Ads

Saturday, November 17, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 052

◄◄◄◄ Kembali


Kerajaan Wengker geger! Pasukan Kahuripan yang besar jumlahnya dipimpin sendiri oleh Ki Patih Narotama datang menyerbu bagaikan banjir bandang! Ki Patih Narotama menyerbu Kerajaan Wengker dengan semangat yang menggebu-gebu, bagaikan api berkobar menyala dan membakar apa saja yang menghalangi. Dia ingin cepat-cepat menguasai Wengker agar dapat mencurahkan seluruh perhatiannya terhadap penyelamatan puteranya yang berada di tangan para pimpinan Parang Siluman, kemudian setelah puteranya dapat dirampas kembali, menundukkan Kerajaan Parang Siluman.

Namun ternyata Kerajaan Wengker tidak seperti Kerajaan Wura-wuri dan Kerajaan Siluman Laut Kidul yang mudah ditaklukkan. Kerajaan Wengker melakukan perlawanan mati-matian! Biarpun jumlah pasukan Wengker kalah banyak, namun Wengker mengerahkan seluruh kekuatan dan melakukan perlawanan dengan gigih. Dewi Mayangsari, Adipati Linggawijaya, dan Resi Bajrasakti merupakan tiga orang sakti yang pandai memimpin pasukan mereka. Pandai pula memberi dorongan semangat sehingga pasukan Wengker melawan dengan nekat.

Pertempuran antara kedua pasukan terjadi sampai berhari-hari. Pertempuran yang amat dahsyat, ganas dan buas! Yang ada hanya membunuh atau dibunuh! Mayat-mayat kedua pihak berserakan memenuhi lapangan pertempuran di luar tembok Kota Raja Wengker!

Semua serangan yang dilakukan Dewi Mayangsari, Linggawijaya, dan Resi Bajrasakti melalui ilmu pertempuran, aji kesaktian, bahkan sihir ilmu hitam, semua dapat digagalkan Ki Patih Narotama. Mereka bertiga memang jerih untuk berhadapan langsung melawan Ki Patih Narotama dan hanya mempergunakan berbagai muslihat untuk menghancurkan Pasukan Kahuripan. Namun, pasukan Kahuripan bertempur penuh semangat walaupun banyak pula di antara mereka yang terluka atau tewas.

Senopati Tanujoyo yang diperbantukan kepada Ki Patih Narotama, juga memperlihatkan keahliannya memimpin pasukan. Demikian pula para perwira pembantu, dengan penuh semangat mendorong pasukan sehingga setelah berhari-hari bertempur, akhirnya pasukan Kahuripan dapat mendesak pasukan Wengker sehingga mereka terpaksa mundur dan memasuki kota raja, menutupkan pintu gerbang dan melakukan pertahanan dari dalam benteng kota raja.

Ternyata pertahanan Wengker memang kuat sekali. Benteng itu kuat dan usaha pasukan Kahuripan untuk mendekat benteng, selalu disambut hujan anak panah beracun! .Terpaksa pasukan Kahuripan menjauh, berlindung di balik perisai dan membalas dengan serangan anak panah.

Pertempuran anak panah berlangsung berhari-hari. Akan tetapi Ki Patih Narotama memperketat pengepungan sehingga tidak memungkinkan Wengker mendatangkan ransum dari luar. Sementara itu, banyak penyelidik diselundupkan. Di antara mereka, banyak yang tertangkap dan dibunuh, akan tetapi masih ada beberapa orang berhasil menyusup masuk dan mereka lalu mengadakan aksi pembakaran gudang-gudang ransum. Mereka memang tertangkap dan terbunuh, namun mereka berhasil membakar sebagian besar persediaan ransum.

Tidak adanya penambahan bahan pangan membuat para pimpinan Wengker menjadi panik. Juga sisa pasukannya menjadi gentar dan turun semangatnya. Melihat berkurangnya semangat pasukan Wengker yang tampak dari semakin melemahnya penjagaan mereka, juga serangan balasan anak panah mereka kini hanya jarang dan semakin berkurang, tanda bahwa mungkin mereka kehabisan anak panah, setelah mengepung beberapa pekan lamanya, Ki Patih Narotama lalu memberi komando kepada pasukannya untuk menyerbu!

Diiringkan suara bende (canang), genderang, tambur dan diikuti sorak sorai gemuruh, pasukan Kahuripan menyerbu dan mendobrak pintu gerbang yang kokoh dan tebal itu, mempergunakan batang pohon yang panjang dan besar, diangkat ratusan orang perajurit dan ditumbukkan ke pintu gerbang. Terdengar suara menggelegar beberapa kali dan akhirnya daun pintu gerbang itu pun runtuh! Kini pasukan kedua pihak bertempur mati-matian di pintu gerbang. Pasukan Kahuripan menyerbu masuk dan pasukan Wengker mempertahankan.

Melihat betapa pihaknya terancam bahaya dan berada di ambang kehancuran, Dewi Mayangsari, Linggawijaya dan Resi Bajrasakti menjadi panik. Akan tetapi Linggawijaya membesarkan hati lsteri dan gurunya.

"Bapa Guru Resi Bajrasakti, saya harap Bapa Guru memimpin pasukan pengawal istana untuk membantu pertahanan pasukan kita. Pertahankan sekuatnya agar musuh jangan sampai dapat menyerbu masuk. Diajeng Dewi Mayangsari, sebaiknya kalau engkau membantu Bapa Resi untuk memperkuat pertahanan. Aku akan melakukan persiapan dan penjagaan terakhir untuk mempertahankan Istana kita!"

Keadaan sudah mendesak. Teriakan-teriakan menggenggap gempita sudah menggetarkan istana, maka Resi Bajrasakti dan Dewi Mayangsari tidak mempunyai waktu untuk memperbincangkan soal pertahanan lebih lama lagi. Mereka berdua segera berlari keluar, memanggil semua pasukan pengawal istana yang merupakan pasukan istimewa dan memimpin mereka keluar menuju pintu gerbang dan membantu pasukan mempertahankan pintu gerbang agar musuh tidak dapat menyerbu masuk.

Bantuan dua orang sakti ini membuat pertempuran menjadi lebih seru karena selain sepak-terjang mereka berdua dapat merobohkan banyak perajurit Kahuripan, juga masuknya dua orang ini membangkitkan semangat para perajurit Wengker. Pasukan Kahuripan yang berada di bagian depan menjadi gempar ketika Resi Bajrasakti dan Dewi Mayangsari muncul dan mengamuk. Dalam waktu sebentar saja dua orang ini telah merobohkan dan menewaskan puluhan orang perajurit Kahuripan!

Segera seorang perwira lari melapor kepada Ki Patih Narotama yang mengatur pasukan. Mendengar tentang dua orang sakti yang mengamuk itu, Ki Patih Narotama cepat menuju ke depan dan dia sudah berhadapan dengan Resi Bajrasakti dan Dewi Mayangsari. Memang sepak terjang dua orang pimpinan Wengker ini amat menggiriskan. Dengan Aji Wisa Langking, pukulan yang mengeluarkan asap beracun hitam, Dewi Mayangsari menewaskan perajurit yang berani mendekatinya. Resi Bajrasakti lebih menyeramkan lagi. Dia membawa sebatang cambuk bergagang gading. Cambuknya meledak-ledak dan ujungnya mengeluarkan asap. Perajurit yang terkena lecutan cambuknya, seolah disayat pisau tajam. Kulit daging tersayat, tulang pun remuk terkena lecutan cambuk itu!

"Tar-tar-tarrr... plakk...!!"

Tiba-tiba Resi Bajrasakti terkejut sekali ketika gerakan cambuknya yang meledak-ledak dan menyambar-nyambar itu bertemu sesuatu yang amat kuat sehingga cambuk nya itu terpental dan membalik, ketika dia melihat orang yang menangkis cambuknya itu, dia mengenal Ki Patih Narotama! Tahulah dia bahwa kini dia berhadapan dengan tokoh Kahuripan yang memang dia takuti. Akan tetapi dalam pertempuran yang mati-matian itu, dia tidak mungkin dapat menghindar lagi, maka dia pun cepat melakukan penyerangan dengan dahsyat.

"Tar-tarrr....!" pecutnya menyambar-nyambar.

"Jahanam Narotama, mampuslah engkau!" Dewi Mayangsari juga membentak sambil menyerang dengan kedua tangannya yang mengandung hawa beracun. Ki Patih Narotama menghindar dari sambaran cambuk dengan lompatan ke kiri dan sengaja menyambut tamparan tangan Dewi Mayangsari sambil mengerahkan tenaga saktinya.

"Wuuuttt.... dessss....!!"

Tubuh Dewi Mayangsari terlempar sampai tiga tombak lebih dan wanita perkasa ini cepat menggulingkan tubuh sehingga tidak terluka ketika terbanting. Ia bangkit berdiri dengan wajah pucat dan gelung rambutnya terlepas. Ia melihat betapa Resi Bajrasakti yang dibantu empat orang perwira mengepung dan mengeroyok Ki Patih Narotama, namun mereka tetap saja terdesak oleh sepak terjang patih yang sakti mandraguna itu. Hati Dewi Mayangsari menjadi jerih, apalagi melihat kini para perajurit Kahuripan mulai menerobos masuk dan pertahanan di luar pintu gerbang sudah jebol. Hanya tinggal menunggu waktu saja istana Wengker tentu akan diserbu. Ia pun merasa heran mengapa suaminya, Adipati Linggawijaya belum juga tampak membantu. Karena melihat keadaan gawat dan bahaya mengancam, Dewi Mayangsari lalu membalikkan tubuh dan lari meninggalkan pertempuran, memasuki istana yang di sebelah dalamnya sepi karena para pelayan yang lemah melarikan dan menyembunyikan diri, sedangkan para perajurit pengawal istana sudah berkumpul semua di depan istana untuk menjaga Istana dari serbuan musuh. Dewi Mayangsari mencari-cari suaminya, namun Adipati Linggawijaya tidak tampak. Ia memanggil-manggil dan mencari ke semua ruangan istana.

"Kakangmas Adipati...!" teriaknya berkali-kali, namun tidak ada jawaban. Bayangan suaminya tidak tampak. Ia merasa heran lalu menuju ke belakang. Ketika bertemu seorang pelayan yang bersembunyi di dapur, ia bertanya.

"Ke mana perginya Gusti Adipati?"

Pelayan yang ketakutan itu menuding ke arah belakang dan menjawab.
"Hamba tadi melihat Gusti Adipati pergi ke kandang kuda, membawa buntalan kain besar berwarna hitam."

Dewi Mayangsari cepat berlari ke belakang. Setibanya di belakang, dekat kandang kuda, ia melihat suaminya, Adipati Linggawijaya dan Tumenggung Suramenggala, ayah suaminya itu, sedang melompat ke atas dua ekor kuda dan mereka berdua membawa buntalan kain yang tampak berat. Mudah saja bagi Dewi Mayangsari untuk menduga bahwa yang mereka bawa itu tentulah barang-barang berharga, perhiasan dari emas permata. Agaknya ayah dan anak itu hendak melarikan diri! Melihat mereka mulai melarikan kuda, agaknya hendak mengambil jalan belakang untuk keluar dari istana melalui pintu rahasia yang berada di bagian belakang kompleks istana, Dewi Mayangsari berseru.

"Kakangmas, tunggu....!!"

Akan tetapi, Linggawijaya sama sekali tidak mempedulikannya. Menoleh pun tidak bahkan membalapkan kudanya. Melihat ini, Dewi Mayangsari mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah sekali. Tahulah ia bahwa laki-laki yang menjadi suaminya itu, adalah seorang yang rendah budi. Kini hendak melarikan diri meninggalkan Istana dan tidak mempedullkan ia lagi, hendak mencari keselamatan bagi diri sendiri dan ayahnya, dengan membawa pergi harta kekayaan dari istananya!

"Kakangmas, tunggu aku....!"

Dewi Mayangsari cepat melompat ke atas seekor kuda dan melakukan pengejaran. Agaknya Linggawijaya dan Suramenggala yang sudah panik melihat keadaan istana gawat itu, melarikan diri tanpa menengok lagi, tidak tahu kalau Dewi Mayangsari melakukan pengejaran, Mereka berdua hanya mempunyai satu keinginan, yaitu cepat keluar dari istana dan dari Kota Raja Wengker dengan selamat. Setelah berhasil mengejar dekat, Dewi Mayangsari berseru nyaring,

"Kakangmas Linggawijaya, berhentilah. Kita harus membela Wengker dengan taruhan nyawa!"

Tanpa menoleh Linggawijaya berseru,
"Engkau boleh tinggal di sini membela Wengker sampai titik darah penghabisan. Aku tidak ingin mati konyol!" jawaban ini terdengar seperti ejekan yang amat menyakitkan hati Dewi Mayangsari.

"Jahanam....!" hatinya memaki dan ia pun mempercepat larinya kuda sehingga dapat mengejar suaminya. Setelah jaraknya cukup dekat Dewi Mayangsari menggerakkan tangan kanannya dan sinar hitam menyambar ke arah punggung Linggawijaya!

"Aduh....!!"

Linggawijaya berteriak dan roboh terjungkal dari atas punggung kudanya yang terus berlari ketakutan. Biarpun Linggawijaya memiliki kesaktian yang cukup tangguh, akan tetapi diserang dari belakang secara tiba-tiba dan dia sama sekali tidak menduga itu, maka dia tidak dapat menghindarkan diri. Pasir Sakti yang merupakan senjata rahasia ampuh sekali dari Dewi Mayangsari menembus kulit punggungnya dan memasuki rongga dada. Pasir itu mengandung racun yang amat kuat karena senjata rahasia itu merupakan senjata rahasia andalan Nini Bumigarbo yang telah diajarkan nenek itu kepada Dewi Mayangsari.

Melihat Linggawijaya roboh dari atas kudanya, Tumenggung Suramenggala terkejut, akan tetapi dia malah makin membalapkan kudanya. Mayangsari yang marah sekali kepada suaminya, tidak peduli akan larinya Ki Suramenggala. Ia melompat turun dari atas kudanya, lalu menghampiri Linggawijaya yang roboh miring sambil mencabut sebatang pedang yang tergantung di punggungnya.

"Jahanam keparat! Laki-laki pengecut, pengkhianat hina, manusia rendah....!" Dewi Mayangsari memaki-maki sambil menghampiri dan ia sudah mengangkat pedangnya.

Akan tetapi pada saat itu, secara tiba-tiba Linggawijaya membalik, mengeluarkan gerengan seperti binatang buas, tangan kanannya menggerakkan Pecut Tatit Geni yang telah dia persiapkan, menyerang ke arah dada Dewi Mayangsari.

"Tar-tarrr..."

Tampak kilatan api dari pecut itu dan dada Dewi Mayangsari yang sama sekail tidak menyangka akan ada serangan mendadak yang amat dahsyat itu, dihantam ujung pecut. Dewi Mayangsari mengeluh akan tetapi dengan sisa tenaga yang ada ia menubruk dan menusukkan pedang di tangannya ke arah dada Linggawijaya yang terkulai setelah tadi mengerahkan tenaga terakhir untuk menyerang Dewi Mayangsari.

"Blesss...!"

Pedang itu menancap ulu hati Linggawijaya sampai menembus punggung. Tubuh Dewi Mayangsari terkulai dan roboh di atas tubuh Linggawijaya. Kedua orang itu tewas dalam saat yang bersamaan, tubuh mereka tumpang tindih berlepotan darah keduanya. Sementara itu, Resi Bajrasakti kewalahan sekali melawan Ki Patih Narotama. Dengan repot dia mencoba untuk bertahan, mengeluarkan segala macam ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Akan tetapi tetap saja dia kewalahan dan semakin terdesak hebat. Ki Patih Narotama yang maklum bahwa kakek ini yang memperkuat Kerajaan Wengker dan datuk ini sejak dulu terkenal sebagal seorang datuk sesat yang jahat, kemudian menjadi guru Linggawijaya yang kemudian juga terkenal jahat, terus mendesaknya.

"Hyaaaaahhhhh....!"

Tiba-tiba dia mengeluarkan pekik melengking dan dengan nekat dia mengerahkan seluruh tenaganya, menggunakan pukulan Aji Gelap Sewu dan mendorongkan kedua tangannya ke arah dada Ki Patih Narotama. Ki Patih Narotama menyambut dengan sikap tenang, mendorongkan kedua tangan dan juga mengerahkan tenaga saktinya.

 “SYYUUUUTTT... blarrr...!"

Sekali ini, Ki Patih Narotama mengerahkan seluruh tenaganya. Pertemuan hebat kedua tenaga sakti itu terasa getarannya oleh semua perajurit yang sedang bertempur di sekeliling tempat itu, bahkan yang terdekat terpelanting roboh disambar getaran itu. Tubuh Resi Bajrasakti sendiri terpental jauh, terjengkang dan terbanting roboh, tak bergerak lagi. Dari hidung dan mulutnya mengalir darah segar dan dia tewas seketika oleh tenaga saktinya sendiri yang membalik dan merusak isi dada dan perutnya.

Melihat Resi Bajrasakti yang menjadi andalan mereka itu roboh dan tewas, semua perwira Wengker menjadi panik dan ketakutan. Banyak di antara mereka lalu meninggalkan pertempuran dan melarikan diri. Melihat ini, tentu saja anak buah mereka, para perajurlt juga kehilangan semangat dan ketakutan. Dengan sendirinya pasukan Kahuripan mendapat angin dan mereka terus menyerbu ke dalam. Setelah Ki Patih Narotama memimpin para perwira pembantu dan pasukan memasuki istana, dia tidak menemukan perlawanan sama sekali. Mereka semua merasa heran karena tidak melihat adanya Adipati Linggawijaya dan Dewi Mayangsari di dalam istana. Akan tetapi seorang perajurit datang melaporkan kepada Ki Patih Narotama bahwa suami isteri itu ternyata telah tewas dalam keadaan mengerikan di dekat kandang kuda.

Ki Patih Narotama cepat pergi ke belakang dan dia menemukan mayat kedua orang itu bertumpang tindih mandi darah. Linggawijaya masih memegang senjata pecutnya, dan Dewi Mayangsari masih memegang gagang pedangnya yang menembus dada Linggawijaya. Di dekat mereka terdapat buntalan berisi perhiasan emas permata berserakan.

Ki Patih Narotama menghela napas panjang. Sekali lagi dia menjadi saksi akan datangnya akibat dari perbuatan buruk yang menjadi sebabnya. Lebih jelas lagi bukti terjadinya hukum karma ini ketika seorang perwira melaporkan bahwa Ki Suramenggala yang melarikan diri menunggang kuda melalui jalan rahasia di belakang istana, bertemu dengan para perajurit Wengker yang sedang melarikan diri pula dan para perajurit itu melihat Ki Suramenggala lari membawa harta benda, lalu mengeroyok dan membunuhnya, dan buntalan harta benda itu menjadi rebutan!

"Tidak ada kejahatan yang mendatangkan kebahagiaan." katanya lirih, didengarkan oleh para perwira dalam ruangan istana itu. "Cepat atau lambat, hukum itu pasti dating menuntut pelakunya. Hukuman akibat perbuatan jahat yang datang selagi masih hidup, masih amat ringan dibandingkan dengan hukuman sebagai akibat yang datang setelah pelakunya mati. Perbuatan jahat hanya mendatangkan kesenangan lahiriah, kesenangan jasmani yang sifatnya fana. Sebaliknya perbuatan yang baik akan mendatangkan kebahagiaan kekal walaupun mungkin di waktu hidupnya si pelaku belum menikmati hasilnya." Semua yang mendengarkan menundukkan kepala karena mereka semua yakin akan kebenaran ucapan Ki Patih Narotama dan apa yang terjadi itu merupakan contoh dan pelajaran yang baik sekali bagi mereka.

Namun Ki Patih Narotama sekali ini tidak dapat menikmati kemenangan yang telah dicapainya dengan menalukkan Wengker karena dia melihat demikian banyaknya korban manusia yang tewas oleh pertempuran dahsyat itu. Kerajaan Wengker merupakan lawan yang paling gigih selama operasi ini dan menimbulkan banyak korban, baik di pihak Wengker maupun di pihak Kahuripan. Selain itu, dia juga merasa prihatin karena kini tinggal Kerajaan Parang Siluman yang harus dia talukkan. Akan tetapi sampai sekarang belum juga ada berita tentang puteranya yang disandera para pimpinan Parang Siluman! Dia lalu mengumpulkan sisa pasukannya dan mengirim berita kepada Sang Prabu Erlangga di Kahuripan tentang Wengker yang sudah ditalukkan dan mohon kiriman pasukan bantuan untuk memperkuat pasukannya yang sudah berkurang banyak, menghadapi musuh terakhir, yaitu Parang Siluman.

**** ****
Lanjut ke Jilid 053 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment