Ads

Wednesday, October 17, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 024

◄◄◄◄ Kembali

"Lan-moi, jangan pikirkan dia! Bagaimana keadaanmu?" tanyanya sambil mendekap kepala adiknya itu ke dadanya dan suaranya bercampur isak.

"Lan-ko... aku tidak bisa melupakan dia... biarpun dia... dia telah menolakku.. ... ah, bagiku mati lebih baik, Twako..."

"Adikku....!" Ki Tejoranu kini menangis.

"Lan-ko, penuhi permintaanku terakhir, ya?"

Ki Tejoranu hanya dapat mengangguk, tidak dapat mengeluarkan suara lagi karena isaknya.

"Tolong... tolong panggilkan dia... aku ingin berpamit..."

"Untuk apa... " Ki Tejoranu membentak, semakin marah dan benci kepada Ki Patih Narotama karena dia menganggap bahwa pria itulah yang menyebabkan kematian adiknya!

"Tolong.... Lan-ko.... tolong.... panggil dia..."

Ki Tejoranu menoleh ke arah K i Patih Narotama. Dia melihat sekarang muncul orang ke tiga mengeroyok Ki Patih Narotama, seorang laki-laki tua bongkok yang menudingkan tongkat hitamnya dan tongkat itu mengeluarkan bola-bola api yang menyambar-nyambar ke arah Ki Patih Narotama. Ki Patih Narotama marah. Dia mengeluarkan pekik melengking, tubuhnya direndahkan dengan menekuk kedua kakinya dan kedua tangannya didorongkan ke arah tiga orang pengeroyoknya.

"Wuuussshhh...!" Api berkobar menerangi tiga orang Itu. Dengan Aji Bojrodahono itu, Ki Patih Narotama mengerahkan kekuatannya dan tiga orang itu melarikan diri dan berlompatan turun sambil mengaduh-aduh karena sebagian tubuh mereka terjilat api dan hangus! Ki Patih Narotama lalu menoleh dan di bawah sinar bulan dia melihat Ki Tejoranu bersimpuh dan merangkul tubuh atas Kim Lan. Cepat dia melompat mendekat.

"Apa yang terjadi....?" Dia bertanya dan bersimpuh dekat tubuh Kim Lan. "Apakah Kim Lan terluka? Coba kuperiksa ia!"

Ki Tejoranu tidak menjawab, hanya diam saja sambil menangis sesenggukan. Ki Patih Narotama cepat memeriksa dan melihat luka di punggung gadis itu, melihat keadaannya yang sudah empas-empis dengan tubuh panas sekali, tahulah dia bahwa gadis Itu tidak dapat diselamatkan lagll

"Kim Lan...!" Ki Patih Narotama mengeluh sambil memegang pundak gadis itu.

Kim Lan tersenyum memandang wajah Ki Patih Narotama.
"...Gusti Patih Narotama.... saya.... saya berbahagia sekali..... dapat.... dapat... mati membela Paduka.... saya.... saya.... cinta.....”Gadis itu terkulai, menghembuskan napas terakhir dalam pelukan kakaknya.

"Kim Lan....!" Ki Patih Narotama mengeluh.

"Kim Lan! Lan-moi....! Jangan tinggalkan aku...!" Ki Tejoranu berteriak sambil mendekap tubuh adiknya dan menangis.

"Sudahlah, Tejoranu. Sang Hyang Widhi telah mengambil kembali apa yang menjadi milik-Nya." Ki Patih Narotama menghibur. Akan tetapi tiba-tiba Ki Tejoranu berdiri sambil memondong jenazah adiknya.

"Narotama! Engkau yang menyebabkan kematian adikku. Ia sengaja menghadang maut karena ia merasa lebih baik mati setelah engkau menolak cintanya. Ia rela mati membelamu, demikian besar cintanya akan tetapi, engkau menolaknya! Engkau kejam! Kejam! Aku tidak sudi; menjadi
temanmu lagi. Engkau kejam...l' Ki Tejoranu menangis sesenggukan lalu melompat .turun dari atas genteng dan terus berlari pergi sambil memondong jenazah The Kim Lan.

Ki Patih Narotama bangkit berdiri, hanya dapat memandang ke arah lenyapnya bayangan Ki Tejoranu. Dia tahu bahwa mengejar dan membujuk Ki Tejoranu tidak akan ada gunanya. Dia dapat merasakan betapa hancur hati laki-laki itu melihat nasib adik kandungnya. Dia berdiri termangu-mangu, mengenang semua peristiwa itu. Dia tadi sudah memperingatkan agar kakak beradik itu berdiam di kamarnya saja karena dia tahu bahwa ada musuh yang sakti dating menyerang. Siapa kira, Kim Lan dengan nekat menyambut musuh itu untuk membelanya! Ah, kalau saja dia tahu sampai demikian mendalam rasa cinta gadis itu kepadanya! Kalau dia tahu bahwa peristiwa menyedihkan ini akan terjadi! Kalau... kalau... tiada gunanya lagi. Semua telah terjadi. Dia tahu bahwa selama hidupnya, bayangan Kim Lan tidak akan pernah dapat terlupa olehnya. Ki Patih Narotama menghela napas panjang dan merangkap kedua tangan sebagai sembah kepada Yang Maha Kuasa, bibirnya berbisik lirih.

"Duh Sang Hyang Widhi Wasa, terjadilah semua kehendak-Mu seperti yang Engkau kehendaki. Tiada apa atau siapa pun yang akan mampu mengubahnya."

Setelah termenung beberapa lamanya dan berulang kali menghela napas panjang, merasa kehilangan besar sekali karena dia tahu bahwa Ki Tejoranu pasti akan selalu merasa sakit hatinya dan tidak akan pernah dapat menjadi sahabat baiknya lagi, Ki Patih Narotama lalu turun dan dia disambut oleh Nyi Lasmi dan seisi rumah Ki Lurah yang ingin tahu apa yang terjadi. Mereka tadi mendengar suara ribut-ribut di atas atap rumah dan tidak ada seorang pun berani mencari tahu apa yang terjadi karena mereka takut dan sungkan kepada Ki Patih Narotama. Ki Patih Narotama berkata kepada Ki Lurah dusun Magel.

"Jangan takut. Ada orang-orang jahat datang untuk menyerangku, akan tetapi telah dapat kuusir pergi."

Semua orang merasa lega mendengar ini. Akan tetapi Nyi Lasmi bertanya, "Gusti Patih, di mana Tejoranu dan Kim Lan? Hamba tidak melihat mereka sejak tadi."

Ki Patih Narotama menghela napas panjang beberapa kali sebelum menjawab dengan suara mengandung keprihatinan.

"Tejoranu dan Kim Lan tadi berkelahi dengan orang-orang jahat. Kim Lan tewas dan Tejoranu yang hancur hatinya itu membawa jenazah adiknya pergi, entah ke mana. Mungkin dia tidak akan kembali ke sini."

"Ohhh...!" Nyi Lasmi berseru dan memandang wajah Ki Patih Narotama dengan sinar mata kaget dan heran. Akan tetapi ia tidak berani banyak bertanya. Siang tadi Kim Lan mengeluarkan isi hatinya kepadanya, menceritakan tentang perasaan hatinya yang gandrung (kasmaran) kepada Ki Patih Narotama. Bahkan gadis itu mengatakan kepadanya bahwa ia lebih baik mati kalau tidak dapat menjadi selir Sang Patih. Ia lalu meneruskan suara hati gadis itu kepada Ki Tejoranu agar kakak Ini mengurus persoalan adiknya. Dan kini, tahu-tahu gadis itu telah tewas! Nyi Lasmi yang sudah akrab sekali dengan Kim Lan, tak dapat menahan kesedihannya dan ia menangis terisak-isak lalu berlari memasuki kamarnya. Di situ ia mendekap buntalan pakaian Kim Lan sambil menangis tersedu-sedu.

Ki Tejoranu memondong jenazah adiknya dan berlari di bawah penerangan bulan remang-remang sambil menangis. Hatinya hancur dan biarpun dia maklum bahwa bukan niat Ki Patih Narotama mencelakai adiknya, namun bagaimanapun juga, Kim Lan nekat menyerang mereka yang memusuhi KI Patih Narotama karena cintanya yang mendalam terhadap patih itu. Selain itu, juga adiknya itu mengalami penderitaan hati yang hebat sehingga ia menjadi nekat. Adiknya itu merasa lebih baik mati karena orang yang dipuja dan dicintanya Itu ternyata menolaknya, menolak cintanya! Maka timbul penyesalan besar dalam hatinya terhadap Ki Patih Narotama.

Semalam suntuk dia memondong jenazah Kim Lan dan melangkah tanpa hentinya sampai pada keesokan harinya, setelah matahari bersinar, dia tiba di sebuah bukit kecil. Dia lalu merebahkan jenazah adiknya Itu dengan hati-hati sekali ke atas rumput, dia lalu mengumpulkan kayu-kayu yang kering, juga daun-daun kering. Ditumpuknya kayu-kayu itu sampai setombak tingginya. Kemudian, dengan hati-hati dia memondong jenazah Kim Lan dan meletakkannya di atas tumpukan kayu.

"Maafkan, Lan-moi, karena keadaan memaksa, aku tidak dapat mengubur jenazahmu dengan upacara sebagaimana mestinya." Dia berbisik dan untuk penghabisan kali dia mengamati wajah adiknya yang tersayang Itu. Kemudian dia membuat api dan membakar tumpukan kayu itu. Api berkobar besar dan Ki Tejoranu menjauh, lalu duduk bersila di bawah pohon, memandang api yang berkobar. Dia bersikap seperti orang sedang bersamadi, dengan sikap tenang dan hormat seolah untuk mengantar kepulangan The Kim Lan ke alam baka.

Akan tetapi, melihat api berkobar dan jenazah adiknya terbakar, Ki Tejoranu tak dapat menahan dirinya lagi. Dia menangis terisak-isak dan timbul kemarahannya mengingat bahwa adiknya itu tewas oleh orang-orang jahat yang tidak diketahuinya siapa, namun yang dia yakin tentulah orang-orang Wengker dan Wura-wuri yang hendak menangkap Nyi Lasmi dan memusuhi Ki Patih Narotama. Tiba-tiba dia melompat bangun dan mencabut sepasang goloknya, lalu dia mengamuk, bersilat dan membacok-bacokkan sepasang goloknya ke arah pohon besar sehingga ranting-ranting dan daun pohon terbabat berhamburan.

Tak jauh dari situ, sepasang mata bening tajam mengintai dari balik sebatang pohon besar. Pengintai itu adalah Puspa Dewi. Seperti kita ketahui, setelah mendapat keterangan di Kadipaten Wengker bahwa ibunya dibawa rombongan pengawal ke Kadipaten Wura-wuri, ia segera menyusul ke Wura-wuri. Pagi itu, ketika ia melewati tempat itu dan berada di bawah bukit, tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh asap yang mengepul tinggi di puncak bukit kecil itu. Ia segera mendaki bukit untuk melihat apa yang terjadi. Ketika tiba di puncak dan mengintai dari balik pohon, ia melihat seorang laki-laki sedang membakar jenazah seorang wanita. Ia merasa heran dan juga iba sekali melihat laki-laki itu menangis sesenggukan sambil bicara dalam bahasa yang asing baginya dan yang tidak ia mengerti maknanya. Kemudian ia melihat laki-laki yang tadinya duduk bersila itu melompat dan mengamuk dengan sepasang goloknya. Gerakannya cepat dan kuat sekali sehingga ranting daun pohon berhamburan. Juga sepasang golok itu mengeluarkan bunyi berdesing-desing, menandakan bahwa sepasang golok itu digerakkan oleh tenaga yang kuat sekali.

Puspa Dewi menjadi semakin heran. Ia tahu bahwa laki-laki itu berduka sekali karena kematian wanita yang jenazahnya sedang diperabukan (dibakar sampai menjadi abu), akan tetapi mengapa orang itu kini marah-marah seperti kesetanan dan agaknya merasa sakit hati dan penasaran sekali? Karena ingin tahu dan mengharapkan barang kali orang itu mengetahui atau melihat rombongan pengawal yang membawa ibunya ke Wura-wuri, Puspa Dewi lalu muncul dari balik pohon dan menghampiri orang yang sedang mengamuk dengan sepasang goloknya itu. Akan tetapi begitu Ki Tejoranu melihat munculnya seorang wanita, dia yang sedang marah seperti gila itu lalu berlari menghampiri sambil memaki-maki.

"Engkau orang Wengker atau Wura-wuri yang jahatl Engkau harus mati di tanganku untuk mengiringkan arwah Adikku!" Setelah berkata demikian, dia segera menyerang Puspa Dewi dengan sepasang goloknya!

Puspa Dewi menghadapi serangan itu dengan tenang. Setelah menerima gemblengan selama setahun dari Sang Maha Resi Satyadharma, Puspa Dewi. selalu tenang dan waspada. Ia tidak marah diserang orang yang sedang kesetanan ini, apalagi mendengar orang itu memakl-maki orang Wengker dan Wura-wuri, Ini berarti bahwa laki-laki Ini menjadi musuh orang Wengker dan Wura-wuri. Ketika sepasang golok itu menyambar-nyambar, Puspa Dewi menggunakan keringanan dan kecepatan tubuhnya untuk mengelak. Kalau saja ia menghendaki, tentu ia dapat membalas dengan serangan ampuh untuk melukai atau menewaskan orang itu. Akan tetapi ia tidak mau melakukannya karena maklum bahwa orang ini mengamuk kesetanan karena dilanda duka yang amat berat, apalagi orang ini memusuhi Wengker dan Wura-wuri. Bagaimanapun juga, serangan Ki Tejoranu cukup berbahaya. Kalau Puspa Dewi tidak memiliki gerakan yang amat cepat, ia tentu terancam bahaya. Karena tidak ingin mencelakai orang yang mengamuk ini, Puspa Dewi tidak mencabut pedangnya. Akan tetapi setelah mendapat kesempatan baik, ia mendorongkan tangan kirinya sambil membentak.

"Tahan! Aku mau bicara!" Tangannya mendorong ke arah tubuh Ki Tejoranu.

Angin dahsyat menyambar dan Ki Tejoranu tidak mampu bertahan terhadap dorongan angin dahsyat itu. Dia terhuyung-huyung ke belakang dan hanya dengan pok-sai (salto) tiga kali dia dapat mencegah tubuhnya terbanting ke atas tanah. Tentu saja dia terkejut bukan main karena apa yang dilakukan gadis tadi membuktikan bahwa ia memiliki tenaga sakti yang hebatl

"Kisanak, tenang dan bersabarlah dulu. Aku tidak mengenalmu dan engkau tidak mengenalku, di antara kita tidak ada urusan apapun juga. Mengapa engkau menyerangku seperti itu? Apa engkau ingin membunuh orang yang sama sekali tidak bersalah padamu?"

"Hemm, kau tentu orang Wengker atau Wura-wuri!" bentak Ki Tejoranu sambil menyilangkan goloknya di depan dada, siap untuk menyerang lagi.

"Engkau keliru, Kisanak. Aku justru dimusuhi orang Wengker dan Wura-wuril Aku malah ingin bertanya kepadamu apakah engkau  melihat orang-orang Wengker membawa lari Ibuku...."

"ibumu...." Ki Tejoranu memotong. "Ibumu itu Nyi Lasmi?"

Puspa Dewi girang sekali. "Engkau mengenal Ibuku? Di mana ia? Apa yang terjadi dengan Ibuku dan siapakah engkau ini, siapa pula wanita yang meninggal dan jenazahnya engkau perabukan itu?"

Ki Tejoranu menengok ke arah api yang masih berkobar membakar jenazah adiknya. Lalu ia memandang iagi kepada Puspa Dewi. Dia teringat akan cerita Nyi Lasmi bahwa puteri wanita itu adalah seorang gadis yang sakti dan bernama Puspa Dewi.

"Engkau yang bernama Puspa Dewi?"

"Benar, Kisanak. Aku puteri Ibu Lasmi. Engkau melihat ia? Di mana ia sekarang?"

"Bibi Lasmi selamat dan ia berada bersama Ki Patih Narotama." jawab Ki Tejoranu singkat dan dia sudah menyimpan kembali sepasang goloknya lalu duduk di atas tanah memandang kobaran api yang membakar jenazah adiknya.

Lega rasanya hati Puspa Dewi mendengar bahwa ibunya dalam keadaan selamat, apalagi bersama KI Patih Narotama. Hatinya lega dan girang. Akan tetapi la ingin sekali tahu apa yang terjadi dan bagaimana orang yang bicaranya pelo (cadel) ini dapat mengenal ibunya, bahkan tahu namanya.

"Apa yang telah terjadi, Kisanak? Engkau telah mengenal namaku, akan tetapi aku belum mengenal namamu. Siapakah engkau?"

Ki Tejoranu mengerutkan alisnya. "Nona, aku sedang dilanda duka dan sedang memperabukan jenazah adikku tersayang. Kalau engkau mau bicara, harap suka menunggu sampai aku selesai mengurus jenazah adikku. Kalau engkau tidak sabar menanti, tinggalkan saja aku."

"Maaf," kata Puspa Dewi dan ia dapat memaklumi orang ini. "Aku akan menunggu." Ia lalu pergi menjauh dan duduk bersila di bawah pohon sambil memandang ke arah api yang berkobar membakar jenazah yang kini sudah kehilangan bentuknya itu.

Menjelang tengah hari, perabuan jenazah itu pun selesai. Dapat berlangsung cepat karena Ki Tejoranu selalu menambahkan kayu kering sehingga api selalu berkobar. Setelah api padam, Ki Tejoranu menyingkirkan arang dan abu kayu, mengumpulkan abu jenazah yang warnanya keputihan. Dia bingung mencari tempat untuk abu adiknya dan teringat bahwa dia malam tadi meninggalkan semua buntalan pakaian di rumah kelurahan. Dia lalu membuka baju luarnya dan mempergunakan baju luar itu untuk membungkus abu jenazah.

Setelah abu dibungkus lalu dia talikan di punggung, Ki Tejoranu menoleh ke arah Puspa Dewi yang masih duduk bersila di bawah pohon. Ki Tejoranu menghampiri gadis itu dan duduk di atas akar pohon yang menonjol di tanah. Mereka duduk berhadapan.

"Sekarang aku dapat menceritakan semua apa yang ingin engkau ketahui, Nona."

"Terima kasih, Kisanak. Pertama aku ingin mengetahui, siapakah engkau dan bagaimana engkau dapat mengenal Ibuku." kata Puspa Dewi, tidak memberondongkan banyak pertanyaan seperti tadi.

"Namaku Tejoranu, dahulu namaku The Jiauw Lan dan...." dia menepuk buntalan abu di punggungnya. "... ini adalah abu adikku, The Kim Lan. Kami berdua sedang melakukan perjalanan beberapa hari yang lalu dan di tengah perjaianan kami melihat seorang wanita dibawa dengan paksa oleh serombongan orang dari Wengker..."

"Ibuku....!"

"Benar, wanita itu Bibi Lasmi. Kami berdua lalu turun tangan menolongnya dan berhasil mengusir orang-orang jahat dari Wengker itu. Kami lalu mengantar ibumu menuju ke Karang Tirta. Akan tetapi muncul belasan orang, yaitu orang-orang dari Wengker yang telah kami usir bersama orang-orang dari Wura-wuri. Kami dikeroyok dan pada saat kami kerepotan menghadapi pengeroyokan banyak orang tangguh itu, Bibi Lasmi dilarikan dua orang warok dari Wengker dan kami tidak dapat menghalangi karena kami dikeroyok dengan ketat."

"Hemm, mereka memang Jahat dan curang!" kata Puspa Dewi sambil mengerutkan alis dengan khawatir mendengar ibunya dilarikan orang sedangkan kakak beradik itu tidak dapat menghalangi.

"Kami berdua memang terdesak hebat karena di antara orang-orang Itu terdapat beberapa orang sakti dan tangguh sekali. Akan tetapi kami mempertahankan diri sekuat dan semampu kami. Pada saat yang gawat bagi kami itu, muncullah Ki Patih Narotama yang ternyata telah berhasil menolong Bibi Lasmi. Ki Patih Narotama lalu membantu kami dan orang-orang jahat dari Wengker dan Wura-wuri itu melarikan diri."

"Ah, sukurlah, kalian berdua tertolong dan ibuku selamat. Akan tetapi mengapa Adikmu..." Puspa Dewi menunjuk ke arah buntalan abu di punggung Ki Tejoranu.

Ki Tejoranu mengerutkan alis dan menghela napas panjang. Sinar matanya menjadi sayu, wajahnya muram dan dia tampak sedih sekali. Dia tidak mau menceritakan bahwa adiknya tergila-gila mencinta Ki Patih Narotama namun cintanya ditolak patih itu. Dia menjawab dengan lirih dan singkat.

"Kami berempat lalu melakukan perjalanan ke Karang Tirta. Malam tadi kami menginap di rumah Ki Lurah Magel. Kemudian datang orang-orang hendak menyerang dan membunuh Ki Patih Narotama. Kim Lan segera naik ke atas atap untuk menyambut orang-orang jahat itu biarpun Ki Patih Narotama sudah melarangnya karena musuh-musuh itu amat sakti. Aku segera mengikutinya dan ketika tiba di atas genteng, kami melihat dua orang dan kami segera bertanding melawan dua orang yang ternyata tangguh sekali itu. Dan dalam perkelahian ini... Adikku... Kim Lan.... terkena tikaman keris terbang di punggungnya sehingga ia tewas....” Ki Tejoranu berhenti bercerita karena kesedihan telah menekannya kembali.

"Ahh...!" Puspa Dewi ikut merasa terharu. "Akan tetapi, apakah Ki Patih Narotama tidak membantu kalian? Bukankah dia sakti mandraguna?"

"Ki Patih Narotama sendiri sibuk menghadapi serangan ilmu sihir yang berbahaya. Dia memang kemudian muncul, namun telah terlambat. Dia mengusir penjahat-penjahat itu, akan tetapi Kim Lan sudah roboh terluka parah dan akhirnya ia meninggal...."

Sunyi mengikuti akhir cerita Ki Tejoranu. Ki Tejoranu diam tenggelam ke dalam lautan duka, sedangkan Puspa Dewi terdiam karena terharu dan kasihan. Dari penuturan itu tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang pendekar yang telah menolong ibunya dan penolong itu sekarang sedang menderita duka yang amat mendalam karena kematian adiknya,

"Ki Tejoranu." akhirnya Puspa Dewi berkata lirih dan lembut. "Apakah engkau akan membawa abu jenazah Kim Lan itu kepada keluargamu?"

"Keluargaku? Ah, Adikku inilah satu-satunya keluargaku di dunia ini. Aku hanya hidup berdua dengan adikku, merantau di sini, jauh dari negeri Cina dari mana kami berasal, ia satu-satunya yang kumiliki di dunia ini dan sekarang... sekarang...." Ki Tejoranu terisak, lalu dia bangkit berdiri lari meninggalkan Puspa Dewi.

"Ki Tejoranu....!" Puspa Dewi memanggil namun laki-laki itu terus berlari dengan cepat. Kalau ia mau, tentu Puspa Dewi akan dapat menyusulnya. Ia ingin minta keterangan lebih jelas di mana ibunya kini berada. Akan tetapi ia merasa kasihan sekali kepada Ki Tejoranu dan tidak mau mengganggunya.

Apa lagi tadi Ki Tejoranu telah menceritakan bahwa peristiwa semalam itu terjadi di rumah kelurahan Magel. Maka Puspa Dewi juga segera meninggalkan tempat itu dan akhirnya ia memperoleh keterangan di mana adanya kelurahan Magel. Setelah ia tiba di dusun Magel dan mencari ke kelurahan, ia mendapat kabar bahwa ibunya bersama Ki Patih Narotama baru saja telah meninggalkan Magel menuju ke Karang Tirta. Puspa Dewi segera melakukan pengejaran dan tak lama kemudian ia dapat menyusul Ki Patih Narotama yang menunggang kuda dan menuntun seekor kuda lain yang ditunggangi Nyi Lasmi. Karena Ibunya tidak pandai menunggang kuda, tentu saja perjalanan itu dilakukan lambat-lambat saja.

"Ibu....!" Puspa Dewi berseru.

Ki Patih Narotama sudah menghentikan kudanya dan Nyi Lasmi yang mendengar suara itu, walaupun ia belum melihat orangnya, sudah berseru girang,

"Puspa Dewi....!!"

"Bagus sekali Andika datang, Puspa Dewi." kata Ki Patih Narotama sambil melompat turun dari atas kudanya.

Puspa Dewi menurunkan ibunya dan berangkulan. Ia lalu memberi sembah hormat kepada Ki Patih Narotama.

"Banyak terima kasih hamba haturkan atas pertolongan Paduka kepada ibu hamba." kata Puspa Dewi dengan hormat.

"Bagaimana engkau bisa mendapatkan kami di sini?" Tanya Ki Patih Narotama.

“Tadi pagi hamba bertemu dengan Ki Tejoranu, Gusti Patih."

Mendengar ini, Ki Patih Narotama tertarik, dan bertanya dengan suara ingin tahu sekali. "Ah, benarkah? Lalu bagaimana dengan dia?"

"Engkau melihat KI Tejoranu, Puspa Dewi? Lalu apakah engkau melihat.... jenazah Kim Lan....?" Nyi Lasmi Ikut bertanya karena ia merasa amat Iba kepada kakak beradik yang sudah akrab sekali dengannya itu.

"Hamba melihat Ki Tejoranu sedang memperabukan jenazah adiknya di atas sebuah bukit. Ketika hamba mendekati dia mengamuk dengan sepasang goloknya, merontokkan daun-daun dan ranting-ranting pohon. Ketika melihat hamba, dia malah menyerang hamba dengan goloknya mengira bahwa hamba orang Wengker atau orang Wura-wuri. Setelah hamba jelaskan, dia lalu menceritakan tentang kematian adiknya oleh penjahat Wengker dan Wurawuri dan dialah yang menceritakan di mana adanya Ibu dan Paduka. Maka hamba lalu menyusul ke dusun Magei dan akhirnya dapat menyusul ke sini."

Ki Patih Narotama memejamkan kedua matanya. Dia membayangkan betapa sedihnya hati Ki Tejoranu sehingga dia mengamuk dengan sepasang goloknya!

"Kebetulan sekali Andika datang, Puspa Dewi. Sekarang engkau dapat mengantarkan ibumu ke Karang Tirta dan berboncengan kuda sehingga perjalanan dapat dilakukan lebih cepat. Aku masih mempunyai urusan lain. Nah, kita berpisah di sini." Ki Patih Narotama lalu melompat ke atas punggung kudanya dan melarikan kuda itu.

"Aduh, kasihan sekali orang-orang muda itu. Betapa sering kali cinta menjerumuskan orang-orang muda ke dalam lembah kekecewaan dan kedukaan."

"Apa maksud Ibu?" tanya Puspa Dewi yang mengira bahwa ibunya menyinggung keadaan ibunya dengan ucapan itu.

"Puspa Dewi, mari kita lanjutkan perjalanan ke Karang Tirta. Kasihan keluarga Ki Lurah Pujosaputro. Nanti dalam perjalanan akan kuceritakan semua pengalamanku dan engkau juga menceritakan pengalamanmu selama kita berpisah."

Puspa Dewi lalu mengangkat ibunya ke atas punggung kuda dan ia sendiri meloncat dan duduk di belakangnya. Agar mereka dapat bicara dengan leluasa, ia hanya menjalankan kudanya lambat-lambat.

"Ibu, aku telah mendengar di Karang Tirta bahwa Ibu dibawa lari orang-orang Wengker, lalu aku melakukan pengejaran ke Wengker dan mendengar bahwa Ibu dibawa ke Wura-wuri. Dari Ki Tejoranu aku mendengar bahwa Ibu telah ditolong oleh dia dan Adiknya, lalu ditolong pula oleh Gusti Patih Narotama. Nah, apa yang sesungguhnya terjadi, Ibu?"

"Semua itu ulah Suramenggala yang sekarang menjadi tumenggung di Wengker. Dia hendak memaksa aku kembali menjadi keluarganya. Aku teguh menolak dan akhirnya mereka memutuskan untuk mengirim aku dan menyerahkannya ke Wura-wuri dengan maksud untuk memaksa engkau menyerahkan diri kepada Adipati Wurawuri."

"Hemm, aku sudah menduga begitu, Ibu. Sekarang aku sudah jelas mengetahui apa yang Ibu alami ketika diculik. Akan tetapi apa maksud kata-kata Ibu tadi yang mengatakan bahwa seringkali cinta menjerumuskan orang-orang muda ke alam lembah kedukaan?"

Nyi Lasmi menghela napas panjang. “Yang kumaksudkan adalah mengenai diri The Kim Lan."

"Mengapa dengan Kim Lan, Ibu?"

"Sesungguhnya, gadis yang malang itu, yang amat akrab denganku, seperti -anak sendiri, ia sengaja menyambut musuh yang sakti untuk membela Gusti Patih Narotama, sama dengan membunuh diri."

"Eh? Apa maksud Ibu?"

"Begini, Anakku. Kim Lan malam itu berterus terang kepadaku bahwa ia jatuh cinta kepada Gusti Patih Narotama dan Ia ingin agar diterima suwita, menjadi selir Gusti Patih. Akan tetapi, Gusti Patih Narotama agaknya menolaknya sehingga gadis itu putus asa. Ia sendiri bilang kepadaku bahwa kalau tidak dapat menjadi isteri Ki Patih Narotama, hidup tiada artinya lagi dan ia lebih suka mati. Ketika ada musuh sakti menyerang, ia nekat menyambut sehingga ia teriuka dan tewas."

"Ahhh.... menyedihkan sekali, Ibu. Dan bagaimana dengan Kakaknya?"

"Tejoranu? Tentu saja hatinya hancur lebur dan dia lari membawa jenazah Adiknya. Mungkin dia juga menyesal bahwa cinta dan penyerahan diri adiknya kepada Gusti Patih Narotama ditolak. Nah, sekarang ceritakan pengalamanmu Puspa Dewi."

"Cerita dari pengalamanku berbeda jauh dengan apa yang kaualami, Ibu. Pengalamanku sungguh menggembirakan dan membahagiakan kita semua."

"Hemm, bagaimana ceritanya? Apakah engkau sudah bertemu dengan Kakang Prasetyo?"

"Bukan hanya Ayah, aku telah bertemu dengan mereka semua! Ayah, Ibu Dyah Mularsih, Niken Harni puteri mereka, juga Kakek Tumenggung Jayatanu dan isterl-nya. Dan tahukah Ibu, mereka menyambut kedatanganku dengan gembira dan ramah sekali! Agaknya Ibu salah paham terhadap mereka. Kakek Tumenggung Jayatanu baik sekali dan merasa menyesal bahwa dia telah menyebabkan Ibu berpisah dari Ayah. Nenek Jayatanu juga amat baik. Dan Ibu Dyah Mularsih dan puterinya, Niken Harni, mereka baik sekali, Ibu. Ibu Dyah Mularsih menganggap aku sebagai anaknya sendiri dan Niken Harni sangat sayang kepadaku. Ibu, mereka semua itu merasa menyesal bahwa Ibu telah meninggalkan Ayah. Mereka selalu berusaha untuk mencari Ibu, namun tidak berhasil. Dan sekarang mereka telah menanti di Karang Tirta!"

"Apa?" Nyi Lasmi terkejut. "Mereka di Karang Tirta?"

"Semua keluarga itu tidak mau ketinggalan, ikut bersama Ayah yang datang ke Karang Tirta untuk menyambut dan memboyong kita ke kota raja!"

"Ah, tidak....!"

"Ibu, percayalah. Mereka semua itu dengan hati tulus menginginkan Ibu dan aku tinggal bersama mereka, menjadi satu keluarga dan Ibu akan dianggap tetap sebagai isteri pertama ayah. Ayah sekarang telah menjadi seorang Senopati Kahuripan, Ibu."

"Tidak, anakku.... tidak....!" Nyi Lasmi lalu menangis.

Puspa Dewi menahan kudanya dan ia merangkul Ibunya dari belikang.
"Mengapa, Ibu? Mengapa Ibu menolak, diboyong Ayah ke kota raja? Bukankah Ibu amat mencinta Ayah?"

Di antara tangisnya, Nyi Lasmi berkata, "Justeru karena aku amat mencintai dan menghormatinya, aku tidak bisa dan tidak boleh menerima ajakannya itu. Bahkan aku tidak boleh bertemu muka dengan Kakang Prasetyo....!" Tangisnya semakin mengguguk.

Puspa Dewi melompat turun dari atas kuda dan menurunkan Ibunya. Nyi Lasmi mendeprok di atas rumput sambil menangis sedih. Puspa Dewi merangkulnya.
"Ibu, katakan, mengapa Ibu berpendapat begitu? Apakah Ibu tidak percaya omonganku bahwa mereka semua amat baik dan ramah, semua mengharapkan Ibu tinggal serumah dengan mereka sebagai anggauta keluarga? Sesungguhnya, Ibu. Aku sama sekali tidak berbohong!"'

Lanjut ke Jilid 025 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment