Ads

Thursday, December 13, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 015

◄◄◄◄ Kembali

Diam-diam Wisangjiwo merasa khawatir sekali kalau-kalau gurunya dan bibi gurunya akan menjadi marah. Akan tetapi ternyata tidak. Malah gurunya tersenyum manis sekali sambil mengerling ke arah Jokowanengpati dan berkata,

"Paman Cekel Aksomolo terlalu memuji. Dan orang muda ini yang bernam Jckowanengpati? Pernah aku mendengar dari muridku Wisangjiwo bahwa kau adalah murid Empu Bharodo, betulkah, raden?"

Suaranya manis sekali, seperti orang bertembang, sehingga Jokowanengpati yang ditanya sejenak tertegun ia ta dapat menjawab, terpesona. Bukan main kakangmas Wisangjiwo, pikirnya, punya guru begini ayu, begini denok, menggiurkan!

"Dimas Joko, kau ditanya guruku!" Wisangjiwo menegur geli, maklum betapa tamunya itu terpesona dan ada rasa bangga di hatinya.

"Oh..... ah....., betul, bibi! Tetapi hanya bekas murid..... sekarang bukan muridnya lagi. Kami berselisih faham. Bapa Empu terlalu membela sri baginda sedangkan saya menentang kekuasaan orang Bali....."

Ni Durgogini dan Ni Nogogini saling pandang tanpa mengeluarkan kata-kata mendengar ucapan ini, hanya cuping hidung mereka bergerak sedikit. Tidak ada orang lain yang lebih dekat dengan sepasang orang Bali yang kini menjadi raja dan patih Mataram, daripada mereka. Ni Durgogini dahulu adalah selir kinasih ki patih sedangkan Ni Nogogini selir kinasih (terkasih) sang prabu! Akan tetapi merekapun mengandung dendam terhadap raja dan patih karena mereka telah diusir!.

Adipati Joyowiseso lalu cepat-cepat mempersilahkan mereka duduk di ruangan dalam dan memerintahkan para abdi (pelayan) untuk mengeluarkan hidangan yang memang telah disediakan. Suasana di kadipaten dalam pesta-pora untuk menghormat tamu-tamu agung dan didatangkanlah penari-penari dan penyanyi-penyanyi pilihan untuk menghibur mereka.

Kamar-kamar terbaik dibersihkan dan dipersiapkan untuk para tamu. Melihat betapa Ni Durgogini tertarik kepada Jokowanengpati, diam-diam Ni Nogogini girang hatinya. Terbukalah kesempatan baginya untuk mendekati Wisangjiwo yang amat lama ia rindukan itu.

Di lain fihak, Wisangjiwo juga bisa menangkap arti kerling mata bibi gurunya yang semenjak setahun yang lalu di pantai Laut Selatan, tak pernah ia jumpai pula. Isteri Wisangjiwo, Listyokumolo yang bernasib malang, oleh putera adipati itu sudah lama dipulangkan kembali kepada ayahnya, seorang lurah dusun di sebelah timur Gunung Lawu. Semenjak itu, Wisangjiwo merasa lebih bebas, sekarangpun karena di situ tidak ada isterinya, kedatangan Ni Durgogini dan Ni Nogogini benar-benar merupakan anugerah bagi kehausan nafsunya.

Lirik dan senyum manis Ni Nogogini penuh arti dan memberi janji-janji banyak yang muluk-muluk. Karena di situ ada gurunya, tentu saja Wisangjiwo tidak berani banyak tingkah, dan ia hanya dapat menanti. Kalau tidak ada gerakan dari bibi gurunya sendiri, mana berani ia main-main? Ia hanya dapat menanti dan akan menanti sampai malam nanti. Harapan dan dugaan Wisangjiwo memang tidak meleset. Menjelang tengah malam, pesta dibubarkan dan para tamu dipersilahkan beristirahat di kamar masing-masing. Suasana menjadi sunyi sekali dan dalam kesunyian itulah Wisangjiwo menanti.

Menanti untuk waktu sebentar saja karena tak lama kemudian jendela kamarnya terbuka dari luar dan bagaikan sehelai selendang sutera halus dan ringannya, melayanglah tubuh Ni Nogogini memasuki kamarnya! Rindu dendam mereka sudah ditahan-tahan selama setahun, maka tanpa bicara lagi Wisangjiwo bangkit dan mengembangkan kedua lengannya menyambut dengan penuh kegembiraan dan berdekap ciumlah kedua insan budak hawa nafsu itu.

"Bibi," Wisangjiwo berbisik perlahan ketika mendapat kesempatan, "ni guru berada di sini, aku..... takut....."

Ni Nogogini tertawa lirih.
"Takut? Hi-hi-hik! Kau mau tahu apakah yang saat ini sedang dilakukan oleh orang yang kautakuti itu ? Mari...... kau ikut aku sebentar dan kau akan melihat apakah kau perlu takut atau tidak kepada mbok-ayu Durgogini!"

Tak sempat Wisangjiwo membantah karena ia sudah dipeluk dan dibawa keluar kamarnya seperti seorang anak kecil saja. Ternyata Ni Nogogini membawanya ke kamar JokoWanengpati dan wanita sakti itu tanpa mengeluarkan suara membawanya mendekat jendela. Pada saat itu terdengarlah bisik-bisik di dalam kamar diseling suara ketawa lirih, suara gurunya !

"Cah bagus (anak tampan)....... , kenapa tanganmu ini kehilangan kelingkingnya.......?" Suara Ni Durgogini lirih, merdu, dan manja. Hafal benar Wisangjiwo akan suara ini, suara gurunya kalau sedang bercinta!

"..... eh, ini.....? Digigit..... ular....." jawab Jokowanengpati dengan suara tersendat-sendat.

"Ihhh, ular apa?"

"..... anu ular kuning berlidah merah "

"Hemmm, dengan ular saja kau kalah sampai kehilangan kelingking? Aku tukang mempermainkan ular. Ular apa saja! Segala macam racun ular tidak akan mempan terhadapku!"

"Ah, tentu saja. Bibi seorang sakti mandraguna, ratu gunung dan hutan, tentu segala binatang si hutan takluk kepadamu....."

"Kau ingin belajar aji menaklukkan ular?"

"Tentu saja, kalau bibi sudi mengajarku....."

"Hi-hik, kita lihat saja. Kalau kau cukup manis dan pandai menyenangkan hatiku, mungkin....."

Wisangjiwo mengirik tangan Ni Nogogini yang tersenyum lebar dan sekali melompat Ni Nogogini sudah meninggalkan gjendela sambil mengempit pinggang orang muda itu dalam gulungan lengan kirinya Beberapa detik kemudian mereka sudah kembali ke dalam kamar Wisangjiwo dilemparkannya pemuda itu di atas pembaringan dan ditubruknya. Mereka bergumul di situ sambil tertawa-tawa. Setelah mendapat kenyataan bahwa gurunya sendiri bermain gila dengan Jokowanengpati Wisangjiwo dapat melayani kehendak bibi gurunya dengan gembira dan tidak ragu-ragu lagi. Ia tidak marah kepada Jokowanengpati karena maklum bahwa tidak ada laki-laki yang dapat menolak kehendak gurunya itu. Hanya ia merasai heran mengapa Jokowanengpati membohong tentang kelingkingnya yang putus, Bukankah dahulu bercerita bahwa jari kelingking kirinya putus karena bacokan senjata ketika ia dikeroyok gerombolan! perampok? Mengapa pula sekarang mengatakan digigit ular? Yang mana yang benar?.

Akan tetapi sepak terjang Ni Nogogini yang ganas dan liar membuat ia segera lupa akan Jokowanengpati, lupa akan segala, tenggelam dalam lautan nafsu. Memuakkan memang bagi mereka yang bersusila! Mengerikan bagi mereka yang tahu membedakan perbuatan baik dan buruk, bagi mereka yang belum bejat ahlaknya.

Di Kadipaten Selopenangkep, di malam hari itu, terjadilah perbuatan mesum dan hina oleh dua pasang manusia yang tenggelam dalam perjinaan, menikmati perbuatan maksiat, tak sadar bahwa mereka menjadi hamba hawa nafsu dan berenang di tempat kotor. Tiada ubahnya binatang-binatang kerbau yang bergelimang dalam lumpur, menikmati air lumpur kotor yang menempel di tubuh. Setiap ada kesempatan, siang maupun malam, kedua orang wanita sakti itu tentu akan menyeret kedua orang muda untuk memuaskan kehausan mereka yang tak kunjung padam. Bagaimana dengan Cekel Aksomolo? Tiada bedanya! Maklum akan selera kakek itu, Adipati Joyowiseso sengaja memanggil beberapa orang abdi wanita yang cantik-cantik untuk melayani si kakek bandot tua. Karena pelayanan inilah maka tiga orang sakti yang sama "mutunya" ini merasa betah tinggal di kadipaten, menanti datangnya orang-orang sakti lain yang ditunggu-tunggu oleh Adipati Joyosiseso.

Adipati inipun maklum akan perbuatan Ni Durgogini dan Ni Nogogini, akan tetapi karena sepaham sekwalitas, adipati ini dapal memaklumi dan bahkan diam-diam merasa girang bahwa puteranya dan calon mantunya dapat melayani dua orang wanita sakti itu dengan baiknya. Dengan pelayanan-pelayanan memuaskan ini sudah boleh dipastikan bahwa tiga orang sakti itu takkan terlepas dari tangannya, akan merupakan pembantu-pembantu setia dan berguna bagi cita-citanya.

Beberapa hari kemudian berturut-turut datanglah tamu-tamu agung yang diundang dan lama dinanti-nanti itu. Pertama-tama yang datang adalah Ki Warok Gendroyono, seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang rambutnya sudah banyak ubannya, namun tubuhnya masih kekar penuh otot-otot, kaki tangan nya seperti empat kaki singa, mukanya berkulit hitam terbakar sinar matahari, matanya bersembunyi di balik alis yang panjang, kalau memandang orang melotot seperti orang marah, bicaranya kasar dan apa adanya tanpa tedeng aling-aling, jujur mbejujur. Pakaiannya serba hitam dengan celana sebatas lutut, kolornya (ikat pinggangnya) besar sebesai ibu jari kaki, dua kali melilit pinggang tapi ujungnya masih panjang bergantungan di depan, pada ujungnya sekali disimpul besar. Kelihatan lucu kolor itu, akan tetapi jangan main-main dengan benda ini. Semua warok memusatkan ilmunya pada benda yang dapat dipergunakan sebagai senjata atau jimat inilah, dan kolor yang dipakai Ki Warok Gendroyono berwarna kuning dengan belang-belang hitam merah bukanlah kolor sembarang kolor, melainkan kolor sakti yang ampuh dan disebut Ki Bandot. Kabarnya, demikian ampuhnya Ki Bandot ini sehingga sekali saja simpul di ujungnya menghantam lawan, sama hebatnya dengan gigitan seekor ular Bandot yang berbisa !.

Ki Warok Gendroyono tidak datang seorang diri, melainkan dengan seorang sahabatnya yang dikenal sebagai yang baurekso (penjaga) Danau Sarangan di lereng Lawu. Karena dari Ponorogo ke Selopenangkep melalui jalan ini, maka Ki Warok Gendroyono singgah di tempa tinggal sabahatnya, bicara tentang undangan Adipati Joyowiseso yang memusuhi Raja Mataram, dan Ki Tejoran demikian nama sahabatnya itu, menjadi tertarik lalu ikut bersamanya.

Ki Tejoranu berusia hampir lima puluh tahun tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat seperti penderita penyakit kuning, matanya sipit dan bicaranya sukar sekali dan pelo (tak dapat menyebut R). Memang dia seorang perantau dari Tiongkok yang sejak mudanya bertapa di Danau Sarangan. Dia ahli silat tangan kosong dan yang amat terkenal adalah permainannya dengan sepasang golok.

Kemudian datang pula tamu dari barat, yaitu Ki Krendayakso. Hebat sekali tubuh kakek ini. Usianya kurang lebih empat puluh tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar melampaui ukuran manusia biasa, pantasnya seorang raksasa di jaman pewayangan! Matanya melotot lebar dan bundar, hidungnya besar pesek, mulutnya tak tampak tertutup cambang bauk yang hitam tebal dan kaku seperti kawat bajanya yang besar itu seakan-akan tidak kuat menahan tubuhnya seperti hampir pecah di sana-sini jika tubuhnya bergerak. Di pinggangnya sebelah kanan tergantung sebuah senjata yang mengerikan, yaitu sebuah penggada yang terbuat daripada baja, ujungnya berduri dua di kanan kiri seperti taring singa Inilah dia Ki Krendayakso kepala rampok di Bagelen yang sudah terkenal namanya di mana-mana karena banyak sudah orang dari empat penjuru mengalami gangguan apabila lewat di daerahnya, yaitu hutan Mundingseto.

Kedatangan Ki Krendayakso ini diikuti oleh selusin anak buahnya yang kesemuanya tinggi besar, kasar-kasar dan kuat, karena memang mereka semua adalah "orang-orang hutan" yang tidak mengenal tata susila atau sopan santun. Namun Adipati Joyowiseso yang cerdik dan pandai
bersiasat itu menerima mereka dengan ramah di taman, bahkan lalu memerintahkan para abdinya menyediakan tempat tersendiri untuk selosin orang anak buah Ki Krendayakso, memberi mereka hidangan-hidangan enak agar mereka tidak merasa bosan menanti kepala mereka yang menjadi tamu agung di kadipaten.

Dengan gembira Adipati Joyowiseso dibantu oleh Wisangjiwo dan Jokowaneng-pati, mengajak para tamunya ke ruang tamu di mana telah tersedia hidangan hidangan lezat. Maka duduklah mereka mengitari meja yang penuh makanan dan minuman. Adipati Joyowiseso diapit-apit Wisangjiwo dan Jokowanengpati kemudian berturut-turut duduk Ni Durgogini, Ni Nogogini, Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono, Ki Tejoranu, dan paling ujung Ki Krendayakso.

Adipati Joyowiseso menghaturkan terima kasih atas kedatangan para tamu agungnya, kemudian ia menyinggung nyinggung tentang keadaan Mataram yang kini dikuasai oleh seorang raja keturunan Bali yang kini telah menaklukkan seluruh daerah Mataram lama. Disinggungnya pula bahwa selain rajanya keturunan Bali, juga raja ini tidak menghargai orang jawa sehingga patihnyapun sahabatnya sendiri, seorang dari Bali pula.

"Terus terang saja," Adipati Joyowiseso melanjutkan kata-katanya, "saya sendiri seorang taklukan dan kini masih menjadi adipati adalah berkat kemurahan Sang Prabu Airlangga. Akan tetapi, hati siapa akan puas menyaksikan keadaan di istana? Biarlah kita terima kenyataan bahwa raja dan patihnya orang-orang Bali, akan tetapi siapa dapat menahan perih hati melihat kenyataan yang pahit tentang nasib sang prameswari puteri mendiang Prabu Teguh Dharmawangsa? Betapa pedih hati ini memikirkan puteri keturunan raja kita dahulu, yang kini rela mengundurkan diri menjadi pertapa karena mengalah sehingga kedudukannya tergeser dan dirampas oleh seorang puteri bekas musuh lama, puteri dari Sriwijaya ! "

Semua orang terdiam, tak ada yang bicara setelah kata-kata Adipati Joyowieso ini berakhir. Hanya Ni Nogogini bekas selir Raja Airlangga, menjebikan bibirnya yang merah, akan tetapi kepala-nya diangguk-anggukkan. Masing-masing terlelap dalam lamunan dan kenangan sendiri. Memang semua juga tahu akan keadaan di kerajaan. Tahu bahwa sang prameswari (permaisuri), puteri mendiang Prabu Teguh Dharmawangsa yang menjadi isteri pertama Prabu Airlangga, kini mengundurkan diri dan menjadi pertapa bertapa dengan julukan Sang Panembaha Kilisuci.

Sunyi setelah Adipati Joyowiseso menghentikan kata-katanya. Kemudian terdengar suara Ki Warok Gendroyono yang keras dan nyaring, dibarengi tangannya yang besar dan berat menggebrak meja,

"Aku tidak tahu tentang urusan dalam istana raja dan aku tidak peduli dia hendak menceraikan semua isterinya atau kawin lagi! Bukan urusanku! Akan tetapi dua tahun yang lalu, karena membunuh tiga puluh orang musuh-musuhku, aku di tangkap oleh ki patih, kemudian dijatuhi hukuman penggal kepala. Ha-ha-ha! Segala macam pedang dan golok kanak-kanak di Mataram mana yang mampu memenggal leherku? Agaknya sang prabu gentar menyaksikan betapa golok dan pedang tidak berhasil menabas atau melukai batang leherku, maka aku dibebaskan. Akan tetapi aku selalu diawasi, dan semua ini merupakan penghinaan yang takkan dapat kulupakan, terutama sekali Ki Patih Kanuruhan!"

"Hi-hi-hik!" Ni Durgogini tertawa sambil memandang Ki Warok Gendroyono. "Ki Warok Gendroyono, aku pernah mendengar bahwa Rakyana Patih Kanuruhan adalah seorang yang digdaya sekali. Engkau sendiri tadi mengakui telah ditangkap olehnya. Bagaimanakah caramu hendak membalas dendam?"

Mata itu melotot ke arah Ni Nogogini ketika ia menjawab,
"Betul bahwa dahulu aku kalah olehnya, akan tetapi apakah kau kira selama ini aku tinggal diam saja? Tidak, aku sudah memperdalam ilmu, mencari aji yang akan dapat kupakai untuk menandinginya. Lihat saja nanti, apakah ia akan kuat menadahi ke ampuhan Ki Bandot!"

Sambil berkata demikian, tangannya mengelus-elus ujung kolor yang berada di bawah perut di antara kedua pahanya, sehingga gerakan ini tentu saja nampak lucu dan tidak patut!

"Ki Warok benal.......!" kata Ki Tejoranu mengangguk-angguk. "Bialpun ki patih lihai sekali, tentu ada yang lebih tinggi. Ilmu tidak ada batasnya, makin dikenal makin tinggi. Saya dengal banyak olang lihai di Matalam, kalau tidak sekalang ikut sobat-sobat mencoba kepandaian meleka, untuk apa kita belajal ilmu?"

Biarpun kata-katanya pelo, namun semua yang hadir dapat menangkap artinya dan tahulah mereka bahwa pertapa Danau Sarangan ini adalah seorang petualang yang hanya tertarik akan mengadu ilmu. Akan tetapi Ki Warok Gendroyono yang jujur berkata sambil tertawa,
"Wah, sahabatku Ki Tejoranu! Selain mencari korban kehebatan sepasang golokmu, apakah kelak kau tidak akan menerimanya apabila memperoleh pahala dan disodori kedudukan pangkat? Kalau begitu, biarlah kelak aku yang mewakilimu menerima semua pahala."

"Hayaaaa...... bukan begitu, Ki Walok sobat baik! Kalau kalah saya mati kalau menang sudah patut telima hadiah." Ia tertawa meringis dan sepasang matanya menjadi makin sipit sehingga tinggal merupakan dua garis melintang saja.

Kini Adipati Joyowiseso menoleh ke arah kepala rampok dari Bagelen yang duduk di ujung meja dan tiada hentinya menggerogoti paha ayam sambil mendorong dari tenggorokan ke perut dengan arak ketan.

"Semua saudara sudah menyatakan pendapatnya, bolehkah kami mendengarkan pendapatmu tentang Mataram, kisanak?"

Menghadapi seorang perampok besar yang kasar dan liar ini, tidak ada sebutan lain yang lebih tepat. Ki Krendroyakso sendiri menyebut ki sanak (saudara) kepada siapapun yang ia jumpai !. Ki Krendroyakso mencuci mulut dan tenggorokannya dengan arak lebih dulu sebelum menjawab, matanya melotot lebar dan cambang bauknya bergerak gerak.

"Heemmmmm, kalau kalian mau menggempur Mataram, aku dan anak buahku siap setiap saat! Kami pernah digempur oleh pasukan Mataram, banyak anak buahku tewas. Raja Mataram yang sekarang adalah musuhku!" Setelah berkata demikian, kembali ia menyambar daging kambing dan melahapnya tanpa mempedulikan orang lain.

"Uuh-huh-huh, demi segala jin dan setan iblis peri gadungan, siluman banaspati tetekan! Bagus, bagus..... semua telah menyatakan kebencian dan permusuhan terhadap si Raja Bali. Huh-huh tapi bagaimana pelaksanaannya? Mataram memiliki panglima-panglima dan senopati senopati yang sakti mandraguna! Apakah tenaga kita mencukupi? Uh-huh-huh kalau sampai gagal, kita semua tidak urung akan binasa.......!"

"Bruuuukkkk!" Ki Warok Gendroyono menggebrak meja sampai tergetar dan piring-piring berloncatan. "Paman Cekel Aksomolo apakah takut?"

"Uh-huh-huh, sialan awakku, disangka takut. Bukan takut, Ki Warok, akan tetapi kita harus mengatur siasat, harus mengukur tenaga sendiri dan membandingkannya dengan tenaga calon lawan..... "

"Paman Cekel Aksomolo berkata benar!" Tiba-tiba terdengar suara halus suara Ni Nogogini. "Memang harus berhati-hati dan sekali bertindak ceroboh selain usaha gagal juga kita akan binasa Benar apa yang dikatakan mbok ayu Ni Durgogini tadi. Baru Narotama Patih Kanuruhan itu saja kedigdayaannya sudah menggiriskan, apalagi kalau kita ingat akan Sang Prabu Airlangga sendiri yang sakti mandraguna! Seakan-akan Sang Batara Wisnu sendiri yang menjelma. Dalam kedigdayaannya, biarpun sang prabu ini saudara seperguruan ki patih, namun ilmunya jauh melampauinya! Karena itulah, selain kita harus berhati-hati, juga harus dapat melihat keadaan dan pandai memilih waktu."

"Sekaranglah waktunya!" tiba-tiba Ni Durgogini berkata. "Kalau mau memilih yang paling tepat, sekarang inilah!"

"Mbok-ayu, apa maksudmu?" Ni Nogogini bertanya, sedangkan yang lain-lain juga menengok memandang wajah ayu kemayu dan mata yang kocak bening itu. Bibir yang merah basah tanpa dubang (air kapur sirih) itu merekah membayangkan kilatan gigi yang putih.

"Kalian semua belum tahu bahwa pada saat ini Kerajaan Mataram kehilangan sebuah pusaka yang selama ratusan tahun menjadi lambang kejayaan Mataram, Patung kencana Sri Batara Wishnu telah lenyap dari keraton!"

Semua orang menyambut berita ini dengan kaget. Terdengar suara ah-ah-oh-oh dan semua mata memandang wajah ayu Ni Durgogini, bukan karena kagum oleh kecantikan melainkan oleh rasa ingin tahu yang besar. Wanita itu mengangguk-angguk.

"Pusaka keramat itu lenyap tak meninggalkan bekas. Sang prabu gelisah, bahkan mengutus ki patih sendiri untuk turun tangan keluar dari istana pergi mencari patung kencana yang hilang. Nah, pada saat pusaka keramat lenyap dan Kerajaan Mataram menyuram, apalagi ki patih tidak berada di keraton, bukankah saat ini adalah saat terbaik?"

"Uh-huh-huh, Jagat Dewa Batara! Semoga selalu jaya wijaya bagianku dan apes sial dangkal bagian musuh-musuhku! Uh-huh, aku pernah mendengar bahwa patung kencana itu amat bertuah, siapa mendapatkannya akan menerima wahyu (anugerah dewata) mahkota, berhak menjadi raja tanah Jawa! Aku mendengar pula bahwa di dalam patung kencana itu tersimpan pusaka Brojol Luwuk (keris tanpa ganja berwarna abu-abu), satu-satunya pusaka yang mampu menembus jantung raja yang sudah kehilangan wahyunya! Uh-huh-huh, yang paling perlu sekarang adalah mendapatkan patung kencana itu lebih dulu, baru menggulingkan Raja Bali di Kahuripan. Pusaka keris Brojol Luwuk dalam patung kencana menjadi ajimat sejak Prabu Sanjaya mendirikan Mataram, selalu menjadi patung bertuah selama Kerajaan Mataram berdiri. Ketika dahulu lenyap dari keraton, Mataram runtuh dan hampir terbasmi habis, ditaklukkan oleh Kerajaa Syailendra, Setelah pusaka itu didapatka kembali oleh Sang Rakai Pikatan, Mataram bangkit dan jaya kembali. Pernah hilang pada waktu Kerajaan Medang, baru didapatkan kembali oleh Raja Airlangga dari Bali yang kini disebut Raja Kahuripan. Uh-huh-huh, sekarang lenyap, bukankah itu berarti akan runtuhnya Kahuripan dan bangkitnya kembali Mataram yang dahulu?"

Mendengar ini semua orang termenung Mereka semua memiliki hati dendam penasaran terhadap Sang Prabu Airlangga, merasa dirugikan ditambah lagi mengingat bahwa Sang Prabu Airlangga dan Narotama patihnya adalah orang-orang Bali. Kenyataan bahwa sesungguhnya Airlangga juga masih seorang keturunan Raja-raja Mataram tidak meredakan kebencian mereka. Sebetulnya, Airlangga yang menjadi mantu Raja Medang terakhir, yaitu Teguh Dharmawangsa adalah anak kemenakan dari permaisuri Raja Medang ini. Ibu Airlangga adalah Puteri Mataram yang bernama Mahendradata yang menikah dengan Pangeran Udayana dari Bali.

"Akan tetapi kalau harus mencari pusaka yang hilang, sampai kapankah kita dapat bergerak menghancurkan Kahuripan?" Ni Nogogini berkata tidak puas. "Mencari pusaka bukanlah hal yang mudah, apalagi ki patih sendiri juga sedang mencari-carinya."

Kembali semua orang meragu, dan akhirnya terdengar suara Jokowanengpati. Pemuda ini memang cerdik, kata-katanya jelas, buah pikirannya masuk akal dan begitu ia bicara, perhatian mereka semua tertarik,
"Saya rasa pendapat Ni Durgogini bahwa kini sudah tiba saatnya adalah benar, juga pendapat eyang Cekel Aksomolo agar kita mencari pusaka yang hilang lebih dulu juga benar pula. Kita harus dapat menyatukan pendapat-pendapat benar dan mencari manfaat dari padanya. Menurut pendapat saya yang muda dan bodoh, marilah kita mencari pusaka yang hilang itu dengan terpencar. Sementara kita mencari pusaka yang hilang, kita kerahkan tenaga, kita didik orang-orang di pedusunan menjadi perajurit untuk memperbesar bala tentara kita, karena betapapun juga, tanpa pasukan yang besar dan kuat, usaha kita takkan berhasil. Tentang keadaan di Mataram, tak perlu dikhawatirkan karena kakangmas Wisangjiwo bertugas di sana sehingga dialah yang wajib mengawasi gerak-gerik di istana Kahuripan sehingga kita mengetahui semua perubahan dan rahasianya. Kalau pasukan yang kita tempa sudah cukup kuat dan siap, baru kita bergerak. Syukur kalau pada waktu itu kita sudah dapat menemukan pusaka yang hilang."

Semua yang hadir di situ mengangguk-angguk setuju. Memang, mengadakan perlawanan terhadap Raja Airlangga dan patihnya Narotama bukanlah hal yang ringan dan mudah, karenanya perlu siasat yang matang. Tiba-tiba Jokowanengpati berkata lagi,
"Karena pusaka patung kencana itu merupakan lambing kejayaan Mataram dan siapa memilikinya mendapat wahyu mahkota Mataram, sebaiknya kita putuskan bahwa siapa di antara kita yang mampu mendapatkannya, akan kita angkat sebagai pimpinan persekutuan ini dan andaikata kelak berhasil, dialah yang akan diangkat menjadi Raja Mataram!"

Semua orang kaget, akan tetapi setelah dipikir secara mendalam, membenarkan juga pendapat ini.
"Uuh-huh-huh, itu sudah tepat sekali!" kata Cekel Aksomolo.

"Benar dan adil!" seru Ki Krendayakso. "Sekarang juga aku akan mengerahkan anak buahku mencari pusaka!" Ia sudah bangkit berdiri, kelihatannya tergesa-gesa.

Adipati Joyowiseso tersenyum dan cepat menahan raksasa ini. Di dalam hatinya ia sudah khawatir juga akan usul Jokowanengpati yang disetujui semua orang. Bagaimana kelak akan jadinya andaikata Ki Krendrayakso kepala rampok ini yang mendapatkan pusakanya?

"Harap kisanak bersabar dan tidak tergesa-gesa. Semua usul anakmas Jokowanengpati memang tepat dan semua telah menyetujuinya. Akan tetapi setelah para bijak dan pandai sudi melangkahkan kaki datang ke Kadipaten Selopenangkep, harap jangan tergesa-gesa pergi lagi. Selain itu, sudah amat lama saya mendengar akan kesaktian anda sekalian. Setelah kini ada kesempatan berjumpa, saya mohon sedikit petunjuk untuk membuka mata saya, dan untuk membesarkan hati menghadapi usaha kita yang amat besar dan berbahaya ini. Setelah menyaksikan kesaktian anda semua, agaknya barulah hati saya akan tenteram dan dengan penuh kepercayaan akan dapat saya kumpulkan tenaga serta saya hubungi para adipati di empat penjuru."

"Hayaaaa..." Ki Tejoranu berkata sambil bangkit berdiri. "Laden Joko dan sang adipati, semua pintal bicala sekali,. Saya tidak bisa bicala, cuma bisa mainkan golok..."

Setelah berkata demikian, tiba-tiba tangannya bergerak dan tampaklah sinar menyilaukan mata ketika sepasang goloknya sudah dicabut. Sepasang golok itu ia putar-putar di sekeliling tubuhnya merupakan gulungan dua gulungan sinar putih, yang satu menyambar ke arah bangku kosong di sebelah kiri, yang satu menyambar pula ke arah seekor anjing yang sedang sibuk menggigiti tulang di atas lantai. Tidak terdengar suara apa-apa, dan kedua sinar itu lenyap, Ki Tejoranu menyeringai sambil memasukkan sepasang senjatanya ke sarung, lalu duduk kembali setelah mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata,

"Maaf, siang-to (sepasang golok) yang buluk, tidak baik."

Adipati Joyowiseso tidak dapat menahan geli hatinya. Ia melihat bangku itu masih berdiri di tempatnya, anjing itu masih duduk mendeprok, hanya tidak menggigit tulang lagi, kini menyalak lirih.

"Ha-ha-ha, Ki Warok Gendroyono, pertunjukan apakah yang diperlihatkan sahabatmu dari Sarangan tadi? Cukup menyilaukan mata, akan tetapi terlalu singkat waktunya dan apa gunanya?"

Ki Warok Gendroyono tertawa terbahak-bahak, lalu berkata,
"Harap kanjeng adipati periksa yang baik-baik!"

Setelah berkata demikian, Ki Warok Gendroyono menyentuh bangku di sebelah kiri, mendorongnya sedikit dan..... bangku itu ternyata telah terbelah menjadi tiga, agaknya saking tajam dan cepatnya gerakan golok, biarpun sudah terbelah bangku itu masih kelihatan utuh dan tidak roboh! Kemudian Ki Warok Gendroyono membentak dan mengusir anjing hitam yang masih duduk mendeprok. Anjing yang mengeluarkan bunyi lirih itu meloncat dan....... kepalanya menggelinding, lehernya yang telah sapat (terbabat putus) itu mengucurkan darah!

Kagetlah Adipati Joyowiseso dan para tamu. Hebat sekali Ki Tejoranu yang kurus pucat itu. Melihat orangnya yang kurus pucat, mendengar suaranya yang pelo dan tidak karuan, benar-benar orang akan memandang rendah. Akan tetapi melihat kenyataannya sekarang, benar-benar sepasang goloknya itu mengerikan sekali. Lawan akan dapat tewas terbabat golok tanpa terasa! Melihat semua orang terdiam dan memandang Ki Tejoranu dengan pandang mata yang berbeda daripada tadi, penuh kagum dan heran, Ki Warok Gendroyono tertawa lagi keras-keras. Kemudian ia berkata,

"Kanjeng Adipati Joyowiseso menghendaki kita memperlihatkan kepandaian. Setelah kita menjadi sahabat, pula setelah kita disambut dengan manis, kenyang makan minum, sudah sepantasnya kita memenuhi kehendaknya itu."

Sambil tertawa-tawa Ki Warok Gendroyono menanggalkan bajunya sehingga tampak bahunya yang bidang, dadanya yang menonjol dengan bulu tebal di tengah, kemudian ia berkata kepada para penjaga yang menjaga pintu ruangan itu setelah memanggil mereka.

"Hayo kalian gunakan tombak dan golok kalian untuk membacoki tubuhku ini, boleh pilih bagian yang paling lunak!"

Tiga orang penjaga itu memandang bingung.Tentu saja mereka tidak berani melakukan hal ini, maklum bahwa kakek ini adalah seorang di antara tamu agung yang dijamu oleh adipati. Akan tetapi tiba-tiba Sang Adipati Joyowiseso sendiri berkata,
"Lakukan apa yang diperintahkan Ki Warok!"

Kini mengertilah tiga orang penjaga itu bahwa tamu itu hendak mendemonstrasikan kepandaiannya. Gembiralah hati mereka dan ketiganya lalu menggunakan tombak mereka menusuk, ada yang memilih perut, ada yang menusuk ulu hati dan orang ketiga malah menusuk tenggorokan! Akan tetapi Ki Warok adalah seorang yang kebal, tan tedas tapak paluning pande (tidak mempan senjata buatan pandai besi)! Begitu mata tombak menyentuh kulit, terdengar suara "krek-krekkrek" dan tiga orang itu terbanting jatuh karena leher tombak mereka patah-patah!

"HA-HA-HA! Hayo pergunakan keris dan golok kalian!" Ki Warok tertawa sambil mengelus-elus jenggot dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya bertolak pinggang.

Tiga orang penjaga itu merayap bangun dengan muka merah. Kemudian mereka bertiga lalu mencabut keris dan golok, menyerang lagi, menusuk dan membacok sekenanya. Bahkan ada yang menusuk muka, membacok kepala, pendeknya mereka menghujani tubuh Ki Warok dengan senjata mereka. Namun sia-sia, serangan itu semua tidak ada artinya bagi orang sakti ini dan begitu ia mengerahkan tenaga, keris-keris menjadi patah dan golok-golok rompal semua! Tiga orang penjaga itu mengundurkan diri dengan muka pucat.

"Wah, hebat sekali! Ki Warok Gendroyono benar-benar seorang sakti mandraguna!" kata Adipati Joyowiseso girang dan kagum. Ki Warok hanya tersenyum dan mengenakan kembali bajunya.

Kepandaian seperti itu saja apa sih anehnya, ia pikir. Belum lagi ia memperlihatkan keampuhan Ki Bandot! Akan tetapi kolor pusaka ini hanya boleh dipergunakan di waktu menghadapi lawan tangguh, sama sekali tidak boleh dibuat main-main. Melihat orang-orang sudah mulai memperlihatkan kepandaian, Ki Krendoyakso yang baru berusia empat puluh tahun itu menjadi panas perutnya. Dia adalah seorang kepala rampok yang terperosok ke dalam peryakinan ilmu hitam, seorang ahli racun, akan tetapi selain kepandaian yang menyeramkan ini iapun terkenal seorang yang amat kuat. Kini ia celingukan memandang ke kanan kiri, kemudian keluar jendela. Ruangan tamu di belakang ini menembus sebuah taman yang tampak dari jendela yang terbuka lebar. Segera ia bangkit dan berkata,

Lanjut ke Jilid 016►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment