Ads

Wednesday, November 14, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 042

◄◄◄◄ Kembali


Seperti juga keadaan di Parang Siluman dan dua kerajaan yang lain, para pimpinan Kerajaan Wura-wuri juga mengalami kedukaan dan kekecewaan karena dalam perang melawan Kahuripan itu mereka menderita kekalahan besar. Tiga orang senopati andalan mereka, yaitu Tri Kala yang terdiri dari Kala Muka, Kala Manik, dan Kala Teja, telah tewas dalam pertempuran. Juga mereka kehilangan ribuan orang perajurit. Pimpinan tertinggi di Wura-wuri adalah Adipati Bhismaprabhawa, permaisurinya yaitu Nyi Dewi Durgakumala, dan Senopati Muda Ki Gandarwo.

Setelah menderita kekalahan, kehilangan Tri Kala, Adipati Bhismaprabhawa lalu mengutus Ki Gandarwo untuk mengundang orang pandai agar dapat menggantikan tiga orang Tri Kala yang tewas, dan memperkuat Wura-wuri. Ki Gandarwo segera mengundang lagi kakak seperguruannya, yaitu Cekel Aksomolo. Dahulu, Cekel Aksomolo juga pernah membantu Wura-wuri melalui Ki Gandarwo, akan tetapi dia lalu kembali ke tempat pertapaannya, yaitu di Hutan Werdo, lereng Gunung Wilis. Ketika didatangi Ki Gandarwo, Cekel Aksomolo yang berusia sekitar tiga puluh satu tahun itu menerima undangan Adipati Wura-wuri dan dia pun ikut bersama Ki Gandarwo menghadap Adipati Wura-wuri.

Cekel Aksomolo yang sakti dan cerdik Itu diterima dengan gembira dan hormat oleh Adipati Bhismaprabhawa dan karena Sang Adipati sudah mengetahui kesenangan Cekel Aksomolo, maka pertapa muda ini lalu diberi sebuah rumah mungil Indah dan mewah. Dan tidak lupa, Adipati Bhismaprabhawa menyediakan beberapa orang pemuda perjaka remaja yang tampan wajahnya untuk melayaninya. Pertapa muda yang tinggi kurus bongkok, mukanya seperti Pendeta Durna, dan suaranya tinggi kecil seperti suara wanita ini mempunyai watak yang aneh. Dia sama sekali tidak suka kepada wanita, akan tetapi dia suka sekali kepada pemuda-pemuda remaja yang ganteng yang dia jadikan kekasihnya!

Pada suatu pagi, Adipati Bhismaprabhawa mengadakan persidangan dengan Isterinya, Nyi Dewi Durgakumala dan para pembantunya, yaitu Ki Gandarwo, Cekel Aksomolo, dan beberapa orang perwira pembantu.

Dalam rapat ini, Adipati Bhismaprabhawa menyatakan kekhawatirannya bahwa Kahuripan tentu akan melakukan serangan balasan ke Wura-wuri, padahal Wura-wuri baru saja mengalami kekalahan, banyak perajurit tewas dan sisa para perajurlt menurun semangatnya karena kekalahan itu.

"Kalau Kahuripan menyerang selagi kita berada dalam keadaan lemah seperti sekarang ini, tentu akan berbahaya sekail." Sang Adipati menyatakan kekhawatirannya.

"Hi-hik-he-he-he!" Cekel Aksomolo terkekeh genit lalu berkata dengan suaranya yang seperti wanita. "Gusti Adipati mengapa mengkhawatirkan hal itu? Harap Paduka tenang! Kalau Kahuripan berani menyerang ke sini... ah, hal itu kecil saja! Ada saya, Cekel Aksomolo di sini, dan tangan kakiku, kalau perlu tasbeh dan ganitri (biji tasbeh) saya ini tentu akan membinasakan dan mengusir mereka! Heh-he-he-he!"

Mendengar ucapan yang sombong ini, hati Adipati Bhismaprabhawa bukan menjadi tenang, bahkan dia semakin gelisah. Dia tahu bahwa Cekel Aksomolo memang sakti, akan tetapi kalau sikapnya demikian takaburnya, Sang Adipati meragukah kemampuannya.

Melihat suaminya tampak gelisah, Nyi Dewi Durgakumala berkata dengan nada suara menghibur.
"Kakangmas Adipati. Paduka tenanglah. Saya telah memiliki senjata yang ampuh untuk menghadapi Kahuripan. Kalau pasukan Kahuripan menyerang, biasanya yang menjadi Manggala (Pemimpin) Agung tentu Ki Patih Narotama. Paduka tahu bahwa saya dan Ni Lasmini telah berhasil menculik putera Ki Patih Narotama. Dengan adanya puteranya di tangan kita, maka Ki patih Narotama tentu tidak berani menyerang kita. Kita pergunakan anak itu sebagai sandera untuk memaksa Ki Patih Narotama menarik mundur pasukannya dan selanjutnya tidak akan mengganggu kita lagi."

Adipati Bhismaprabhawa mengangguki -angguk, lalu mengerutkan alisnya.
"Pendapatmu itu benar, Diajeng. Akan tetapi bagaimana kalau yang menjadi Manggala Perang bukan Ki Patih Narotama, melainan Sang Prabu Erlangga sendiri?"

Nyi Dewi Durgakumala menggeleng kepalanya.
"Rasanya tidak mungkin Sang Prabu Erlangga memimpin sendiri pasukannya. Biasanya dia tentu mewakilkannya kepada Ki Patih Narotarna. Akan tetapi, andaikata Sang Prabu Erlangga sendiri yang memimpin, tetap saja kita dapat menggunakan Joko Pekik Satyabudhi itu sebagal sandera. Sang Prabu Erlangga amat menyayang dan menghormati Ki Patih Narotarna. Mereka berdua itu tunggal guru dan seperti saudara saja. Tentu dia tidak akan tega mengorbankan putera Ki Patih Narotarna."

"Akan tetapi anak itu sekarang tidak berada di sini. Bukankah tempo hari andika melaporkan bahwa anak itu dipinjam oleh Kerajaan Parang Siluman?" tanya Sang Adipati.

"Benar, Kakangmas. Saya dan Ni Lasmini bersepakat untuk menyembunyikan anak itu di suatu tempat yang tersembunyi dan aman, di perbatasan. Tempo hari Lasmini utusan Ki Nagakumala untuk meminjam dan mengambil Joko Pekik Satyabudhi."

"Kalau begitu sebaiknya kita mengutus orang untuk mengambilnya kembali dan agar untuk semenara anak itu berada di sini sehingga kalau sewaktu-waktu pasukan Kahuripan menyerang, kita dapat mempergunakan anak itu sebagai perisai!"

Nyi Dewi Durgakumala mengangguk dan tersenyum, lalu memandang kepada Ki Gandarwo. "Senopati Gandarwo, Andika berangkatlah ke Kerajaan Parang Siluman, bawalah pesanku kepada Sang Ratu Durgamala dan kedua Puteri Lasmini dan Mandari, juga Ki Nagakumala, bahwa kami di sini membutuhkan kehadiran Joko Pekik Setyabudhi putera Ki Patih Narotama. Bawalah anak itu ke sini dan bawa perajurit secukupnya agar dapat mengawal anak itu sehingga dapat selamat sampai di sini."

Ki Gandarwo, senopati muda tampan yang juga menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala, matur sendlka (menaati) dan segera berangkat bersama seregu pasukan ke Parang Siluman. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, Ki Gandarwo kembali melaporkan bahwa Parang Siluman tidak dapat menyerahkan Joko Pekik Satyabudhi karena mereka membutuhkan anak itu sendiri. Tentu saja Nyi Dewi Durgakumala menjadi marah sekali.

"Keparat Si Lasmini. Dulu ia hendak membunuh anak itu. Aku yang mempunyai gagasan agar anak itu dijadikan sandera untuk kepentingan Wura-wuri dan Parang Siluman! Akan tetapi sekarang ia hendak menguasainya sendiri untuk kepentingan Parang Siluman! Apa mereka mengira Wura-wuri takut melawan Parang Siluman yang kecil? Kita gempur saja dan minta anak itu dengan kekerasan!" Nyi Dewi Durgakumala berseru marah. Dengan wajah merah Nyi Dewi Durgakumala sudah bangkit dan hendak mengerahkan pasukan untuk menyerang Parang Siluman, untuk merampas Joko Pekik yang ditahan di Parang Siluman. Akan tetapi suaminya cepat bangkit, memegang pundaknya dan mengajaknya duduk kembali, berkata dengan halus.

"Bersabarlah, Diajeng. Kalau kita menuruti nafsu amarah dan menyerang Parang Siluman, berarti di antara kita terjadi bentrokan sendiri yang akhirnya hanya melemahkan kita. Padahal kita sama-sama terancam oleh Kahuripan."

Para senopati mendukung ucapan Adipati Bhismaprabhawa ini sehingga akhirnya Nyi Dewi Durgakumala mengalah.
"Baiklah, Kakangmas Adipati, saya tidak akan menuruti amarah dan menyerang sekutu sendiri, akan tetapi Parang Siluman sungguh mau enaknya sendiri saja. Saya akan mencoba untuk mengancam Narotarna agar dia tidak menyerang kita atau akan membunuh puteranya! Kalau dia tidak percaya dan tetap menyerang, kita harus mempertahankan diri. Untuk itu kita harus memperkuat diri dan saya akan mengundang dua orang kakak seperguruan saya, dua orang saudara kembar yang menjadi datuk-datuk Blambangan, yaitu Menak Gambir Anom dan Menak Gambir Sawit. Sudah puluhan tahun kami tidak saling jumpa, akan tetapi kalau saya mengirim utusan kesana memanggil mereka, pasti mereka akan datang dan membantu kita. Kedua kakak seperguruan saya itu memiliki kesaktian yang boleh diandalkan."

Adipati Bhismaprabhawa menjadi girang sekali dan Nyi Dewi Durgakumala segera mengirim utusan mengundang dua orang datuk Blambangan itu.

**** ****
Lanjut ke Jilid 043 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment