Ads

Wednesday, November 14, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 050

◄◄◄◄ Kembali


"Nah, sekarang Andika dan saya menjadi dua orang pedagang sayuran, berjualan ke kota raja. Takkan ada orang yang mencurigai kita."

"Akan tetapi engkau sendiri? Mengapa engkau tidak menyamar lagi?"

"Wah, penyamaran saya sebagai Ki Kartowi sudah dikenal orang, bahkan sudah dicurigai oleh para telik sandi Parang Siluman, Denmas. Malah dengan keadaanku yang asli seperti ini, tidak akan ada yang mengenalku. Kalau nanti ada orang bertemu dengan kita selagi berdua, saya akan mengaku sebagai keponakan Denmas dan mulai sekarang agar terbiasa, saya akan menyebutmu Pakde, dan Andika menyebut saya Tarto."

"Baiklah, Tarto." kata Nurseta dan orang lain tidak akan mengenal suaranya itu karena dia sudah dilatih oleh Witarto untuk bicara seperti seorang tua, agak serak, agak gemetar, dan tenang perlahan. Keduanya lalu memikul pikulan keranjang sayur mereka dan berangkat menuju Kota Raja Parang Siluman.

Tepat seperti yang telah diperhitungkan Witarto, telik sandi Kahuripan yang biarpun masih muda namun amat cerdik itu, mereka berdua dapat lolos melewati gapura Parang Siluman yang terjaga ketat. Para perajurit penjaga memang memeriksa semua orang yang lewat melalui pintu gapura. Akan tetapi yang mereka cari adalah Nurseta, seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun yang berwajah tampan dan Ki Kartowi, seorang laki-laki setengah tua berusia sekitar empat puluh tahun. Akan tetapi Witarto pada saat lewat di situ merupakan pemuda berusia sekitar dua puluh dua tahun yang matanya juling mulutnya agak perot dan pundaknya tinggi sebelah! Sedangkan Ki Kambana adalah seorang kakek berusia sekitar lima puluh tahun yang rambutnya penuh uban dan kakinya timpang (pincang)! Tentu saja keduanya jauh berbeda dari gambaran dua orang yang mereka cari dan dengan mudah mereka berdua lolos masuk ke dalam Kota Raja Parang Siluman. Jangankan para petugas jaga, para perajurit yang tidak mengenal wajah aseli Nurseta. Bahkan para tokohnya yang sudah mengenal betul wajah itu pun tidak akan menduga bahwa kakek berambut ubanan dan kakinya pincang itu adalah Nurseta!

Setelah memasuki kota raja, sesuai dengan rencana yang sudah diatur sebelumnya, Nurseta berpisah dari Witarto. Dia hendak menyelidiki ke dalam istana untuk memastikan apakah Joko Pekik Satyabudhi dikeram dalam istana ataukah tidak. Adapun Witarto bersama sebelas orang rekannya akan melakukan penyelidikan ke guna yang mereka duga menjadi tempat untuk menyembunyikan putera Ki Patih Narotama itu.

Biarpun dia sudah menyamar menjadi Ki Kambana dan tidak akan ada yang dapat menduganya bahwa dia sebetulnya Nurseta, namun Nurseta tentu saja tidak mau bersikap sembrono. Dia tahu bahwa tidaklah mudah untuk dapat menyusup ke dalam istana yang selain terjaga ketat oleh banyak perajurit pengawal, juga di dalamnya terdapat orang-orang sakti mandraguna. Di antara mereka yang sungguh merupakan lawan-lawan yang berat dan berbahaya adalah Durgamala sendiri yang kini menjadi Ratu Parang Siluman menggantikan mendiang ayahnya Raja Dirgabaskara. Lalu kakak kandung Ratu Durgamala yang bernama Ki Nagakumala dengan tingkat kepandaian yang bahkan lebih tinggi daripada tingkat Ratu Durgamala. Kemudian ada dua orang puteri Sang Ratu. atau yang menjadi murid Ki Nagakumala, yaitu Lasmini dan Mandari, dua orang puteri yang cantik jelita masih muda karena usia Lasmini baru dua puluh empat tahun dan Mandari dua puluh dua tahun. Selain memiliki wajah yang luar biasa cantik jelita, kedua orang puteri ini juga memiliki bentuk tubuh yang indah menggairahkan.

Selain cantik jelita dan menggairahkan, mereka berdua memiliki kesaktian yang bahkan melampaui kesaktian ibu mereka dan sudah hampir menandingi kesaktian guru mereka karena keduanya pernah mendapat bimbingan Sang Prabu Erlangga yang mengambil Mandari sebagai selir, dan Ki Patih Narotama yang menjadikan Lasmini sebagai selir terkasihnya. Empat orang sakti mandraguna tinggal di istana itu dan mereka sama sekali tidak boleh dipandang ringan, baik oleh Nurseta sekalipun! Di samping mereka berempat, dalam istana itu terdapat pasukan pengawal istimewa, terdiri dari lima losin perajurit pilihan!

Akan tetapi Nurseta harus mengambil keputusan untuk nekat menyusup ke dalam istana yang megah dan penuh bahaya itu karena kalau dia tidak berani nekat, bagaimana dia dapat memastikan apakah putera Ki Patih Narotama berada di istana ataukah tidak? Dia menunggu sampai datangnya malam gelap tanpa bulan.

Setelah malam gelap tiba, Nurseta mempergunakan kesaktiannya untuk menyelinap ke dalam istana Parang Siluman. Dengan Aji Sirna Sarira dan menggunakan kecepatan Aji Bayu Sakti, dia berhasil melewati para penjaga di luar istana. Tubuhnya berkelebat seperti bayangan sehingga dia dapat masuk tanpa terlihat oleh para penjaga yang banyak dan yang melakukan penjagaan ketat.

Malam itu gelap sekali. Dengan gerakan yang amat ringan dan gesit, seperti seekor monyet, Nurseta berlompatan ke atas wuwungan bangunan istana, mengintai dari atas dan memeriksa keadaan. Malam itu istana sudah sepi. Agaknya para penghuninya sudah tertidur karena waktu sudah tengah malam. Yang tampak hanya para perajurit pengawal yang mengadakan perondaan.

Nurseta tidak mau menangkap perajurit pengawal, untuk memaksanya mengaku di mana adanya Joko Pekik Satyabudhi. Dia maklum bahwa mereka yang diangkat menjadi perajurit pengawal istana pastilah orang yang memiliki kesetiaan tebal dan menaati atasannya sampai mati. Orang-orang seperti para perajurit pengawal istana itu tidak mungkin dapat dibujuk atau diancam. Dan kalau dia sudah menangkap seorang lalu gagal mengancamnya, hal itu bahkan merugikannya, dan mungkin akan menggagalkan penyelidikannya. Maka dia menanti dengan sabar, mencari kesempatan untuk turun ke bawah tanpa diketahui dan melanjutkan penyelidikannya di bawah, yaitu di sebelah dalam istana. Memang berbahaya baginya, akan tetapi kiranya tidak ada jalan lain.

Tiba-tiba mata Nurseta bersinar. Dia melihat seorang wanita setengah tua, dari pakaiannya dapat diduga bahwa wanita itu tentu seorang pelayan istana. Wanita ini lewat dengan perlahan, membawa sebuah baki berisi sebuah poci minuman dan cangkir. Nah, inilah kesempatan terbaik, piker Nurseta. Lebih mudah memaksa wanita pelayan Ini membuka mulut dan memberitahu kepadanya di mana adanya anak yang diculik itu daripada memaksa seorang perajurit pengawal!

Ketika wanita itu melewati sebuah lorong di mana tidak ada perajurit pengawal yang menjaga,, tiba-tiba ia disergap oleh kedua tangan Nurseta yang kuat. Sekali tekan pada tengkuknya, wanita pelayan itu terkulai lemas, tidak mampu bersuara maupun meronta lagi. Nurseta cepat mengambil baki agar jangan jatuh menimbulkan suara. Dia memanggul tubuh wanita itu dan membawanya melompat lagi ke atas wuwungan yang gelap. Setelah, menaruh baki dengan poci dan cangkir ke sudut wuwungan, dia menurunkan tubuh pelayan wanita itu, mendudukkan di atas wuwungan dan berkata lirih dekat telinganya.

"Jangan berteriak dan aku tidak akan mengganggumu. Kalau engkau berteriak, akan kulemparkan ke bawah sana!"

Wanita itu menggigil kengerian dan tidak berani menjerit ketika Nurseta mengurut tengkuknya sehingga ia mampu besuara dan bergerak lagi.

"Ampunkan hamba..." rintihnya lirih ketakutan.

"Katakan terus terang, di mana adanya putera Ki Patih Narotama yang diculik? Di mana dia dikeram? Hayo jawab sejujurnya kalau engkau ingin seIamat" hardik Nurseta sambil memegang kedua lengan wanita itu seolah-olah siap hendak melemparkan ke bawah!

"Ampun... anak itu... anak itu berada di sana..." Wanita itu menudingkan telunjuknya yang menggigil ke bawah.

"Di mana? Yang jelas!"

"Melalui lorong itu ke depan, lalu ada tikungan ke kanan dan dia berada di dalam sebuah kamar yang pintunya bercat hijau terbuat dari besi dan berterali. Anak itu tampak dari luar, akan tetapi dijaga ketat..."

"Engkau tidak bohong? Awas, kalau engkau bohong, aku akan kembali ke sini dan melemparmu ke bawah!"

"Hamba tidak berani berbohong..." Wanita itu meratap.

Nurseta percaya bahwa wanita itu pasti tidak akan berani membohonginya, maka dia lalu menepuk lagi tengkuknya sehingga wanita itu terkulai, tidak dapat mengeluarkan suara dan tidak dapat bergerak lagi. Nurseta meninggalkannya di atas wuwungan, lalu dia melayang turun di bagian yang gelap. Kemudian dengan kecepatan Aji Bayu Sakti, Nurseta berkelebat mengikuti lorong seperti yang dikatakan pelayan tadi. Dia tiba di lorong yang berbelok. Dia menuju ke kanan dan benar saja, dari jauh dia melihat lima orang perajurit pengawal duduk di atas bangku panjang di depan sebuah kamar yang pintunya terbuat dari besi bercat hijau dan di bagian atasnya ada teralinya! Dengan jalan memutar dia dapat melihat kamar itu dari depan, agak jauh.

Dalam kamar yang tampak dari terali daun pintu tampak remang-remang karena hanya ada sebuah lampu kecil dalam kamar itu. Akan tetapi dia dapat melihat dengan jelas sebuah pembaringan kecil dan seorang anak kecil tidur di atas pembaringan itu, berselimut merah. Hatinya lega melihat ini. Joko Pekik Satyabudhi, putera Ki Patih Narotama, ternyata masih hidup
dan dalam keadaan selamat dan melihat dia tertidur, tentu dia sehat-sehat saja.

Nurseta lalu membuat perhitungan masak sebelum bertindak lebih lanjut. Dia harus melumpuhkan lima orang perajurit yang berjaga di depan kamar tahanan itu. Dan hal ini harus dia lakukan dengan cepat dan tidak menimbulkan suara gaduh, karena kalau sampai terdengar oleh para tokoh sakti di istana dan mereka keburu datang, usahanya tentu akan gagal. Dia harus sudah dapat membawa anak itu sebelum para lawan tangguh muncul!

Nurseta lalu mengerahkan Aji Sirna Sarira sekuatnya dan tubuhnya lalu berkelebat ke depan kamar tahanan. Lima orang perajurit itu hanya melihat bayangan berkelabat. Mereka terkejut dan bangkit berdiri, akan tetapi tiba-tiba mereka roboh satu demi satu daiam keadaan pingsan tanpa sempat berteriak! Nurseta cepat mencari dan mengambil kunci dari saku baju seorang dari mereka, dan membuka gembok (induk kunci) besar pada pintu besi itu. Dengan mudah dibukanya gembok itu, dibukanya pintu besi dan dia cepat masuk ke dalam kamar tahanan itu. Dia menghampiri pembaringan .dan.... matanya terbelalak kaget ketika dia melihat bahwa yang tidur di atas pembaringan tertutup selimut merah itu hanya sebuah boneka!

"Ha-ha-ha-ha...!"

"He-he-heh...!”

"Hi-hi-hi-hik...!"

Nurseta menoleh dan membalikkan tubuhnya ke pintu mendengar suara tawa beberapa orang itu. Dia melihat betapa daun pintu besi itu ditutup dari luar dan digembok kembali. Dari terali pintu besi dia melihat mereka berempat berdiri di luar pintu sambil tertawa-tawa. Ratu Durgamala, Ki Nagakumala, Lasmini dan Mandari! Seketika mengertilah dia kini. Semua itu ternyata merupakan pancingan dan jebakan saja! Wanita pelayan tadi pun tentu dipergunakan sebagai pancingan dan mereka berhasil memancing dan menjebaknya! Di belakang empat orang tokoh Parang Siluman yang tertawa-tawa itu berdiri seregu pasukan pengawal, lengkap dengan senjata tombak, pedang, dan busur!

"He-he-he-heh! Nurseta, sejak engkau melewati gapura istana, kami sudah mengamati dan mengikuti semua gerak-gerikmu! He-he-heh!" Ratu Durgamala berkata sambil tersenyum mengejek. Ratu wanita yang sudah janda dan berusia empat puluh tahun lebih itu. masih tampak cantik jelita, berdiri di samping kedua puterinya itu ia tampak seperti kakak mereka saja.

Nurseta menjadi lemas! Kiranya mereka bukan saja berhasil menjebaknya, bahkan penyamarannya pun tidak dapat mengelabuhi mereka. Mereka sudah mengenalnya! Dia merasa penasaran sekali, namun dapat bersikap tenang ketika dia bertanya.

"Hemm, harus kuakui bahwa Andika sekalian memang cerdik sekali. Akan tetapi bagaimana Andika dapat mengetahui siapa diriku?"

Ki Nagakumala yang menjawab. "Hmmm, apa sukarnya? Permainan anak kecil! Biarpun penyamaranmu memang bagus sekali dan mula-mula kami tidak mengenalmu, akan tetapi ketika engkau bergerak, kami mengenal Aji Bayu Sakti dan Aji Sirna Sarira, bahkan kami dapat mengetahui bahwa engkau adalah utusan Ki Patih Narotama karena kami melihat Tongkat Pusaka Kyai Tunggul Manik yang berada di pinggangmu itu, Nurseta!"

Nurseta merasa kagum. Mereka itu cerdik dan licik, juga sakti mandraguna. Dia merasa seperti harimau dalam kurungan dan dapat menduga bahwa ruangan tahanan itu pasti kokoh kuat sekali. Pintu besi itu tampak kokoh dan dia menduga bahwa dinding tembok itu pun tentu dilapis besi. Kiranya tidak mungkin menjebol kamar tahanan itu. Mereka memang sudah mempersiapkan segalanya!

"Sudahlah, Kakang Nagakumala, untuk apa berpanjang cerita dengan orang ini? Dia terlalu berbahaya, sebaiknya dibinasakan sekarang juga!" kata Ratu Durgamala tak sabar karena ratu ini sudah maklum akan kesaktian Nurseta yang akan membahayakan kerajaannya.

"Engkau benar, Yayi Ratu." kata Ki Nagakumala lalu dia memberi perintah kepada dua losin perajurit pengawalnya.

"Kalian kepung tempat ini dan pasang anak panah beracun. Kerocok (hujani) dia dengan anak panah beracun!"

Dua losin perajurit itu maju dan bersiap di depan pintu besi yang lebar itu. Mereka mengambil posisi, ada yang berjongkok, ada yang berlutut dan ada yang berdiri menodongkan anak panah, merupakan tiga lapis, bawah, tengah, dan atas. Mereka sudah memasang anak panah yang ujungnya berwarna hijau kehitaman tanda racun yang amat kuat, pada busur mereka, siap untuk menarik tali busur dan melepas anak panah.

"Tahan...!!" Tiba-tiba Lasmini berseru.

"Jangan bunuh dia sekarang!"

"Lasmini! Mengapa engkau melarang?" tanya Ratu Durgamala heran. Juga Ki Nagakumala memandang Lasmini dengan alis berkerut. Seperti juga adiknya, dia berpendapat bahwa Nurseta merupakan ancaman bahaya besar bagi Parang Siluman, maka lebih cepat dibunuh lebih baik.

"Kanjeng Ibu, Mbakayu Lasmini benar! Orang ini jangan dibunuh begitu saja. Terlalu enak dia kalau dibunuh begitu saja!"

"Hemm, lalu seharusnya bagaimana?" tanya Ratu Durgamala.

"Begini, Kanjeng Ibu." kata Lasmini sambil tersenyum simpul, "Lumpuhkan dia dengan asap pembius. Nanti aku dan Mandari yang akan menangani dan membereskan dia!"

Ratu Durgamala tentu saja maklum dan dapat membaca senyum simpul yang berkembang di bibir manis Lasmini dan Mandari. Kedua orang puterinya itu bukan hanya mewarisi kecantikannya, akan tetapi juga kelemahannya terhadap gairah nafsunya sendiri yang membuat wataknya menjadi mata keranjang. Ia pun tersenyum maklum dan segera memerintahkan kepada para perajurit.

"Lumpuhkan dia dengan asap pembius!"

Dua losin perajurit itu mengganti busur anak panah mereka dengan alat penyemprot dari bumbung bambu. Nurseta tak dapat menemukan jalan untuk menghindar dari serangan. Dia tidak berdaya dan maklum bahwa menggunakan kekerasan takkan menolongnya. Dia tidak takut mati, bahkan dia lalu menghapus penyamarannya karena kalau dia sampai mati, dia ingin mati sebagai Nurseta, sebagai dirinya yang aseli, bukan dalam penyamaran. Menyamar pun sekarang tidak ada gunanya lagi karena rahasianya sudah ketahuan. Segera setelah dua losin perajurit itu menyemprotkan asap pembius yang berbau harum menyengat, dia melompat ke atas pembaringan kecil, duduk bersila dan memejamkan kedua matanya. Dia menahan panas agar tidak keracunan pembius.

Namun, segera kamar itu penuh asap dan kurang lebih satu jam kemudian, dia tidak dapat lagi menahan pernapasannya. Dia bernapas dan asap pembius memasuki rongga dadanya. Kepalanya terasa pening, semua gelap dan dia pun tidak ingat apa-apa lagi. Namun, badannya yang terlatih itu tetap duduk bersila walaupun dia pingsan!

Ketika siuman dari pingsannya, dan membuka matanya, Nurseta mendapatkan dirinya rebah telentang di atas sebuah pembaringan yang besar, lunak dan indah, dalam sebuah kamar yang mewah dan berbau harum. Dia memandang ke sekeliling. Di sebelah kiri terdapat sebuah jendela yang terbuka dan menembus ke sebuah taman yang penuh tanaman bunga. Ketika dia meraba dengan tangannya, dia mendapatkan badannya memakai pakaian baru yang indah. Mukanya dan rambutnya bersih bekas dicuci dan penyamarannya sudah hilang sama sekali. Dia teringat. Dia telah terjebak dalam kamar dan diserang asap pembius! Diraba pinggangnya. Tongkat Pusaka Tunggul Manik juga telah hilang! Tiba-tiba terdengar suara tawa di belakangnya.

"Hi-hi-hi-hikl"

Nurseta cepat memutar tubuh dan dia melihat Lasmini dan Mandari muncul di pintu sambil memandang kepadanya dan terkekeh-kekeh. Dia marah sekali lalu melompat turun dengan niat menyerang dua orang wanita itu. Akan tetapi dia mengeluh dan tubuhnya terpelanting, terhuyung dan dia cepat menjatuhkan diri di atas pembaringan karena kalau tidak, dia tentu akan terbanting roboh di atas lantai. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi ketika dia tadi mengerahkan tenaga sakti untuk menyerang dua orang wanita itul

"He-he-he-heh! Bocah bagus (anak tampan), engkau akan mati kalau mencoba untuk mengerahkan tenaga dan melawan kami!" kata Mandari sambil tersenyum manis.

Sekali lagi Nutseta mencoba untuk mengerahkan tenaganya, namun rasa nyeri yang luar biasa membuat dia terpaksa duduk bersila di atas pembaringan dan menarik napas panjang.
"Apa yang telah kalian lakukan terhadap diriku?" tanyanya, tetap tenang walaupun dia tahu bahwa dia telah keracunan secara hebat sekali.

"Engkau ingin mengetahui, Nurseta? Tubuhmu telah kemasukan racun Perusak Tulang. Kalau engkau mau menaati kami, engkau akan kami beri obat penawar. Akan tetapi kalau engkau tidak mau menurut, dalam waktu satu bulan, tulang-tulangmu akan hancur dan tidak ada obat apa pun di dunia ini yang akan dapat menyelamatkanmu!" kata Lasmini sambil tersenyum dan mengerling penuh daya pikat.

Nurseta kini maklum mengapa Tongkat Pusaka Tunggul Manik mereka ambil darinya. Kalau tongkat itu masih tergantung di pinggangnya, tentu racun itu akan kehilangan dayanya.

"Menaati dan menurut bagaimana maksud kalian?" tanyanya, sikapnya tetap tenang.

Kakak beradik yang sama-sama cantik jelita itu saling padang dengan tersenyum. Mereka berdua sama-sama cantik walaupun kecantikan mereka berbeda, Lasmini berwajah bulat berkulit putih mulus, mata dan mulutnya penuh gairah, rambutnya panjang hitam dan lekuk-lengkung tubuhnya nyaris sempurna. Mandari berwajah agak lain, dengan dagu meruncing wajahnya menjadi bulat telur, anak rambut melingkar-lingkar di dahi dan pelipis, mulutnya kecil matanya lebar, hidungnya mancung indah. Biarpun kulitnya tidak seputih kulit Lasmini, namun halus dan jernih. Bentuk tubuhnya juga amat ramping dan padat. Sukar mengatakan siapa lebih menarik di antara kedua kakak beradik ini. Daya tarik kecantikan mereka sama-sama kuat dan menggairahkan karena sikap mereka yang menantang dan genit.

"Pertama, engkau harus membantu kami, memperkuat Kerajaan Parang Siluman." kata Mandari sambil tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih seperti mutiara tersusun rapi.

"Hemm, kalau untuk melakukan kebaikan, mendatangkan kesejahteraan dan ketenteraman kehidupan rakyat, aku siap membantu kerajaan manapun juga., Akan tetapi kalau untuk mengumbar angkara murka, apalagi untuk memusuhi Kahuripan, tak mungkin aku dapat membantui kalian." jawab Nurseta tegas.

"Urusan pertama itu boleh ditunda dulu, akan tetapi sekarang engkau harus menuruti keinginan kami yang kedua, yaitu kita berpesta dan bersenang-senang dalam kamar kami ini. Engkau tentu akan suka menemani kami bersenang-senang, bukan?"

Nurseta sudah mengenal dua orang wanita itu, maklum bahwa kedua orang wanita bekas selir Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama ini adalah hamba-hamba nafsu berahi. Dia maklum bahwa mereka mengajak dia berjina! Sambil mengerutkan alisnya dia menjawab dengan lembut agar tidak menyinggung hati mereka.

"Aku sama sekali tidak tertarik. Maafkan kalau aku menolak ajakan itu."

Dua orang puteri itu tidak menjadi marah. Mereka malah tersenyum lebar sehingga tampak rongga mulut mereka dan lidah mereka yang kemerahan.

"Hi-hi-hik, engkau tidak akan dapat menolak kami, Nurseta!" kata Mandari, lalu disambung ucapan Lasmini dengan suara lembut manis namun mengandung wibawa dan daya pikat amat kuatnya. "Pandanglah kami, Nurseta!"

Seolah di luar kehendaknya, Nurseta memandang mereka dan jantungnya berdegup keras. Dia melihat betapa Lasmini dan Mandarai tampak luar biasa cantiknya, seolah dua orang dewi kahyangan. Wajah mereka memancarkan cahaya indah, senyum mulut mereka mengandung lautan madu, kerling mata mereka seolah menarik-narik perasaan hatinya. Nurseta segera menyadari bahwa dua orang wanita itu telah mengerahkan Aji Pameletan Guna Asmara yang amat kuat yang kabarnya dapat meruntuhkan iman seorang pertapa sekalipun. Nurseta segera berlindung dalam Aji Sirna Sarira. Aji ini merupakan aji yang meniadakan diri jasmani sehingga tentu saja tidak dapat terpengaruh segala macam daya tarik nafsu yang menguasai jasmani. Dia tetap duduk bersila dan sungguhpun dia tidak perlu memejamkan matanya, namun matanya sama sekali tidak silau oleh daya tarik kecantikan dua orang wanita itu. Bahkan dia seolah melihat dua tengkorak terbungkus kulit yang menjijikkan!

Dua orang wanita yang berpengalaman itu segera mengerti bahwa aji pengasihan mereka tidak cukup kuat untuk meruntuhkan perasaan hati dan membangkitkan nafsu berahi Nurseta. Mereka merasa penasaran sekali dan kegagalan mereka itu bahkan merupakan senjata yang berbalik menyerang diri mereka sendiri. Penolakan pemuda itu justru membuat napsu mereka menjadi semakin menyala berkobar-kobar membakar diri mereka! Keduanya menjadi nekat dan mereka menyerbu ke atas pembaringan yang lebar itu.

Mereka berdua mulai merayu Nurseta dengan bisikan-bisikan, belaian dan melekatkan tubuh mereka yang panas penuh gairah itu ke tubuh Nurseta. Namun pemuda itu kini memejamkan mata dan dia seolah menjadi seperti ketika Arjuna digoda dan diuji keteguhan batinnya oleh tujuh dewi kahyangan! Arjuna juga sama sekali tidak terguncang seperti diceritakan dalam Kisah Mahabharata Episode Arjuna Mintaraga.

Dua orang wanita cantik itu seperti cacing terkena abu panas! Mereka menggeliat-geliat merintih-rintih, merayu dan membelai. Namun Nurseta tetap tak tergoyahkan sedikit pun. Lasmini menjadi semakin penasaran. Ia lalu mengerahkan tenaga sakti dan sihirnya, menggerakkan jari tangan menotok tengkuk Nurseta lalu mengurut tulang punggungnya dengan Aji Asmara Kingkin. Totokan ini biasanya amat ampuh, dapat membangkitkan gairah berahi orang yang ditotoknya. Nurseta, sempat merasakan tubuhnya panas dingin, namun tubuhnya yang memang terbiasa kuat menguasai gejolak nafsu-nafsunya, kini juga teguh dan tidak goyah. Dia tetap duduk bersila memejamkan mata. Akhirnya dua orang wanita itu menjadi kelelahan sendiri. Napas mereka terengah-engah, wajah mereka merah padam dan senyum manis tadi berubah menjadi seringai penuh kekesalan, kekecewaan, kemarahan dan juga ada perasaan malu dan terhina.

"Jahanam...!" Lasmini menggerakkan tangan menampar.

"Plak...!"

Pipi kanan Nurseta ditampar. Pemuda yang tidak dapat mengerahkan tenaga sakti itu hampir terguling terkena tamparan yang membuat dia merasa nyeri, perih dan panas pada pipi kanannya.

"Keparat... plakk!" Tangan Mandari menampar pipi kiri Nurseta sehingga kedua pipi pemuda itu menjadi merah membengkak, ujung bibirnya di kanan kiri sedikit pecah dan berdarah. Akan tetapi wajah Nurseta tidak menunjukkan perasaan apa pun tidak ada kerut pada wajahnya, tetap tenang, bahkan kini dia membuka kedua matanya dan memandang kepada dua orang wanita itu seperti orang yang merasa iba!

"Nurseta, keparat sombong! Engkau sudah menolak dua permintaan kami. Engkau sudah menghina kami! Sepatutnya sekarang juga engkau kami bunuh. Akan tetapi terlalu enak kalau engkau dibunuh sekarang, Maka, biarlah kaurasakan siksaan racun Perusak Tulang yang akan menggerogotirnu setiap saat selama satu bulan sampai engkau mati!" Lasmini berkata marah sambil turun dari atas pembaringan.

Mandari juga turun dan membetulkan letak pakaiannya yang kusut dan sebagian terbuka ketika tadi mereka membujuk rayu dan menggoda Nurseta.
"Kecuali kalau engkau berubah pikiran dan mau menaati perintah kami, tentu kami menyelamatkanmu!"

Setelah berkata demikian, dua orang wanita itu memanggil para perajurit pengawal yang berjaga di luar kamar itu. Empat orang perajurit pengawal yang bertubuh tinggi besar masuk dengan sikap hormat.

"Bawa dia ke kamar tahanan di belakang. Awas, jaga ketat jangan sampai dia lolos melarikan diri! Bunuh saja kalau dia mencoba untuk melarikan diri!" kata Lasmini kepada mereka. "Nyawa kalian taruhannya kalau dia lolosl" kata pula Mandari. "Akan tetapi perlakukan dia baik-baik, jangan sekali-kali kalian menyiksanya. Mengerti?"

Empat orang itu menyatakan siap dan taat, lalu mereka berempat menuntun dan mengawal Nurseta keluar dari kamar itu dan memasukkannya ke dalam sebuah kamar tahanan di belakang. Kamar tahanan Ini kokoh kuat sekali karena dindingnya terbuat dari baja, daun pintunya juga dari besi dengan terali kokoh dari atas ke bawah sehingga keadaan dalam kamar tahanan itu selalu diawasi oleh para perajurit penjaga. Selosin orang perajurit berjaga secara bergiliran di sekitar luar kamar tahanan itu.

Begitu dimasukkan kamar tahanan dan daun pintu besi ditutup, Nurseta lalu duduk di atas dipan kayu yang berada di sudut kamar tahanan. Dia tahu bahwa tubuhnya keracunan dan mengerahkan tenaga merupakan hal tidak mungkin. Kalau dia paksakan, tentu tulang-tulangnya akan hancur dan dia tewas seketika. Maka dia membuat tubuhnya lemas, tidak mengeluarkan tenaga. Dia harus banyak beristirahat. Direbahkannya tubuhnya yang lemas dengan muka terasa panas dan pedih oleh tamparan kedua orang wanita tadi. Dia telentang dan merenungkan keadaannya yang terancam bahaya maut yang mengerikan. Para tokoh Parang Siluman itu memang licik dan cerdik sekali. Mengatur jebakan dan pancingan sedemikian halusnya sehingga dia yang sudah berhati-hati itu tetap saja terjebak dan tertawan. Bahkan rasanya tidak ada harapan baginya untuk dapat meloloskan diri. Satu-satunya jalan untuk menghindarkan diri dari kematian yang menyiksa hanyalah kalau dia menuruti kehendak Lasmini dan Mandari!

Pikirannya mulai melayang-layang dan Nurseta membiarkan pikirannya bekerja sendiri tanpa dia kendalikan. Mulai terbayanglah dia akan segala yang baru dialaminya, sejak dia melakukan penyelidikan sampai kemudian tertawan dan pengalaman terakhir dalam kamar indah itu pun terbayang-bayang. Betapa cantiknya dua orang puteri Parang Siluman itu! Bukan saja wajah mereka yang cantik manis menggiurkan, bahkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama pernah terpikat oleh kecantikan mereka! Betapa indah bentuk tubuh mereka dan terbayanglah semua peristiwa tadi, betapa tubuh-tubuh yang lunak hangat lembut itu membelainya, betapa harum semerbak bau rambut dan tubuh mereka. Betapa akan menyenangkan kalau dia memenuhi permintaan mereka. Tidak, itu tidak benar sama sekali, terdengar bisikan halus namun penuh teguran dari dalam dadanya.

"Tidak, Nurseta, hal itu tidak boleh kaulakukan." Hatinya berbisik.

"Uh, mengapa tidak boleh?" suara lain yang parau terdengar dari dalam kepalanya. "Engkau tidak akan menjadi manusia tolol, Nurseta! Engkau laki-laki, dan mereka itu begitu cantik menarik, bayangkan betapa indah mata dan mulut mereka, betapa mulus dan indah tubuh mereka, betapa akan berbahagianya engkau kalau engkau menerima dan membalas cinta kasih mereka!"

"Hemm, itu bukan cinta kasih." cela suara dalam hatinya. "Itu hanya gairah nafsu birahi semata yang akan menyeretmu ke dalam dosa, Nurseta. Itu perjinaan namanya dan engkau membiarkan dirimu diseret dan diperbudak napsu birahi yang akan menyengsarakan dirimu sendiri. Seorang satria utama tidak akan sudi melakukan kesesatan itu."

Nurseta mengangguk-angguk. "Itu benar sekali, aku tidak boleh melakukan perbuatan sesat itu!" katanya lirih walaupun suara bisikannya itu tidak yakin dan tegas benar, masih bercampur keraguan.

"Phuah, omong kosong! Siapa bilang berjina dan dosa? Ini merupakan usaha untuk menyelamatkan diri. Setiap orang manusia berhak untuk mencari keselamatan, menghindar diri dari ancaman maut! Sudah jelas engkau akan mati, tulang-tulangmu akan hancur dan kau tidak akan dapat tertolong lagi! Kalau jalan satu-satunya untuk menghindarkan kematian hanya menuruti kemauan dua orang wanita itu, apanya yang dosa? Itu bukan perjinaan, bukan dosa namanya! Itu hanya cara untuk mempertahankan hidup, hak setiap orang manusia! Bahkan kalau engkau tidak mempertahankan hidupmu, membiarkan dirimu mati tanpa berusaha mencari keselamatan, itu dosa besar namanya! Sudahlah, Nurseta, kau turuti saja kemauan Lasmini dan Mandari. Engkau akan memperoleh kenikmatan, kesenangan, dan juga luput dari kematian!" Suara parau dalam kepalanya semakin lantang.

"Jangan dengarkan bujuk rayu menyesatkan itu, Nurseta." bisikan dalam dadanya membantah. "Ingat, engkau seorang satria, engkau utusan K i Patih Narotama dan engkau selalu berpendirian bahwa seribu kali lebih baik mati sebagai seorang satria daripada hidup sebagai seorang budak nafsu yang sesat berdosa!"

"Hua-ha-ha!" Suara dalam kepalanya terbahak. "Siapa sih manusia hidup di dunia ini yang tidak berdosa? Melakukan dosa untuk mempertahankan hidup itu tidak salah, Nurseta!"

Lanjut ke Jilid 051 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment