Ads

Monday, November 12, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 039

◄◄◄◄ Kembali

"Ni Puspa Dewi, dari mana saja Andika? Ceritakan kepada kami bagaimana Andika pergi mencari Niken Harni." Tanya Sang Prabu Erlangga. Puspa Dewi memandang kepada ayahnya dan kakeknya, maklum bahwa tentu Sang Prabu Erlangga telah mendengar dari mereka akan Kepergiannya mencari Niken Harni.

"Hamba telah berhasil memasuki Kerajaan Wengker dan mendengar keterangan dari Resi Bajrasakti bahwa adik hamba Niken Harni telah dibawa oleh Nini Bumigarbo."

"Ahh... " Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama berseru kaget. Mereka tahu siapa Ninl Bumlgarbo, seorang datuk wanita sakti mandraguna yang membenci guru mereka dan membenci mereka akan tetapi tidak berani turun tangan mengganggu mereka karena dilarang oleh Sang Bhagawan Ekadenta.

"Mengapa Niken Harni dibawa datuk wanita itu?" Tanya Sang Prabu Erlangga..

"Hamba tidak tahu, Gusti. Juga para pimpinan Wengker tidak ada yang mengetahuinya."

"Ni Puspa Dewi, Wengker memiliki banyak orang sakti, juga adipatinya yang baru adalah Linggawijaya, permaisurinya Dewi Mayangsari yang kabarnya pernah digembleng oleh Nini Bumigarbo. Bagai mana Andika seorang diri dapat masuk kesana dengan leluasa dan selamat?"

"Sesungguhnya hamba mendapat perlindungan Sang Hyang Widhi, Gusti. Ketika hamba tiba di sana, Adipati Linggawijaya dan Dewi Mayangsari sedang tidak berada di Wengker. Hamba dikeroyok dan tentu akan terancam malapetaka kalau hamba tidak bertindak cepat. Hamba menangkap dan menyandera Tumenggung Suramenggala dan dengan cara itu hamba dapat keluar dari Wengker dengan selamat. Setelah mendengar bahwa Niken Harni dibawa Nini Bumigarbo, hamba masih berusaha mencarinya ke mana-mana. Namun hamba tidak berhasil menemukan jejak Niken Harni maupun Nini Bumigarbo."

"Hemm, tidak aneh. Nini Bumigarbo memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi."

"Karena tidak berhasil menemukan Niken Harni, hamba mengambil keputusan untuk pulang lebih dulu agar keluarga hamba tidak merasa khawatir. Begitu memasuki kota raja, hamba terkejut mendengar akan musibah yang menimpa kota raja. Hamba pulang dan mendengar dari kedua Ibu hamba dan Nenek bahwa Kanjeng Rama dan Kanjeng Eyang berada di sini menghadap Paduka, maka hamba lalu cepat menyusul ke sini. Hamba mohon maaf bahwa hamba tidak dapat membantu melawan musuh ketika serangan malam tadi datang, Gusti."

Ki Patih Narotama merasa kagum dan girang sekali melihat sikap dan ucapan gadis itu yang kini lembut dan penuh hormat, walaupun di dalam kelembutannya masih terkandung kekerasan hati. Kiranya penggemblengan Maha Resi Satyadharma telah mengubah watak keras liar gadis itu dan
menanamkan kebijaksanaan.

"Bukan kesalahan Andika atau kesalahan siapa pun, Ni Puspa Dewi. Semua telah terjadi dan kami yakin bahwa yang terjadi sudah dikehendaki Sang Hyang Widhi dan pasti mengandung hikmah yang dapat dipetik dan dimanfaatkan."

Ucapan Sang Prabu Erlangga ini mengandung maksud yang hanya dimengerti oleh dia dan Ki Patih Narotama. Mereka berdua menyadari bahwa semua peristiwa ini merupakan akibat kesalahan tindakan mereka ketika mengambil Ni Lasmini dan Ni Mandari menjadi selir. Walau niat itu baik untuk memperbaiki hubungan kedua kerajaan, namun caranya yang salah. Caranya merupakan hasil dorongan nafsu.

Kedatangan Puspa Dewi yang memperkuat barisan pertahanan mereka membuat para senopati berbesar hati. Ki Patih Narotama diserahi tugas mengatur penjagaan dan membagi-bagi tugas penjagaan Kepada para senopatinya.

Untuk menghadapi bahaya penyerangan musuh, Sang Prabu Erlangga sendiri juga siap untuk turun tangan, mengingat bahwa pihak musuh mempunyai banyak orang sakti mandraguna. Bahkan Sang Prabu Erlangga mengutus Ki Patih Narotama sendiri untuk mengundang Empu Bharada di Tanah Perdikan Lemah Citra, dan Empu Kanwa yang tinggal di dusun Margarejo di luar kota raja, di lereng daerah perbukitan yang sunyi. Pada hari itu juga, Empu Bharada dan Empu Kanwa datang menghadap Sang Prabu Erlangga bersama Ki Patih Narotama. Mereka berempat duduk bercakap-cakap di ruangan pustaka.

Ki Patih Narotama sudah menceritakan kepada dua orang Empu itu akan peristiwa semalam yang menimpa kota raja Kahuripan, maka ketika menghadap Sang Prabu Erlangga, Empu Bharada lalu berkata setelah dipersilakan duduk dan menerima penghormatan raja yang menganggapnya sebagai sesepuh itu.

"Puteranda Kanjeng Sinuwun, saya telah mendengar akan malapetaka yang menimpa kerajaan Paduka semalam, juga tentang tercurinya Pusaka Cupu Manik Maya dan tercullknya Cucunda Raden Joko Pekik Satyabudhi dari Gedung Kepatihan. Saya ikut merasa prihatin, akan tetapi tentu Paduka sudah dapat menerimanya dengan sabar karena semua ini sudah dikehendaki Sang Hyang Widhi."

"Saya juga ikut merasa prihatin, Kanjeng Sinuwun, dan Kakang-Empu Bharada benar. Kalau kita dapat menerima segala kejadian ini dengan sabar dan ikhlas dan memperkuat iman dan penyerahan diri kita kepada Dia Yang Maha Kuasa, saya kira kita akan diberi pengampunan dan jalan keluar dari semua musibah."

"Terima kasih, Paman Empu Bharada dan Paman Empu Kanwa. Kami menyadari akan hal itu dan semoga kami semua dapat menerima semua musibah ini dengan penuh kesabaran, keikhlasan dan penyerahan seperti yang Paman berdua maksudkan. Sekarang saya hendak mohon bantuan Paman berdua. Karena musuh menyebar racun yang menjadi wabah penyakit dan menimbulkan banyak korban pada rakyat, maka kami mohon kepada Paman Empu Kanwa yang ahli dalam soal pengobatan, untuk menanggulangi wabah ini dan membebaskan rakyat dari ancaman dan gangguan wabah penyakit itu. Dan permohonan kami kepada Paman Empu Bharada, mengingat bahwa besar kemungkinan sewaktu-waktu musuh yang sudah menghimpun kekuatan itu akan menyerang dan mereka memiliki banyak tokoh sakti ahli Ilmu sihir, maka mohon Paman Empu Bharada suka memperkuat pertahanan kami untuk menghadapi serangan ilmu hitam."

Dua orang pertapa itu menyanggupi dan menyatakan kesediaan mereka untuk memenuhi permintaan Sang Prabu Erlangga. Empu Bharada lalu berkata dengan nada serius.

"Puteranda Kanjeng Sinuwun, kalau saya tidak salah ingat, disini terdapat senopati-senopati yang cukup digdaya untuk melawan musuh yang berbahaya, pula, selain Paduka sendiri dan Ananda Patih Narotama ini, masih terdapat beberapa orang muda yang sakti mandraguna. Di antaranya adalah Ni Puspa Dewi dan terutama sekali Nurseta. Saya kira mereka itu dapat dimintai bantuan untuk menghadapi lawan yang menggunakan ilmu hitam dan sihir." Empu Bharada teringat akan pertanda yang dilihatnya dahulu bahwa Kahuripan akan tertimpa malapetaka dan diselimuti awan gelap, ada pun yang akan dapat menghalau pengaruh jahat itu adalah Sinar Putih atau Nurseta. Tentu saja ? bukan pemuda itu seorang diri yang diberi tugas melawan semua musuh, akan tetapi bantuannya tentu akan dapat diandalkan dan berguna sekali bagi keselamatan Kahuripan.

"Semua sudah mempersiapkan diri, Paman Empu Bharada. Juga Puspa Dewi baru saja pulang setelah terjadi penyerangan gelap malam itu. Sekarang ia juga sudah mempersiapkan diri memperkuat pertahanan Kahuripan. Akan tetapi sungguh sayang, Nurseta masih belum kembali ke kota raja karena dia sedang mencari puteri Senopati Yudajaya yang pergi ke Wengker dan menurut keterangan Puspa Dewi, adiknya Nlken Harni itu telah dibawa pergi Nini Bumigarbo. Nurseta tidak mengetahui akan hal Itu dan sampai sekarang dia belum kembali."

Empu Bharada menghela napas panjang. Segala sesuatu yang menimpa diri manusia tidak terlepas dari ikatan karma, semua bersumber dari diri pribadi. Berdasarkan hukum sebab akibat ini, maka segala sesuatu terjadi. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Manusia hanya wajib berikhtiar sekuat tenaga sebesar kemampuannya, namun akhirnya dia harus dan hanya dapat menerima segala sesuatu yang terjadi kepadanya, suka atau tidak! Dia mengerti bahwa semua yang menimpa Kerajaan Kahuripan ini menjadi akibat dari masuknya Ni Lasmini dan Ni Mandari, dua orang puteri Kerajaan Parang Siluman itu sebagai selir Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama.

Apa yang dikhawatirkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama terjadi tiga hari kemudian. Pagi-pagi sekali, baru saja fajar menyingsing membangunkan ayam-ayam jantan yang berkeruyuk saling bersahutan dengan nyaring sehingga menggugah burung-burung di pepohonan, membuat mereka ramai saling memberi salam pagi yang ribut namun merdu, pasukan gabungan empat kerajaan yang dibantu beberapa raja muda daerah yang kecil, mengadakan serangan besar-besaran.

Jumlah perajurit dalam pasukan gabungan itu tidak kurang dari tiga laksa orang! Mereka menyerbu dari empat jurusan dan selain mengerahkan seluruh pasukan, mereka pun mengerahkan semua tokoh yang memiliki aji kesaktian untuk memimpin pasukan yang dibagi empat itu. Empat kerajaan yang amat membenci Kahuripan yang menjadi musuh bebuyutan mereka itu tidak mau kepalang tanggung dan tidak mau gagal lagi. Mereka mengerahkan semua tenaga.

Pasukan pertama terdiri dari sepuluh ribu orang perajurit Wengker bergerak dari depan dan pasukan terbesar ini dipimpin sendiri oleh para pimpinan Wengker lengkap, yaitu Adipati Linggawijaya, Dewi Mayangsari, Resi Bajrasakti, Warok Surogeni, Wirobento, dan Wirobandrek!

Pasukan ke dua yang bergerak menyerang dari sayap kiri terdiri dari sepuluh ribu orang perajurit Wura-wuri, dipimpin sendiri oleh Adipati Bhismaprabhawa, Permaisuri Dewi Durgakumala, Kala Muka, Kala Manik, Kala Teja, dan Ki Gandarwo.

Pasukan ke tiga bergerak menyerang dari sayap kanan, terdiri dari sekitar lima ribu orang perajurit Parang Siluman, dipimpin oleh Ratu Durgamala, Bhagawan Kundolomuko, Ni Lasmini, Ni Mandar , dan Ki Nagakumala.

Pasukan ke empat bergerak dari belakang, terdiri sekitar lima ribu orang perajurit Siluman Laut Kidul, dipimpin oieh Ratu Mayang Gupita sendiri, dibantu oleh Bhagawan Kalamisani, Nagarodra, dan Nagajaya. Semua itu masih diperkuat oleh para perwira kerajaan masing-masing yang memimpin pasukan di bawah komando para pimpinan tertinggi itu. Dan juga ada Pasukan Siluman yang dibentuk oleh Bagawan Kundolomuko dari Parang Siuman, penyembah Bathari Durga dan ahli sihir yang berilmu tinggi itu. Pasukan Siluman yang berpakaian serba putih ini terdiri dari tiga ratus orang, akan tetapi karena mereka itu digerakkan oleh iImu hitam yang dahsyat, maka kekuatannya juga mengglriskanl

Namun pihak Kerajaan Kahuripan sudah siap siaga sehingga ketika musuh datang dari empat penjuru, dengan tenang pasukan yang sudah siap dibagi menjadi empat itu menyambut mereka. Kekuatan pasukan Kerajaan Kahuripan berjumlah sekitar empat laksa orang. Selaksa orang dipimpin sendiri oleh Sang Prabu Erlangga yang berdampingan dengan Empu Bharada dan beberapa orang perwira tinggi, menjaga bagian depan yang merupakan gapura terbesar. Selaksa orang perajurit dipimpin oleh Ki Patih Narotama yang juga dibantu beberapa orang perwira, menjaga sebelah kanan. Selaksa orang perajurit yang lain dipimpin oleh Puspa Dewi, dibantu ayahnya, Senopati Yudajaya dan beberapa orang perwira, menjaga sebelah kiri. Adapun sisanya, kurang lebih selaksa orang perajurit, dipimpin oleh Senopati Sepuh Wiradana, Senopati Sindukerta, dan Tumenggung Jayatanu dibantu beberapa orang perwira.

Maka begitu musuh datang menyerbu! dari empat penjuru, pasukan-pasukan Kahuripan keluar dari pintu gerbang dan menyambut dengan gegap-gempita hingga terjadilah pertempuran hebat di luar kota raja, di empat penjuru.

Perang campuh terjadi, hiruk-pikuk dan gegap-gempita suara puluhan ribu mulut berteriak marah, saling maki, juga teriakan kesakitan, bercampur suara beradunya senjata pedang, golok, tombak, keris dan sebagainya, berdentingan nyaring, hentakan puluhan ribu kaki berdebukan, debu mengepul tebal dan membubung tinggi, dengan napas terengah-engah, darah mulai muncrat dan berceceran, tubuh tanpa nyawa atau terluka mulai berpelantingan, terkapar dan berserakan, malang melintang terinjak kaki kawan maupun lawan!

Perang! Peristiwa terkutuk. Puncak kebuasan mahluk yang dinamai manusia. Nafsu amarah, dendam, kebencian, menggetarkan udara. Buas seperti binatang liar, haus darah, yang ada dalam benak pikiran hanya membunuh atau dibunuh. Hanya satu keinginan semua pihak. Menang! Mencari- kemenangan dengan cara apapun juga. Terhapuslah sudah semua peradaban, kebudayaan, dan sifat luhur manusia. Tawa bergelak setiap kali merobohkan lawan, memenggal leher, merobek perut, menusuk, dada. Jerit rintih kematian lawan seolah gamelan paling merdu bagi telinganya. Bahkan matahari pun agaknya ngeri menyaksikan kekejaman ini dan matahari bersembunyi di balik awan-awan yang berarak di angkasa.

Sang Prabu Erlangga yang memimpin pasukannya bertemu dengan pasukan Wengker. Adipati Linggawijaya, Permaisuri Dewi Mayangsari dan Resi Bajrasakti segera maju mengeroyok Raja Kahuripan ini. Raja yang mereka anggap sebagai musuh besar. Mereka bertiga maju dengan harapan akan mampu mengalahkan menawan atau membunuh Sang Prabu Erlangga, karena kalau raja ini tewas atau tertawan, tentu pasukan Kahuripan akan menyerah. Akan tetapi, mereka bertiga terkejut bukan main. Sang Prabu Erlangga benar-benar sakti mandraguna Semua serangan mereka bertiga, bahkan ketika mereka menyatukan tenaga sakti menghantam ke arah Sang Prabu Erlangga, Raja Kahuripan ini menyambut dengan dorongan tangan kirinya dan hawa sakti yang menyambut serangan tiga orang itu sedemikian kuatnya sehingga tiga orang itu hamper terjengkang dan terhuyung ke belakang! Juga semua aji kesaktian mereka kerahkan, namun semua dapat ditangkis Sang Prabu Erlangga.

Sang Empu Bharada yang membantu Sang Prabu Erlangga dikeroyok oleh Warok Surogeni, Wirobento, dan Wirobandrek. Pertapa ini sebetulnya hampir tidak pernah berkelahi, namun dia adalah seoran yang sakti. Dengan Aji Bayu Sakti tubuhnya yang berpakaian serba hitam itu dapat menghindarkan diri dari sambaran keris di tangan Warok Surogeni, pecut berujung besi di tangan Warok Wirobento dan sepasang kolor merah yang menjadi senjata Warok Wirobandrek. Dia pun membalas dengan tamparan-tamparan yang mengandung Aji Gelap Musti sehingga tiga orang lawan itu sukar untuk dapat merobohkan Empu Bharada.

Tiba-tiba tampak awan gelap seolah turun dari angkasa dan menggelapkan cuaca di tempat pertempuran bagian depan kota raja itu. Dan dari dalam kegelapan ini muncul suara-suara yang menyeramkan, tawa dan tangis yang bukan suara manusia, lalu muncul bentuk-bentuk mengerikan seolah ada ratusan iblis jadi-jadian muncul dari kegelapan dan mengancam para perajurit Kahuripan. Tentu saja para perajurit terkejut dan menjadi panik.

Empu Bharada menggunakan Aji Bayu Sakti berkelebatan lenyap meninggalkan tiga orang lawannya dan dia sudah menuju ke pusat dari mana muncul awan gelap dan bayangan iblis itu. Kiranya tiga ratus perajurit dalam Pasukan Siluman itu mulai menyerbu, dipimpin oleh Bhagawan Kundolomuko yang melepas ilmu hitamnya. Melihat ini, Empu Bharada memberi isarat kepada lima ratus orang perajurit yang sudah dipilih untuk menghadapi pasukan ilmu hitam itu yang memang sudah diperhitungkan oleh pihak Kahuripan. Lima ratus orang perajurit ini mengenakan sehelai kain putih yang diikatkan di kepala dan kain itu sudah dirajah (diisi kekuatan gaib) oleh Empu Bharada. Lima ratus orang perajurit inilah yang menyambut serbuan tiga ratus perajurit Pasukan Siluman. Empu Bharada sendiri berdiri dan bersedakap (melipat kedua lengan di depan dada), mengerahkan aji kesaktiannya menyambut ilmu hitam yang dilepaskan Bhagawan Kundolomuko,

Dahsyat bukan main pertandingan adu sihir dan pertempuran antara dua pasukan yang sama-sama telah diisi "rajah" oleh Bhagawan Kundolomuko dan Empu Bharada. Akan tetapi karena jumlah pasukan Kahuripan lebih banyak maka tentu saja Pasukan Siluman Itu agak kewalahan, apalagi karena kekuatan gaib dari Bhagawan Kundolomuko yang tadinya mendukung mereka itu kini terpaksa dialihkan untuk bertanding melawan Empu Bharada.

Sementara itu, Warok Surogeni, Wiro-bento, dan Wirobandrek yang telah ditinggalkan Empu Bharada, kini membantu tiga orang pimpinan Wengker yang masih mengeroyok Sang Prabu Erlangga. Raja itu kini dikeroyok enam orang lawan yang tangguh! Pasukan sayap kanan dari Kahuripan yang dipimpin Ki Patih Narotama bertemu di luar gapura dengan pasukan Wura-wurl yang dipimpin Adipati Bhismaprabhawa, Permaisuri Dewi Durgakumala, Kala Muka, Kala Manik, Kala Teja, dan Gandarwo. Ki Patih Narotama yang telah memberi petunjuk kepada para perwira pembantunya untuk memimpin pasukan menyambut pasukan Wura-wuri yang menyerbu, mengamuk. Dia marah dan khawatir sekali karena puteranya diculik musuh.

"Hl-hi-hik! Narotama, sekarang tiba saatnya engkau mati di tangan kami!" Dewi Durgakumala tertawa mengejek.

"Hemm, kalau engkau berani mengganggu puteraku Joko Pekik Satyabudhi dan tidak mengembalikannya kepadaku, aku tidak peduli lagi akan pelanggaran dan akan kubunuh kalian semua, akan kumusnahkan dan kubikin karang abang (lautan api) kerajaan kalian, kubikin rata dengan tanah!" Suara Ki Patih Narotama menggetarkan semua yang mendengarnya karena dia sudah dikuasai amarah yang hebat. Narotama adalah seorang yang tidak mau sembarangan membunuh dan baginya merupakan pantangan membunuh. Biasanya, lawan yang dihadapinya hanya dikalahkan dan dirobohkan tanpa membunuh. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia hanya seorang manusia biasa, seorang ayah yang menjadi marah dan mata gelap melihat puteranya diculik orang.

Karena maklum betapa saktinya Ki Patih Narotama, maka Adipati Bhismaprabhawa dan Dewi Durgakumala tidak banyak cakap lagi. Teriakan dahsyat tadi membuat hati mereka menjadi gentar juga. Mereka memberi Isyarat kepada empat orang pembantu mereka dan segera enam orang sakti ini menerjang dan mengeroyok Ki Patih Narotama. Terjadilah pertempuran yang hebat. Dengan keris pusaka Megantoro di tangan, Ki Patih Narotama menghadapi pengeroyokan enam orang sakti itu. Adipati Bhismaprabhawa bersenjatakan sebatang klewang bergagang emas, Dewi Durgakumala menggunakan sebatang pedang, Kala Muka memegang sebatang keris, Kala Manik sebatang klewang, Kala Tejo sebatang ruyung dan Ki Candarwo bersenjatakan pedang.

Enam orang itu bagaikan enam ekor srigala mengeroyok dan menyerang seekor harimau. Terjadilah perkelahian mati-matian dan Ki Patih Narotama harus mengeluarkan semua ilmu dan mengerahkan semua tenaga untuk melawan enam orang pengeroyok yang tangguh itu. Akan tetapi pasukannya yang berjumlah selaksa orang sudah bertempur melawan selaksa orang perajurit Wura-wuri. Perang campuh yang hebat terjadi, sama seru dan ramainya seperti pasukan yang bertempur di bagian depan kota raja.

Lima ribu orang perajurit dalam Pasukan Parang Siluman yang dipimpin Ratu Durgakumala, disambut pasukan Kahuripan yang dipimpin Puspa Dewi! Karena Bhagawan Kundolomuka yang memimpin Pasukan Siluman membantu penyerangan dari depan, maka kini yang membantu Ratu Durgamala adalah Lasmini, Mandari, dan Ki Nagakumala. Sungguh merupakan pimpinan yang amat kuat. Akan tetapi Puspa Dewi yang didampingi ayahnya, Senopati Yudajaya, tidak gentar dan dengan tenang saja la menyambut lawan-lawan yang amat tangguh itu. Mereka berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata mencorong. Terutama sekali Mandari dan Lasmini. Mereka memandang wajah Puspa Dewi dengan penuh kebencian karena gadis itu merupakan satu di antara penyebab penting gagalnya usaha mereka dahulu untuk menjatuhkan Kahuripan.

"Perempuan rendah Pengkhianat, tidak malu engkau memperlihatkan mukamu kepada kami?" bentak Mandarl sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Puspa Dewi.

"Puspa Dewi bocah desa melarat Engkau sudah dimuliakan, diangkat derajatmu menjadi Sekar Kedaton di Wura-wuri, akan tetapi malah mengkhianati kami! Sekarang sudah saatnya engkau menerima hukuman, kupenggal batang lehermu, kurobek dadamu dan kucabut keluar jantungmu!" Lasmini juga memaki-maki marah.

Setelah menerima penggemblengan selama tiga bulan dari Maha Resi Satyadharma, Puspa Dewi telah mampu menjinakkan hatinya dan mampu mengendalikan perasaannya sehingga dihina seperti itu, ia tersenyum saja dan tidak menjadi marah.

"Lasmini dan Mandari, bukan aku yang berkhianat karena aku memang kawula Kahuripan yang sudah sepatutnya membela, apalagi karena Gusti SInuwun Erlangga dan Gusti Patih Narotama memang merupakan manusi-manusla arif bijaksana yang sudah semestinya kubela. Sebaliknya kamu berdua yang berkhianat dan tidak tahu malu. Sudah mau menyerahkan diri menjadi selir Sang Prabu dan Ki Patih, ternyata Itu hanya siasat untuk melakukan pemberontakan."

"Keparat, mampuslah!" Lasmini sudah menerjang dengan marah sekali, menghujamkan kerisnya ke arah dada Puspa Dewi. Akan tetapi dengan tenang Puspa Dewi menggeser kaki mengelak ke belakang sambil mencabut pedangnya. Sinar hitam tampak ketika Pedang Gandrasa Langking tercabut.

Mandari, Ratu Durgamala, dan Ki Nagakumala juga berlompatan ke depan untuk mengeroyok. Akan tetapi Ki Yudajaya sudah memberi aba-aba kepada para perwira pembantu untuk maju membantu Puspa Dewi. Terjadilah pertempuran hebat. Puspa Dewi dikeroyok tiga oleh Lasmini, Mandari, dan Ki Nagakumala. Ia harus mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menandingi tiga orang lawan yang teramat tangguh itu. Ratu Durgamala sendiri dihadapi oleh Senopati Yudajaya yang dibantu oleh tiga orang perwira. Akan tetapi, biarpun para pimpinan pasukan ini agak kewalahan menghadapi lawan-lawan yang sakti, sebaliknya pasukan Parang Siluman yang hanya lima ribu orang jumlahnya itu, menjadi kewalahan melawan sepuluh ribu orang perajurit Kahuripan. Dengan sendirinya tiga orang yang mengeroyok Puspa Dewi terkadang harus memecah perhatiannya dan terpaksa serlngkali meninggalkan Puspa Dewi untuk membantu anak buah yang terdesak oleh pasukan Kahuripan yang jumlahnya dua kali lipat itu. Hal ini tentu saja meringankan Puspa Dewi yang kewalahan juga dikeroyok tiga orang sakti itu. Terutama Ki Nagakumala merupakan lawan yang amat tangguh. Kalau kakek ini maju seorang diri, tentu saja tidak sukar bagi Puspa Dewi untuk mengalahkannya. Namun dua orang kakak beradik Lasmini dan Mandarl itu pun memiliki tingkat kepandaian yang sudah hampir mencapai tingkat guru atau paman mereka, yaitu Ki Nagakumala.

Pasukan Kerajaan Siluman Laut Kidul yang dipimpin sendiri oleh Ratu Mayang Guplta, raseksl yang menyeramkan dan sakti, dibantu Bhagawan Kalamisani paman gurunya, dan dua orang adik seperguruannya yaitu Nagarodra dan Nagajaya, menyerang dari belakang dengan lima ribu orang perajuritnya. Mereka disambut sepuluh ribu orang perajurit Kahuripan yang dipimpin oleh Senopati Wiradana, Senopati Sindukerta, dan Tumenggung Jayatanu, dibantu pula oleh beberapa orang perwira tinggi. Biarpun pasukan ini yang jumlahnya dua kali lipat jumlah pasukan penyerbu dapat menekan pasukan musuh, namun para pimpinan mereka kewalahan menghadapi empat orang yang sakti mandraguna dari Siluman Laut Kidul itu.

Sampai tengah hari pertempuran masih berjalan seru. Kedua pihak sudah kehilangan banyak perajurit yang tewas atau terluka. Namun pihak penyerang tidak mau menghentikan serbuan mereka, tidak mau mundur karena mereka tahu bahwa kalau sekali ini penyerbuan mereka gagal, akan sulitlah untuk melakukan penyerangan lagi. Maka mereka terus mendesak dan para pimpinan memberi aba-aba agar pasukan mereka maju terus!

Sang Prabu Erlangga prihatin melihat banyaknya perajurit yang tewas, baik perajurit Kahuripan maupun para perajurit pihak musuh. Sedih hatinya melihat Kahuripan banjir darah dan menjadi tempat pembantaian antar manusia. Hal ini membuat dia marah kepada para pimpinan empat kerajaan itu. Kemarahan ini membangkitkan Aji Triwikrama yang dikuasainya. Aji Triwikrama adalah aji kesaktian dari Sang Hyang Whisnu.

Sang Prabu Erlangga melangkah tiga kail menjejakkan kaki dan tiba-tiba terdengar suara gerengan yang menggetarkan bumi Kahuripan! Enam orang pengeroyoknya, Adipati Linggawijaya, Dewi Mayangsari, Resi Bajrasakti, Warok Surogeni, Wirobento dan Wirobandrek terkejut setengah mati dan mata mereka terbelalak melihat betapa lawan mereka itu tiba-tiba tampak membesar seperti sebatang pohon Waringin! Enam orang yang sakti ini terkejut, namun mereka masih nekat.

"Ini hanya Ilmu slhirl Serang!" bentak Warok Surogeni kepada dua orang warok lain, yaitu Wirobento dan Wlrobandrek. Tiga orang warokini lalu menerjang maju, menggerakkan senjata mereka menyerang "raksasa" itu.

"Wuut-wuut-wuut... blaarrrr...!" Sang Prabu Erlangga mengibaskan tangannya dan tiga orang itu terlempar jauh dan terbanting keras tanpa dapat bangun kembali karena mereka telah tewas. Serangan mereka tadi dihantam kekuatan yang luar biasa sehingga membalik dan mengenai tubuh mereka sendiri sehingga mereka tewas seketika!

"Bapa...!!" Dewi Mayangsari berlari menubruk tubuh ayahnya, akan tetapi Warok Surogeni sudah tewas.

Permaisuri itu sambil menangis memondong jenazah ayahnya dan menghilang di antara para perajuritnya. Adipati Linggawijaya juga cepat menyelinap ketakutan bersembunyi di antara para perajuritnya yang sudah terdesak hebat oleh pasukan lawan yang kini mendapat hati dan semakin bersemangat Itu. Otomatis para perwira pembantunya juga jerih dan memberi aba-aba kepada pasukan Wengker untuk mundur meninggalkan kawan-kawan yang tewas; dan yang terluka.

Ketika mendapat laporan bahwa pasukan bagian belakang yang dipimpin tiga orang senopati kewalahan menghadapi sepak terjang para pimpinan pasukan Siluman Laut Kidul, Sang Prabu Erlangga menyerahkan pimpinan kepada para perwira pembantu dan dia sendiri berlari menuju ke pertempuran di bagian belakang. Dilihatnya betapa pasukan Kahuripan yang dua kali lipat lebih banyak jumlahnya itu dapat menekan dan mendesak pasukan Siluman Laut Kidul, akan tetapi Senopati Wiradana, Senopati Sindukerta, dan Tumenggung Jayatanu terdesak hebat sekali. Bahkan ketika Sang Prabu Erlangga tiba di tengah pertempuran itu, dia melihat tubuh Senopati Sindukerta dan tubuh Tumenggung Jayatanu sudah menderita luka-luka dan berlepotan darah.

Akan tetapi dengan gagah perkasa, dua orang senopati yang sudah tua ini terus melakukan perlawanan! Melihat Ini, Sang Prabu Erlangga terkejut dan marah. Tubuhnya melompat ke depan dan begitu kedua tangannya bergerak-gerak menyerang, hawa pukulan yang dahsyat sekali seperti badai menerjang pihak musuh.

"Wuuuutttt... wessss... plak-plak....!"

Tubuh Ratu Mayang Gupita yang tinggi besar itu terlempar ke belakang. Juga tubuh Bhagawan Kalamisani terlempar. Akan tetapi mereka berdua yang terbanting jatuh itu lalu bergulingan dan dapat berlompatan bangun, wajah mereka pucat dan mata mereka terbelalak. Mereka gentar sekali dan cepat menyelinap di antara para perajurit dan memberi aba-aba untuk mundur. Adapun tubuh Nagarodra dan Nagajaya terpelanting roboh dan tewas karena tenaga serangan mereka membalik dan memukul diri sendiri.

Akan tetapi, walaupun pertempuran di bagian belakang ini juga dimenangkan pasukan Kahuripan dan pihak musuh melarikan diri, namun Kahuripan kehilangan dua orang senopatinya yang sudah tua dan setia, yaitu Senopati Sindukerta dan Tumenggung Jayatanu!

Sementara itu, Narotama yang dibantu beberapa orang perwira juga mendesak lawan. Biarpun dia dikeroyok enam orang pimpinan pasukan Wura-wuri yang rata-rata sakti, namun Ki Patih Narotama yang mengamuk seperti banteng terluka karena teringat akan puteranya yang diculik musuh, akhirnya dapat merobohkan Tri Kala, yaitu Kala Muka, Kala Manik, dan Kala Teja. Melihat sepak terjang Ki Patih Narotama yang dahsyat itu, Dewi Durgakumala memberi tanda kepada suaminya, yaitu Adipati Bhismaprabhawa, untuk mundur. Sang Adipati, Dewi Durgakumala, dan Kl Gandarwo lalu melarikan diri, menyusup di antara para perajurit dan mereka juga bergerak mundur bersama sisa pasukan mereka. Ki Patih Narotama juga kehilangan enam orang perwira pembantunya karena mereka tadi mencoba untuk membantunya dan semua tewas di tangan Ratu Mayang Gupita dan Bhagawan Kalamisani.

Sementara itu, Puspa Dewi yang dikeroyok oleh Ki Nagakumala, Lasmini, dan Mandarl, terdesak hebat. Tiga orang pengeroyoknya ini memang sakti mandraguna. Seandainya Puspa Dewi belum digembleng Maha Resi Satyadharma selama tiga bulan, kiranya tidak mungkin ia akan dapat menyelamatkan diri dari tekanan tiga orang pengeroyok itu. Gadis ini sungguh mengagumkan sekali. Selain kepandaiannya mencapai tingkat tinggi, juga ia memiliki semangat dan keberanian yang pantang mundur, la tetap bertahan dan pertahanannya seolah benteng baja yang sulit ditembus tiga orang pengeroyoknya.

Akan tetapi, ayah kandungnya, Senopati Yudajaya, biarpun dibantu oleh beberapa orang perwira, tetap saja terdesak hebat oleh Ratu Durgamata. Tiga orang perwira yang membantunya telah roboh dan tewas, sedangkan dia sendiri sudah terluka pundak kirinya sehingga baju dan kulit pundak terobek dan berdarah. Akan tetapi, perwira-perwira lain berdatangan membantunya sehingga biarpun dihimpit terus oleh Ratu Durgamala, Senopati Yudajaya masih dapat melakukan perlawanan. Apalagi pasukannya yang dua kali lebih besar dari pasukan Parang Siluman, dapat mendesak terus pihak musuh.

Pada saat yang gawat itu, datang Ki Patih Narotama yang sudah memperoleh kemenangan dlsayap kanan dan dating membantu Senopati Yudajaya. Melihat datangnya Ki Patih Narotama, Ratu Durgamala menjadi terkejut dan gentar. Ia lalu melompat ke belakang memberi isarat kepada Ki Nagakumala, Lasmini, dan Mandari untuk mundur. Tiga orang ini yang belum juga mampu mengalahkan Puspa Dewi, juga merasa jerih melihat munculnya Ki Patih Narotama, apalagi melihat pasukan mereka mendapat tekanan pihak musuh. Mereka lalu melarikan diri ke dalam pasukan dan memerintahkan Pasukan Parang Siluman untuk mundur dan meninggalkan pertempuran.

Demikianlah, semua pasukan Empat Kerajaan yang dibantu para penguasa daerah yang kecil-kecil, terpukul mundur dan sisa pasukan mereka melarikan diri kembali ke wilayah masing-masing, meninggalkan banyak korban yang tewas, terluka atau tertawan. Kerajaan Wengker kehilangan ayah kandung Dewi Mayangsari, yaitu Warok Surogeni, dan dua orang saudara seperguruannya, Warok Wirobento dan Warok Wirobandrek. Tiga orang ini tewas dan masih ada
belasan orang perwira dan sedikitnya tiga ribu orang perajurit tewas atau tertawan. Kerajaan Wura-wuri juga kehilangan Tri Kala yang tewas, dan hampir empat ribu orang perajurit dan perwira tewas atau tertawan. Kerajaan Parang Siluman kehilangan Bhagawan Kundolomuko, bekas suami Ratu Durgamala dan ayah kandung Lasmini dan Mandari.

Bhagawan Kundolomuko tidak diketahui ke mana perginya, mungkin merasa malu atas kekalahannya dan melarikan diri. Selain itu, juga ada tiga ribu orang perajurit tewas atau tertawan. Sedangkan Kerajaan Siluman Laut Kidul, kematian Nagarodra dan Nagajaya, juga beberapa orang perwira dan tiga ribu perajurit yang tewas atau tertawan.

Akan tetapi, dalam pertempuran mati-matian, perang campuh itu, Kerajaan Kahuripan juga menderita kerugian yang cukup banyak. Tidak kurang dari delapan ribu perajurit tewas dan terluka, juga ada dua puluhan orang lebih perwira tewas. Selain itu, yang membuat para pemimpin berkabung dan berduka adalah tewasnya Senopati Sindukerta dan Tumenggung Jayatanu. Selain itu, wabah penyakit masih merajalela dan sedang ditanggulangi oleh Empu Kanwa. Kini ditambah lagi mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan dan yang ribuan orang banyaknya, mengurus mereka yang terluka dan membutuhkan perawatan. Pendeknya, biarpun memperoleh kemenangan dalam perang dan berhasil mengusir musuh, namun Kerajaan Kahuripan tetap saja sedang dilanda musibah besar-besaran. Lebih-lebih lagi karena putera Ki Patih Narotama hilang diculik orang dan Pusaka Cupu Manik Maya sebagai lambang kebesaran kerajaan juga hilang dicuri orang. 

Lanjut ke Jilid 040 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment