Ads

Wednesday, November 14, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 041

◄◄◄◄ Kembali


Sang Prabu Erlangga merasa prihatin sekali. Hatinya sedih melihat demikian banyaknya manusia terbantai, tewas dalam perang campuh itu. Dia bukan hanya menyedihi kematian banyak perajuritnya, melainkan juga kematian para perajurit kerajaan-kerajaan yang memusuhi Kahuripan dan melakukan penyerangan.

Empu Kanwa yang dibantu Empu Bharada dapat mengurangi jumlah korban wabah penyakit dan berhasil menyingkirkan wabah itu. Akan tetapi wajah Sang Prabu Erlangga masih murung ketika dia mengadakan persidangan dengan para pembantunya. Yang hadir dalam persidangan itu adalah Ki Patih Narotama yang juga berwajah muram, Empu Bharada, Empu Kanwa, Senopati Wiradana, beberapa orang perwira tinggi dan tidak ketinggalan Bancak dan Doyok, dua orang abdi kinaslh (hamba tersayang) Sang Prabu Erlangga.

Setelah mendengar laporan lengkap tentang keadaan kota raja sehabis perang, Sang Prabu Erlangga lalu minta nasihat Empu Bharada yang dianggap sebagai pinisepuh (tua-tua) dan penasihat, apa yang sebaiknya harus dilakukan pemerintahannya.

"Paman Empu, kami sungguh merasa ragu apa yang harus kita lakukan terhadap empat kerajaan yang selalu memusuhi kita, bahkan telah memusuhi nenek moyang kita sejak jaman Mataram dahulu."

"Puteranda Kanjeng Sinuwun, sebetulnya sudah berulang-ulang Paduka melakukan pendekatan dalam usaha untuk mengajak mereka hidup damai, bahkan Paduka sudah bertindak demikian jauh bersama Ki Patih Narotama mengawini puteri-puteri Wura-wuri. Akan tetapi semua itu gagal karena memang pada dasarnya mereka itu menaruh dendam kebencian kepada Paduka dan Kerajaan Kahuripan. Sudah beberapa kali mereka menggunakan kekerasan untuk menyerang dan membasmi Kahuripan, baik sendiri-sendiri maupun bergabung dengan pemberontak seperti yang dilakukan mereka beberapa tahun yang lalu. Berkali-kali mereka dipukul mundur, akan tetapi mereka bahkan semakin nekat dan yang terakhir ini mereka bergabung dan menyerang sehingga biarpun mereka berhasil dipukul mundur, namun perang itu menewaskan ribuan orang manusia. Kalau dibiarkan lebih lanjut, saya kita mereka tidak akan pernah merasa jera dan kalau mereka sudah dapat menyusun kembali kekuatan mereka, tentu mereka akan melakukan kekacauan dan penyerangan lagi. Oleh karena itu, sekaranglah saatnya Paduka bertindak, Sinuwun. Selagi mereka masih rapuh karena kekalahan mereka, sebelum mereka dapat bersatu kembali, Paduka kirim bala tentara untuk menyerang dan menundukan mereka satu demi satu. Mereka sedang dalam keadaan lemah, tentu tidak dapat melawan dengan gigih sehingga Paduka dapat menaklukkan mereka satu demi satu tanpa harus banyak menjatuhkan korban. Kalau mereka sudah ditundukkan dan ditaklukkan, tentu keadaan menjadi aman dan tidak akan terjadi bentrokan lagi. Demikianlah, Sinuwun, yang dapat saya usulkan."

"Terima kasih, Paman Empu Bharada. Bagaimana pendapat Andika sekalian, para senopati dan perwira?"

Para senopati dan perwira mengangguk-angguk menyatakan persetujuan mereka dan Senopati Wiradana yang tertua di antara para panglima, mewakili mereka dan berkata,

"Usul itu sungguh tepat dan baik sekali, Gusti Sinuwun. Hamba kira kami semua menyetujui karena hal itu merupakan jalan terbaik."

Melihat Ki Patih Narotama hanya menundukkan muka dan diam saja, Sang Prabu Erlangga bertanya,
"Bagaimana menurut pendapatmu, Kakang Patih Narotama?"

Narotama mengangkat mukanya yang agak pucat dan muram karena selama beberapa malam ini dia tidak dapat tidur.
"Gusti Sinuwun, apa yang diusulkan Paman Empu Bharada sungguh baik dan tepat sekali, akan tetapi kalau sekiranya Paduka mengijinkan, hamba mohon agar penyerangan ditunda beberapa hari lamanya untuk memberi kesempatan kepada hamba mencari dan menyelamatkan anak hamba Joko Pekik Satiabudhi. Kalau sekarang Paduka mengerahkan pasukan menyerang, hamba khawatir mereka akan membunuh Joko Pekik."

Sang Prabu Erlangga menghela napas panjang dan mengerutkan alisnya
"Aduh, maafkan kami, Kakang Patih! Kami terlalu prihatin melihat keadaan negara sehingga sampai lupa akan penderitaan kehilangan puteramu Joko Pekik Satyabudhi. Tentu saja, Kakang Patih, tentu saja kami akan menunda penyerangan itu dan memberi kesempatan kepada Andika untuk menemukan kembali Joko Pekik!"

"Beribu terima kasih hamba haturkan kepada Paduka, Gusti, dan mohon beribu ampun bahwa hamba seolah lebih mementingkan urusan pribadi daripada urusan negara."

"Ah, tidak, Kakang. Andika tidak salah. Memang seharusnya Joko Pekik diselamatkan lebih dulu, baru kita mengadakan serangan dan gerakan pembersihan agar mereka tidak mengganggu kita lagi."

"Terima kasih, Gusti Hamba akan mencari Joko Pekik dan juga akan menyelidiki siapa yang telah mencuri Pusaka Cupu Manik Maya. Hamba mohon ijin berangkat hari ini juga, Gusti."

"Baiklah, Kakang Patih. Berangkatlah dan doaku mengikutimu. Yang penting selamatkan dulu Joko Pekik. Soal Cupu Manik Maya dapat dicari kemudian."

Ki Patih Narotama memberi hormat dan pamit pula pada para senopati yang hadir di situ, mohon doa restu dari Empu Bharada dan Empu Kanwa. Kemudian dia meninggalkan istana. Diantar tangis Listyarini yang merasa amat gelisah memikirkan puteranya yang hilang diculik orang, Ki Patih Narotama berangkat meninggalkan Kahuripan. Seperti biasa, kalau sedang melakukan perjalanan, apalagi untuk urusan pribadi, Narotama lebih suka berpakaian seperti seorang penduduk biasa. Dia menunggang seekor kuda lalu membalapkan kudanya, langsung saja dia menuju ke Kerajaan Parang Siluman karena dia menduga bahwa puteranya pasti diculik oleh Lasmini, atau setidaknya Lasmini berada di belakang peristiwa penculikan itu. Yang masih membesarkan hatinya adalah bahwa puteranya itu hilang diculik. Itu berarti bahwa Joko Pekik tidak dibunuh dan masih hidup. Kalau Si Penculik ingin membunuhnya, tentu sudah dilakukannya malam itu. Untuk apa susah-susah menculiknya kalau hanya untuk dibunuh? Dugaan ini membesarkan hatinya dan menimbukan keyakinan bahwa puteranya itu tentu masih hidup!

Dengan melakukan perjalanan cepat siang malam, hanya berhenti kalau kudanya sudah terlalu lelah, pada suatu hari Ki Patih Narotama telah tiba ditapal batas Kerajaan Parang Siluman. Sudah beberapa kali dia berkunjung ke tempat tinggal Lasmini, bekas selirnya tercinta itu, maka dia sudah hafal dan mengenal jalan. Setelah tiba di tapai batas, dia langsung saja menuju ke kota Kadipaten. Penduduk Parang Siluman yang bertemu dengan Narotama di tengah jalan sama sekali tidak mempedulikannya karena mereka tidak mengenalnya dan menganggap dia seorang penduduk biasa. Rakyat Parang Siluman hanya mengenal nama Ki Patih Narotama, jarang ada yang pernah melihat orangnya. Akan tetapi, begitu ada perajurit melihat dan mengenalnya, berita tentang munculnya Ki Patih Narotama di Parang Siluman tersiar luas dan tentu saja menimbulkan kegemparan. Tidak ada perajurit berani menghadang atau mengganggunya. Ketika berita itu memasuki istana Parang Siluman, Ratu Durgamala segera mengadakan perundingan dengan kedua orang puterinya, Lasmini dan Mandari, dihadiri pula oleh Ki Nagakumala dan beberapa orang senopati Parang Siluman.

Sang Ratu Durgamala yang masih merasa berduka dan marah karena kegagalan usaha gabungan empat kerajaan untuk menjatuhkan Kahuripan, bahkan Parang Siluman kehilangan Bhagawan Kundolomuko, bekas suaminya yang merupakan orang andalan di Parang Siluman, dan kehilangan ribuan orang perajurit, ketika mendengar berita bahwa Ki Patih Narotama datang seorang diri di Parang Siluman, lalu berkata dengan muka merah dan kedua tangan terkepal.

"Kita kerahkan seluruh tenaga dan bunuh Si Keparat Narotama itu! Kita kepung dia, jangan sampai lolos! Mustahil dia akan mampu mengalahkan pengeroyokan ribuan orang perajurit!"

"Nanti dulu, Kanjeng Ibu!" kata Lasmini. "Saya mempunyai gagasan yang lebih baik. Ki Patih Narotama adalah seorang yang sakti mandraguna. Kalau kita menggunakan kekerasan, mungkin dia akan dapat dibunuh, akan tetapi tentu akan banyak sekali orang kita yang terbunuh oleh amukannya. Pula, kalau dia mati, apa gunanya bagi kita? Kahuripan akan tetap berdiri kokoh."

"Wah, Mbakayu Lasmini agaknya masih cinta dan saying kepada Ki Patih Narotama maka hendak menghalangi kalau dia dibunuh!" kata Mandari.

"Hemm, dia memang seorang pria yang patut digandrungi setiap orang wanita. Akan tetapi bukan Itu maksudku. Daripada mengeroyok dan membunuhnya dengan mengorbankan banyak orang kita, lebih baik kita manfaatkan Ki Patih Narotama untuk menjamin keselamatan Parang Siluman."

“MENJAMIN keselamatan kita? Apa maksudmu, Lasmini?" tanya Ratu Durgakumala.

"Begini, Kanjeng Ibu. Seperti sudah saya ceritakan, saya dan bibi Dewi Durgakumala berhasil menculik putera Ki patih Narotarna, yaitu Joko Pekik Satyabudhi yang kini dibawa ke Wura-wuri oleh Kanjeng Bibi Durgakumala. Tadinya saya hendak membunuh anak itu, akan tetapi Kanjeng Bibi Dewi Durgakumala melarang dan mengatakan bahwa lebih baik anak itu dijadikan sandera, dan anak itu lalu dibawanya ke Wura-wuri. Sekarang, siasatnya itu benar dan dapat kita pergunakan untuk menundukkan Ki Patih Narotarna.

"Bagaimana siasat itu?" Ratu Durgamala bertanya tertarik.

"Ki Patih Narotarna datang seorang diri ke sini tentu ada hubungannya dengar kehilangan puteranya. Mungkin dia dapat menduga bahwa saya yang menculik Joko Pekik Satyabudhi, maka dia datang kesini untuk minta kembali puteranya. Nah kalau dia datang, saya akan mengancam untuk membunuh Joko Pekik kalau dia membuat ulah. Saya akan memaksa dia berjanji untuk melindungi Parang Siluman dari serangan Kahuripan dengan imbalan puteranya tidak akan kita bunuh dan kelak kita kembalikan kepadanya. Nah bukankah gagasan ini jauh lebih menguntungkan daripada membunuhnya dan kita kehilangan banyak sekali perajurit,  bahkan ada bahayanya dia akan dapat meloloskan diri? Ingat, Kanjeng Ibu, Ki Patih Narotarna itu sakti mandraguna dan memiliki Aji Panglimunan yang membuat dia mudah meloloskan diri."

Semua orang tertegun mendengar gagasan yang dikemukakan Lasmini itu. Mereka tahu bahwa Aji Panglimunan membuat orang dapat menghilang dan mudah untuk melarikan diri. Kalau Bhagawan Kundolomuko masih ada, mungkin pendeta itu dapat membuyarkan Aji Panglimunan itu. Akan tetapi dia sudah tidak ada dan kalau benar Ki Patih Narotarna mempergunakan ajian itu, akan sulitlah bagi mereka untuk dapat menangkapnya atau membunuhnya.

"Apa yang dikemukakan Ni Lasmini itu benar sekali." Kata Ki Nagakumala, kakak dari Ratu Durgamala. "Kukira, setelah usaha serangan kita bersama tiga kerajaan lain terhadap Kahuripan gagal, Sang Prabu Erlangga pasti tidak akan tinggal diam dan akan mengirim pasukannya untuk menyerang balik dan menundukkan kita. Dengan bergabung saja kita tidak mampu mengalahkan Kahuripan, apalagi kalau pasukan Kahuripan menyerbu ke sini, bagaimana mungkin kita akan dapat mempertahankan diri? Maka, gagasan Ni Lasmini tadi tepat sekali. Kita ancam Ki Patih Narotarna bahwa kalau dia mengamuk dan tidak mau menjamin agar Kahuripan tidak menyerang dan menaklukkan Parang Siluman, kita akan bunuh puteranya itu!"

Ratu Durgamala mengangguk-angguk. "Agaknya memang itu merupakan siasat terbaik, Kakang Nagakumala. Akan tetapi siapa yang akan menghadapi Ki Patih Narotama dan bicara dengan dia? Dia berbahaya sekali, tangan dan kakinya dapat menyebar maut yang mengerikan!"

"Jangan khawatir, Kanjeng Ibu. Saya yang akan menghadapi dan bicara dengannya. Saya yakin bahwa Ki Patih Narotama tidak akan tega membunuh saya. Saya yakin dia masih mempunyai perasaan sayang kepada saya."

Demikianlah, rapat kilat itu memutuskan agar Lasmini yang akan menghadapi Ki Patih Narotama, sementara itu yang lain akan mempersiapkan diri, menyiapkan pula pasukan, untuk mengepung dan mengeroyok kalau Ki Patih Narotama yang ditakuti itu akan mengamuk. Sementara itu, Lasmini minta bantuan uwanya, juga gurunya, Ki Nagakumala untuk mengambil dan "meminjam" Joko Pekik Satyabudhi. Menurut persetujuan antara Lasmini dan Permaisuri Wura-wuri, Dewi Durgakumala, putera Ki Patih Narotama itu disembunyikan disebuah tempat, yaitu di dalam Dusun Ketanggungan yang terletak di perbatasan utara Kerajaan Parang Siluman dan Kerajaan Wura-wuri, dalam asuhan seorang biyung emban (inang pengasuh) yang setia dan dipercaya dari Kerajaan Wura-wuri, dan dijaga oleh dua orang perwira dan diawasi oleh Senopati Gandarwo sendiri yang kadang-kadang datang ke Dusun Ketanggungan untuk melihat keadaan anak itu. Ki Nagakumala lalu cepat berangkat ke Dusun Ketanggungan untuk "meminjam" anak itu agar dapat dipergunakan untuk mengancam dan memaksa Ki Patih Narotama menurut keinginan Lasmini.

Saat yang ditunggu-tunggu dengan jantung berdebar penuh ketegangan oleh para pimpinan Parang Siluman itu akhirnya tiba. Pagi hari itu udara amat cerah, matahari bersinar lembut dan terang. Derap kaki seekor kuda memecah kesunyian di halaman istana Parang Siluman yang berupa sebuah alun-alun yang luas itu. Narotama menjalankan kudanya dengan congklang, melintasi alun-alun menuju ke istana. Di depan istana, Narotama melompat turun dari atas pelana kudanya dan menambatkan kendali kuda pada sebatang pohon sawo kecik yang tumbuh di situ. Dia tidak heran melihat suasana lengang di depan Istana. Dia dapat menduga bahwa tentu Lasmini dan para pimpinan Parang Siluman sudah tahu akan kedatangannya dan sudah siap menyambutnya, entah dengan cara bagaimana. Kesepian alun-alun dan halaman kraton (istana) itu tentu merupakan siasat mereka, pikirnya. Kalau belum diatur sebelumnya, tidak mungkin istana tidak dijaga seorang pun perajurit! Perasaannya yang peka, pendengaran dan penglihatannya yang tajam membuat dia tahu bahwa sekeliling tempat itu sudah terkepung banyak sekali orang yang masih bersembunyi! Maka setelah menambatkan kudanya, Narotama melangkah ke depan pendapa istana Parang Siluman, lalu mengerahkan tenaga saktinya berseru sehingga suaranya melengking nyaring sekail sampai dapat terdengar dari seluruh bagian dalam istana itu!

"Haiii! Para penguasa di Parang Siluman! Keluarlah, tidak perlu sembunyi. Aku, Narotarma, ingin bicara dengan Andika sekalian!"

Dari dalam istana muncullah Ni Lasmini yang cantik jelita. Wanita ini mengenakan pakaian baru dengan perhiasan yang serba indah, wajahnya segar dan rambutnya disisir dan digelung rapi, wajahnya dirias sehingga tampak cantik berseri seperti seorang mempelai wanita hendak menyambut suaminya, sang mempelai pria!

Langkahnya seperti harimau kelaparan, dengan lenggang lenggok lemah gemulai dan lentur seperti menari. Sedetik muncul perasaan rikuh juga dalam hati Narotama karena dia sendiri berpakaian seperti seorang dusun. Harus diakui bahwa wanita yang berwajah amat jelita dengan tubuh yang indah menggairahkan itu memiliki daya tarik yang luar biasa dan begitu dia mengenangkan kehidupan antara mereka dahulu, bangkit gairah berahinya. Akan tetapi segera dia dapat menekannya dan menatap wanita yang melangkah maju dengan senyum manis itu dengan tenang.

Setelah tiba di depan Narotama, dalam jarak sekitar tiga tombak, di luar pendapa istana, masih di halaman, Lasmini mengangkat tangan kirinya ke atas dan Narotama mendengar gerakan orang-orang di sekitarnya. Ketika dia menoleh tampaklah banyak sekali perajurit telah mengepung tempat itu, siap dengan senjata lengkap. Mungkin tidak kurang dari seribu orang yang berlapis-lapis mengepung alun-alun kraton Parang Siluman itu!

Narotama tersenyum. "Hemm, Lasmini, apa maumu dengan penyambutan seperti ini? Apa kau kira aku akan gentar menghadapi pengepungan semacam ini?"

Lasmini tersenyum manis. "Kakangmas Narotama, ingatlah bahwa sekarang kita berhadapan sebagai pemilik rumah dan tamunya. Aku pemilik rumah dan engkau tamunya. Sebaiknya pertanyaanmu itu dikembalikan kepadamu. Apa maumu datang berkunjung ke sini?"

"Lasmini, sebenarnya, tanpa bertanyapun engkau pasti sudah tahu apa mauku datang berkunjung ke sini. Akan tetapi karena engkau bertanya, baiklah aku akan menjawab. Engkau telah menculik puteraku, Joko Pekik Satyabudhi. Anak kecil berusia satu setengah tahun itu tidak tahu apa-apa, tidak bersalah apapun terhadap dirimu, dan tidak ada sangkut pautnya dengan urusan permusuhan antara kerajaan! Aku datang untuk minta kepadamu dan para penguasa di Parang Siluman. Kembalikanlah puteraku Joko Pekik Satyabudhi kepadaku!"

Lasmini yang cerdik merasa tidak perlu lagi menyangkal.
"Kakangmas Narotama, bagaimana kalau tidak kami kembalikan?"

Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata mencorong mengeluarkan cahaya berkilat. Suaranya terdengar menggetar ketika Narotarna berkata.
"Kalau sampai puteraku dibunuh...!"

Dia lalu mengeluarkan suara gerengan yang demikian dahsyatnya sehingga mengguncang seluruh istana Parang Siluman, bahkan banyak perajurlt yang berdiri paling depan terpelanting. Lasmini sendiri melangkah mundur beberapa kali karena tidak tahan menghadapi getaran teriakan itu. Narotama menghentikan gerengannya dan berkata.

"Kalau Joko Pekik Satyabudhi dibunuh, aku bersumpah akan melumatkan seluruh Parang Siluman, tidak ada yang kubiarkan hidup!!"

Wajah Lasmini agak pucat. Belum pernah ia, selama menjadi selir terkasih patih itu, melihat Narotama marah sehebat itu. Akan tetapi ia tersenyum manis.
"Kakangmas Narotama, siapa yang tega membunuh puteramu yang mungil itu? Jangan khawatir, Kakangmas, Joko Pekik Satyabudhi berada dalam keadaan sehat dan terawat baik-baik." Kemudian suara Lasmini berubah, ketus dan penuh ancaman. "Akan tetapi, kalau engkau membuat ulah dan tidak mau memenuhi syarat yang kami ajukan, kami pasti akan membunuhnya sebelum engkau sempat melakukan sesuatu!"

Narotama mengenal benar siapa Lasmini. Wanita cantik jelita dengan daya tarik yang dapat meluluhkan hati setiap orang pria ini amat cerdik dan dia tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, Lasmini pasti tidak akan berani mengeluarkan gertakan kosong belaka.

"Buktikan dulu bahwa dia berada dalam keadaan baik-baik dan sehat, baru kita bicara." katanya tegas.

Lasmini mengangguk dan tersenyum, lalu menoleh ke belakang, ke arah menara di atas pintu gerbang pendapa dan memberi isyarat dengan lambaian tangan. Karena memang sudah diatur sebelumnya, ketika Narotama memandang kearah menara, tampak muncul seorang biyung emban memondong seorang anak laki-laki berusia satu setengah tahun, didampingi oleh seorang kakek berusia lima puluhan tahun, berkumis lebat melintang dan bersikap gagah.

Narotama mengenal anak itu yang bukan lain adalah puteranya, Joko Pekik Satyabudhi, dan mengenal pula kakek itu yang terkenal sakti, yaitu Ki Nagakumala, uwa dan juga guru Lasmini dan Mandari. Ki Nagakumala berbisik kepada biyung emban yang mengangkat anak itu ke atas dan menuding ke bawah.

Joko Pekik Satyabudhi baru berusia satu setengah tahun, melihat banyak orang di bawah menara dia jadi gembira, tertawa-tawa dan melambaikan tangan. Melihat ini, jantung Narotarna seperti ditusuk, akan tetapi dia menenangkan diri. Sudah terbukti bahwa puteranya memang berada dalam keadaan sehat, bahkan dari sikap anak yang tertawa-tawa itu dia tahu bahwa puteranya diperlakukan dengan baik. Dia pun tahu bahva tidak ada gunanya kalau dia mencoba untuk merampas anak itu. Sebelum ia melakukan sesuatu, Ki Nagakumala yang sakti itu tentu akan dengan mudah lebih dulu membunuh Joko Pekik!

Setelah memberi kesempatan ayah itu melihat keadaan anaknya, Lasmini memberi isyarat dengan tangannya ke atas dan Ki Nagakumala mengiringkan biyung emban yang memondong Joko Pekik itu menghilang lagi ke dalam menara.

"Nah, Kakangmas Narotarna, engkau lihat sendiri bahwa aku tidak berbohong. Puteramu berada dalam keadaan baik-baik dan sehat. Kami akan merawatnya dengan baik selama engkau memenuhi persyaratan kami."

"Katakan apa syaratmu!" kata Ki Patih Narotama singkat. "Akan tetapi awas jangan minta aku berkhianat dan memusuhi Sang Prabu Erlangga! Aku rela mengorbankan anakku dan diriku untuk membelanya, dan anakku akan mati bersama kalian semua. Tidak ada seorang pun dari kalian akan terlepas dari pembalasan kalau kalian membunuh anakku!"

"Tenang dan sabarlah, Kakangmas Narotama yang ganteng! Kami hanya minta agar engkau menjamin bahwa Kahuripan tidak akan menyerang dan menaklukkan Parang Siluman. Kalau sampai kami diserang Kahuripan, terpaksa anakmu akan kami bunuh dan menghadapi segala akibatnya."

"Hemm, bagaimana kalau aku dapat mengusahakan agar Parang Siluman tidak sampai diserang oleh Kahuripan?"

"Kami akan merawat Joko Pekik secara baik-baik dan menjamin keselamatannyal"

"Lasmini, aku sudah mengenal kelicikanmu! Janjimu tidak dapat kupercaya. Sampai kapan engkau akan menahan anakku?"

"Begini, Kakangmas Narotarna! Engkau boleh tidak percaya padaku, akan tetapi aku percaya padamu. Karena itu, untuk sementara kami akan merawat puteramu Joko Pekik dan selama Kahuripan tidak menyerang Parang Siluman, puteramu dijamin keselamatannya. Setelah lewat lima tahun dan Kahuripan sama kali tidak mengganggu kami, Joko Pekik Satyabudhi akan kami kembalikan kepadamu dalam keadaan sehat dan selamat. Sekarang terserah kepadamu keputusan apa yang kau pilih. Puteramu selamat dan kami pun selamat, atau kita sama-sama hancur binasa berikut puteramu!"

Narotarna menghela napas panjang. Terbayang olehnya betapa akan hancur hati Listyarini kalau sampai putera mereka itu terbunuh! Dan bagaimanapun juga, dia masih sangsi apakah dia benar-benar akan tega mengamuk dan membunuhi semua orang di Parang Siluman. Dia merasa kaki tangannya diikat oleh Lasmini yang cerdik itu. Bagaimanapun juga Lasmini ternyata dapat menyelami hatinya dan tidak minta agar dia memusuhi Sang Prabu Erlangga, hal yang tidak mungkin dia lakukan, biarpun harus berkorban segalanya.

"Baiklah, Lasmini, kita lihat saja siapa di antara kita yang melanggar janji. Akan tetapi tentu saja Parang Siluman juga tidak boleh mengacau dan mengganggu daerah Kahuripan lagi."

"Tentu saja, Kakangmas."

"Awas orang-orang Parang Siluman pegang janjimu dan jangan ganggu puteraku Joko Pekik Satyabudhi!" Narotama berteriak lantang, dan tiba-tiba tubuhnya lenyap, menjadi kabut karena dia telah mengerahkan Aji Pangllmunan! Tentu saja Lasmini cepat memberi isyarat kepada semua orang untuk waspada dan terutama sekali Ki Nagakumala menjaga Joko Pekik dengan ketat dan berlapis agar jangan sampai kecolongan oleh Narotama. Akan tetapi, Narotama adalah seorang satria yang teguh memegang janjinya. Bagi dia, melanggar janji berarti menghancurkan kehormatan diri dan merupakan pantangan yang hina baginya. Dia pulang dan menceritakan semua pengalamannya kepada Llstyarlnl, lalu menghibur isterinya tercinta itu. "Tenang dan bersabarlah, Diajeng. Percayalah bahwa Sang Hyang Widhi akan selalu Melindungi anak kita dan nanti pasti ada jalan untuk mengembalikan Joko Pekik ke pangkuanmu tanpa harus melanggar janjiku kepada Parang Siluman." Setelah menghibur isterinya, Ki Patih Narotama lalu menghadap Sang Prabu Erlangga.

"Bagaimana hasil pencarianmu, Kakang Patih Narotama? Sudahkah Andika berhasil menemukan puteramu?"

Narotama mengangguk dan menyembah. "Mendapat pangestu (restu) Paduka, hamba telah melihat Joko Pekik dan dia berada dalam keadaan sehat dan selamat di Parang Siluman, Sinuwun."

"Tapi, mengapa tidak Andika bawa pulang?"

"Belum bisa, Sinuwun, Anak itu dijaga ketat sehingga belum mungkin dapat hamba rebut kembali. Akan tetapi setidaknya, dia berada dalam keadaan selamat." Kata Narotarna. Dia merasa malu untuk menceritakan tentang ikatan janjinya dengan Lasmini. Inilah kesalahan besar yang sama sekali tidak disadari Narotarna. Perasaan malunya untuk mengaku kepada Sang Prahu Erlangga tentang perjanjiannya dengan Lasmin menempatkan dia dalam keadaan yang akan menyulitkan.

"Kalau begitu, bagaimana dengan rencana penyerbuan kita, Kakang Patih?"

"Sebaiknya dilaksanakan sekarang sebelum mereka sempat memperkuat diri, Sinuwun." kata Narotarna dan para senopati yang hadir di situ menyatakan setuju.

"Baiklah, kalau begitu, kami menyerahkan kekuasaan kepada Andika, Kakang Patih, untuk memimpin para senopati, perwira, dan pasukan untuk menyerang dan menaklukkan mereka agar lain kali mereka tidak akan berani mengganggu kita lagi. Nah, buatlah persiapan secukupnya dan segera berangkat!"

Lega juga hati Narotarna ketika dia diserahi kekuasaan untuk memimpin penyerangan karena dengan demikian, tentu saja dia dapat melewati Parang Siluman atau setidaknya menunda niat penyerangan Kahuripan ke Parang Siluman. Setelah mempersiapkan pasukan yang cukup besar, Ki Patih Narotarna mengundang para senopati dan perwira bawahannya dan memberitahu bahwa yang pertama kali mereka serang adalah Kerajaan Wura-wuri.

"Wura-wuri merupakan lawan yang cukup kuat dan kerajaan ini yang terdekat, maka akan kita serbu lebih dulu. Puspa Dewi, karena engkau lebih mengenal daerah Wurawuri, maka engkau kami angkat menjadi pemimpin pasukan pelopor yang terdiri dari seribu orang perajurit. Tugasmu adalah melakukan pendobrakan pertama, menyelidiki keadaan musuh dan membuka jalan bagi pasukan besar. Ingat, dan juga para senopati dan perwira harus ingat betul bahwa tugas kita semua seperti yang ditekankan Gusti Sinuwun bukanlah untuk merusak atau membunuh, melainkan hanya menaklukkan. Maka, dilarang keras untuk sembarangan membunuh, kecuali kalau membela diri, dilarang keras mengambil barang berharga penduduk Wura-wuri, dan dilarang keras menyiksa dan mengganggu wanita. Siapa yang melanggar akan mendapat hukuman keras, sebaliknya yang menaati perintah dan melaksanakan dengan baik, tentu akan memperoleh ganjaran dari Gusti Sinuwun."

Demikianlah, setelah membagi-bagi tugas, tiga hari kemudian Ki Patih Narotama memimpin pasukan Kahuripan menuju ke Wura-wuri.

**** ****
Lanjut ke Jilid 042 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment