Ads

Monday, November 12, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 040

◄◄◄◄ Kembali

Para perajurit Kahuripan kini sibuk mengurus para jenazah korban perang, baik kawan maupun lawan. Juga merawat yang terluka. Memang sikap pengampun ini yang ditekankan Sang Prabu Erlangga kepada mereka yang memusuhinya. Yang tewas dikuburkan sebagaimana mestinya, yang luka dirawat dan yang tertawan dibebaskan kembali sehingga selanjutnya mereka yang diperlakukan dengan baik dan dibebaskan itu tidak mau lagi menjadi anggauta pasukan yang dipergunakan untuk memusuhi Kerajaan Kahuripan.

Di rumah keluarga Senopati Sindukerta semua anggauta keluarga berkabung. Ki Dharmaguna dan Endang Sawitri, ayah ibu Nurseta merasa sedih sekali karena Senopati Sindukerta gugur dalam perang tanpa mendapat bantuan putera mereka. Mereka tidak tahu di mana adanya Nurseta sekarang dan merasa menyesal bahwa Nureta tidak membantu ketika Kahuripan diserang musuh sehingga Senopati Sindukerta gugur. Juga keluarga Tumenggung Jayatanu berkabung. Untung luka di pundak yang diderita Senopati Yudajaya tidaklah parah. Senopati Yudajaya dan dua orang isterinya, Nyi Lasmi dan Dyah Mularsih bersama Nyi Tumenggung dan semua keluarga, berduka atas gugurnya Tumenggung Jayatanu. Akan tetapi yang paling merasa menyesal adalah Puspa Dewi. Ia merasa menyesal bahwa ia tidak berhasil menemukan adiknya, Niken Harni, dan tidak berhasil pula melindungi kakeknya dalam perang karena mereka berpisah dengan pasukan masing-masing. Kalau mendiang Tumenggung Jayatanu memimpin pasukan bagian belakang bersama mendiang Senopati Sindukerta dan Senopati Wiradana, Puspa Dewi memimpin pasukan di sayap kiri.

Keluarga Senopati Sindukerta dan keluarga Tumenggung Jayatanu saling mengunjungi, saling menyatakan ikut berbelasungkawa, saling menghibur. Biarpun ia merupakan anggauta keluarga yang paling muda, tetapi justru Puspa Dewi yang menghibur para anggauta kedua keluarga itu! Mereka sedang berkumpul karena keluarga Sindukerta sedang dating berkunjung ke rumah keluarga Jayatanu.

"Saya harap Andika sekalian dapat menerima kenyataan ini dan tidak larut dalam kedukaan. Bagaimanapun juga, kita patut berbangga dan bersukur bahwa Eyang Senopati Sindukerta dan Eyang Tumenggung yatanu gugur sebagai satria-satria utama, gugur dalam membela negara, tewas secara gagah perkasa. Kita sepatutnya Ingat bahwa bukan eyang berdua saja yang berkorban nyawa dalam membela negara, melainkan ada ribuan orang perwira dan perajurit yang juga gugur sebagai pahlawan bunga bangsa."

Ucapan dara perkasa yang penuh semangat itu banyak menolong dan menghibur hati para keluarga yang merasa kehilangan dan berduka. Dalam kesempatan selagi anggauta kedua keluarga itu berkumpul, Puspa Dewi yang teringat akan wejangan Maha Resi Satyadharma tentang kedukaan, lalu berkata dengan hati-hati kepada para orang tua yang hadir.

"Apa yang akan saya katakan ini sama sekali bukan gagasan saya sendiri. Saya hanya mengulang apa yang diwejangkan Eyang Resi Satyadharma kepada saya. Bahwa perasaan yang kita alami saat ini, yaitu duka hanyalah menjadi saudara kembar atau keimbalbalikan dari suka. Suka dan duka tak terpisahkan seperti telapak dan punggung sebuah tangan. Tak pernah muncul bersama di permukaan, namun tak pernah terpisah dan bermunculan secara bergantian dalami kehidupan kita. Seperti tawa dan tangisi tidak pernah muncul berbarengan, namun tak terpisahkan, muncul dari mulut dan sama-sama mengeluarkan air mata. Tidak akan ada duka kalau tidak ada suka, dan sebaliknya. Baik suka maupun duka terbentuk oleh pikiran yang mengaku-aku sebagai sang aku. Kalau sang aku dirugikan timbullah duka, kalau diuntungkan timbullah suka. Maka, suka duka bukan timbuj karena peristiwa yang terjadi, melainkan bagaimana pikiran menerimanya. Tanggapan pikiran terhadap peristiwa yang terjadi dan menimpa kita itulah yang menimbulkan suka atau duka. Begitu pikiran tidak bekerja, dalam tidur misalnya, maka rasa suka ataupun duka itu pun lenyap."

"Jagad Dewa Bathara...!" Ki Dharmaguna berkata dan memandang kagum kepada Puspa Dewi. "Wejangan Paman Maha Resi Satyadharma itu sungguh tak dapat disangkal kebenarannya. Apakah itu berarti bahwa kita tidak boleh berduka kalau tertimpa musibah, misalnya kematian orang yang kita kasihi seperti sekarang ini, Puspa Dewi?"

Puspa Dewi tersenyum. "Untung sekali, Paman Dharmaguna, dahulu saya pun bertanya seperti itu kepada Eyang Resi Satyadharma sehingga sekarang saya dapat menjawab pertanyaan Paman itu, sesuai dengan jawaban Eyang Resi waktu itu. Begini, Paman, menurut Eyang Resi, segala macam masalah, segala macam emosi, timbul dari nafsu-nafsu daya rendah yang menguasai pikiran, membentuk sang aku. Kita manusia tidak mungkin dapat membebaskan diri sendiri dari pengaruh nafsu. Adalah manusiawi kalau kita masih terkadang merasa bersuka atau berduka. Kita tidak mungkin mematikan nafsu. Akan tetapi kalau kita sudah mengerti bahwa suka dan duka hanya permainan sang aku dalam pikiran, maka kita tidak terlalu tenggelam dalam suka maupun duka. Kita tidak menjadi budak permainan segala nafsu daya rendah yang berada dalam diri kita sendiri."

"Wah, Puspa Dewi, kata-katamu mengingatkan aku akan ucapan anakku Nurseta. Pernah dia bicara senada dengan apa yang kau katakan tadi dan dia menekankan bahwa dalam segala keadaan, baik keadaan itu menguntungkan atau merugikan, menyenangkan atau menyusahkan, kita sepatutnya bersukur kepada Sang Hyang Widhi dan senantiasa mendasari semua perbuatan kita dengan penyerahan diri kepada Nya. Karena, menurut dia, hanya Sang Hyang Widhi yang mampu menundukkan nafsu-nafsu kita sehingga menjadi alat dan hamba kita, bukan memperalat dan memperhamba kita."

Puspa Dewi tersenyum dan mengangguk. "Saya mengenal... Kakangmas Nurseta, Bibi Endang Sawitri, dan saya tahu bahwa dia memang seorang sakti mandraguna yang bijaksana."

Dengan adanya percakapan seperti itu, dua keluarga itu merasa terhibur dan tidak membiarkan diri terlalu disiksa perasaan sendiri karena kematian Senopati Sindukerta dan Tumenggung Jayatanu.

**** ****
Lanjut ke Jilid 041 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment