Ads

Wednesday, October 17, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 026

◄◄◄◄ Kembali

Nurseta berjalan santai menuruni bukit. Sudah berhari-hari dia melakukan perjalanan di sepanjang Bukit Seribu, deretan bukit di selatan. Matahari pagi amat cerahnya. Sinarnya yang penuh daya hidup itu menghangatkan kulit. Pagi itu cerah, namun rupanya tidak cukup cerah bagi hati dan pikiran Nurseta yang melangkah seenaknya. Pemuda ini sedang termenung, mengenang perjalanan hidupnya yang telah lalu. Dia ingat bahwa sejak kecil dia tinggal di Karang Tirta bersama Ayah dan Ibunya. Ayahnya bernama Dharmaguna dan ibunya bernama Endang Sawitrl. Sejak dia berusia sepuluh tahun dia telah ditinggal ayah ibunya yang pergi begitu saja tanpa dia ketahui ke mana. Dia telah melakukan penyelidikan dan ketika dia dapat bertemu dengan kakeknya, yaitu ayah dari ibunya,

Senopati Sindukerta, baru dia ketahui mengapa ayah dan ibunya melarikan diri dan meninggalkannya. Senopati Sindukerta menceritakan segala hal mengenal ayah ibunya. Ibunya, Endang Sawitri, menolak dijodohkan pria lain karena ibunya Itu ketika gadis telah saling mencinta dengan Dharmaguna. Akan tetapi karena Dharmaguna hanya putera seorang pendeta miskin yang bernama Ki Jatimurti, maka Senopati Sindukerta menentangnya. Sebagai seorang bangsawan tinggi, Senopati Sindukerta tidak setuju puterinya menikah dengan seorang pemuda putera pendeta miskin. Lalu ayah ibunya melarikan diri, dikejar-kejar anak buah Senopati Sindukerta yang menghendaki puterinya kembali. Akan tetapi ayah ibunya dapat meloloskan diri dan kemudian dia dilahirkan dan sejak bayi ikut terbawa lari-lari bersembunyi menjadi buruan Senopati Sindukerta yang kehilangan puterinya dan yang selalu mencari puterinya yang merupakan anak tunggal yang amat dikasihi.

Akhirnya, ayah ibunya menetap di Karang Tirta. Ketika dia berusia sepuluh tahun, ayah ibunya meninggalkannya dan lari karena ada yang melapor kepada Senopati Sindukerta bahwa suami isteri itu berada di Karang Tirta. Dan semenjak mereka jadi pelarian ketika dia berusia sepuluh tabun, sampai sekarang dia berusia hampir dua puluh tiga tahun, selama belasan tahun Itu orang tuanya menghilang dan dia tidak pernah berhasil menemukan mereka. Dia hanya berhasil bertemu dengan kakek dan neneknya, yaitu Senopati Sindukerta dan isterinya yang menjadi orang tua ibunya. Akan tetapi dia tidak pernah dapat menemukan jejak orang tuanya. Inilah yang mengganjal hatinya. Dia akan selalu merasa penasaran sebelum dapat bertemu dengan orang tuanya. Bahkan ketika dia bertemu Sang Bhagawan Ekadenta dan menerima gemblengan selama
tiga bulan, dia pun bertanya kepada kakek sakti mandraguna itu setelah menceritakan tentang orang tuanya. Sang Bhagawan Ekadenta tersenyum dan hanya berkata.

"Segala sesuatu hanya dapat terjadi apabila dikehendaki oleh Sang Hyang Widhi, Angger. Namun sudah menjadi kewajiban manusia untuk berikhtiar, berusaha sekuat tenaga untuk mencapai apa yang diinginkan."

Hanya itulah nasihat Sang Bhagawan Ekadenta ketika dia menceritakan keinginannya untuk dapat bertemu dengan orang tuanya yang telah meninggalkannya tiga belas tahun yang lalu. Nurseta merasa prihatin sekali. Kalau ayah ibunya masin hidup, di mana tempat tinggal mereka dan mengapa pula mereka itu masih saja menyembunyikan diri setelah hampir dua puluh empat tahun melarikan diri dari Kahuripan? Dan seandainya mereka sudah meninggal pun, dia harus mengetahui di mana kuburnya.

Dia harus dapat menemukan orang tuanya. Akan tetapi kemana dia harus mencari mereka? Hatinya mulai merasa penasaran. Nurseta adalah seorang pemuda gemblengan yang mendapatkan bimbingan mendiang Empu Dewamurti yang bijaksana, kemudian malah mendapat gemblengan pula dari Bhagawan Ekadenta yang sakti mandraguna. Dia telah memiliki batin yang amat kokoh dan dapat menguasai semua nafsu dan perasaannya. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia seorang manusia biasa dan rasanya tidak mungkin bagi seorang manusia untuk dapat sepenuhnya bebas dari perasaan suka duka, puas kecewa, dan sebagainya. Memang lebih kuat dari orang biasa, lebih tenang, namun di lubuk hati Nurseta tetap saja terdapat perasaan silih berganti itu.

Kini Nurseta mempercepat langkahnya. Melihat betapa di situ sunyi, tidak tampak orang lain, dia lalu mengerahkan tenaganya dan tubuhnya berkelebat cepat mendaki bukit lain yang sudah menanti di depannya setelah dia menuruni bukit tadi. Dengan Aji Bayu Sakti, tubuhnya ringan dan dapat berlari cepat seperti terbang sehingga sebentar saja dia tiba di puncak bukit itu.

Setelah tiba di puncak, Nurseta merasa betapa lelah dan lemas tubuhnya. Baru dia teringat bahwa dia semalam melakukan perjalanan tanpa berhenti mengaso sebentar pun. Malam tadi terang bulan dan dia melakukan perjalanan sambil menikmati malam yang indah itu. Sekarang, setelah matahari mulai naik tinggi, dia merasa betapa tubuhnya lelah dan perutnya lapar. Maka, melihat sebatang pohon randu alas di puncak Itu, dia lalu berhenti mengaso dan duduk bersila di bawah pohon yang cukup dapat melindunginya dari sengatan sinar matahari.

Kalau tadi dia tenggelam dalam kenangan masa lalu, kini pikirannya melayang memikirkan kembali pencarian yang sedang dia lakukan terhadap orang tuanya. Hatinya mulai tertekan kepedihan karena dia merasa tidak berdaya. Dia tidak tahu harus mencari ke mana. Tidak ada petunjuk sama sekali ke mana kiranya ayah ibunya berada. Selama ini, sejak berpisah dari Sang Bhagawan Ekadenta yang telah menggemblengnya selama tiga bulan, dia hanya ngawur saja menurutkan hati dan kakinya dalam pencariannya. Mengingat akan keadaan ini, hatinya tertekan dan dalam keadaan prihatin itu, dia lalu duduk bersila dan batinnya mengeluh sedih, memohon petunjuk dari Sang Hyang Widhi.

Entah berapa lama dia duduk tepekur dalam samadhinya itu. Matahari naik semakin tinggi. Hawa mulai panas, namun terdapat angin semilir yang mengurangi hawa panas. Tiba-tiba pendengarannya menangkap suara orang bicara. Suara itu terbawa angin mencapai telinganya, terdengar cukup jelas, suara seorang laki-laki.

"Eyang, mengapa hidup ini penuh penderitaan? Hanya sedikit kesenangan dan lebih banyak kesusahan?"

Jawaban pertanyaan ini agaknya keluar dari mulut seorang yang sudah amat tua, karena gemetar dan agak parau, dalam.
"Angger, putuku bocah bagus! Apakah engkau melihat Eyangmu ini menderita?"

"Saya seringkali merasa heran mengapa Eyang tidak pernah kelihatan susah, ayem-ayem saja biarpun terkadang makan terkadang tidak, hidup miskin dan papa."

Nurseta merasa tertarik sekali dan tak lama kemudian dia sudah duduk bersembunyi di balik batu besar, tak jauh dari dua orang yang suaranya terbawa angin dan terdengar olehnya tadi. Mereka adalah seorang laki-laki muda berusia sekitar dua puluh lima tahun dan seorang kakek tua renta yang sukar ditaksir usianya, akan tetapi tentu sudah lebih dari delapan puluh tahun Mereka itu duduk di atas bangku bambu reyot di depan sebuah gubuk reyot pula yang berdiri di lereng bukit itu. Melihat keadaan pakaian dan sikap mereka yang lugu, mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang dusun yang hidupnya sederhana.

Nurseta semakin tertarik. Orang-orang dari dusun biasanya kalau bicara ceplas-ceplos terbuka, apa yang keluar dari mulut langsung keluar dari hati mereka, tidak munafik seperti orang kota terutama para bangsawan yang berusaha mati-matian untuk menyembunyikan keburukan mereka dan menonjolkan kebaikan. Selalu mementingkan kulit daripada Isi, sehingga orang-orang itu seolah-olah memakai topeng yang elok untuk menyembunyikan semua keburukan dan cacat mereka. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Heh-heh!" Kakek itu terkekeh dan tampak mulutnya yang sudah ompong, tak bergigi lagu "Kita hidup berdua di sini. Engkau dan aku berkeadaan sama, tidak ada yang lebih baik dan enak, tidak ada yang lebih buruk dan tidak enak. Akan tetapi engkau merasa dirimu banyak menderita, sedangkan aku tidak. Jelas bahwa bukan keadaan yang membuat seseorang menderita, melainkan cara dia menerima dan menghadapi keadaan itu. Aku ikhlas menerima kenyataan ini, maka aku tidak merasa menderita. Engkau sebaliknya menerima kenyataan hidup ini sebagai penderitaan, maka tentu saja engkau merasa menderita!"

"Akan tetapi, Eyang. Saya melihat bahwa semua orang miskin hidupnya susah dan semua orang kaya hidupnya senang! Bukankah kenyataannya begitu?"

"Itu pun hanya merupakan persangkaan saja, Angger. Kita saling memandang dan saling menilai tanpa mengetahui keadaan masing-masing yang sebenarnya. Aku sudah lama hidup, Cucuku, sudah mengenal banyak orang dan mengalami banyak kenyataan hidup. Aku sudah melihat banyak orang kaya yang hidupnya dipenuhi penderitaan seperti yang engkau rasakan. Mereka selalu khawatir kalau hartanya habis, mereka bosan dengan segala kemewahan yang mereka miliki. Hidup mereka tidak tenang, merasa terancam karena mereka kaya. Biarpun harta mereka bertumpuk, dapatkah mereka senang kalau tubuh mereka sakit? Atau isteri, atau anak atau keluarga mereka ada yang sakit berat? Aku melihat banyak orang yang menderita batinnya karena harta mereka menjadi rebutan anak-anak mereka. Jadi jelasnya, bukan kaya dan bukan miskin yang membuat orang menderita susah atau senang, melainkan bagaimana dia menerima kenyataan dirinya."

"Akan tetapi, Eyang. Kalau orang karena miskinnya hanya makan singkong setiap hari, itu pun tidak kenyang, apakah itu bukan susah namanya?"

"Diterima dengan susah, tentu saja susah. Akan tetapi kalau diterima sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat diubah lagi, mungkin dapat mendatangkan rasa bersukur karena masih ada yang dapat dimakan. Menerima suatu keadaan dengan perbandingan yang menimbulkan penilaian sehingga mendatangkan rasa susah adalah suatu kebodohan. Kesusahan tidak akan dapat mengubah keadaan. Kewajlban kita manusia hidup hanya untuk berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki keadaan."

"Eyang, kalau orang hidup kaya raya, setiap hari makan sekenyangnya dengan makanan yang mewah, pakaiannya indah-indah bertumpuk, rumahnya gedung besar dan indah. Apakah itu namanya bukan hidup serba enak, menyenangkan dan bahagia?"

"Memang, alangkah baiknya hidup dalam keadaan serba kecukupan. Akan tetapi, aku masih sangsi apakah mereka yang memiliki segalanya itu pun menikmati segalanya Itu, apakah benar semua kemewahan itu mendatangkan kesenangan. Sudah lama aku hidup, mengalami banyak keadaan, pernah serba lebih dan pernah pula serba kurang. Akan tetapi aku mendapat kenyataan bahwa yang dapat menikmati sesuatu adalah orang yang tidak memiliki sesuatu itu, Cucuku. Sebaliknya yang telah memiliki sesuatu itu, sudah tidak lagi dapat menikmatinya, bahkan menjadi bosan."

"Ah, aku tidak percaya, Eyang! Bagalmana mungkin orang tidak dapat menikmati segala kemewahan yang serba enak dan serba nikmat itu dan menjadi bosan!"

"Aku tidak berbohong, Cucuku. Begini contohnya. Siapa yang berkata bahwa makan daging ayam itu lezat? Tentu yang berkata itu mereka yang tidak pernah atau jarang sekali makan daging ayam. Akan tetapi kalau engkau bertanya kepada orang yang setiap hari makan nasi dengan daging ayam, dia akan berkata bahwa dia tidak merasakan lezatnya daging ayam, bahkan telah bosan dan dia mungkin saja ingin makan nasi dengan sayur asem dan tempe! Demikian pula, dengan segala macam kelebihan atau kemewahan yang lain. Yang dapat membayangkan nikmat dan senangnya hanya mereka yang belum memilikinya. Akan tetapi yang telah memilikinya, hanya menikmati untuk sementara waktu saja, kemudian menjadi bosan dan tidak dapat merasakan kenikmatannya lagi. Merasa kurang merupakan penyakit yang sukar disembuhkan. Sekali merasa kurang, walaupun kemudian keadaannya sudah berlebihan dan berlimpah, tetap saja dia akan merasa kurang dan tidak mengenal kepuasan. Sebaliknya, orang yang merasa cukup, bagaimanapun keadaannya akan merasa cukup dan dapat menikmati apa adanya dengan puji sukur kepada Sang Hyang Widhi Yang Maha Kasih."

"Wah, Eyang! Kalau begitu, apakah kita harus menerima saja keadaan miskin seperti sekarang ini? Kalau begitu, sejak lahir sampai mati nanti keadaanku tetap tidak akan berubah, tetap miskin kekurangan sandang pangan papan dan hidup sengsara!" orang muda itu memprotes. Kakek itu tertawa memperlihatkan gusi yang tak bergigi lagi.

"Ha-ha-ha-ha, bukan begitu, Cucuku! Jangan mencampuradukkan antara kebutuhan jiwa dan raga. Kita ini terdiri dari jiwa dan raga. Raga membutuhkan dicukupinya keperluannya sehingga dapat menjadi senang. Jiwa membutuhkan ketenteraman agar menjadi bahagia. Untuk mencukupi kebutuhan raga, kita harus berupaya sekuatnya, mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan papan bagi raga kita. Adapun jiwa kita haruslah selalu berdekatan dengan Sang Hyang Widhi, dengan penyerahan, dengan ikhlas menerima apa saja yang diberikan oleh Sang Hyang Widhi kepada kita, menerima apa adanya sebagai hasil usaha kita dengan puji sukur kepada-Nya. Berserah diri berarti dekat dengan Sang Hyang Widhi dan inilah satu-satunya kenyataan yang dapat mendatangkan ketenteraman dan membuahkan kebahagiaan. Jadi, kita berusaha ya lahir ya batin. Tanpa membanding-bandingkan keadaan dengan siapa pun, tanpa menilai keadaan yang bagaimanapun, selalu bersyukur akan apa yang kita dapatkan, selalu merasa KECUKUPAN. Rasa cukup Ini bukan terletak pada banyaknya harta benda, melainkan terletak dalam hati yang sudah berserah diri kepada Yang Maha Kuasa. Orang seperti inilah yang dalam keadaan bagaimanapun juga, tidak pernah merasa kekurangan dan selalu memuji syukur kepada Sang Hyang Widhi, maka dia akan merasakan kebahagiaan karena jiwanya tenteram."

"Walah, sulit sekali itu, Eyaig! Bagaimana kalau kita sudah bekerja mati-matian, hasilnya tetap saja sedikit sekali dan tidak mencukupi kebutuhan hidup?"

"Hemm, kalau engkau sudah merasa sulit sebelum engkau mulai melakukan, berarti engkau telah gagal sama sekail! Kalau usahamu tidak berhasil, pasti ada yang salah dalam usahamu itu! Jangan hanya mengeluh kepada Hyang Widhi, dan jangan menyalahkan setan! Sudah pasti ada yang salah dalam usahamu itu, carilah kesalahan sendiri itu dan perbaiki. Jangan pula mengendurkan penyerahan dirimu kepada kekuasaan-Nya, agar semua langkahmu diberi bimbingan oieh-Nya. Dua hal ini, yaitu berusaha sekuat tenaga, dan berserah diri agar mendapatkan bimbingan Sang Hyang Widhi, tidak boleh dipisahkan, kalau engkau ingin mendapatkan hasil baik lahir dan batinmu."

"Bagaimana itu maksudnya, Eyang?"

"Begini, Angger. Kalau engkau berusaha sekuat tenaga mencari uang untuk kebutuhan hidupmu tanpa bimbingan Sang Hyang Widhi, tanpa penyerahan kepada-Nya, maka besar kemungkinan nafsu daya rendah yang akan membimbingmu dan nafsu setan Itu akan menyeretmu melakukan usaha secara sesat. Bimbingan setan dalam usaha mencari uang itu menyeret orang melakukan kejahatan menipu, mencuri, merampok dan sebagai-nya untuk mendapatkan uang sebanyaknya! Sebaliknya kalau engkau hanya berserah diri kepada Sang Hyang Widhl tanpa berusaha sekuat tenaga, juga tidak akan berhasil. Berkah Sang Hyang Wldhi kepada kita sudah berlimpah, namun
semua berkah itu harus dipadukan dengan usaha kita yang tekun dan rajin."

"Misalnya bagaimana, Eyang?"

"Lihat, Sang Hyang Wldhl telah melimpahkan berkahnya kepada kita di antara yang teramat banyak itu adalah sinar matahari, hawa Udara, air, tanah, bibit padi dan sebagalnya. Kesemuanya Itu tidak dapat kita bikin. Semua Itu sudah tersedia untuk kita, namun semua berkah Itu tidak akan ada gunanya kalau tidak dipadukan dengan pengolahan usaha tenaga kita. Kita yang harus mencangkul tanah, mengairi, menanam dan merawat. .Baru menghasilkan bahan makanan. Jelas bahwa berkah yang berlimpah dari Sang Hyang Widhi harus dipadukan dengan usaha manusia. Keduanya merupakan dwl-tunggal yang tidak boleh dipisahkan."

"Terima kasih, Eyang. Biarpun semua keterangan Eyang tadi sungguh amat sukar dimengerti dan lebih sukar pula dilakukan, aku akan mencoba untuk menghayati. Sekarang ada satu lagi pertanyaan, harap Eyang suka menjelaskan."

"Apa itu, Angger?"

"Sebetulnya, apa sih tujuan hidup ini?"

Kakek itu tertawa terkekeh-kekeh. Nurseta yang sejak tadi mendengarkan, semakin tertarik. Semua yang dikatakan kakek itu bukan hal asing baginya karena dia dengar dari mendiang Empu Dewa-murti gurunya yang pertama. Hanya kakek ini bicara dengan bahasa yang amat sederhana seperti yang biasa dipergunakan penduduk dusun di pegunungan. Kini dia ingin sekali mendengar apa jawaban kakek dusun itu tentang tujuan hidup seperti yang ditanyakan tadi.

Setelah terkekeh-kekeh, kakek itu berkata. "Aeh, Cucuku, pertanyaanmu ini lucu dan aneh. Seluruh yang ada dan yang hidup di dunia ini, manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, kita semua ini hidup dan ada di dunia bukan atas kehendak kita sendiri! Kita ini ada karena ada yang mengadakan, kita hidup karena ada yang menghidupkan. Karena sejak semula hidup kita ini bukan atas kemauan kita, melainkan ada yang menghidupkan, maka tentu saja yang mempunyai rencana dan tujuan adalah DIA YANG MENGHIDUPKAN itu! Kalau kita mempunyai tujuan atau cita-cita, maka sudah pasti tujuan kita itu muncul dari keinginan badan kita yang selalu haus akan kesenangan dan kenikmatan. Dan tujuan kita itu pasti bukan tujuan SANG MAHA PENCIPTA itu!"

"Lalu apa tujuan Sang Hyang Widhi dengan menciptakan kita hidup di dunia ini, Eyang?"

"Wah, kita manusia mana mungkin mengetahui apa yang menjadi rencana Sang Hyang Wldhl? Terlalu Jauh, terlalu tinggi terlalu dalam Akan tetapi kita dapat melihat di sekeiiilng kita. Semua mahluk, yang hidup maupun yang mati, semua itu berguna bagi pihak lain. Bahkan rambut saja berguna menghidupi hewan-hewan yang memakannya. Sampah pun dapat menyuburkan tanah. Semua itu ada gunanya, semua itu mempunyai sifat untuk mamayu hayunlng bawono (mengusahakan kesejahteraan hidup di dunia). Nah, sekarang kita sendiri sebagai salah satu mahluk hidup. Apakah kita ini berguna bagi orang lain? Apakah hidup kita ini sudah ikut mamayu hayuning bawono? Kurasa itulah kewajiban hidup kita, bukan tujuan hidup, melainkan kewajiban, yaitu mamayu hayuning bawono, berguna bagi orang lain dan bagi lingkungan, melakukan segala kebalkan untuk ikut menyejahterakan kehidupan di muka bumi Ini."

Percakapan itu terhenti dan Nurseta lalu meninggalkan tempat persembunyiannya, pergi dari situ dan merasa pikirannya melayang-layang seperti seekor burung garuda di angkasa. Semua pembicaraan tadi masih terngiang di telinganya, indah dan merdu seperti suara gamelan dari Lokananta (sorga tanpa akhir). Entah bagaimana, percakapan dua orang dusun sederhana tadi menghilangkan semua kesedihan hatinya yang tadi timbui karena dia memikirkan usahanya mencari orang tuanya yang belum juga dapat dia temukan jejaknya. Tiba-tiba, pikirannya yang kosong, terisi bayangan kampung halamannya, yaitu Dusun Karang Tirta dimana dahulu ayah ibunya meninggalkannya ketika dia berusia sepuluh tahun. Dia pun menujukan langkahnya ke arah Karang Tirta!

Nurseta berdiri termenung di depan rumah tua itu. Semua kenangan masa lalu, ketika dia masih kecil, terbayang dalam ingatannya. Rumah itu masih seperti dulu, walaupun ada perbaikan di sana-sini karena lapuk, diganti anyaman bamboo baru, namun bentuknya masih sama dengan belasan tahun yang lalu. Rumah bekas milik orang tuanya itu dahulu diambil oleh Ki Lurah Suramenggala, katanya untuk membiayai kebutuhan hidup Nurseta selama mondok di rumah Ki Lurah Suramenggala selama enam tahun. Dia bertanya-tanya dalam hatinya apakah rumah itu kini masih dikuasai Ki Suramenggala?

Tiba-tiba pintu depan rumah itu terbuka dan Nurseta cepat menyelinap di balik batang pohon johar yang tumbuh di tepi jalan, di luar rumah itu. Dari dalam rumah itu muncul seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh satu tahun. Dia mengenal baik orang itu dan tanpa ragu dia muncul dari balik batang pohon johar dan berjalan cepat memasuki halaman rumah yang tak berapa luas itu.

"Paman Tejomoyo!" tegurnya.

Orang tua itu mengangkat muka dan memandang pemuda yang kini telah berdiri di depannya.

"Ohh,.... Anakmas Nurseta....!" Dia berseru sambil tersenyum gembira ketika mengenal pemuda itu. Dengan kagum dia mengamati pemuda yang sudah amat dikenalnya Itu. Dia mengenal Nurseta sejak dia masih kanak-kanak, mengenal orang tua Nurseta, bahkan menjadi tetangga mereka. Kemudian dia mengikuti perkembangan Nurseta ketika tumbuh dewasa, sejak berusia sepuluh tahun ditinggal orang tua dan hidup sebatang kara, menjadi bujang di rumah Ki Lurah Sura-menggala. Kemudian dia mendengar tentang Nurseta yang telah menjadi seorang yang sakti mandraguna, bahkan telah berjasa besar terhadap Kahuripan. Dia mengamati pemuda Itu. Tubuhnya sedang dan tegap, kulitnya agak gelap namun bersih dan halus. Wajahnya tidak terlalu
tampan namun juga tidak jelek. Sepasang mata yang tajam lembut dan senyumnya yang ramah penuh pengertian itu membuat wajah pemuda itu menarik dan menimbulkan rasa suka di hati yang memandangnya.

"Paman Tejomoyo, siapakah penghuni rumah Ini sekarang?"

"Aku sendiri yang diserahi menjaga rumah ini, Nurseta. Mari, masuklah, kita bicara di dalami"

Dengan ramah Ki Tejomoyo mempersilakan pemuda Itu masuk. Setelah memasuki ruangan depan, Nurseta melihat betapa prabot dalam ruangan Itu telah bertambah. Tentu Ki Lurah Suramenggala yang menambahnya. Akan tetapi sebuah meja jati yang tebal, dengan dua buah kursi yang dulu menjadi tempat duduk Ayah Ibunya, masih berdiri di pojok ruangan itu. Dia lalu menghampiri dan duduk di atas sebuah dari dua kursi Itu, yaitu di kursi yang kiri, yang dahulu biasa diduduki ibunya. Hatinya terharu. Serasa masih hangat kursi itu bekas diduduki Ibunya! Ki Tejomoyo lalu duduk di kursi kedua, berhadapan dengan Nurseta, terhalang meja jati yang tebal.

"Paman, bagaimana Paman kini dapat tinggal di sini? Apa saja yang telah terjadi di Karang Tirta ini?" tanya Nurseta.

"Wah, banyak sekali yang telah terjadi, Anakmasl Sejak engkau datang ke sini dan menghajar Ki Lurah Suramenggala Itu, telah terjadi banyak hal yang mendatangkan perubahan besar di Karang Tirta."

"Ceritakanlah, Paman. Aku ingin sekali mendengarnya."

"Engkau tentu telah mengetahui bahwa Nyi Lasmi, ibu Puspa Dewi, telah menjadi selir Ki Suramenggala. Puspa Dewi telah pulang ke sini dan dia telah menjadi seorang gadis yang digdaya. Juga putera Ki Suramenggala yang bernama Linggajaya itu telah pulang dan dia pun menjadi seorang pemuda yang sakti. Akan tetapi dua orang muda yang sakti itu tidak lama berada di sini. Mereka pergi lagi dan sampai lama sekali tidak terdengar beritanya tentang mereka. Kemudian, semenjak puteranya pulang dan menjadi seorang pemuda digdaya, Ki Lurah Suramenggala menjadi semakin galak, kejam dan merajalela di dusun ini. Lalu pada suatu hari dating Gusti Patih Narotama."

"Gusti Patih Narotama? Datang ke Karang Tirta?"

"Benar, Anakmas. Dan terjadilah perubahan hebat yang membuat semua penghuni Karang Tirta bergembira. Karena sikap dan ulahnya yang jahat, Gusti Patih Narotama marah dan mencopot Ki Suramenggala dari kedudukannya sebagai lurah. Bahkan Ki Suramenggala yang sudah mati kutu dan takut kepada Gusti Patih Narotama, diusir keluar dari Karang Tirta oleh penduduk. Dia pergi meninggalkan dusun ini bersama keluarganya. Hanya Nyi Lasmi yang tidak mau ikut dan tetap tinggal di sini. Sebagai penggantinya, oleh Gusti Patih Narotama diangkat lurah baru, yaitu Ki Lurah Pujosaputro yang kemudian bersama keluarganya tinggal di rumah kelurahan, menggantikan Ki Suramenggala. Keluarga ini juga menampung Nyi Lasmi yang tinggal mondok di sana."

"Wah, perubahan yang baik sekali itu, Paman! Gusti Patih Narotama telah melakukan kebijaksanaan yang menggembirakan sekali!"

"Memang sesungguhnya begitu, Nurseta. Kami semua hidup tenteram. Semua kekayaan Ki Suramenggala disita dan tanah-tanah yang dulu dirampasnya dari penduduk, dikembalikan kepada pemiliknya dahulu. Rumah orang tuamu ini juga disita dan aku ditugaskan untuk menjaganya sampai engkau datang untuk diserahkan kembali kepadamu."

"Hemm, terima kasih, Paman. Untuk sementara biarlah Paman yang menempati rumah ini. Sekarang aku hendak menghadap Ki Lurah Pujosaputro yang kukenal dengan baik."

"Ah, Anakmas. Telah terjadi malapetaka besar menimpa keluarga Ki Lurah Pujosaputrol"

"Eh, apa yang terjadi?"

"Sebaiknya kulanjutkan ceritaku tadi. Setelah Ki Lurah Pujosaputro memimpin dusun ini, kehidupan rakyatnya menjadi tenteram dan sejahtera. Akan tetapi pada suatu hari muncul Linggawijaya Dia mengamuk dan hendak membunuh Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, akan tetapi muncul Puspa Dewi yang menandinginya. Penduduk juga menyerbu hendak mengeroyok Linggajaya sehingga dia melarikan diri."

"Baik sekali kalau begltul" kata Nurseta, ikut merasa lega,

"Akan tetapi lalu terjadilah malapetaka itu. Puspa Dewi pergi ke kota raja, untuk mencari Ayah kandungnya dan muncullah orang-orang jahat suruhan Ki Suramenggala. Mereka itu ganas dan jahat sekali. Ki Lurah Pujosaputro sekeluarganya berikut para pelayan di rumah kelurahan itu mereka bunuh, hanya seorang pelayan saja yang lolos dari maut, sedangkan Nyi Lasmi dilarikan!"

"Ahh....! Gerombolan itu suruhan Ki Suramenggala?"

"Benar, Anakmas. Agaknya Ki Suramenggala membalas dendam, menyuruh bunuh lurah baru sekeluarganya dan menculik Nyi Lasmi. Kebetulan pada waktu Itu, Puspa Dewi bersama rombongan Ayah kandungnya beserta Ibu tirinya sekeluarga datang ke Karang Tirta."

"Ayah kandung Puspa Dewi?"

"Benar. Ayahnya adalah Senopati Yudajaya yang dating bersama istennya yang ke dua dan puterinya, juga Ayah dan Ibu mertuanya. Ayah mertua Senopati Yudajaya itu adalah Tumenggung Jayatanu. Mendengar malapetaka yang menimpa keluarga Lurah Pujosaputro dan tercullknya Nyi Lasmi, Puspa Dewi melakukan pengejaran. Kemudian Adik tiri Puspa Dewi yang bernama Niken Harni juga melakukan pengejaran, disusul pula oleh Senopati Yudajaya yang membawa selosin perajurlt pengawal."

"Bagaimana hasilnya? Apakah mereka dapat menyelamatkan Nyi Lasmi?"

"Nyi Lasmi berhasil ditemukan dan diselamatkan. Ia pulang kesini bersama suaminya, yaitu Senopati Yudajaya dan menurut berita yang aku dengar, ternyata Nyi Lasmi diselamatkan oleh Gusti Patih Narotama sendiri. Kemudian, rombongan keluarga Senopati Yudajaya itu, termasuk pula Nyi Lasmi, meninggalkan Karang Tirta dan kembali ke Kahuripan."

"Sukurlah kalau begitu, keluarga Puspa Dewi dapat bersatu kembali dalam keadaan selamat."

"Tapi masih ada sebuah hal yang membuat keluarga itu khawatir, Anak mas Nurseta, yaitu Puteri Senopati Yudajaya yang merupakan Adik tiri Puspa Dewi itu."

"Yang bernama Niken Harni?"

"Ya, mendengar Adik tirinya mengejar gerombolan yang menculik Nyi Lasmi dan belum tampak kembali, Puspa Dewi lalu pergi mencarinya sedangkan semua keluarga bangsawan itu kembali ke Kahuripan."

"Hemm, dan sekarang, siapa pengganti lurah yang tewas itu?"

"Urusan ini akan dilaporkan Tumenggung Jayatanu ke Kahuripan, dan untuk sementara beliau menyarankan agar penduduk mengadakan pilihan sendiri dan mengangkat seorang lurah baru. Kami telah memilih Anakmas Prawiro, keponakan mendiang Ki Pujosaputro yang tadinya membantu pamannya sebagal carik, untuk menjadi lurah sementara sebelum ada keputusan dari Kahuripan."

"Terima kasih atas semua keterangan-mu itu, Paman. Sekarang, aku hendak menyampaikan keperluanku sendiri. Aku datang berkunjung kepadamu untuk minta tolong, Paman. Dulu Paman pernah menceritakan kepadaku tentang orang tuaku dan dari keterangan Paman itu aku sudah berhasil bertemu dengan Kakekku, yaitu Ayah dari Ibuku. Beliau adalah Eyang Senopati Sidukerta di Kahuripan. Akan tetapi Eyang juga sedang mencari-cari Ayah Ibuku itu dan sampai sekarang aku belum berhasil menemukan mereka...."

"Wah. sejak tadi aku sudah ingin menyampaikan hal ini. akan tetapi didahului bicara tentang malapetaka yang terjadi di Karang Tirta sehingga aku hampir lupa menceritakan padamu. Anakmas Nurseta. Kurang lebih sebulan yang lalu sebelum terjadi malapetaka itu, pada suatu senja aku kedatangan seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Dia mengaku bernama Pakem dan datang dari Dusun Singojajar yang berada di kaki Gunung Semeru. Dusun ini termasuk daerah Kadipaten Wura-wuri. Si Pakem ini dating untuk bertanya tentang dirimu, Anakmas Nurseta. Dan dia ternyata diutus oleh.... Dharmaguna, Ayahmu...."

"Wah, Paman Tejomoyo! Mengapa tidak Andika ceritakan dari tadi?" Nurseta berseru sambil memegang pergelangan tangan Ki Tejomoyo sehingga orang tua itu mengaduh.

"Aduh, sakit....!"

"Ah, maafkan aku, Paman!" kata Nurseta sambil melepaskan pegangannya. "Saking kaget mendengar kejutan ini aku terlalu kuat memegang lenganmu. Lanjutkan ceritamu, Paman!"

"Tentu saja aku juga girang mendengar bahwa Si Pakem itu utusan Dharmaguna. Aku lalu menceritakan tentang dirimu, semua yang sudah kuketahui dan kudengar tentang dirimu. Aku juga mendengar dari Pakem itu, yang ternyata adalah seorang pembantu setia Ki Dharmaguna yang hidup sebagal petani, bahwa orang tuamu berada dalam keadaan sehat dan selamat."

"Aduh.... terima kasih kepada Sang Hyang Widhi...., ah Paman Tejomoyo, Andika tidak tahu betapa membahagiakan hati mendengar ceritamu ini!"

"Aku tahu, Anakmas! Aku sendiri pun gembira sekali mendengar pengakuan Pakem itu. Akan tetapi agaknya orang tuamu itu masih merasa khawatir dan Pakem itu tidak berani bercerita banyak. Ketika aku bertanya tentang Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri, dia mengatakan tidak tahu banyak tentang mereka, hanya mengatakan bahwa Ki Dharmaguna adalah seorang petani yang tinggal di dusun Singojajar di kaki Gunung Semeru. Bahkan dia lalu tergesa-gesa pergi setelah mendengar keterangan tentang dirimu, tidak mau menginap di sini walaupun kubujuk-bujuk."

"Wah, keterangan itu sudah lebih dari, cukup, Paman! Sekarang aku pamit, Paman!"

"Eh? Mengapa tergesa-gesa, Anakmas? Tinggalkan di sini, setidaknya menginaplah di sini. Ini sekarang telah dikembalikan kepadamu. Rumah ini milikmu."

"Lain kali saja, Paman. Terima kasih, aku harus pergi mencari orang tuaku di Singojajar sekarang juga!"

Lanjut ke Jilid 027 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment