Ads

Wednesday, October 17, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 022

◄◄◄◄ Kembali

"Ah... heh-heh, sungguh luar biasa... aku juga begitu dulu... aha, engkau adalah gambaranku di waktu seusiamu, Niken Harni. Kita sama benar, heh-heh, seperti kembar saja. Bagaimana ada dua orang yang begini sama presis watak dan sikapnya? Heh-heh-hehl"

Hilang kemarahan dari hati Niken Harni. "Oo... Jadi engkau tertawa seperti itu karena melihat persamaan di antara kita?"

"Ya, ya... karena persamaan itu pula aku membelamu dari kebiadaban Linggawijaya. Aku tertarik dan suka sekali padamu, Niken Harni. Engkau sama dengan aku, engkau cocok dengan aku... Hanya saja..." Nenek itu tiba-tiba kehilangan gairah tawanya dan tampak kecewa dan susah!

"Hanya apa, Bibi?"

Nini Bumigarbo tiba-tiba terkulai dan duduk kembali di atas batu hitam,

"...hanya saja..." suaranya terengah seolah tertahan tangis, "....hanya.... kalau saja aku mempunyai keteguhan hati sepertimu, tidak mudah tergila-gila dan dipermainkan cinta... tidak akan begini nasibku..." dan tiba-tiba Nini Bumigarbo menangis! Ia terisak-isak lalu mengguguk, tangisnya sehebat tawanya tadi. Ia menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya dan pundaknya terguncang-guncang, tubuhnya menggigil.

Niken Harni adalah seorang gadis yang keras hati, berani mati, dan pantang mundur. Akan tetapi di balik itu, ia pun perasa sekali, mudah merasa iba kepada orang yang menderita, ia lalu maju mendekati, berlutut dekat batu hitam dan merangkul tubuh nenek itu.

"Bibi Gayatri... jangan menangis, Bibi. Segala macam persoalan dapat diperundingkan dan dibicarakan. Tidak ada persoalan yang tidak dapat dipecahkan dan diatasi. Tidak cukup hanya ditangisi saja Bibi."

"Ah, engkau tidak tahu, Niken. Engkau tidak tahu...! Nasibku yang buruk, nasibku yang sengsara... semua ini gara-gara cinta... ah, sungguh aku seorang wanita tolol... goblok... akan tetapi aku lemah... kalau saja aku sekuat engkau! Niken..."

Mendengar keluh kesah ini, timbul terharu. Melihat Nini Bumigarbo Melihat Nini Bumigarbo seperti itu, ia lalu maju mendekati, berlutut dekat batu hitam dan merangkul tubuh nenek itu. keinginan dalam hati Niken Harni untuk mengetahui apa yang telah terjadi dengan nenek ini sehingga ia menjadi begitu sedih.

"Bibi Gayatri, aku merasa ikut bersedih. Maukah engkau menceritakan kepadaku apa yang telah terjadi dengan dirimu? Engkau seorang yang begini sakti mandraguna, siapa yang akan dapat mengganggumu, Bibi?"

"Orang lain tidak dapat menggangguku, Niken. Akan tetapi hatiku sendiri, keinginanku sendiri, alangkah kuatnya, membuat aku gila, membuat aku merana selama hidupku..."

Niken Harni menjadi semakin tertarik. "Kalau Bibi tidak merasa keberatan, aku ingin mendengar bagaimana kisahnya sampai Bibi menderita seperti ini..."

"Baik, akan kuceritakan padamu, Niken. Akan tetapi hanya dengan satu syarat, yaitu engkau mau menjadi muridku!"

"Hemm, aku senang sekali, Bibi. Akan tetapi jangan terlalu lama. Orang tua dan keluargaku tentu akan menjadi gelisah kalau terlalu lama aku tidak pulang."

"Bisa beberapa hari, beberapa bulan, atau beberapa tahun. Tergantung bakat dan jodohmu denganku sejauh mana. Nah, dengar ceritaku karena setelah ini aku tidak akan mau menceritakan lagi kepada siapapun juga."

Niken Harni lalu duduk kembali di atas batu hitam di depan Nini Bumigarbo, mendengarkan dengan penuh perhatian. Nini Bumigarbo lalu bercerita. Dahulu, puluhan tahun yang lalu, ketika ia masih seorang gadis dewasa bernama Ni Gayatri, ia menjadi murid seorang pertapa yang tidak pernah muncul di dunia ramai dan terkenal sejak kecil hanya bertapa sehingga disebut sebagai manusia setengah dewa! Pertapa itu hanya dikenai dengan nama Sang Resi Dewakaton dan jarang ada orang dapat bertemu dengannya karena hanya terkadang saja dia berada di puncak Gunung Semeru yang sulit didatangi manusia biasa.

Sang Resi Dewakaton ini sudah amat tua, tak seorang pun mengetahui berapa usianya. Menurut dongeng orang-orang tua, ketika mereka masih kecil mereka sudah mendengar akan nama Sang Resi Dewakaton ini sehingga kalau dihitung dari usia mereka maka tentu usia pertapa itu sudah mendekati dua ratus tahun.

Muridnya hanya dua orang, yaitu Ni Gayatri dan .kakak seperguruannya, yang bernama Ki Ekadenta. Mungkin karena mereka bergaul sejak kecil, tidak mengherankan; kalau gadis yang cantik dan pemuda yang tampan itu saling jatuh cinta. Cinta mereka begitu mendalam sehingga keduanya sudah saling berjanji kelak akan hidup berdampingan selama hidup mereka sebagai suami isteri. Kemudian terjadilah peristiwa yang sama sekali mengubah keadaan hidup Ni Gayatri.

"Kakang Ekadenta bertemu dengan seorang resi dari Gunung Agung, Bali-dwipa dan berguru mengenai kejiwaan kepada Sang Resi. Setelah berguru kepada resi itu, sikap Kakang Ekadenta terhadap diriku sama sekali berubah, bahkan terhadap kehidupan duniawi. Dia tidak mau lagi mencampuri urusan duniawi, termasuk tidak mau menikah! Akibatnya, dia menjauhkan diri dariku dan tidak mau lagi terikat perjodohan denganku." Setelah berkata demikian, wajah nenek itu tampak kecewa bukan main.

"Dia meninggalkanmu dan tidak cinta lagi padamu, Bibi?"

"Dia bilang tetap cinta padaku, bahkan cintanya lebih murni menurut dia, cinta suci yang tanpa pamrih, tanpa keinginan untuk mengambil aku sebagai isteri. Siapa butuh cinta macam itu?"

Niken Harni juga merasa penasaran. "Mengapa cinta seperti itu? Kalau mencinta tentu ingin menjadi suami isteri! Dia telah menyakiti hatimu, Bibi. Kalau aku bertemu dengan Si Ekadenta itu, akan kutegur dan kumarahi dia!"

Nenek itu menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. "Sukar menyadarkan dia, Niken. Selama tiga puluh tahun ini aku membujuknya dengan halus sampai kasar, namun dia sama sekali tidak tergerak dan berkukuh tidak mau menikah dengan aku atau dengan siapapun juga. Aku menjadi marah sekali dan mulai membencinya, akan tetapi dia tetap bersikap lembut kepadaku. Berkali-kali aku menyerangnya, akan tetapi aku selalu kalah olehnya."

"Wah, kalau engkau kalah olehnya, berarti dia tentu amat sakti mandraguna, Bibi Gayatril" Niken Harni terkejut.

"Memang dia sakti mandraguna. Setiap kali aku kalah olehnya, aku lalu tekun memperdalam semua aji-ajiku, akan tetapi setiap kali aku maju lagi, aku tetap saja kalah lagi. Agaknya setiap kali dia pun memperdalam ilmu-ilmunya."

"Apakah Bibi menyerang untuk membunuhnya?"

"Ah, tidak sama sekali. Aku mencintanya dengan segenap jiwa ragaku, itulah kelemahanku. Mana mungkin aku tega membunuhnya? Tadinya aku menyerangnya untuk mengalahkannya dan memaksa dia mengawini aku. Kemudian, aku setiap kali menyerangnya membuat perjanjian. Kalau aku kalah, aku tidak akan turun tangan sendiri membunuh Erlangga dan Narotama. Akan tetapi kalau dia yang kalah, aku akan membunuh raja dan patih Kahuripan itu dan dia tidak boleh menghalangikul Akan tetapi itulah, aku selalu kalah!"

"Ah, aneh sekail perjanjian itu, Bibil Apa hubungannya Sang Prabu Erlangga dan Kl Patih Narotama dari Kahurlpan dengan urusan Bibi dan Ekadenta itu?"

"Hubungannya erat sekali! Resi yang mengajarkan kejiwaan kepada Kakang Ekadenta yang membuat Kakang Ekadenta tidak mau menikah, adalah Sang Resi Satyadharma yang bertapa di Gunung Agung Bali-dwipa. Jelas dialah biang keladinya sehingga Kakang Ekadenta tidak jadi menikah dengan aku. Untuk membalas sakit hati ini kepada Resi Satyadharma tidak mungkin karena dia memiliki kesaktian yang tidak akan dapat kutandingi. Maka aku lalu mengalihkan dendamku kepada dua orang muridnya, yaitu Erlangga dan Narotama! Aku ingin membunuh mereka agar Resi Satyadharma menderita kehilangan orang-orang yang dicintanya seperti yang telah kurasakan. Akan tetapi di sana ada Kakang Ekadenta yang selalu menghalangi aku! Aku tidak berdaya... ah, aku tidak berdaya mengobati sakit hati yang bernyala-nyala selama puluhan tahun...” Nini Bumigarbo menangis lagi.

"Bibi Gayatri, kurasa masih tidak adil kalau Bibi berusaha membalas dendam kepada Resi Satyadharma dengan cara membunuh dua orang muridnya, yaitu Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Mereka itu sama sekali tidak bersalah apa-apa. Yang bersalah atau yang membuat engkau menderita adalah Resi Satyadharma. Entah kalau memang engkau mempunyai permusuhan dengan Kahuripan."

Nini Bumigarbo menggeleng kepalanya. "Aku tidak mencampuri urusan kerajaan dan kadipaten. Aku tidak berpihak kepada siapapun juga dan tidak mau terlibat tidak mau ikut campur. Yang kubenci hanyalah Erlangga dan Narotama karena mereka itu murid-murid Resi Satyadharma. Aku ingin membunuh mereka untuk membuat resi itu menderita!"

"Kalau begitu, mengapa tidak membalas kepada Resi Satyadharma secara langsung saja, Bibi?"

"Huh, kau tahu apa! Biar aku memperdalam ilmu-ilmuku selama puluhan tahun lagi, masih tidak mudah untuk mengalahkan resi yang sakti mandraguna itu."

"Akan tetapi, Bibi. Mengapa Bibi tidak minta bantuan guru Bibi yang merupakan manusia setengah dewa itu? Kalau dia mau membantu, tentu Bibi dapat membalas dendam Bibi terhadap Resi Satyadharma."

"Huh, kaukira aku begitu bodoh untuk tidak berpikir sampai ke sana? Dahulu pun, begitu Kakang Ekadenta memutuskan hubungan dan mengambil keputusan untuk tidak menikah, aku sudah menghadap Bapa Guru dan menangis di hadapannya, menceritakan segala sakit hatiku dan keinginanku untuk membalas dendam kepada Resi Satyadharma. Akan tetapi tahukah engkau apa yang Bapa Guru katakan? Dia mengatakan bahwa Resi Satyadharma tidak bersalah dan dia sendiri akan merasa malu kalau aku membalas dendam kepada Sang Resi itu. Selain itu, Bapa Guru mengatakan bahwa dia yakin tidak akan menang melawan Resi Satyadharma, bukan karena kalah sakti, melainkan karena berada di pihak yang salah. Siapa salah akhirnya akan kalah, begitu kata Bapa Guru. Tentu saja aku menjadi semakin penasaran dan mencari jalan untuk menimpakan pembalasan dendamku kepada dua orang murid Resi Satyadharma itu."

Kembali hening karena dua orang wanita itu berdiam diri, tenggelam dalam lamunan masing-masing. Niken Harni merasa iba sekali kepada nenek itu yang kini menundukkan mukanya yang muram, akhirnya ia berkata.

"Bibi Gayatri, lalu cara atau jalan apa yang Bibi temukan untuk membalas dendam itu?"

"Aku telah melatih beberapa orang murid, di antaranya Dewi Mayangsari permaisuri Wengker dengan syarat agar mereka itu berusaha untuk menyerang Kahuripan dan kalau mungkin membunuh Erlangga dan Narotama, atau setidaknya menggulingkan kedudukan mereka!"

"Dan mengapa engkau membawa aku ke tempat Ini? Kalau engkau hendak mengajarkan ilmu kepadaku dengan syarat seperti itu, aku tidak mau menjadi muridmu! Kakekku adalah seorang tumenggung, ayahku seorang senopati, mereka adalah pejabat-pejabat Kahuripan dan aku adalah kawula Kahuripan. Bagaimana mungkin aku menjadi seorang pengkhianat memusuhi Kerajaan Kahuripan sendiri? Aku tidak mau, Bibi, lebih baik engkau bunuh saja aku!"

Sikap Niken Harni yang berani menantang agar dibunuh ini kembali membuat nenek itu tersenyum! Lenyaplah kemuraman wajahnya dan ia memandang gadis itu dengan mata bersinar.

"Tidak, Niken. Ketika aku melihatmu yang demikian gigih menentang Linggawijaya dan kuat menahan bujuk rayu dan ketampanannya, aku mendapat gagasan baru untuk membalas dendam. Kini bukan membalas dendam kepada Resi Satyadharma dan para muridnya, melainkan membalas dendam kepada Kakang Ekadenta yang telah menyia-nyiakan cintaku dan menghancurkan kehidupanku!"

"Apa?" Niken Harni terbelalak. "Engkau hendak mengajarkan ilmu kepadaku dengan syarat agar aku membunuh Ekadenta kakak seperguruanmu itu? Bagaimana mungkin, Bibi? Sedangkan engkau sendiri pun tidak pernah menang melawannya!"

"Hemm, aku tidak begitu bodoh, Niken. Bukan, bukan membalas dendam ini kepada Kakang Ekadenta. Akan tetapi kepada semua laki-laki di dunia ini! Engkau akan kuajari ilmu dan engkaulah yang akan mewakili aku membalas dendam kepada semua laki-laki, membuat mereka tergila-gila, rindu, dan hancur hatinya, menderita dan merana seperti. yang telah kualami!" Suara Nenek itu meninggi dan tampak ia gembira sekali seolah telah membayangkan terjadinya apa yang diinginkannya itu.

"Eh? Aku harus menghancurkan kebahagiaan hidup semua laki-laki? Apa maksudmu itu, Bibi? Aku tidak mengerti."

"Begini, Niken. Aku sendiri tidak dapat melakukannya karena aku sudah tua. Akan tetapi engkau dapat! Engkau muda belia, cantik jelita dan menarik, semua pria tentu akan tergila-gila melihatmu. Aku akan mengajarkan ilmu-ilmu kepadamu dan kau hadapi para pria itu, terutama yang muda dan tampan. Kalau mereka itu tertarik dan suka kepadamu, bersikaplah seolah-olah engkau juga mencinta mereka. Buat mereka itu tergila-gila dan setelah mereka berada dalam keadaan kasmaran (jatuh cinta) sampai sedalam-dalamnya, nah, saatnya engkau menghancurkannya dengan mentertawakannya dan meninggalkannya. Biar mereka itu tahu rasa, biar merasakan betapa sakitnya diputus cinta, rindu dan menderita selama hidupnya, seperti yang kualami !"

"Lalu apa hubungannya para pria itu dengan sakit hatimu terhadap Ekadenta?"

"Mereka semua itu laki-laki dan mereka memang kejam dan cintanya palsu terhadap kaum wanita. Kalau wanita mencinta dengan sepenuh jiwa, siap mengorbankan diri, laki-laki hanya mencari kesenangannya sendiri. Nah, engkau yang akan mewakili aku menghancurkan kebahagiaan hidup para pria itu, Niken Harni!"

"Kalau aku tidak mau bagaimana?"

Tiba-tiba muka nenek itu berubah menyeramkan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong.

"Tidak mau....??"

Akan tetapi Niken Harni tidak takut. "Ingat, Bibi Gayatri. Aku bukan orang yang takut ancaman. Aku tidak takut mati!" Ia menantang.

Nini Bumigarbo tiba-tiba terkekeh. "Hi-hi-hik? Tidak mau? Kalau begitu, engkaulah yang akan menderita, melebihi aku. Engkau bukan hanya akan kehilangan kebahagiaan hidupmu, bahkan engkau akan menderita sengsara yang hebat. Aku tidak akan membunuhmu, Niken. Aku hanya akan meninggalkanmu di sini! Hidup disini seorang diri, tidak bertemu dengan orang-orang yang kaukasihi, tidak bergaul dengan seorang pun manusia. Engkau akan hidup terus disini, tahun demi tahun sampai engkau menjadi tua renta dan karatan, remuk sedikit demi sedikit. Dan aku terkadang akan menjengukmu untuk mentertawakanmu, he-he-heh-heh!"

Diam-diam Niken Harni merasa ngeri juga. Ia tidak takut mati akan tetapi kalau ditinggal sendiri di situ, tak pernah dapat meninggalkan tempat itu, perlahan-lahan menua dan membusuk di situ, sungguh bayangan itu amat mengerikan. Ia seorang gadis yang cerdik, maka ia tidak kehilangan akal dan harapan.

"Kalau aku mau, lalu berapa lama aku harus belajar ilmu darimu di tempat ini?"

"Bisa beberapa hari, beberapa bulan atau beberapa tahun, semua itu tergantung dari kesungguhan dan ketekunanmu sendiri. Engkau belajar di sini sampai engkau ada kemampuan untuk pergi meninggalkan tempat ini."

Niken Harni berpikir cepat. Sekali waktu nenek itu pasti turun dari puncak untuk mencari persediaan makanan kalau habis, dan ia dapat memperhatikan dan mempelajari. Akhirnya, tidak sampai makan waktu lama ia pasti akan dapat turun pula dan bebas. Maka dengan tegas ia berkata.

"Baik, aku mau belajar dengan syarat Itu, Bibi Gayatri!"

'"Benarkah? Nah, kalau begitu ucapkan janjimu bahwa engkau akan melaksanakan syarat yang kuajukan tadi!"

Tanpa ragu Niken Harni bangkit berdiri dan mengucapkan janjinya.
"Aku akan mempelajari ilmu-ilmu dari Bibi Gayatri dengan syarat bahwa sesudah rampung aku akan mewakilinya menghancurkan kebahagiaan hidup para pria yang jatuh cinta kepadaku."

"Berlagak membalas cinta mereka, kemudian meninggalkan mereka begitu saja sehingga mereka menjadi patah hati dan hancur kebahagiaan hidupnya!" Nenek itu mendikte. Niken Harni mengulang kata-kata itu dengan suara mantap.

Setelah selesai mengucapkan janji, Nini Bumigarbo merangkul gadis itu dengan gembira. "Engkau sama benar dengan aku, aku yakin engkaulah yang akan dapat mewakili aku, memuaskan hatiku, membuat laki-laki seperti Kakang Ekadenta merana hidupnya! Ingat, melanggar janji akan membuat engkau menjadi manusia yang paling rendah dan hina, Niken."

"Aku tidak akan melanggar janji, Bibi!"

Demikianlah, mulai hari itu, Niken Harni menerima gemblengan ilmu-ilmu yang hebat dari Nini Bumigarbo. Bahkan nenek itu mengajarkan Aji Pengasihan dan Aji Pamelet yang amat ampuh dan kuat. Dan saking sukanya kepada gadis itu, Nini Bumigarbo bahkan pada suatu hari mengoperkan tenaga sakti tingkat tinggi kepada Niken Harni, hal yang belum pernah ia berikan kepada para murid. Bahkan Dewi Mayangsari pun tidak memperoleh pengoperan tenaga sakti ini! Tentu saja kepandaian Niken Harni meningkat dengan amat cepat, apalagi gadis itu memang berbakat baik dan tekun pula.

**** ****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment