Ads

Sunday, December 23, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 022

◄◄◄◄ Kembali

Lima orang tinggi besar itu mengundurkan diri dan lenyap di antara pohon dan gerumbul dalam usaha mereka mencari jejak Ki Tejoranu. Sementara itu, melihat lima orang tinggi besar pergi dan ia hanya berhadapan dengan kakek tua renta, Joko Wandiro lalu berkata,

"Akupun mau pergil" Maka larilah ia.

"Eeittt....... eittt....... nanti dulu, cah bagus. Kau menggelinding ke sinilah!" Tangan Cekel Aksomolo digerakkan dan..... tubuh Joko Wandiro terguling roboh lalu bergulingan mendekatnya kembali!

Anak itu hanya merasa seakan-akan tubuhnya dirobohkan dan ditiup angin yang kuat sekali. Ketika ia meloncat berdiri, ia telah berada di depan kakek itu kembali yang telah memegang lengannya dengan jari-jari tangan kurus bengkok-bengkok tinggal kulit membungkus tulang. Diam-diam anak ini bergidik ngeri dan maklumlah ia bahwa kakek ini amat sakti, bahkan yang menjatuhkannya dalam pengeroyokan tadipun kakek inilah. Akan tetapi ia tidak memperlihatkan muka takut, berdiri tegak dan memandang kakek itu dengan sepasang matanya yang hitam tajam bersinar-sinar.

Biarpun hatinya benci sekali kepada anak ini yang pernah membikin malu kepadanya, namun diam-diam Cekel Aksomolo menjadi kagum, bocah pilihan, pikirnya dan hatinya girang sekali. Darah anak ini tentu hebat, dan merupakan obat yang amat kuat bagi seorang kakek seperti dia. Ia tahu bahwa sekutunya, Ki Krendoyakso, meyakinkan ilmu yang amat hebat dan untuk itu Ki Krendoyakso memilih bayi-bayi yang baik dan....... memakan daging minum darahnya!

Anak laki-laki yang ditawannya ini amat baik dan sebagai seorang ahli Cekel Aksomolo dapat melihat bahwa kalau anak ini mendapat didikan ilmu, kelak tentu akan menjadi seorang gemblengan yang luar biasa dan sakti. Oleh karena itu, tulang sumsum dan darah anak ini tentu merupakan penguat yang amat berguna bagi tubuhnya yang sudah mulai lapuk karena usia tua.

"Bocah bagus, siapa namamu?" Cekel Aksomolo mengelus-elus dagu dan pipi Joko Wandiro, kelihatannya menyayang padahal ia menahan air liurnya.

"Namaku Joko Wandiro!" jawab anak itu dengan suara tenang dan berani.

Seketika Cekel Aksomolo melongo, matanya terbelalak dan biji matanya bergerak-gerak ke kanan kiri membayangkan ketololan, mulutnya ternganga memperlihatkan gusi kebiruan yang ompong. Sampai lama ia ketap-ketip (terkesima berkedip-kedip), baru ia dapat berseru,

"Aduh-duh-duh-duhhhh..... siapa sangka....... ?? Kau kiranya Joko Wandiro? Uhuh - huh - huh, bertahun-tahun dicari datang-datang mengencingi orang yang ikut mencari-carimu. Aduh, raden, kau adalah putera Kadipeten Selopenangkep. Kau cucu Adipati Joyowiseso.....huh-huh-huh!"

"Tidak........! Kau melantur! Aku bukan anak adipati! Lepaskan aku......"

"Uuuh-huh-huh, kau memang diculik orang sejak kecil, raden. Kau putera Raden Wisangjiwo...... kau......"

"Bohong! Kakek tua bangka suka bohong!" Tiba-tiba Joko Wandiro merengngutkan lengannya terlepas dari pegangan kakek itu dan tangan itu bergerak cepat.

"PlakkkM"

Tepat sekali pipi kiri Cekel Aksomolo kena ditampar oleh Joko Wandiro, kemudian anak itu membalikkan tubuh dan melarikan diri. Namun sekali lagi ia terguling roboh oleh gerak tangan Cekel Aksomolo yang meniupkan angin pukulan hebat.

"Wuh-huh-huh, sial dangkalan aku! Tak jadi minum darah bersih dan menghisap sumsum murni, malah mendapat tamparan. Uuuh, anak baik, mau tidak-mau kau harus ikut dengan eyangmu, menghadap kakekmu sang adipati! Huuhhuh, setidaknya aku berjasa besar mendapatkan kembali Joko Wandiro.......!"

Kakek itu menyambar tubuh Joko Wandiro yang masih rebah, lalu berjalan amat cepat seperti terbang meninggalkan tempat itu sambil mengempit tubuh Joko Wandiro yang tak dapat meronta sama sekali. Berhari-hari Cekel Aksomolo melakukan perjalanan menuju ke Kadipaten Selopenangkep, hanya berhenti untuk mengaso di waktu malam dan makan. Joko Wandiro mulai merasa gelisah, sungguhpun ia tidak mau memperlihatkannya sama sekali di depan kakek yang bernama Cekel Aksomolo itu. Beberapa kali di waktu kakek itu tidur mendengkur, ia berusaha melarikan diri. Namun, belum jauh ia lari, ia terjungkal dan bergulingan kembali ke dekat kakek itu yang tertawa-tawa dan selalu bersombong,

"Tak mungkin kau dapat melarikan diri kalau Cekel Aksomolo yang sakti mandraguna tidak menghendakinya, raden. Kau menurut sajalah kuhaturkan ke hadapan eyangmu adipati dan kelak aku akan suka sekali menjadi gurumu, hehheh-heh!"

Semenjak kecil Joko Wandiro belajar ilmu dari ayahnya, oleh karena itu ia amat suka akan ilmu kesaktian. Ia tahu bahwa kakek tua yang buruk rupa ini amat sakti dan ia tentu akan senang sekali menjadi muridnya kalau saja si kakek tidak begini jahat. Kakek ini jahat, dan tukang pembohong, atau mungkin juga gila mengatakan bahwa dia putera Wisangjiwo! Mana ada yang lebih gila dari ini? Justeru Wisangjiwo musuh besarnya, telah menghina ibunya, Wisangjiwo yang membuat dia tidak beribu dan tidak pernah melihat bagaimana wajah ibunya. Wisangjiwo musuh yang sekali waktu harus ia bunuh. Akan tetapi kakek ini mengatakan dia putera Wisangjiwo dan cucu adipati Selopenangkep? Gila! Betapapun saktinya, ia tidak sudi menjadi murid Cekel Aksomolo dan selalu berusaha untuk melarikan diri.

Tiga hari kemudian Cekel Aksomolo mengajaknya beristirahat di dalam sebuah hutan jati. Kadipaten Selopenangkep tidak jauh lagi. Dengan ilmu lari cepatnya yang hebat, besok pagi akan sampai. Saking lelahnya Cekel Aksomolo melepaskan Joko Wandiro, lalu bersandar pohon dan sebentar kemudian bunyi dengkurnya keluar masuk bibirnya yang kering.

Joko Wandiro juga merasa amat lelah, dan lapar. Sejak kemarin ia tidak mau makan karena makanan kakek itu jorok (kotor) sekali, kadang-kadang kalau membunuh binatang lalu dimakan mentah-mentah begitu saja! Kini melihat kakek itu tidur mendengkur, ia mencari akal untuk dapat melepaskan diri. Tak pernah ia menyia-nyiakan kesempatan untuk lari. Akan tetapi sudah beberapa kali, biarpun kakek itu kelihatannya tidur nyenyak, apabila ia lari, selalu ia tertangkap kembali oleh kakek yang kelihatan pulas itu. Maka kali ini ia tidak mau lari lagi, dan memutar otak mencari akal.

"Kalau aku lari, dia tentu tahu seperti biasa," pikirnya. "Kalau bisa kubunuh dia....... tapi dia sakti, mana mungkin kubunuh dia.......?" Joko Wandiro duduk bertopang dagu, matanya kadang-kadang melirik kakek yang tidur itu penuh perhatian, mencari akal.

Kemudian ia mengenangkan betapa kakek sakti ini dalam pertandingan melawan kakek sakti yang disembah ayahnya dan disebut Rakyana Patih oleh ayahnya. Hebat pula senjata tasbih yang mengeluarkan bunyi mujijat. Joko Wandiro melirik tasbih itu yang selalu tergantung pada lengan kiri Cekel Aksomolo. Apakah di tasbih itu terletak kesaktiannya? Teringat ia betapa bunyi tasbih itu membuatnya pening, menggigil kedinginan sehingga ia terkencing-kencing. Teringat pula ia betapa karena tak tertahankan lagi, ia kencing dari atas pohon dan sengaja ia mengencingi kakek ini. Joko Wandiro tersenyum geli, akan tetapi segera ia teringat betapa setelah tersiram kencingnya, kakek ini terhuyung-huyung, terbatuk-batuk, kemudian merangkak keluar dari medan pertandingan seperti orang yang kehabisan tenaga. Joko Wandiro kini berdiri, matanya menatap tajam kepada kakek yang masih mengorok itu. Itukah agaknya pengapesannya? Air kencing?. Joko Wandiro seorang anak yang cerdik dan berani. Ia toh sudah berada dalam tawanan kakek ini. Apapun akan jadinya terserah di tangan kakek ini. Mengapa tidak berusaha untuk keselamatannya sendiri? Menggantungkan nasib, menyerah kepada kakek atau kepada lawan, bukanlah laku seorang gagah.

Dengan hati-hati Joko Wandiro mengingsut-ingsut perlahan, menggerakkan pantatnya memutari kakek itu sampai akhirnya ia tiba di belakang batang pohon yang disandari Cekel Aksomolo. Kemudian ia bangkit berdiri dengan hati-hati tanpa menimbulkan suara, memaksa diri mendorong keinginan kencing, lalu membuka celananya membuang air kecil, mengarahkan air kencingnya menyiram kepala Cekel Aksomolo yang masih mendengkur!

"Wajoowwww! Bocah setan! Cindil anak tikus!"

Cekel Aksomolo melompat cepat sehingga tidak terkena air kencing. Saking kagetnya Joko Wandiro seketika berhenti kencingnya dan menutup kembali celananya, berdiri memandang kakek. itu dengan mata terbelalak kaget. Cekel Aksomolo menangkap pergelangan tangannya, menguncang-guncang tubuh anak itu dan bertanya,

"Siapa memberitahumu akan rahasiaku? Siapa? Hayo bilang, siapa yang membocorkan rahasiaku!"

"Rahasia pengapesanmu? Semua orangpun tahu! Yang membocorkan adalah ayahku, kau mau apa?” Joko Wandiro yang sudah nekat karena tidak melihat jalan lain untuk membebaskan diri, kini sengaja menggunakan nama ayannya untuk menakut-nakuti kakek menyebabalkan ini.

Cekel Aksomolo berjingkrak-jingkrak marah.
"Apa? Ayahmu? Raden Wisangjiwo mana tahu akan rahasiaku?"

"Raden Wisangjiwo boleh mampus di neraka jahanaml" Joko Wandiro menyumpah marah. "Ayahku bernama Pujo, seorang gagah perkasa, jagoan, sakti mandraguna yang bertapa di muara Sungai Lorog! "

Kini Cekel Aksomolo yang melengak heran sampai mulutnya terbuka lebar-lebar. Saking kaget dan herannya mendengar ini, ia sampai lupa akan kemarahannya. Baru sesaat ia berkata,

"Uuuhh-huh, demi setan wewe tetekan! Kau anak Pujo? Laeeee , laeee, bagaimana ini ? Kau putera Wisangjiwo dan Pujo....... si keparat itu, dialah orangnya yang menculikmu dari Kadipaten Selopenangkep!"

"Bohong! Bohong.......! Kau kakek busuk, kakek jahat! Pujo adalah ayahku! Wisangjiwo boleh mampus, Kadipaten Selopenangkep boleh hancur-lebur, siapa peduli? Ayahku bernama Pujo, seorang ksatria sejati!"

Pada saat itu terdengar lengking tinggi mengerikan, seakan-akan menyambut atau menjawab ucapan Joko Wandiro yang diucapkan keras-keras itu. Cekel Aksomolo sendiri sampai tersentak kaget mendengar suara ini. Tidak ada binatang hutan seperti itu suaranya, juga tak mungkin manusia. Hanya peri dan iblis saja agaknya yang dapat mengeluarkan suara seperti itu, lengking tinggi menusuk jantung. Hati kakek itu tidak enak, segera ia menangkap pergelangan tangan Joko Wandiro.

''Hayo kita pergi dari sini! Biar di Selopenangkep nanti kau membantah kakekmu sendiri......."

"Tidak mau! Tidak sudi! Kakek jahat, lepaskan aku!"

Joko Wandiro meronta-ronta. Namun Cekel Aksomolo tidak memperdulikannya dan menyeretnya untuk cepat-cepat pergi dari hutan itu. Tiba-tiba tampak bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu seorang kakek sudah berdiri menghadangnya dengan sepasang golok di kedua tangan. Dia ini bukan lain adalah Ki Tejoranu yang segera berkata mengejek,

"Cekel Aksomolo! Seolang tua bangka macam kau memaksa dan menghina anak kecil, akulah lawanmu, tua sama tua!"

Cekel Aksomolo marah bukan main. Tentu saja ia sama sekali tidak takut kalau hanya pertapa Sarangan ini yang muncul.
"Uuhhh-huh, kau pecundang, kau sudah keok (kalah) sekarang berani muncul lagi? Minta mampus? Uuhh, dasar bosan hidup!"

Tiba-tiba kakek ini menggerakkan jari tangannya memencet kedua pundak Joko Wandiro. Anak ini mengeluh perlahan dan roboh terguling, tak dapat bangun lagi karena ia merasa seluruh tubuhnya lumpuh. Ia hanya dapat memandang kearah dua orang kakek itu yang sudah bertanding. Betapapun hebat permainan sepasang golok di tangan Ki Tejoranu dan betapa mahirnya akan ilmu meringankan tubuh, namun menghadapi Cekel Aksomolo, ia masih kalah tinggi ilmunya.

Cekel Aksomolo mengandalkan kesaktiannya kepada ilmu hitam yang mujijat, tidak seperti Ki Tejoranu yang semata-mata mengandalkan Ilmu silatnya. Biarpun tasbih yang digerakkan itu tidak amat cepat, namun dari tasbih itu keluar segulung sinar hitam yang luar biasa ampuhnya, yang seakan-akan merupakan tangan-tangan iblis menghalau gulungan sinar golok. Sambil memutar tasbih ini Cekel Aksomolo bersumbar,

"Heh Ki Tejoranu manusia berlidah pendek! Kau bertapa dan belajarlah dua windu lagi, baru boleh mencoba kesaktian Cekel Aksomolo,huh-huh-huh! Akan tetapi sekarang sudah terlambat, karena aku tidak akan memberi kesempatan kepadamu untuk belajar lagi.. Terimalah kematianmu!"

Tiba-tiba tangan kiri pertapa di lereng Wilis ini bergerak dan sesosok sinar hitam menyambar ke depan, menyambar sambil mengeluarkan suara mendesing. Inilah senjata rahasia yang amat ampuh dari Cekel Aksomolo, yaitu senjata rahasia ganitri yang sebenarnya biji-biji tasbih. Bukan main ampuhnya senjata rahasia ini, karena biarpun hanya sebutir benda kecil terbuat daripada kayu hitam, namun jika sekali melesat dari tangan sakti dapat mengejar lawan seperti seekor lebah yang berbisa.

Ki Tejoranu terkejut sekali, cepat golok kanannya menyampok benda kecil itu sedangkan golok kirinya masih sibuk melayani untaian tasbih yang menyambar-nyambar dikepalanya.

"Tringgg.......!"

Ganitri yang kecil itu tersampok, akan tetapi tidak runtuh atau terlempar jauh, bahkan berputaran dan menghantam kearah mukanya! Ki Tejoranu makin kaget, cepat ia meloncat ke belakang, akan tetapi terlambat! Ganitri telah menyambar dan mengenai pundaknya! Begitu mencium darah, senjata rahasia ganitri yang luar biasa ini terbang kembali ke tangan kiri Cekel Aksomolo yang tertawa terkekeh-kekeh melihat Ki Tejoranu roboh terjengkang lalu bergulingan dengan sepasang goloknya masih menyambar-nyambar melindungi tubuh. Diam-diam kakek bongkok ini kagum bukan main. Betapa orang yang sudah terluka dan roboh masih dapat menggunakan sepasang golok melindungi tubuh seperti itu benar-benar membuktikan kemahiran permainan golok yang hebat.

Maklum bahwa luka akibat ganitri yang berbisa akan mendatangkan maut kepada lawannya, Cekel Aksomolo tidak memperdulikan Ki Tejoranu lagi, melainkan membalikkan tubuh hendak membawa pergi Joko Wandiro. Akan tetapi alangkah kaget hatinya, sampai dia berdiri terlongong. Joko Wandiro telah bangun dan berdiri di tempat itu, dan di sebelahnya berdiri seorang wanita muda yang cantiknya bukan kepalang! Seorang wanita muda yang memiliki wajah, kulit, dan bentuk tubuh yang hanya pantas dimiliki seorang bidadari kahyangan! Mata Cekel Aksomolo yang berminyak kalau melihat wanita ayu ini seperti hendak terloncat keluar dari tempatnya. Jantungnya mencak-mencak dalam dada, pandang matanya seperti hendak menelan bulat-bulat dan hatinya berbisik,

"....... wadouhhh, denok montok kinyis-kinyis...." dan seperti seorang mengidam yang melihat mangga, air liurnya menitik turun dari kedua ujung bibirnya!

Lanjut ke Jilid 023►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment