Ads

Monday, November 12, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 034

◄◄◄◄ Kembali

Dengan ilmunya berlari cepat yang membuat Puspa Dewi dapat berlari seperti terbang, gadis itu yang mencari adik tirinya, Niken Harni, memasuki daerah Kerajaan Wengker. Ia tahu bahwa daerah itu berbahaya. Di situ terdapat banyak orang sakti. Apalagi kini yang menjadi adipati adalah Linggajaya, seorang pria yang jahat namun sakti dan yang menjadi satu di antara musuh-musuhnya. Setelah dulu daiam gerakan persekutuan antara tiga kerajaan kecil yang membantu pemberontakan di Kahurlpan, ia telah berbalik membela Kahuripan sehingga dianggap pengkhianat oleh persekutuan, ia dianggap musuh oleh empat kerajaan itu. Kerajaan Wengker dengan adipatinya Linggawijaya, Kerajaan Wura-wuri dengan adipatinya Bhismaprabhawa di mana gurunya, Nyi Dewi Durgakumala, kini menjadi permaisuri Wura-wuri. Yang ke tiga adalah
Kerajaan Parang Siluman dengan adipatinya Ratu Wanita Durgamala yang memiliki banyak pembantu sakti, di antaranya puteri-puterinya sendiri, Ni Lasmini dan Ni Mandari, dan yang ke empat adalah Kerajaan Siluman Laut Kidul dengan penguasanya Ratu Mayang Gupita, raksasa wanita yang sakti itu.

Kini ia memasuki wilayah Kerajaan Wengker, sebuah diantara empat kerajaan itu dan Wengker dapat dikatakan sebagai yang terbesar dan terkuat di samping Kerajaan Parang Siluman. Akan tetapi ia tidak merasa gentar. Ia harus dapat menemukan Niken Harni dan kalau perlu ia akan menemui Adipati Linggawijaya sendiri untuk minta agar adiknya itu dibebaskan, seandainya Niken Harni memang tertawan di Wengker.

Kerajaan Wengker adalah sebuah kerajaan yang cukup luas dan di daerah itu memiliki ciri yang khas, yaitu bahwa para penduduknya sebagian besar terdiri dari orang-orang yang pembawaannya kasar dan jarang terdapat wanita cantik. Para prianya kebanyakan tinggi besar dan bertubuh kokoh kuat, pembawaannya gagah dan keras. Jarang terdapat wanita cantik di antara penduduk Wengker aseli. Karena itu, ketika Puspa Dewi melakukan perjalanan memasuki daerah Wengker, orang-orang yang bertemu dengannya memandang penuh perhatian dan mereka merasa kagum sekali. Tentu saja Puspa Dewi tidak mempedulikan mereka dan langsung saja ia melakukan perjalanan cepat menuju ke kota Kadipaten Wengker.

Pada suatu sore ia tiba di sebuah dusun di tepi sebuah sungai yaitu Kali Ngebel. Dusun Nguter itu merupakan sebuah dusun yang cukup besar karena penduduknya dapat hidup cukup makmur dengan hasil sawah ladang mereka yang subur karena mendapatkan air yang cukup dari Kali Ngebel. Seperti juga di setiap tempat yang ia lalui, ketika ia memasuki dusun itu pun, orang-orang yang melihatnya, terutama orang-orang lelaki, memandangnya dengan tertarik dan penuh kagum. Mereka jarang melihat wanita secantik Puspa Dewi dan mereka tahu bahwa gadis ini adalah seorang asing karena di antara mereka tidak ada yang mengenalnya.

Puspa Dewi terpaksa menunda perjalanannya. Senja telah mendatang. Ia harus melewatkan malam di tempat ini. Ia tidak ingin ada orang di dusun itu yang mencurigainya sehingga perjalanannya ke kota kadipaten akan mengalami banyak gangguan. Karena itu, ia memilih tempat yang terpencil dan jauh dari perumahan, di tepi sungai. Akan tetapi perutnya terasa lapar sekali. Ketika ia berjalan perlahan di tepi sungai, ia melihat berkilatnya kulit ikan yang meluncur di dalam air sungai yang bening itu. Sepasang matanya berkilat, wajahnya berseri. Ada makanan tersedia di dalam air sungai, pikirnya.

Puspa Dewi lalu mencari sebatang ranting pohon dan meruncingi ujungnya. Setelah itu ia lalu berjalan perlahan menyusuri tepi Kali Ngebet sambil memperhatikan ke arah air dengan ranting runcing siap di tangan kanan. Tiba-tiba ia melihat bayangan beberapa ekor ikan berenang di depannya. Cepat sekali ranting runcing itu meluncur dan ujungnya yang kecil runcing sudah menembus kepala seekor ikan! Dengan girang Puspa Dewi mengambil ikan itu dari tongkat runcingnya. Kemudian ia mengintai lagi. Sedikitnya ia harus mendapatkan tiga ekor ikan untuk dapat mengenyangkan perutnya yang lapar karena ikan itu pun tidak terlalu besar, hanya sebesar pergeiangan tangannya. Akan tetapi agaknya gerakan di air ketika ia menangkap seekor ikan tadi membuat ikan-ikan di dekat situ ketakutan. Terpaksa ia harus berjalan terus, mencari ke bagian lain. Akhirnya ia berhasil memperoleh tiga ekor ikan.

Gadis yang sudah biasa melakukan perantauan ini dengan girang lalu membuang isi perut ikan dan memanggang ikan-ikan itu di tepi sungai. Biarpun ikan-ikan itu tidak diberi bumbu, dipanggang begitu saja, namun terasa cukup lezat dan sebentar saja tiga ekor ikan itu tinggal kepala dan tulang saja yang ia lemparkan ke dalam sungai.

Puspa Dewi membersihkan tangan, lalu mencuci muka dan kaki lengannya. Lalu ia mulai mencari tempat yang enak untuk melewatkan malam. Ketika ia sedang mencari-cari tempat untuk mengaso melewatkan malam, tiba-tiba ia mendengar jeritan suara wanita yang datangnya dari dalam hutan kecil di tepi sungai. Cepat ia melompat dan berlari memasuki hutan kecil itu.

Tak jauh ia berlari, ia melihat seorang laki laki bertubuh tinggi besar bermuka hitam, berusia sekitar tiga puluh lima tahun, menarik-narik lengan seorang wanita muda dan menyeretnya menuju ke sebuah guha yang berada di situ.

"Jangan....! Lepaskan aku, lepaskan...! Tolooongggg....!!” Wanita muda itu menjerit-jerit.

"Ha-ha, tidak ada yang akan mendengarmu. Andaikata ada pun siapa berani mencampuri urusan Drohawisa? Diamlah dan aku tidak akan bertindak kasar terhadap dirimu!" Tiba-tiba laki-laki tinggi besar itu menggerakkan kedua tangan dan tahu-tahu dia telah memondong tubuh wanita yang meronta-ronta dan menjerit-jerit itu.

"Lepaskan aku....! Aku mau menolong suamiku.... lepaskan aku, kasihanilah aku.... suamiku.... ah, engkau telah membunuhnya...!" Wanita itu menangis.

"Ha-ha, Wiyanti, engkau menurut saja padaku dan engkau akan hidup senang. Suamimu berani menentangku, maka kubunuh dia dan kalau engkau selalu menolakku, akan kukirim kau menyusul suamimu!"

"Bunuh saja aku! Bunuh....!"

"Ha-ha-ha, sayang kalau dibunuh!"

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Jahanam busuk!" dan Puspa Dewi telah berdiri menghadang di depan laki-laki yang memondong tubuh wanita itu dan hendak memasuki guha.

Laki-laki yang tadi mengaku bernama Drohawisa itu terkejut dan marah sekali melihat ada orang berani menentangnya. Akan tetapi ketika dia melihat bahwa yang menghadang dan memakinya itu adalah seorang gadis yang cantik jelita, dia terbelalak kagum dan segera melepaskan tubuh wanita yang dipondongnya dengan kasar, seperti membuang sebuah benda yang tidak berharga. Wanita itu terbanting jatuh dan mengeluh kesakitan menangis lalu merangkak menjauhi laki-laki itu, duduk bersandar batang pohon dan menangis.

"Wah! Bidadari dari mana datang menemuiku? Cantik sekali engkau. Aduh .... beruntung sekali aku hari Ini, mendapatkan seorang bidadari!"

Dahulu, Puspa Dewi adalah seorang gadis yang berwatak keras dan ganas. Hal ini adalah karena selama lima tahun ia digembleng dalam pendidikan Nyi Dewi Durgakumala yang sesat. Dulu, kalau bertemu orang yang dianggapnya musuh, tentu ia akan menurunkan tangan besi dan menghajar orang itu tanpa banyak bertanya lagi. Akan tetapi semenjak ia mendapat pendidikan Sang Maha Resi Satyadharma selama tiga bulan, wataknya berubah banyak. Biarpun kini ia marah sekail melihat Drohawisa menculik dan hendak memperkosa Wiyanti, namun la menahan diri sebelum mengetahui duduknya perkara. Maka, ia tidak mempedulikan ucapan Drohawisa tadi dan menghampiri Wiyanti yang duduk menangis sambil bersandar pada batang pohon Itu.

Wanita itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. Seperti kebanyakan wanita daerah Wengker, wanita ini pun memiliki bentuk tubuh yang tegap dan besar. Wajahnya termasuk sedang saja bagi wanita pada umumnya, namun bagi orang-orang Wengker, ia sudah dapat disebut manis dan menarik.

"Mbakayu, ceritakanlah apa yang telah terjadi? Jangan takut, aku akan melindungimu."

Dengan terisak-isak Wiyanti menceritakan betapa Drohawisa selalu menggoda dan membujuk-rayunya. Wiyanti yang sudah bersuami tentu saja menolak dan siang tadi, ketika Drohawisa menggodanya lagi, suami Wiyanti yang bernama Garino pulang dan menegur Drohawisa dengan marah melihat laki-laki itu menggoda isterinya. Terjadi perkelahian dan Garino dihajar oleh Drohawisa yang tentu saja jauh lebih kuat karena dia adalah seorang jagoan, murid seorang warok muda terkenal bernama Wirobento. Drohawisa menangkap dan melarikan Wiyanti, meninggalkan Garino yang roboh pingsan dengan tubuh menderita luka-luka akibat pukulan dan tendangan Drohawisa.

"Demikianlah, Mas Roro.... dia membawa aku sampai ke tempat ini.... dan aku tidak tahu bagaimana dengan nasib suamiku...."

Wiyanti mengakhiri ceritanya sambil menangis. Mendengar ini, sepasang mata Puspa Dewi mencorong ketika ia membalik dan menghadapi Drohawisa. Ia melihat betapa laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam itu menyeringai dengan pandang mata seolah hendak menelan bulat-bulat gadis cantik jelita yang berdiri di depannya itu.

"Ha-ha-ha, sekarang juga akan membebaskanmu, Wiyanti. Aku tidak membutuhkan engkau lagi. Sepuluh orang seperti engkau pun akan kutukarkan dengan gadis bidadari ini, hehheh-heh!"

"Jahanam busuk! Orang macam engkau ini tidak pantas hidup di dunia ini!"

"Ha-ha, aku mau hidup di neraka asalkan bersama engkau, perawan denok montrok, ayu manis merak ati! Mari kupondong engkau, dewiku!"

Drohawisa adalah seorang hamba nafsu yang selalu melakukan perbuatan apa pun untuk melampiaskan nafsu nafsunya. Tidak ada perbuatan yang dipantangnya dan sudah terbiasa memaksakan kehendaknya. Orang seperti dia itu berwatak sombong dan mengagulkan kekuatan sendiri, memandang rendah kepada semua orang. Kalau bertemu orang yang lebih kuat dia tidak segan untuk merangkak dan menjilat-jilat seperti anjing mencari perhatian, sebaliknya terhadap yang lemah dia selalu menindas dan memandang rendah. Tentu saja dia memandang rendah seorang gadis muda seperti Puspa Dewil Setelah berkata demikian, sambil menyeringai dia sudah menubruk maju dengan cepat untuk menangkap gadis yang kecantikannya membuat dia tergila-gila itu. Sudah gatal-gatal tangannya untuk mendekap dan membelai gadis itu. Kedua lengannya yang panjang dikembangkan, jari-jari tangannya terbuka dan kedua tangan itu dari kanan kiri menyambar ke arah tubuh Puspa Dewi untuk menangkapnya.

Puspa Dewi yang sudah marah tidak mau memberi hati lagi. Cepat seperti kilat menyambar, kaki kirinya mencuat ke depan dan sebelum kedua tangan Drohawisa sempat menyentuhnya, kakinya telah lebih dulu menghantam perut laki-laki tinggi besar bermuka hitam itu.

"Syuuutt.... desss....!"

"Hekk....l” Tubuh tinggi besar itu terjengkang dan roboh. Drohawisa menggunakan dua tangan untuk menekan-nekan perutnya yang terasa nyeri dan mulas sekali. Mungkin usus buntunya terkena tendangan kaki Puspa Dewi. Akan tetapi dasar orang sombong, hajaran itu masih belum menyadarkannya bahwa dia berhadapan dengan orang yang jauh lebih tangguh daripada dia. Sambil menahan rasa, nyeri dengan kemarahan luar biasa dia bangkit, meringis dan sudah menerjang ke arah Puspa Dewi. Kini terjangannya bukan didorong nafsu berahi untuk merangkul dan mendekap, melainkan didorong nafsu amarah. Tangan kanannya yang dikepal sebesar kepala Puspa Dewi itu menyambar, agaknya hendak memukul pecah kepala gadis yang tadi membuat dia tergila-gila itu.

Dengan tenang Puspa Dewi menangkis pukulan itu dengan tangan kirinya yang bergerak dari dalam keluar dan berbareng tangan kanannya dengan jari-jari terbuka memukul ke arah dada lawan.

"Piakk....l Desss....!!" Drohawisa mengeluarkan suara aneh, tubuhnya sekali lagi terjengkang dan dia roboh, terduduk. Dia terengah-engah, sukar bernapas karena dadanya terasa seolah disambar palu godam, membuat napasnya sesak. Juga pergeiangan tangan kanannya seolah tadi ditangkis sepotong baja yang membuat lengannya terasa ngilu sampai ke tulangnya. Hajaran keras ini tetap saja belum menembus kekebalan otak Drohawisa, bukan membuat dia sadar bahkan membuat dia semakin marah dan penasaran, juga malu karena dia telah dirobohkan dua kali oleh seorang gadis mudai Biarpun perutnya masih terasa mulas dan dadanya sesak, dia memaksa diri bangkit dan mencabut sebatang golok yang terselip di pinggangnya. Golok besar itu berkilauan saking tajamnya.

"Perempuan setan, engkau sudah bosan hidup Mampuslah!" bentaknya dan dia sudah melompat ke depan dan menyerang dengan bacokan buas ke arah kepala Puspa Dewi. Gadis ini maklum bahwa lawannya menyerang untuk membunuhnya. Seorang yang jahat dan kejam, pikirnya dan orang macam ini tidak akan pernah kapok (bertaubat) kalau tidak diberi hajaran yang amat keras. Maka, begitu golok itu menyambar ke arah kepalanya, ia menggeser kaki dan miringkan tubuhnya. Golok menyambar dari atas, lewat samping tubuhnya dan secepat kilat kedua tangan Puspa Dewi bergerak, yang kiri mengetuk siku kanan lawan dan begitu siku terketuk dan lumpuh sehingga golok terlepas, tangan kanannya sudah merampas golok itu! Demikian cepat peristiwa Itu terjadi sehingga Drohawisa tidak dapat mengerti mengapa goloknya dapat terampas. Tiba-tiba tampak sinar golok berkelebat dua kali.

"Crak-crak...., aduhhh....!!" Drohawisa terpelanting roboh dan bangkit duduk, merintih-rintih dan tangan kirinya sibuk menekan lengan kanan yang buntung sebatas pergelangan lalu berpindah ke kaki kiri yang terbabat buntung separuh, sehingga semua jari kaki kiri itu buntung! Darah bercucuran dan laki-laki tinggi besar bermuka hitam itu merintih dan menangis saking nyeri dan takutnya.

"Manusia jahat dan kejami" Puspa Dewi berkata. "Lain kali kalau engkau tidak mengubah watakmu yang jahat, aku akan membuntungi lehermu!" Setelah berkata demikian, Puspa Dewi menggunakan kedua tangan menekuk dan terdengar suara nyaring ketika golok itu patah menjadi dua potong lalu dilemparkan ke atas tanah oleh Puspa Dewi.

Drohawisa terbelalak. Demikian kaget dia sehingga sejenak rasa nyerinya hampir tidak terasa lagi. Baru sekarang matanya terbuka dan dia sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang sakti mandragunal Akan tetapi dasar jahat. Yang timbul dalam hatinya bukan penyesalan dan kesadaran untuk bertaubat, melainkan dendam sakit hati dan dia harus membalas dendam dengan mengerahkan bantuan kawankawannya! Dengan susah payah dia bangkit berdiri, memandang gadis itu dengan mata yang masih basah oleh tangis kesakitan tadi.

"Katakan, siapa engkau dan tunggu pembalasanku!" bentaknya.

Puspa Dewi tersenyum. "Setiap saat akan kutunggu pembalasanmu. Namaku Puspa Dewi."

Wajah Drohawisa berubah pucat dan matanya terbelalak semakin lebar mendengar nama ini dan bagaikan dikejar setan dia lalu melarikan diri, terpincang pincang, terjatuh, merangkak lalu berlari lagi berloncatan dengan sebelah kaki karena kaki kirinya terasa nyeri bukan main kalau dipakai menginjak tanah.

Puspa Dewi tidak mempedulikan lagi laki-laki itu dan menghampiri Wiyanti. Wanita itu kini bangkit dan lari menghampiri Puspa Dewi lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah-nyembah.

"Aduh, terima kasih atas pertolonganmu, Den Roro....”

"Bangkitlah, Mbakayu Wiyanti dan mari kita lihat keadaan suamimu."

Wiyanti lalu berjalan cepat setengah berlari menuju ke sebuah rumah terpencil yang berada di luar hutan itu. Daerah Itu memang masih belum padat penduduknya dan setiap keluarga memiliki tanah pekarangan yang amat luas sehingga jauh dari tetangga. Ketika mereka tiba di rumah Wiyanti, cuaca sudah mulai remang senja.

Mereka melihat seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun duduk di atas lantai pendapa bersandar dinding bambu dan mukanya matang biru membengkak bekas pukulan. Melihat Wiyanti datang, Garino, laki-laki itu dengan susah payah memaksa diri bangkit berdiri.

"Wiyanti.... engkau.... engkau pulang dengan selamat....?"

"Kakang Garino....!" Suami isteri itu berangkulan dan Wiyanti menangis.

"Mbakayu Wiyanti, kukira suamimu perlu beristirahat." Kata Puspa Dewi.

Baru wanita itu menyadari dan ia pun memapah suaminya memasuki .ruangan dalam dan membantu suaminya rebah di atas sebuah amben (pembaringan sederhana dari bambu). Garino rebah telentang dan Wiyanti segera menyalakan lampu, laiu mempersilakan Puspa Dewi duduk di atas bangku kayu sederhana yang berada di ruangan itu.

Setelah cuaca mulai terang oleh sinar lampu, Puspa Dewi melihat bahwa Garino adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun, tubuhnya kokoh dan tinggi kurus, wajahnya sederhana namun tidak membayangkan watak yang kasar seperti kebanyakan orang laki-laki di Kerajaan Wengker. Ia juga dapat melihat bahwa Garino hanya menderita luka-luka karena pukulan dan tendangan, hanya bengkak-bengkak dan matang biru, akan tetapi agaknya tidak terdapat luka yang membahayakan nyawanya. Sebaliknya, ketika Garino memandang dan melihat bahwa wanita yang datang bersama isterinya adalah seorang gadis muda yang cantik jelita, dia merasa heran sekali.

"Wiyanti, siapakah gadis ini?"

"Kakang Garino, gadis inilah yang telah menyelematkan aku dari Drohawisa yang jahat dan kejam. Ia amat sakti mandraguna, Kakang, Drohawisa dihajar sampai sebuah tangan dan sebuah kakinya buntung!" Wiyanti menceritakan dengan wajah gembira. "Inilah penoIongku, namanya Raden Roro Puspa Dewi!"

Nama Puspa Dewi amat tersohor bagi para senopati dan perajurit Wengker. Akan tetapi Garino adalah seorang petani yang hidup di Lembah Kali Ngebel dan nama gadis itu asing baginya. Maka dia pun tidak terkejut seperti halnya Drohawisa mendengar nama Puspa Dewi, hanya memandang kagum dan dia segera bangkit duduk, dibantu isterinya.

"Den Roro, saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan Andika kepada isteri saya."

"Sudahlah, tidak perlu berterima kasih. Penjahat macam Drohawisa itu memang sudah sepatutnya menerima hukuman. Sebaliknya, aku yang mengharapkan bantuan Andika berdua."

Suami isteri itu memandang heran.
"Bantuan dari kami? Bantuan apakah yang dapat diberikan suami isteri miskin dan lemah seperti kami?" tanya Wiyanti.

"Benar kata isteri saya, Den Roro. Bahkan setelah terjadinya peristiwa tadi, kami tidak berani lagi tinggal di sini. Besok pagi kami harus sudah pergi dari sini, pindah ke tempat yang tersembunyi dari mereka."

"Kalau kalian merasa lebih aman pergi dari sini, tentu saja hal itu yang terbaik. Akan tetapi aku hanya ingin minta bantuan dua hal kepada kalian. Pertama, aku ingin menumpang di sini untuk melewatkan malam ini...."

"Wah, tentu saja boleh, Den Roro!" suami isteri itu berseru hampir berbareng.

"Terima kasih Dan bantuan ke dua, aku minta keterangan dari kalian, barangkali saja kalian mendengar tentang adanya seorang gadis bernama Niken Harni memasuki daerah Wengker baru-baru ini."

"Niken Harni? Saya tidak pernah mendengarnya, Den Roro." kata Wiyanti. "Kakang, apakah engkau pernah mendengar nama itu?"

Suaminya menggeleng kepalanya. "Saya juga belum pernah mendengar nama itu, Den Roro. Maaf, kami, tidak dapat membantu Andika dalam hai ini."

"Tidak mengapa kalau kalian tidak mengetahuinya. Biarlah malam ini aku menumpang di sini semalam dan besok pagi-pagi aku akan melanjutkan perjalanan mencari Niken Harni.”

"Kalau boleh saya mengetahui, siapakah Niken Harni itu, Den Roro?” tanya Wiyanti.

Puspa Dewi menghela napas panjang,
"la Adikku."

Karena Puspa Dewi tidak bicara lebih lanjut mengenai Niken Harni, suami isteri Itu pun tidak berani banyak bertanya.

"Den Roro, setelah Drohawisa Andika beri hajaran keras, dia pasti akan mengerahkan kawan-kawannya dan saya khawatir malam ini juga mereka akan datang ke sini untuk melakukan pembalasan. Apakah tidak sebaiknya kalau kita pergi saja malam ini juga meninggalkan tempat ini?"

Mendengar ucapan suaminya yang mengandung ketakutan itu, Wiyanti malah menangis lagi. "Ahh.... bagaimana baiknya, Kakang? Den Roro, tolonglah kami, Den Roro Puspa Dewi...."

"Jangan kalian khawatir. Malam ini, kalau benar ada yang berani datang mengganggumu, aku yang akan menghadapi mereka!"

"Akan tetapi, Den Roro.... Drohawisa itu berbahaya sekali. Dia mempunyai kawan-kawan jagoan yang juga menjadi gurunya, yaitu Wirobento dan Wirobandrek, dua orang warok muda yang tersohor kedigdayaannya. Bahkan dua orang warok muda itu merupakan pembantu-pembantu atau anak buah dari Ki Surogeni, warok terkenal di Wengker karena dia adalah Ayah dari Sang Ratu Mayangsari. Saya tidak ingin menyusahkah Andika, Den Roro. Saya sendiri tidak takut mati, akan tetapi saya tidak dapat membayangkan isteri saya ini terjatuh ke tangan mereka...." Suara Garino penuh kegelisahan.

"Hemm, jangan khawatir. Biar Ratu Mayangsari sendiri yang datang, kalau ia membela keparat macam Drohawisa tadi, akan kuhadapi dan kulawan!" kata Puspa Dewi. Sikapnya yang gagah dan suaranya yang mantap itu melegakan hati suami isteri itu.

"Wiyanti, mengapa engkau tidak cepat menyiapkan makan malam untuk Den Roro Puspa Dewi?"

"Wah, aku sampai lupa! Biar sekarang juga aku menyiapkan makan malaml" kata Wiyanti sambil bangkit dari amben di mana ia duduk sambil memijiti kaki suaminya.

"Biar aku membantumu, Mbakayu. Tutup dan palangi saja pintu depan agar aku mendengar kalau ada orang datang ke rumah ini." kata Puspa Dewi.

Wiyanti lalu menutupkan daun pintu dan memasang palangnya. Setelah itu, dua orang wanita itu sibuk di dapur, Wiyanti menyembelih seekor ayam peliharaannya dan mereka lalu menanak nasi dan memasak lauk.

Ternyata tidak terjadi sesuatu seperti yang dikhawatirkan suami isteri itu pada malam itu. Pada keesokan harinya, Garino yang sudah agak pulih kesehatannya bersama Wiyanti sudah berkemas, membawa pakaian dan barang-barang yang dianggap berharga dan tidak berat, siap meninggalkan rumah mereka.

Setelah mandi Puspa Dewi melihat dua orang suami isteri itu berdiri di depan pondok mereka dengan wajah muram, bahkan tampak keduanya habis menangis. Puspa Dewi dapat memaklumi kesedihan hati mereka. Mereka harus meninggalkan segala yang mereka miliki, rumah dan sawah ladang, dan pergi dari situ untuk tidak kembali lagi. Menurut pembicaraan mereka semalam, mereka bahkan belum tahu kemana mereka akan pergi dan bagaimana nasib mereka kemudian.

"Apakah kalian hendak pergi sekarang? Sepagi Ini?" tanyanya.

"Kami harus pergi sekarang, Den Roro. Kami khawatir kalau mereka datang sebelum kami pergi." jawab Garino.

"Kalian sudah memutuskan hendak ke mana?"

"Sudah, Den Roro." jawab Wiyanti dengan suara serak karena semalam ia menangis terus, "Saya teringat mempunyai seorang paman jauh yang tinggal di pantai selatan. Kami akan pergi ke sana."

Suami Isteri itu agaknya membawa barang-barang mereka yang mereka anggap berharga dan dapat mereka bawa. Wiyanti menggendong buntalan besar, agaknya terisi pakaian mereka. Garino membawa sepikul barang-barang perabot dapur dan alat pertanian. Betapa sederhana kehidupan mereka, pikir Puspa Dewi. Betapa sedikit kebutuhan mereka. Ia merasa terharu karena mereka terpaksa berpisah dengan milik mereka yang paling berharga, yaitu rumah tempat mereka tinggal dan sawah ladang yang menjadi sumber nafkah mereka. Puspa Dewi mengeluarkan bungkusan kain dari ikat pinggangnya, membuka bungkusan terisi perhiasan itu lalu menyerahkan sepasang subang emas terhias permata indah kepada Wiyanti.

"Mbakayu Wiyanti, terimalah pemberianku ini. Kalau kalian tiba di tempat baru, juallah ini untuk membeli sawah lading dan rumah."

Suami isteri itu terbelalak. Perhiasan itu amat Indah dan tentu mahal sekali harganya, lebih mahal dari harga rumah dan sawah ladang yang mereka tinggalkan. Sebagai orang-orang dusun yang polos dan lugu, mereka merasa bingung dan sungkan sekali.

"Akan tetapi, Den Roro...." kata Wiyanti sambil menatap sepasang subang itu dengan mata terbelalak.

"Terima sajalah, Mbakayu, tidak usah ragu. Benda ini adalah milikku sendiri. Kalian tentu memerlukannya untuk membeli tanah dan rumah baru."

"Aduh, terima kasih, Den Roro. Andika bukan hanya telah menyelamatkan nyawa kami, bahkan juga menyerahkan benda berharga kepada kami. Bagaimana kami dapat membalas kebaikan budi Den Roro?"

"Aku tidak minta dan tidak berhak menerima balasan, Mbakayu Wiyanti. Yang kalian terima merupakan berkah dari Sang Hyang Widhi, oleh karena itu kalian berkewajiban membalas berkah-Nya dengan cara melaksanakan hidup yang baik dan benar sebagai bakti kalian kepada-Nya. Nah, selamat berpisah dan selamat jalan."

Suami isteri itu memberi hormat dengan sembah kepada gadis yang telah melimpahkan kebaikan kepada mereka, lalu mereka pergi ke arah selatan. Halimun pagi segera menyelimuti dan menyembunyikan mereka dari pandangan Puspa Dewi yang masih berdiri di depan pondok, la memang sengaja menanti di situ, menjaga kalau-kalau benar terjadi apa yang dikhawatirkan suami isteri itu.

Setelah matahari pagi mengusir bersih halimun yang menyelimuti bumi sehingga cuaca menjadi terang dan sinar matahari menghidupi semua yang berada di permukaan bumi, Puspa Dewi juga bersiap-siap untuk pergi meninggalkan tempat itu. Ia sudah meringkas pakaiannya dalam buntalan kain hendak meninggalkan pondok kosong itu ketika ia mendengar derap kaki kuda makin lama semakin nyaring, menandakan bahwa ada beberapa orang penunggang kuda menuju ke pondok itu. Puspa Dewi meletakkan buntalan pakaiannya ke atas bangku bambu di depan pintu pondok, dan berdiri menanti dengan sikap tenang.

Tak iama kemudian tampaklah empat orang penunggang kuda datang memasuki pekarangan pondok itu. Puspa Dewi melihat Drohawisa berada bersama tiga orang lain. Agaknya ada yang merawat Drohawisa sehingga kini dia mampu menunggang kuda, walaupun kendali hanya dia pegang dengan tangan kiri saja. Tangan kanan dan kaki kiri yang buntung itu telah dibalut. Diam-diam Puspa Dewi merasa gemas. Ternyata hajaran yang diberikannya kepada Drohawisa tidak membuat orang itu kapok! Sekarang dia bahkan datang bersama tiga orang yang tampaknya menyeramkan dan buas. Ia tidak mengenal siapa tiga orang itu. Ketika tiga orang itu berlompatan turun dari atas kuda mereka, ia mengamati penuh perhatian. Drohawisa sendiri tidak turun dari atas punggung kudanya. Agaknya, dalam keadaan buntung tangan kanan dan kaki kirinya itu, untuk naik turun kuda dia harus dibantu orang lain.

Orang pertama adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan ternyata laki-laki ini berwajah cukup tampan kalau dibandingkan dengan para pria pada umumnya di Wengker. Pakaiannya indah seperti pakaian bangsawan dan wajahnya yang tampan itu menunjukkan keangkuhan. Sepasang matanya membayangkan kegenitan seorang laki-laki mata keranjang ketika dia memandang kepada Puspa Dewi dengan kagum. Laki-laki ini bukan lain adalah Ki Warok Surogeni, ayah dari Ratu Mayangsari! Warok Surogeni adalah seorang warok yang terkenal di Wengker dan ditakuti orang, apalagi setelah puterinya, Mayangsari, menjadi permaisuri, isteri Sang Adipati Wengker, mendiang Adipati Adhamapanuda dan kemudian diperisteri Adipati Wengker yang baru, yaitu Adipati Linggawijaya.

Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar, wajahnya serba tebal dan kasar. Pinggangnya terbelit sebatang pecut yang ujungnya dipasangi potongan besi kecil-kecil dan runcing tajam. Inilah Ki Wirobento, seorang warok muda yang menjadi anak buah Warok Surogeni.

Orang ke tiga juga seorang warok muda berusia sekitar dua puluh delapan tahun, juga bertubuh tinggi besar dan dia menggunakan sabuk kolor merah yang besar dan kuat karena kolor itu merupakan senjata ampuhnya. Dia ini bernama Ki Wirobandrek, adik dari Wirobento.

Ketika Drohawisa yang terluka memberitahu sahabat dan juga gurunya, Ki Wirobento, warok ini menjadi marah akan tetapi juga terkejut bukan main mendengar bahwa yang melukai Drohawisa adalah Puspa Dewi! Wirobento dan Wirobandrek merasa jerih menghadapi Puspa Dewi sendiri, maka mereka lalu melapor dan minta bantuan Warok Surogeni.

Ki Warok Surogeni tentu saja sudah mendengar nama Puspa Dewi sebagai seorang yang dimusuhi Kadipaten Wengker. Akan tetapi dia belum pernah bertemu dan belum tahu akan kesaktian gadis itu. Biarpun dia mendengar bahwa Puspa Dewi seorang gadis yang sakti mandraguna, namun dia memandang remeh. Sampai di mana sih kehebatan seorang gadis muda? Juga dia mendengar bahwa Puspa Dewi cantik jelita seperti bidadari kahyangan! Maka dia lalu cepat mengajak Wirobento dan Wirobandrek untuk mengikuti Drohawisa sebagai penunjuk jalan, pergi mencari Puspa Dewi di rumah Garino.

Lanjut ke Jilid 035 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment