Ads

Monday, October 15, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 014

◄◄◄◄ Kembali

Ki Suramenggala yang usianya sekitar lima puluh satu tahun itu tertawa bergelak. Tubuhnya yang tinggi besar terguncang, matanya bersinar-sinar ketika dia tertawa senang.

"Ha-ha-ha! Lasmi, akhirnya engkau datang juga untuk melayani suamimu dengan penuh kesetiaan dan kasih sayang! Lasmi, wong ayu denok, betapa aku rindu kepadamu!"

Nyi Lasmi yang tadi diturunkan ke atas lantai dalam ruangan itu oleh Ki Wirobandrek yang segera keluar dari ruangan itu, duduk bersimpuh dan menggosok-gosok pergelangan tangannya yang terasa nyeri karena terlalu lama diikat dan baru saja dilepaskan setelah ia dibawa ke depan Ki Suramenggala. Diam-diam ia merasa heran sekali. Rumah di mana ia dihadapkan bekas suaminya itu merupakan sebuah gedung mewah sekali, dan Ki Suramenggala mengenakan pakaian seperti seorang bangsawan tinggi! Tidak ada orang lain di ruangan itu karena memang Ki Suramenggala menghendaki demikian.

Biarpun di dalam hatinya Nyi Lasmi merasa penasaran dan bersedih sekali mengingat akan pembantaian yang dilakukan terhadap Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, dan ia maklum pula bahwa dirinya berada dalam cengkeraman laki-laki yang jahat itu, namun ia sama sekali tidak merasa takut. Ia tahu benar bahwa Ki Suramenggala amat menyayangnya dan pasti tidak akan menyakitinya. Cinta laki-laki itu kepadanya hanyalah cinta berahi yang didorong nafsu semata.

"Mari, Lasmi, ke sinilah kupeluk kupondong untuk melepaskan rinduku yang sudah menulang-sumsum!" Ki Suramenggala melangkah maju dan membungkuk hendak meraih tubuh Nyi Lasmi. Akan tetapi Nyi Lasmi menepiskan tangannya dan bangkit berdiri, agak terhuyung karena kedua kakinya juga terasa kaku kejang karena terlalu lama diikat.

"Jangan sentuh aku!" bentaknya ketus. "Aku bukan isterimu lagi!"

"Ah, jangan begitu, manisku. Jangan bersikap jual mahal...!" laki-laki itu menggoda sambil menyeringai dan matanya bersinar-sinar penuh gairah nafsu memandang tubuh Nyi Lasmi yang masih tampak padat dan denok itu.

"Ki Suramenggala, aku bukan isterimu lagi dan tidak sudi melayanimu. Andika seorang yang berhati kejam dan jahat! Andika menyuruh anak buah Andika membunuhi Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, padahal mereka tidak bersalah. Mereka adalah orang-orang yang baik budi dan Andika membantai mereka. Alangkah kejamnya!"

"Wah, Lasmi, sayangku. Jangan berpendapat seperti itu. Siapa bilang dia tidak bersalah? Dia merampas kedudukanku sebagai Lurah Karang Tirta."

"Dia menjadi lurah karena pilihan penduduk Karang Tirta, dan Andika dipecat bukan olehnya, melainkan oleh Gusti Patih Narotama! Seharusnya kepada Gusti Patih itu Andika membalas dendam, bukan kepada Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga!"

"Ha-ha-ha, akan tiba saatnya aku membunuh Narotama dengan kerisku! Sudahlah mari kita bersenang-senang, yayi (Adinda) Lasmi! Sekarang derajatmu akan meningkat tinggi sekali. Kalau dulu engkau hanya selir lurah, sekarang menjadi selir tercinta seorang tumenggung! Ketahuilah, manis, aku sekarang adalah Tumenggung Suramenggala dan anakku Linggajaya itu sekarang menjadi raja, menjadi Adipati Linggawijaya dari Kerajaan Wengker ini, ha-ha-ha!"

Diam-diam Nyi Lasml menjadi terkejut dan heran. Sukar membayangkan Linggajaya kini menjadi raja! Akan tetapi, mendengar bahwa Ki Suramenggala kini menjadi tumenggung, tidak membuat ia senang menjadi selirnya. Sebetulnya, beberapa bulan saja setelah diambil sebagal selir oleh Ki Suramenggala, ia sudah merasa tidak suka kepada orang yang berwatak kejam dan congkak ini. Kalau dulu ia bertahan, hal itu karena terpaksa, ia kehilangan puterinya dan Ki Suramenggala amat menyayangnya dan laki-laki itu menjadi satu-satunya orang yang dapat dijadikan tempat ia berlindung dan bersandar. Akan tetapi, setelah ia terbebas dari cengkeraman orang itu, apalagi setelah melihat betapa kejamnya Ki Suramenggala mengirim anak buahnya membantai Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, kini ia merasa muak dan benci kepadanya.

"Ki Suramenggala, tidak ada gunanya Andika membujuk rayu padaku. Aku tidak sudi menjadi selirmu, tidak sudi melayanimu. Andaikata Andika menjadi raja besar sekalipun aku tidak ingin nunut mukti (ikut menikmati kemuliaan) denganmu. Andika jahat dan kejam sekali, dan aku benci padamu!"

"Hemm, apa yang kau andalkan maka engkau berani bersikap seperti ini kepadaku, Lasmi? Puterimu Puspa Dewi pun tidak akan mampu berbuat sesuatu dan kalau ia berani muncul, ia pasti akan menjadi tawanan kami pula! Apa kaukira engkau akan dapat melepaskan diri dariku? Dapat melawan kehendakku?"

"Aku seorang yang lemah dan tidak akan mampu melawan manusia berwatak iblis seperti engkau, Ki Suramenggala. Akan tetapi aku tidak sudi menyerah dan kalau engkau memaksaku, aku akan bunuh diri!"

Ki Suramenggala menjadi marah sekali. Kalau saja wanita lain yang berani menolak keinginannya dan merendahkannya seperti itu, tentu sudah dihantamnya seketika dan membunuh
atau menyiksanya. Akan tetapi, dia memang amat mencinta Nyi Lasmi, sungguhpun cintanya itu terdorong oleh gairah nafsunya. Dia tidak jadi menyentuh Nyi Lasmi, lalu duduk di atas kursi dan menggebrak meja di depannya.

"Brakkk...!"

Wajah Ki Suramenggala berubah merah seperti udang direbus. Dia menahan kekecewaan dan kemarahannya. Tadinya ia membayangkan bahwa melihat dia kini menjadi tumenggung, ayah dari Raja Wengker, Nyi Lasmi pasti akan senang dan bangga hatinya dan akan melayaninya dengan manis, menyerahkan diri sebulatnya kepadanya. Akan tetapi ternyata kenyataannya sungguh amat berlawanan. Wanita itu bukan hanya menolak dan tidak sudi melayaninya, bahkan
membencinya dan merendahkannya.

"Keparat engkau, Lasmi! Tidak tahu disayang orang, manusia tak mengenal budi! Keras kepala kau! Baik, aku akan melunakkan kekerasan hatimu itu!" Ki Suramenggala lalu bertepuk tangan dan dua orang perajurit pengawal memasuki ruangan itu dan berdiri dengan sikap hormat.

"Bawa wanita ini dan masukkan dalam kamar tahanan di belakang! Awas, perlakukan ia baik-baik dan jangan ada yang mengganggunya! Cukupi semua kebutuhannya akan tetapi jangan sekali-kali memberi makan padanya. Aku sendiri yang akan memberi makan. Kerjakan!"

"Sendika (siap melaksanakan perintah), Gusti Tumenggung!" jawab pengawal dan mereka segera
memegang lengan Nyi Lasmi dari kanan kiri dengan halus.

Akan tetapi Nyi Lasmi menepiskan kedua tangan yang memegang lengannya itu dan dengan sikap tegak ia berjalan keluar dari ruangan dikawal dua orang perajurit yang membawanya ke dalam sebuah kamar tahanan di bagian belakang gedung katumenggungan itu.

Nyi Lasmi dikeram dalam kamar sebagai tahanan. Ia memang diperlakukan dengan hormat dan baik oleh para pengawal dan pelayan, akan tetapi sama sekali tidak diberi makan. Setelah sehari semalam ia tidak makan, pada keesokan harinya Ki Suramenggala sendiri memasuki kamar dan menyerahkan sepiring nasi bersama lauk-pauknya kepada Nyi Lasmi Tentu saja di dalam makanan ini telah diisi kekuatan sihir untuk melunakkan dan menundukkan hati wanita yang masih amat dicinta oleh Ki Suramenggala itu. Akan tetapi dengan penuh kebencian dalam sinar matanya. Nyi Lasmi memandang piring yang disodorkan oleh Ki Suramenggala itu dengan alis berkerut.

"Aku tidak sudi makan suguhanmu! Lebih baik mati kelaparan!" wanita itu membentak ketus dan tangannya menampar piring sehingga terlepas dari tangan Ki Suramenggala dan isinya berserakan di atas lantai.

Ki Suramenggala terkejut sekali, tidak menyangka Nyi Lasmi akan berbuat demikian. Dia sudah mengepal tinju, siap memukul saking marahnya. Nyi Lasmi berdiri tegak dan menanti pukulan dengan mata terbuka, penuh tantangan. Melihat wajah itu, Ki Suramenggala tidak tega memukul dan dia hanya menghela napas panjang lalu keluar dari kamar itu.

Pelayan segera datang membersihkan lantai. Ki Suramenggala menemui puteranya di istana Kerajaan Wengker. Kebetulan sekali pada waktu itu, Linggajaya yang kini menjadi Adipati Linggawijaya, raja Kerajaan Wengker, sedang bercakap-cakap dalam ruangan pribadinya dengan
isterinya, Permaisuri Dewi Mayangsari, dan Sang Resi Bajrasakti.

Mereka sedang membicarakan tentang permusuhan mereka dengan Kahuripan, atau lebih tepat kebencian mereka yang membuat mereka selalu memusuhi Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Sejak menjadi raja di Wengker, Adipati Linggawijaya tidak pernah melupakan kebenciannya terhadap raja dan patih Kahuripan itu, bersama semua satria yang membela Kahuripan. Dia ingin sekali menundukkan Kahuripan, karena kalau dia dapat menguasai Kahuripan, dia akan menjadi raja besar yang akhirnya dapat menguasai seluruh Nusantara!

Sang Adipati Linggawijaya tampak berbeda dengan ketika dia masih menjadi Linggajaya pemuda Karang Tirta putera KiLurah Suramenggala. Memang, sejak dahulu dia merupakan seorang pemuda pesolek dan tampan. Akan tetapi sekarang dia mengenakan pakaian kebesaran yang serba gemerlapan dan tampak anggun berwibawa sekali, sungguhpun usianya masih amat muda, baru sekitar dua puluh satu tahun!

Di sampingnya duduk Dewi Mayangsari yang kini menjadi permaisurinya. Wanita ini pun berpakaian serba indah dan harus diakui bahwa ia cantik sekali dan sungguhpun usianya sudah sekitar dua puluh sembilan tahun, namun ia tidak tampak lebih tua daripada Adipati Linggawijaya! Kulitnya yang agak hitam namun halus bersih itu membuat ia tampak semakin manis. Tidak akan ada yang menyangka bahwa dalam tubuh yang ramping padat, wajah cantik manis dengan sinar mata dan senyum genit ini, terdapat kekuatan yang amat dahsyat karena ia yang tadinya memang sudah digdaya ini mendapat tambahan banyak ajian yang serba hebat dari gurunya yang baru, yaitu Nini Bumigarbo.

Seperti kita ketahui, Nini Bumigarbo yang sakti mandraguna itu amat membenci Sang Maha Resi Satyadarma karena Sang Resi ini telah memberi wejangan kepada Ekadenta sehingga Ekadenta mengambil keputusan untuk menjadi Brahmacari (pantang menikah). Padahal Ekadenta, kakak seperguruannya Itu adalah juga kekasihnya dan sebelumnya mereka berdua yang saling mencinta telah bersepakat untuk menjadi suami isteri.

Keputusan Ekadenta untuk tidak menikah selama hidupnya tentu saja membuat Gayatri, yaitu nama Nini Bumigarbo ketika masih gadis muda, berduka sekali dan ia membenci Sang Maha Resi Satyadharma. Akan tetapi ia tidak berani melampiaskan kebenciannya kepada pendeta yang sakti mandraguna itu. Ia tahu bahwa ia tidak akan pernah menang melawan Sang Maha Resi. Maka, ia lalu berusaha untuk membunuh dua orang murid terkasih dari Maha Resi Satyadharma, yaitu Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Akan tetapi, sungguh menjengkelkan hatinya,
Ekadenta selalu menentangnya dan bekas kakak seperguruan dan juga kekasihnya itu membela raja dan patih itu. Beberapa kali ia bertanding, namun selalu kalah oleh Bhagawan Ekadenta yang juga bernama Bhagawan Oitendrya. Akhirnya Nini Bumigarbo mengambil Dewi Mayangsari, permaisuri Kerajaan Wengker sebagai murid. Ia menurunkan kepandaiannya kepada permaisuri itu dengan maksud agar melalui muridnya ini, ia akan dapat melampiaskan sakit hatinya dengan menyerang dan kalau mungkin membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama.

Berhadapan dengan suami Isteri pimpinan Kerajaan Wengker itu, duduk Sang Resi Bajrasakti, kakek yang berusia sekitar lima puluh enam tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka penuh brewok dan berkulit hitam arang.

Seperti kita ketahui, Resi Bajrasakti ini sejak dulu menjadi tokoh Wengker dan dia adalah guru Adipati Linggawijaya. Setelah muridnya itu menjadi Adipati Wengker, Resi Bajrasakti diangkat menjadi Guru Kerajaan atau penasihat pribadi Sang Adipati. Kedudukan ini amat tinggi dan dia memiliki kekuasaan besar, hanya di bawah kekuasaan Sang Adipati dan Sang Permaisuri.

Mereka bertiga sedang berbincang-bincang membicarakan keinginan mereka untuk menggempur Kahuripan. Mereka bertiga memang sama-sama membenci Kahuripan. Resi Bajrasakti membenci Kahuripan karena sejak dulu ia memang menjadi tokoh Wengker yang selalu memusuhi Kahuripan, akan tetapi dia sering kali kalah bertanding melawan para tokoh Kahuripan. Permaisuri Dewi Mayangsari membenci Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama karena selain sejak dulu menjadi musuh bebuyutan, ditambah lagi desakan Nini Bumigarbo agar ia menyerang dan membunuh raja dan patih Kahuripan itu. Adapun Adipati Linggawijaya sendiri, dia ingin merampas kedudukan sebagai maharaja di Kahuripan yang memiliki wilayah luas sekali.

Selagi mereka bercakap-cakap, datanglah Tumenggung Suramenggala. Sebagai ayah Sang Adipati, tentu saja para pengawal tidak berani melarangnya untuk kapan saja memasuki Istana. Melihat kedatangan ayahnya, Adipati Linggawijaya mempersilakan Tumenggung Suramenggala duduk di sebelah Resi Bajrasakti. Dia memandang wajah ayahnya yang tampak keruh.

"Kanjeng Rama, apakah yang menyusahkan hati Rama?" Adipati Linggawijaya bertanya.

Semenjak dia menjadi adipati dan ayahnya menjadi tumenggung, dia mengubah panggilannya. Kalau dulu memanggil ayahnya cukup bapak saja, sekarang menjadi kanjeng rama, tentu saja untuk disesuaikan dengan kedudukannya!

Tumenggung Suramenggala menghela napas. "Siapa lagi yang dapat menyusahkan hatiku kalau bukan Ibunda Nyi Lasmi itu? Ia berkeras tidak mau kembali sebagai keluarga kita."

Wajah bekas lurah itu menjadi merah dan alisnya berkerut. "Bukan saja ia menolak, bahkan menghina dan setelah sehari semalam tidak diberi makan, tadi ia menolak dan menampar tumpah nasi yang kubawakan untuknya. Ah, perempuan itu sungguh keras kepala!"

"Kanjeng Rama, mengapa Andika bersedih hanya karena penolakan seorang perempuan dusun seperti itu?" kata Dewi Mayangsari. "Kalau Andika menghendaki selir baru, saya dapat mencarikan seorang perawan cantik untuk Andika!"

"Benar sekali apa yang dikatakan Yayi Ratu Dewi Mayangsari, Kanjeng Rama. Untuk apa memusingkan penolakan perempuan itu? Ia bukan apa-apa bagi keluarga kita, bahkan selama menjadi selir Kanjeng Rama, ia tidak menurunkan anak. Sebaiknya dibunuh saja perempuan itu!" kata Adipati Linggawijaya.

"Baik sekali usul itu, Kanjeng Rama." kata Dewi Mayangsari. "Memang sebaiknya dibunuh saja perempuan sombong tak tahu diri itu! Seorang perempuan dusun, janda lagi, berani menolak untuk menjadi selir Kanjeng Rama Tumenggung?"

Mendengar ucapan puteranya dan mantunya itu, Tumenggung Suramenggala termenung, alisnya berkerut. "Ah, aku... aku tidak tega untuk membunuhnya..."

"Ah, itu mudah saja, Kanjeng Rama? Biar kita suruh saja seorang perajurit pengawal untuk membunuhnya. Kalau Kanjeng Rama tidak tega ia dibunuh di sini, biar ia dibawa keluar istana, ke dalam sebuah hutan lalu dibunuh."

Tumenggung Suramenggala menghela napas panjang beberapa kali lalu mengangguk-angguk. "Agaknya tidak ada jalan lain..."

"Saya tidak setuju kalau Nyi Lasmi dibunuh!"

Tiga orang itu memandang Resi Bajrasakti yang mengeluarkan kata-kata itu. Adipati Linggawijaya tertawa.

"Ha-ha-heh-heh, agaknya Bapa Resi tertarik kepada Nyi Lasmi?" tanyanya.

Resi Bajrasakti juga tertawa. "Ha-ha-ha, Ananda Adipati, lima orang selir yang masih muda-muda itu sudah cukup banyak bagi saya, untuk apa menambah lagi dengan seorang perempuan yang sudah setengah tua? Bukan itu maksud saya."

"Hemm, kalau begitu, mengapa Bapa Resi tidak setuju kalau ia dibunuh?"

"Ingat, wanita itu adalah Ibu kandung Puspa dewi!"

"Kami tidak takut!" kata Adipati Linggawijaya dan Dewi Mayangsari berbareng. Adipati Linggawijaya menyambung.

"Biar ia datang ke sini kalau ia berani, kita akan tangkap gadis liar itu!"

"Bukan begitu maksud saya! Akan tetapi kita pun tahu bahwa Puspa Dewi adalah Sekar Kedaton Wura-wuri yang sudah mengkhianati Wura-wuri. Mengapa kita tidak menggunakan Nyi Lasmi untuk berjasa terhadap Wura-wuri sehingga kita papat bekerja sama semakin erat dengan Kerajaan Wura-wuri? Adipati Bhimaprabhawa, terutama permaisurinya, Nyi Dewi Durgakumala, pasti marah sekali kepada Puspa Dewi dan ingin sekali menangkap gadis itu. Nah, lebih baik kita serahkan Nyi Lasmi kepada mereka. Wura-wuri dapat memancing datangnya Puspa Dewi dengan Ibu kandung gadis itu sebagai sandera dan akhirnya mereka dapat menangkapnya. Dengan demikian sekali tepuk kita mendapatkan dua keuntungan, karena Wura-wuri tentu akan berterima kasih kepada kita."

Adipati Linggawijaya dan permaisurinya mengangguk-angguk senang. "Gagasan yang baik sekali itu, Bapa Resi! Bagaimana, Kanjeng Rama, apakah Andika juga setuju dengan usul itu?"

Tumenggung Suramenggala menghela napas panjang.
"Terserah, aku sudah pusing memikirkan kekerasan hati Nyi Lasmi. Biarlah, kalau ia tidak mau melayani aku, masih banyak wanita yang bersedia melakukannya dengan senang hati."

"Tentu saja, Kanjeng Rama. Saya akan mencarikan pengganti Nyi Lasmi, seorang gadis muda yang cantik jelita untuk menghibur hati Kanjeng Rama." kata Dewi Mayangsari.

Setelah mengakhiri percakapan itu, Adipati Longgawijaya lalu membuat sepucuk surat kepada Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala, yang isinya menyerahkan Nyi Lasmi, ibu kandung Puspa Dewi, kepada Wura-wuri sebagai tanda persahabatan karena Wengker juga merasa penasaran akan pengkhianatan Puspa Dewi terhadap Wura-wuri dan persekutuan mereka bersama sehingga usaha mereka menghancurkan Kahuripan gagal.

Perjalanan dari Wengker ke Wura-wuri tidak dekat, dengan berkuda pun akan memakan waktu sedikitnya lima hari. Maka, Adipati Linggawijaya lalu mengutus dua orang jagoan Wengker yang berjasa menculik Nyi Lasmi dari Karang Tirta, yaitu Wirobento dan Wlrobandrek, memimpin selosin orang perajurit pilihan, untuk mengawal Nyi Lasmi dan mengantarkannya ke kota raja Wura-wuri.

Berangkatlah rombongan itu setelah untuk yang terakhir kalinya Tumenggung Suramenggala membujuk Nyi Lasmi untuk menyerah kepadanya daripada dibawa ke Wura-wuri akan tetapi Nyi Lasmi berkeras menolak. Empat belas orang pengawal itu menunggang kuda dan Nyi Lasmi terpaksa juga menunggang kuda karena kalau ia berkeras tidak mau, ia akan diboncengkan oleh Wirobandrek di atas seekor kuda. Wanita itu memilih menunggang kuda sendiri, dan ia memang sudah terbiasa menunggang kuda dahulu ketika menjadi selir Ki Suramenggala di Karang Tirta.

00000oooo00000

Lanjut ke Jilid 015 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment