Ads

Wednesday, October 17, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 025

◄◄◄◄ Kembali

"Ohh.... aku tidak berharga lagi, Puspa Dewi. Aku tidak pantas bertemu muka dengan Ayahmu! Aku sudah kotor dan hina Bagaimana mungkin aku sanggup bertemu muka dengan Kakang Prasetyo? Kalau dia tahu bahwa aku pernah menjadi selir Ki Suramenggala yang jahatl Ah, kalau keluarga Tumenggung Hayatanu, kalau Isteri Kakang Prasetyo tahu, betapa maluku! Mereka tentu akan mencemooh dan menghinaku habis-habisan! Tidak, Puspa Dewi, lebih baik aku mati daripada menghadapi semua penghinaan itu. Aku tidak sanggup menghadapinya....!"

Puspa Dewi mengusap air mata yang membasahi muka ibunya. "Mereka tidak akan memandang rendah kepadamu, Ibu. Apa Ibu mengira aku berdiam diri saja kalau ada orang menghina dan memandang rendah kepada Ibu? Mereka sama sekali tidak menyalahkan Ibu, mereka bahkan merasa kasihan sekali kepada Ibu yang hidup menderita. Ayah dan semua keluarga sudah tahu, Ibu. Aku sudah memberitahu kepada mereka, menceritakan semua pengalaman Ibu. Ayah tidak menyalahkan Ibu, bahkan semakin menyesali sikapnya sendiri dulu. Semua akan menerima Ibu dan menghormati Ibu. Aku yakin akan hal Ini. Mereka sekarang sedang menanti di Karang Tirta."

"Apa....? Mereka..Ayahmu.... sudah tahu bahwa aku pernah menjadi selir Suramenggala?"

"Benar, Ibu. Aku sudah menceritakan semuanya dan mereka sama sekali tidak menyalahkan Ibu. Semua keluarga mengikuti aku datang ke Karang Tirta dan ketika kami mendengar bahwa Ibu diculik dan keluarga Paman Lurah Pujosaputro dibunuh penjahat, mereka semua marah sekali dan aku tidak tahu apa yang sekarang mereka lakukan karena aku meninggalkan mereka di sana untuk mengejar dan mencari Ibu. Marilah, Ibu. Aku yang menanggung bahwa tidak akan ada seorang pun di antara mereka yang akan menghina Ibu."

Tiba-tiba terdengar bunyi derap kaki banyak kuda dating ke arah mereka. Puspa Dewi siap siaga.
"Ibu, duduklah di bawah pohon itu dan jangan takut. Aku akan menghajar mereka yang berani mengganggumu!" Gadis itu dengan gagah berdiri di tengah jalan, menanti munculnya rombongan berkuda Itu.

Senopati Yudajaya atau Prasetyo yang memimpin selosin orang perajurit pengawal itu menahan kudanya dan mengangkat tangan memberi isarat kepada pasukannya untuk berhenti ketika dia melihat Puspa Dewi berdiri tegak di tengah jalan.

"Puspa Dewi....!" Serunya dan dia melompat turun dari atas kudanya dan lari menghampiri gadis itu.

"Ayah....!" Puspa Dewi berseru, lega melihat bahwa rombongan berkuda itu adalah perajurit pengawal yang dipimpin Senopati Yudajaya.

"Puspa Dewi, bagaimana hasil pengejaranmu?"

Puspa Dewi hanya menjawab dengan gerakan ibu jarinya menuding ke arah ibunya.

"Diajeng Lasmi.....!" Senopati Yudajaya berseru ketika dia melihat Lasmi duduk di bawah pohon dan wanita itu menangis. Dia lalu berlari menghampiri dan sudah berlutut dekat Nyi Lasmi.

"Diajeng Lasmi, bertahun-tahun aku mencarimu...." kata Yudajaya dengan suara terharu dan dia memegang kedua tangan bekas isterinya itu.

"Jangan....!" Nyi Lasmi melepaskan kedua tangannya dan bangkit berdiri. "Kakang Prasetyo...., jangan sentuh aku... aku.... aku tidak pantas..."

"Hushh, Diajeng. Jangan bicara begitu, tak baik didengar para perajurit. Mari, mari kita ke Karang Tirta, semua keluarga menantimu. Di sana nanti kita bicara, Diajeng."

Puspa Dewi menghampiri mereka. "Ayah benar, ibu. Mari kita berangkat sekarang ke Karang Tirta."

Nyi Lasmi hanya mengangguk dan ketika beradu pandang dengan bekas suaminya, Nyi Lasmi merasa jantungnya berdebar. Betapa ia amat mencinta suaminya. Bahkan sampai sekarangpun! Memandang wajah suaminya yang kini Nampak kurus dan tua itu, ia merasa kasihan dan terharu sekali. Akan tetapi ia juga melihat dengan jelas betapa sinar mata Prasetyo masih seperti dulu kalau memandangnya, masih mengandung penuh kasih sayang.

Puspa Dewi tetap memboncengkan Ibunya dan rombongan itu lalu melakukan perjalanan ke Karang Tirta dengan cepat. Senopati Yudajaya yang menunggang kuda di samping Puspa Dewi bertanya kepada gadis itu.

"Puspa Dewi, apakah engkau tidak melihat Nlken Harnl?"

"Niken? Aku tidak melihatnya. Ia ke manakah, Ayah?"

"Hemm, itulah yang merisaukan hati. Ketika mendengar engkau pergi melakukan pengejaran terhadap para penculik dari Wengker itu, Niken Harni pergi tanpa pamit. Kami semua menduga bahwa ia tentu melakukan pengejaran pula untuk membantumu menghadapi orang-orang Wengker."

"Ah, mengapa ia begitu sembrono?" Puspa Dewi berseru kaget. "Di Wengker terdapat banyak sekali orang yang sakti mandraguna! Sungguh amat berbahaya kalau ia melakukan pengejaran memasuki Kadipaten Wengker!"

"Hemm, Niken Harni memang anak yang keras hati dan tidak mengenal takut. Aku khawatir sekali akan keselamatannya. Puspa Dewi, lalu bagaimana baiknya sekarang? Apakah aku bersama seregu pengawal ini akan melanjutkan saja ke Wengker mencari Niken Harni?" Senopati Yudajaya memberi isarat untuk berhenti. Semua kuda berhenti. Mendengar ini, Nyi Lasmi berkata kepada puterinya.

"Puspa Dewi, sebaiknya engkau yang memiliki kesaktian dan dapat menjaga diri, segera pergi mencari Adikmu Niken Harni."

"Dan bagaimana dengan Ibu?" tanya Puspa Dewi.

"Ibumu akan kembali ke Karang Tirta bersama kami. Atau, kau pikir aku membawa seregu perajurit ini membantumu? Kalau begitu, biar dua orang perajurit mengantar Diajeng Lasmini pulang ke Karang Tirta dan aku bersama para perajurit pengawal ikut denganmu mencari Niken Harni."

"Ah, tidak, Ayah. Aku lebih leluasa kalau pergi sendiri. Aku akan mencari Adik Niken sampai dapat kutemukan dan kami akan segera pulang. Sebaiknya sekarang Ayah dan Ibu kembali ke Karang Tirta dan langsung saja pulang ke kota raja. Aku hanya titip Ibuku, agar ia dapat berbahagia bersama Ayah dan semua keluarga di kota raja. Nah, aku pergi, Ayah. Ibu, aku pergi mencari Niken Harni."

Nyi Lasmi merangkul puterinya. "Hati-hatilah, Puspa Dewi, dan cari Adikmu sampai dapat ditemukan dengan selamat."

Puspa Dewi meloncat ke atas kudanya dan membalapkan kuda menuju ke arah yang berlawanan. Setelah bayangan gadis dan kudanya lenyap di tikungan, Senopati Yudajaya menghampiri Nyi Lasmi.

"Aku kira anak kita Puspa Dewi sudah menceritakan semua kepadamu tentang kami sekeluarga."

Nyi Lasmi mengangguk.

"Kalau begitu, Diajeng. Mari kita segera kembali ke Karang Tirta, di sana keluarga kita telah menanti dengan hati gelisah."

Melihat para perajurit berada ditempat yang agak jauh dari situ, Nyi Lasmi berbisik. "Akan tetapi, Kakang Prasetyo, aku sudah tidak berharga, aku pernah menjadi selir Suramenggala...."

"Kami semua sudah mengetahui akan hal itu, Diajeng. Dan kami sama sekali tidak menganggap engkau tidak berharga. Engkau melakukan hal itu dalam keadaan terpaksa ketika Puspa Dewi hilang diculik orang. Sudahlah, Diajeng, bagi kami, terutama bagi aku, engkau tetap Diajeng Lasmi yang dulu. Aku berjanji untuk menebus semua kesalahanku dahulu dengan membahagiakanmu, Diajeng. Tenangkan hatimu dan percayalah. Dyah Mularsih dan orang tuanya juga amat menantikanmu, mereka akan berbahagia sekali menerimamu karena hal itu akan membuat mereka merasa bebas dari kesalahan terhadap dirimu."

Lega rasa hati Lasmi mendengar ucapan suaminya yang dikeluarkan dengan nada sungguh-sungguh dan bukan hanya sekedar bermanis bibir untuk menghiburnya itu. Timbul keberaniannya untuk bertemu dengan madunya, Dyah Mularsih dan keluarga madunya Itu. Ia pun tidak merasa canggung atau malu-malu lagi ketika ia diboncengkan suaminya duduk di atas punggung kuda dan berangkatlah suami isteri Ini, dikawal dua belas orang perajurit menuju ke Karang Tirta.

Mula-mula, karena dilihat selosin orang perajurit, ada juga rasa sungkan dan malu diboncengkan Prasetyo duduk berhimpitan di atas punggung kuda, akan tetapi setelah ia menyadari bahwa yang memboncengkannya itu adalah Prasetyo, suaminya yang sah, rasa sungkannya perlahan-lahan menghilang dan perasaan bahagia yang amat mendalam membuat ia tidak dapat menahan mengalirnya berbutir-butir air mata ke atas pipinya.

Senopati Yudajaya atau Prasetyo menyentuh pundak Lasmi dengan tangan kirinya. Sentuhan lembut lalu terdengar pertanyaannya dengan suara lembut pula.

"Diajeng Lasmi, mengapa engkau menangis?" Dia tidak mendengar tangisan yang bersuara, akan tetapi dari guncangan pundak Nyi Lasmi membuat dia menjenguk dan melihat betapa kedua pipi isterlnya basah oleh air mata yang menetes-netes dari kedua mata wanita itu.

Nyi Lasmi meletakkan tangan kirinya di atas tangan suaminya yang menyentuh pundaknya dan menggunakan tangan kanannya untuk mengusap air mata dari kedua pipinya, dan ia tersenyum.

"Kakang.... aku.... aku merasa berbahagia sekali...."

Tangan Prasetyo meremas lembut pundaknya, kemudian melepaskannya untuk memegang kendali kuda dan dia membalapkan kudanya. Dua belas orang perajurit yang mengiringkan di belakangnya juga membedal kuda mereka.

Akan tetapi setelah memasuki Dusun Karang Tirta dan kuda mereka menuju ke rumah Ki Lurah Pujosaputro yang bersama keluarganya telah dibantai gerombolan penjahat, kembali Nyi Lasmi merasa sungkan dan malu sehingga jantungnya berdebar penuh ketegangan. Rasanya ia sungkan dan khawatir sekali harus berhadapan muka dengan Tumenggung Jayatanu, Nyi Tumenggung, dan Dyah Mularsih. Ia merasa begitu rendah, seorang dusun bertemu dengan keluarga bangsawan, seorang miskin bertemu dengan keluarga kaya, dan ia bahkan pernah menjadi selir laki-laki lain pula! la merasa rendah dan tak berharga. Prasetyo merasa betapa tubuh yang duduk di depannya itu gemetar.

"Engkau mengapa, Diajeng?"

"Kakang..... aku.... aku malu, aku takut...."

"He-heh, mengapa malu dan takut, Diajeng? Engkau isteriku dan mereka semua akan menyambutmu dengan gembirai Engkau akan diterima dengan hormat. Percayalah, kalau mereka tidak akan bersikap demikian, tentu aku tidak berani mengajakmu pulang ke sini."

UCAPAN suaminya ini agak membangkitkan keberanian Nyi Lasmi dan ketika kuda mereka memasuki halaman rumah mendiang Ki Lurah Pujosaputro, ia pun turun dan dengan tabah ia melangkah di samping suaminya menuju ke pendopo rumah kelurahan itu.

Agaknya mereka yang berada dalam rumah mendengar derap kaki kuda di halaman depan karena ketika Nyi Lasmi dan Senopati Yudajaya memasuki pendopo, berbondong-bondong keluar dari dalam rumah itu Dyah Mularsih, Tumenggung Jayatanu, dan Nyi Tumenggung. Nyi Lasmi tertegun memandang tiga orang yang dari pakaiannya saja sudah mudah diketahui bahwa mereka
adalah keluarga bangsawan. Dyah Mularsih maju ke depan menyambut suaminya.

"Diajeng Lasmi, inilah Diajeng Dyah Mularsih, ibu Niken Harni. Dyah Mularsih, ini Diajeng Lasmi, ibu Puspa Dewi."

Nyi Lasmi tertegun dan merasa canggung dan rendah melihat wanita cantik bersikap lembut yang berdiri di depannya dan yang memandang kepadanya dengan sepasang mata yang mengandung perasaan iba dan menyesal itu. Inilah isteri Prasetyo dan tidak aneh kalau Prasetyo jatuh cinta kepada wanita seperti ini. Ia pun isteri Prasetyo, akan tetapi sekarang ia sudah kotor dan hina, sudah menjadi selir Suramenggala selama beberapa tahun la merasa tidak pantas berada di antara keluarga inil

Dyah Mularsih juga memandang penuh perhatian. Ia melihat seorang wanita yang cantik manis, akan tetapi sinar mata Nyi Lasmi begitu penuh penderitaan, sayu dan kehilangan cahayanya, wajahnya agak pucat dan kurus, mulutnya seperti hendak menangis. Tiba-tiba ia merasa bersalah besar sekali terhadap wanita ini. Ialah yang menjadi penyebab wanita Ini menderita, berpisah dari suaminya dan hidup sengsara bersama anak nya, terlunta-lunta sampai jatuh ke tangan seorang laki-laki yang jahat.

"Mbakayu Lasmi....!" Ia mengeluh lalu menubruk dan merangkul Nyi Lasmi sambil menangis.

Nyi Lasmi terkejut dan heran, tak mengira madunya akan merangkulnya seperti itu. la hanya balas merangkul tanpa dapat mengeluarkan separah kata pun dan ia bingung harus berbuat dan berkata apa.

"Mbakayu Lasmi.... aku telah menyebabkan Andika.... menderita sengsara bertahun-tahun.... Mbakayu, maukah Andika mengampuni aku....?"

Mendengar ucapan yang tersendat-sendat bercampur isak dari Dyah Mularsih yang merangkulnya itu, Nyi Lasmi merasa terharu bukan main dan tak dapat ditahan lagi ia pun menangis. Ia sama sekali tidak pernah mengira bahwa madunya akan bersikap seperti inil Saking terharunya, ia sampai tidak dapat mengeluarkan kata-kata dan hanya dapat sesenggukan.

Nyi Tumenggung juga memegang tangan Nyi Lasmi dan mengguncang-guncangnya. "Aduh Anakku Lasmi...., kami orang-orang tua yang telah bersalah terhadapmu. Kami yang dulu merampas suamimu untuk kami jodohkan dengan anak kami. Kami merasa menyesal sekali telah menyebabkanmu hidup merana, Angger...! Maafkan kami, Lasmi...."

Tangis Nyi Lasmi semakin mengguguk mendengar ucapan Nyi Tumenggung itu. Dua orang wanita yang merangkulnya itu sungguh merupakan orang-orang yang amat baik budi. Benar kata puterinya, Puspa Dewi. Mereka adalah orang-orang yang bijaksana, sedangkan ia sendiri.... ah, ia merasa semakin rendah.

"Kanjeng Bibi.... jeng Dyah.... mohon jangan berkata begitu.... sesungguhnya sayalah yang harus minta maaf.... kedatangan saya hanya akan mengganggu kebahagiaan keluarga yang terhormat ini.... saya.... saya.... tidak berharga untuk menjadi anggauta keluarga ini.... saya.... orang hina dina.... biarkan saya pergi....I" Nyi Lasmi meronta lepas dan hendak berlari keluar.

"Mbakayu Lasmi....!” Dyah Mularsih menjerit dan mengejar lalu merangkul madunya. juga Nyi Tumenggung kini merangkul Nyi Lasmi. Tiga orang wanita Itu bertangis-tangisan.

Kini Tumenggung Jayatanu melangkah menghampiri. Suaranya yang besar berkata dengan lembut dan tenang.

"Wah, kalian bertiga ini bagaimana sih? Sepantasnya pertemuan ini mendatangkan tawa bahagia, akan tetapi sebaliknya kalian malah bertangis-tangisan dengan sedih? Sudahlah, tidak perlu dan tidak ada sajah menyalahkan di antara kita semua. Ketahuilah, Lasmi, sejak Andika pergi, kami sekeluarga tiada hentinya berusaha mencari dan menemukan Andika untuk kami ajak hidup bersama kami sekeluarga. Namun kami tidak berhasil menemukan Andika, baru setelah cucuku Puspa Dewi datang ke sini, kami mencarimu di Karang Tirta ini. Sekarang kita sudah bertemu dan berkumpul, kita sepatutnya berbahagia. Puspa Dewi sudah menceritakan seluruhnya tentang penderitaanmu dan kami sama sekali tidak menyalahkanmu, sama sekali tidak memandang rendah padamu. Bahkan kami merasa kasihan kepadamu dan kami ingin melihat Andika hidup berbahagia bersama suamimu dan kami di dalam keluarga kami. Mari kita semua masuk dan bicara di dalam."

Dengan digandeng Dyah Mularsih, Nyi Lasmi ikut masuk dan hatinya merasa terharu, akan tetapi juga berbahagia sekali. Tadinya ia masih ragu walaupun Puspa Dewi sudah memberitahu akan kebaikan sikap keluarga Dyah Mularsih, bahkan pertemuannya dengan Prasetyo semakin memberi keyakinan dalam hatinya bahwa ia akan diterima dengan baik.

Namun setelah kini ia mengalami sendiri dan merasakan kebaikan dan ketulusan hati Dyah Mularsih dan ayah ibu madunya itu, barulah ia merasa lega dan berbahagia sekali. Bahkan setelah mereka berdua malam Itu berada sekamar dan melihat Dyah Mularsih tampak gelisah memikirkan Nlken Harni, Nyi Lasmi menghiburnya.

"Tenangkan hatimu, Adik Dyah Mularsih. Kalian sekeluarga adalah orang-orang yang baik budi. Aku yakin bahwa Niken Harni tentu akan mendapatkan perlindungan dari Sang Hyang Widhi. Mari kita mendoakan saja semoga Sang Hyang Widhi selalu melindungi Niken Harni, kita berserah diri dan menerima dengan tulus Ikhlas apa yang telah ditentukan oleh Dia Yang Maha Kuasa. Juga, aku percaya bahwa anak kita Puspa Dewi akan mampu menemukan dan menyelamatkannya."

"Terima kasih, Mbakayu Lasmi. Aku pun mengharap demikian. Baru akan lega dan berbahagia sepenuhnya rasa hatiku kalau Niken Harni dan Puspa Dewi sudah berada bersama kita sehingga keluarga kita utuh seluruhnya dan berkumpul dalam ketumenggungan di Kahurlpan."

Pada keesokan harinya, keluarga Itu naik kereta kembali ke Kahuripan, dikawal oleh sepasukan perajurlt.

**** ****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment