat gemblengan dari Sang Resi Satyadharma. Bukan hanya semua aji kesaktiannya yang dipoles oleh Sang Resi itu sehingga hilang sifat liar dan kejamnya, dan ia menerima pula ji pukulan yang dahsyat, latihan menghimpun tenaga sakti. Akan tetapi lebih daripada itu, Puspa Dewi menerima penggemblengan batin sehingga ia mampu menerima sentuhan kekuasaan Sang Hyang Widhi Wasa.

Sang waktu meluncur dengan cepat sekali sehingga tanpa dirasakan dan disadari oleh Puspa Dewi, tahu-tahu tiga bulan telah lewat semenjak ia tinggal di gua bukit Pegunungan Kidul itu bersama Maha Resi Satyadharma. la baru menyadari ketika pada malam bulan purnama yang amat indah itu, Resi Satyadharma mengajaknya duduk di luar guha.

"Nini, rupanya engkau tidak menyadari bahwa sudah tiga bulan kita berada di tempat ini." kata Kakek itu setelah mereka seperti biasa, duduk saling berhadapan di atas batu-batu depan guha.

Hati Puspa Dewi terkejut sekali menyadari bahwa saatnya tiba ia harus berpisah dari gurunya yang selama tiga bulan ini telah memberi banyak sekali kepadanya. Bukan hanya aji-aji kesaktian, akan tetapi terutama sekali kesadaran yang mengubah sama sekali keadaan batinnya sehingga ia menyadari betapa selama ini ia berdekatan dengan segala kesesatan yang dilakukan Nyi Dewi Durgakumala dan para tokoh lain. Akan tetapi, kekejutan itu sama sekali tidak tampak pada wajahnya, juga tidak membuatnya berduka karena ia menyadari sepenuhnya bahwa memang sudah seharusnya demikian. Ketika gurunya menerimanya sebagai murid, gurunya telah mengatakan bahwa dia hanya membimbingnya selama tiga bulan.

"Benar, Eyang. Saya hampir melupakan waktu. Saya hanya mohon doa restu Eyang agar saya akan mampu menerapkan dalam kehidupan saya selanjutnya apa yang telah Eyang ajarkan selama ini."

"Bagus, Puspa Dewi. Sekarang, pada saat terakhir kita berkumpul ini, aku ingin mengajakmu bercakap-cakap tentang kehidupan ini. Kalau ada hal-hal yang merisaukan hati dan membuatmu penasaran, tanyakanlah padaku, Nini. Aku akan mengajakmu bersama-sama meneliti, mempertimbangkan dan menyelidiki sehingga semua hal itu akan dapat kita mengerti dengan jelas."

Puspa Dewi mengingat-ingat. "Memang banyak hal yang membuat saya merasa penasaran karena saya melihat ketidak-adilan terjadi di mana-mana, Eyang. Saya melihat banyak rakyat, terutama di dusun-dusun yang termasuk wilayah Kerajaan Wura-wuri, hidup di bawah garis kemiskinan. Pemerintah Kerajaan Wura-wuri memungut pajak dan pungutan-pungutan iain yang besar kepada rakyat, menganjurkan rakyat Wura-wuri agar hidup seadanya karena Wura-wuri sedang membangun, yang katanya untuk kepentingan rakyat jelata pula. Akan tetapi apa yang saya lihat di istana Sang Adipati Bhismaprabawa dan juga gedung-gedung para pamong praja yang tinggi kedudukannya, kehidupan mereka serba mewah dan kaya raya. Rakyat tidak ada yang berani memprotes, karena perbuatan ini pasti mengakibatkan dia ditangkap, disiksa dan dihukum dituduh sebagai pemberontak. Eyang, bagaimana bisa terjadi seperti itu?"

Sang Maha Resi Satyadharma menghela napas panjang.
"Hal seperti itu selalu terjadi dalam kerajaan yang dipimpin orang-orang yang menjadi budak budak nafsunya sendiri, Nini. Nafsunya sendiri yang memperbudaknya sehingga dia tidak segan untuk menipu rakyat untuk memperkaya diri sendiri, menggunakan kekuasaannya sehingga sewenang-wenang, menerapkan aji mumpung (selagi ada kesempatan), menganggap diri sendiri yang paling berkuasa, lupa bahwa ada Yang Maha Kuasa yang menyaksikan setiap kejahatannya yang terselubung sikap manis membujuk bujuk itu. Lupa hahwa harta dan kekuasaan itu hanya merupakan embel embel sementara saja, sewaktu-waktu harta dan kekuasaan akan meninggalkannya atau dia yang akan meninggalkan harta dan kekuasaan itu dan mempertanggung jawabkan semua perbuatannya di depan Sang Hyang Widhi yang Maha Adil dan Maha Kuasa."

"Akan tetapi, Eyang. Mereka itu, dari yang paling tinggi kedudukannya sampai yang paling rendah, adalah orang-orang pandai! Bahkan saya melihat banyak orang-orang yang mengaku dirinya sebagai pendeta dan pertapa, ahli-ahli pengetahuan, ahli-ahli agama, melakukan banyak perbuatan yang buruk dan jahat. Tidak mungkin kalau mereka itu tidak tahu bahwa perbuatan mereka itu jahat. Bagaimana ini, Eyang?"

"Itulah kuatnya pengaruh nafsu daya rendah, Nini. Nafsu jauh lebih kuat daripada pengetahuan. Hal ini sudah terbukti di mana-mana. Bahkan di jaman dahulu, dalam cerita Ramayana, yang bernama Sang Prabu Rahwana atau Dasamuka itu adalah seorang maharaja yang juga terkenal sebagai ahli weda, pengetahuannya tentang agama sudah lengkap. Akan tetapi dia pun terkenal sebagai seorang yang jahat dan kejam. Apakah dia tidak tahu bahwa segala kekejamannya itu berdosa dan jahat, berlawanan dengan pelajaran dalam kitab-kitab Weda? Tentu saja dia tahu! Juga buktinya di jaman sekarang, apakah para pamong praja yang melakukan pemerasan, kesewenang-wenangan dan pencurian harta itu tidak tahu bahwa perbuatan mereka jahat? Apakah para maling tidak tahu bahwa mendiri itu jahat? mereka semua itu tahu belaka, akan tetapi nafsu daya rendah menguasai hati akal pikiran mereka. Nafsu memberi iming-iming (umpan penarik) berupa kesenangan, yang enak-enak dan kenikmatan sehingga manusia tidak kuasa melawan kuasa daya rendah yang digerakkan iblis itu. Bahkan nafsu daya rendah dengan pandainya menjadi pembela dan membenarkan semua perbuatan jahat itu dengan alasan-alasan yang kedengarannya masuk akal."

"Waduh, kalau begitu bagaimana baiknya bagi manusia untuk dapat menghindarkan diri dan mematikan nafsu daya rendah, Eyang?"

"Ha-ha-ha, menghindarkan diri dan mematikan nafsu daya rendah? Tidak mungkin, Puspa Dewi! Nafsu-nafsu daya rendah itu sudah disertakan kepada kita sejak kita lahir! Nafsu merupakan abdi yang melayani kehidupan kita di dunia ini, yang mendatangkan segala keindahan pada panca indera kita, mendatangkan segala kenikmatan hidup sehingga kita dapat bersyukur dan selalu Ingat akan Kasih-sayang Sang Hyang Widhi kepada kita. Akan tetapi, justeru pelayan kita yang amat berguna bagi hidup kita itu akan menjadi sumber kesesatan yang akan menyeret kita ke dalam dosa kalau Iblis mempergunakannya. Karena ingin mengejar kesenangan yang dijadikan umpan oleh Iblis, kita menjadi lemah dan diperbudak oleh nafsu kita sendiri. Citalah yang menjadi budak dan melakukan apapun juga demi memperoleh kesenangan yang kita kejar-kejar. Nafsu adalah sebagian dari diri kita, tidak mungkin kita hindarkan atau matikan. Nafsu harus tetap menduduki tempatnya yang semula dan wajar- yaitu menjadi pelayan kita, barulah kehidupan kita dapat sesuai dengan kehendak Sang Hyang Widhi, yaitu berusaha untuk menyejahterakan dunia, bukan menyejahterakan diri pribadi, si-aku dan keluargaku, sahabatku, golonganku dan segala yang berbuntut dengan ku lainnya."

"Lalu, apakah dalam kehidupan ini kita tidak boleh merasakan kesenangan. Eyang?"

"Tentu saja boleh! Kesenangan itu merupakan berkat dari Sang Hyang Widhi. Sudah sejak Jahir kesenangan itu dianugerahkan kepada kita, melalui panca indrya kita dan diterima oleh hati sehingga kita merasa senang. Kesenangan yang wajar datangnya kita terima dengan penuh rasa syukur kepada Sang Pemberi rasa kesenangan itu. Akan tetapi kaiau kita sudah mengejar-ngejarnya karena diiming-imingi rasa serba enak dan nikmat, kita terperangkap ke dalam jebakan
ibiis. Untuk mengejar kesenangan kita lalu menggunakan segala macam cara, tidak memakai lagi pertimbangan dan tidak sungkan melakukan kejahatan yang merugikan orang lain."

"Akan tetapi bagaimana caranya untuk dapat menundukkan nafsu daya rendah sehingga tetap menjadi pelayan kita dan tidak menjadi majikan kita, Eyang?"

"Dengan hati akal pikiran, akan teramat sulit untuk dapat menundukkan nafsu. Akan tetapi dengan berserah diri lahir batin sepenuhnya kepada Sang Hyang Widhi, yaitu Sang Maha Pencipta yang juga menciptakan nafsu daya rendah sebagai peserta kita, maka seperti juga Raden Werkudara yang membuka pintu hatinya dan membiarkan Sang Dewaruci (Roh Suci) bertahta dalam dirinya, maka kita akan dibimbingnya dan dengan sendirinya nafsu daya rendah akan tunduk dan menduduki tempatnya yang semula, yaitu menjadi hamba manusia."

"Terima kasih atas semua petunjuk Eyang. Akan tetapi ada satu hai lagi yang ingin saya ketahui, Eyang. Bagaimana caranya agar rakyat jelata hidup makmur?"

"Satu-satunya syarat agar rakyat dapat hidup sejahtera adalah mutu para pemimpinnya. Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama telah menaati semua petunjukku. Mereka adalah pemimpin Kerajaan Kahuripan yang bijaksana. Kalau rajanya bijaksana, pamong-pamongnya tentu juga mengikuti tauladannya. Seorang raja dapat menjadi raja karena dipilih rakyatnya. Tanpa rakyat, apa artinya raja, apa artinya penguasa? Karena itu, seorang pemimpin harus menjadi suri tauladan. Kalau dia bijaksana, bawahannya pasti tidak berani melakukan penyelewengan karena raja tentu akan bertindak menghukumnya. Akan tetapi kalau rajanya sendiri menyeleweng, bagaimana dia dapat menindak bawahannya yang melakukan penyelewengan? Raja yang bijaksana otomatis membuat para pamong menjadi bijaksana pula dan kebijaksanaannya itu juga dapat mengatur sehingga kehidupan rakyat menjadi sejahtera."

"Kalau begitu, tidak ada lagi golongan rakyat yang kaya raya berlebihan dan tidak ada yang melarat dan miskin sekali, Eyang?"

Kakek itu tersenyum. "Tentu saja bukan begitu, Puspa Dewi. Sudah semestinya ada yang tinggi dan ada yang rendah, ada yang berhasil dalam usahanya yang jujur dan wajar sehingga menjadi kaya dan ada pula yang kurang berhasil. Akan tetapi kalau para pemimpin pandai mengatur, tidak akan ada rakyat yang demikian melaratnya sehingga tidak mendapatkan sandang pangan papan yang layak. Yang kaya harus mengangkat keadaan yang miskin dan mempergunakan modalnya untuk membuka lapangan kerja, membagikan sebagian keuntungannya kepada karyawannya sebagai imbalan karena itu merupakan hak mereka, adapun yang tidak kaya dan menjadi karyawan dapat menyumbangkan tenaga dan ketrampilannya untuk bekerja dengan jujur dan setia sehingga apa yang diusahakan dari perpaduan ini akan mengalami kemajuan untuk keuntungan mereka bersama. Kerajaan, seperti yang dilakukan Sang Prabu Erlangga, harus mengerahkan segala kemampuan untuk berbuat atas dasar kebenaran dan keadilan, mengangkat mereka yang lemah, membagi kesejahteraan secara adil sehingga semua orang merasa diperlakukan dengan adil dan akibatnya, seluruh rakyat mendukung pemerintah raja itu. Karena itu, bagi sebuah kerajaan, yang paling penting dan harus diutamakan adalah pembangunan watak dan budi pekertinya, terutama di kalangan para pamong prajanya. Kalau watak dan budi pekerti mereka sudah sehat, pembangunan apapun juga yang dilakukan pemerintah, pasti akan berjalan mulus dan baik tanpa ada gangguan. Mengertikah engkau, Puspa Dewi."

Lanjut ke Jilid 009 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment