Ads

Sunday, December 23, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 023

◄◄◄◄ Kembali

WANITA itu masih muda dan memang hebat. Wajahnya cantik jelita, dihias rambutnya yang panjang terurai ke belakang hitam berombak. Pakaiannya bagian atas hamper tidak dapat menahan lekuk lengkung tubuh yang seperti hendak memberontak dan memecahkan kain penutup karena kepadatannya.

Namun, kecantikan dan keindahan bentuk tubuh ini dilindungi sikap yang agung, pandang mata yang tajam angker, tarikan mulut yang membayangkan kekerasan hati, kerut di kening yang menggoreskan derita hidup yang kesemuanya itu membuat ia tampak bercuriga kepada setiap orang yang dihadapinya.

"Pergilah engkau, paman tua dan jangan ganggu anak ini!"

Demikian ucapannya yang ditujukan kepada Cekel Aksomolo. Suaranya merdu akan tetapi nadanya dingin menyeramkan, seakan-akan di balik ucapan itu bersembunyi ancaman maut yang mengerikan. Cekel Aksomolo dapat merasakan ini, akan tetapi tentu saja ia tidak takut. Masa seorang sakti mandraguna seperti dia takut terhadap seorang wanita yang begitu denok ayu?

"Aduuhh, ayu kinyis-kinyis, denok montrok-montrok, di dunia tiada keduanya! Engkau siapa, genduk bocah ayu manis? Waduhhh, mati aku ada wanita kok begini cantik!"

Wanita itu mengerutkan kening, pandang matanya mengeluarkan sinar berapi, lalu terdengar lagi ia bertanya, suaranya masih merdu namun lebih dingin daripada tadi,

"Kakek tua, sekali lagi pergilah! Aku tak akan menangani (menghajar) seorang kakek yang sudah tua renta seperti kau, kecuali kalau terpaksa."

"Heh-heh-huh-huh-huh! Biar tua tuanya kelapa, tuanya kemiri, biar tua lebih berguna daripada yang muda! Bocah denok montrok, aku mau pergi dari sini kalau menggendongmu!"

Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara melengking tinggi dan hampir saja Cekel Aksomolo terjengkang saking kagetnya. Kiranya yang mengeluarkan suara lengking mengerikan tadi adalah wanita ayu ini! Akan tetapi kakek ini tidak diberi kesempatan untuk terheran lebih lama karena pada detik itu wanita tadi telah menerjangnya dengan gerakan kilat dan sebuah tamparan keras menyambar mukanya! Tamparan yang menggunakan telapak tangan, dan hawa pukulannya saja sudah seperti api membara! Kagetlah kakek ini, sama sekali tidak disangkanya wanita seelok ini dapat melakukan pukulan sedahsyat itu. Cepat ia mengelak, kini tangan dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah lambung, hebatnya bukan main.

"Aduhhh, celaka .... !"

Cekel Aksomolo adalah seorang sakti tentu saja dalam keadaan bahaya ini ia tidak kehilangan akal. Tahu bahwa tusukan itu biarpun hanya dilakukan dengan jari-jari tangan yang halus meruncing lunak, namun dapat menembus kulit lambungnya, dan bahwa tusukan itu tak dapat lagi ia elakkan, si kakek cepat menggerakkan tasbihnya, menghantam ke arah kepala wanita itu untuk mengajak sampyuh (mati bersama)!

"Kakek jahat!" Wanita itu berseru, tangan kirinya menangkis lengan kanan lawan yang membawa tasbih dan karena itu maka tusukannya tadi melambat sehingga Cekel Aksomolo mendapat kesempatan untuk menangkis pula dengan tangan kiri sambil miringkan tubuh. Dua pasang tangan saling bertemu dan akibatnya, wanita itu terhuyung ke belakang, akan tetapi juga Cekel Aksomolo hampir terguling.

Wanita itu agaknya penasaran dan marah, tanpa mengeluarkan kata-kata ia sudah menerjang maju lagi, gerakannya cepat bukan main, kedua tangannya mengeluarkan angin panas! Cekel Aksomolo yang kecelik mengira dia itu wanita ayu yang lemah dan mudah dijadikan korban, terpaksa menggunakan tasbih melawan. Yang lebih mengherankan hatinya adalah betapa suara tasbihnya seakan-akan tidak mempan terhadap wanita ini. Ia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa wanita cantik yang ia hadapi ini adalah Kartikosari, isteri Pujo. Kartikosari kini bukanlah Kartikosari sepuluh tahun yang lalu. Ia sudah melatih diri di tepi laut, jika sedang melatih tenaga sakti, deru badai mengamuk sekalipun tidak menggoyahkan pertahanan batinnya. Apalagi kini suara tasbih yang biarpun mengandung suara mujijat, namun bukan apa-apa jika dibandingkan dengan suara mujijat yang dibawa oleh ombak dan badai!

Pada saat Kartikosari menerjang dan terlibat dalam pertandingan seru dengan Cekel Aksomolo, Joko Wandiro berdiri terbelalak kagum. Sudah banyak ia melihat laki-laki sakti, jagoan-jagoan yang pandai. Akan tetapi baru kali ini ia menyaksikan seorang wanita berkelahi dengan cara yang demikian mengagumkan. Apalagi ketika ia mengenal gerakan-gerakan ayahnya, ia makin terpesona. Tadi ketika Cekel Aksomolo bertanding melawan Ki Tejoranu, tahu-tahu wanita ini muncul dan sekali mengurut pundaknya, ia dapat bangun. Akan tetapi sebelum Joko Wandiro sempat bertanya, Cekel Aksomolo yang telah merobohkan Ki Tejoranu telah menghadapi penolongnya. Kini mereka berdua bertanding hebat, Joko Wandiro memandang kagum akan tetapi juga khawatir karena ia maklum betapa kakek bongkok itu benar- benar berbahaya dan sakti.

Pada saat itu, ia merasa ada angin bertiup di belakangnya dan disusul napas terengah seorang manusia. Joko Wandiro cepat membalikkan tubuhnya, siap menghadapi serangan lawan. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat seorang anak perempuan sebaya dengannya, hanya satu dua tahun lebih muda, anak yang berwajah seperti bulan dan bermata seperti bintang, berdiri dengan napas terengah-engah memandang pertempuran. Agaknya anak ini telah berlari jauh dan cepat maka sampai terengah-engah napasnya. Melihat anak ini memandang pertempuran dengan mata terbelalak, Joko Wandiro menyangka dia ketakutan dan ngeri, maka katanya,

"Kau siapa? Anak kecil tidak boleh di sini, berbahaya. Tidak kaulihat ada orang bertempur? Pergilah!"

Tangannya bergerak mendorong ke arah pundak untuk menakut-nakuti dan menyuruh anak itu pergi, akan tetapi hanya dengan gerakan miringkan tubuh, dorongannya tidak mengenai sasaran dan anak perempuan itu kini memandangnya dengan mata marah dan mulut cemberut.

"Lagaknya seperti orang tua saja! Apakah kau juga bukan anak kecil? Tentu kau anak monyet itu!"

Dan tiba-tiba sekali, benar-benar di luar dugaan Joko Wandiro, anak perempuan itu telah menerjang dan menghantam dadanya dengan kepalan tangannya yang kecil. Serangan ini amat cepat dan juga sama sekali tidak disangka-sangka, maka Joko Wandiro tidak sempat mengelak lagi.

"Bukk!"

Joko Wandiro roboh terjengkang, mengelus dadanya yang terpukul karena merasa sakit. Benar-benar ia heran luar biasa bagaimana ada seorang anak perempuan memiliki pukulan yang begini ampuh, cukup kuat sehingga ia sesak bernapas. Gerakannya cepat sekali dan melihat cara anak ini memukul, jelas bahwa anak ini memiliki ilmu berkelahi yang sama sekali tidak rendah! Melihat Joko Wandiro hanya jatuh terduduk saja oleh pukulannya tadi, anak perempuan itu marah-marah,

"Kau masih belum rebah mampus?" teriaknya dan kini dengan gerakan yang benar-benar dahsyat dan cepat dia telah menendang ke arah muka Joko Wandiro yang masih terheran-heran. Akan tetapi kali ini Joko Wandiro tidak berani berlaku lengah. Cepat ia mengelak dan meloncat bangun.

"Wah, kau ini bocah setan begini galak dan keji!"

Joko Wandiro berseru karena anak itu sudah menerjangnya lagi kalang-kabut. Sebuah pukulan secara aneh sekali telah bersarang di perutnya membuat ia terhuyung ke belakang. Hebat dan cepat gerakan anak perempuan itu. Kalau ia tadi menangkis lalu membalas tentu ia akan dapat mendahului, akan tetapi karena Joko Wandiro tidak mau menyerang anak perempuan, maka ia lagi-lagi terkena pukulan. Perutnya menjadi mulas dan ia mulai marah.

"Kau ini bukan bocah perempuan, kau seperti kucing mabok!" katanya dan menangkis kuat-kuat, bahkan balas menampar ke arah pipi anak itu. Anak itu mengelak sambil meloncat mundur, kedua pipinya yang tadi terkena tamparan itu menjadi merah sekali,

"Apa kau bilang?" Telunjuknya yang kecil menuding ke arah hidung Joko Wandiro, seperti hendak menusuk lubang hidungnya. "Aku kucing? Kalau begitu kau monyet! Kau celeng goteng! Kau kirik (anak anjing) bungkik!"

"Wah-wah, galak dan tukang maki. Kau ini bocah manakah sih begini kurang ajar? Hayo pergi, kalau tidak tentu kutempiling kau!" Joko Wandiro marah, melangkah maju dan mengancam dengan kedua tangan terkepal.

"Kau berani menempiling aku? Coba! Hayo coba! Dua kali sudah kuhantam engkau, yang ketiga kalinya tentu kau takkan dapat bangun lagi!"

Anak perempuan itu memekik dan menyerang lagi lebih dahsyat daripada tadi. Joko Wandiro yang sudah marah dan penasaran, menangkis dan balas menyerang. Alangkah kaget dan herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa gerakan anak perempuan ini sama dengan gerakan-gerakannya!

Sementara itu Kartikosari merupakan lawan yang kuat bagi Cekel Aksomolo. Biarpun kakek itu memiliki tasbih mujijat, namun Kartikosari dapat menghadapinya dengan baik. Kedua tangan wanita ini ampuh sekali, apalagi dibantu dengan tendangan-tendangan kaki yang tak terduga-duga. Setelah serangan-serangannya gagal dan ia mendapat kenyataan bahwa kakek bongkok itu tidaklah selemah yang ia kira semula, Kartikosari mencabut sebatang keris kecil dari pinggangnya dan kini dengan keris di tangan kanan untuk menyerang, tangan kirinya berusaha mencengkeram dan merampas tasbih.

Kagetlah Cekel Aksomolo. Tak disangkanya wanita muda yang cantik jelita ini demikian perkasa. Dan ketika ada dua sinar golok menyambar sebagai tanda bahwa Ki Tejoranu sudah maju pula mengeroyoknya, diam-diam Cekel Aksomolo mengeluh. Menghadapi wanita cantik ini saja ia sudah repot dan andaikata dapat menang juga akan makan waktu lama, apalagi sekarang ditambah sepasang golok Ki Tejoranu yang cukup ampuh, bisa- bisa ia mati konyol! Maka ia tiba-tiba membunyikan tasbihnya dan menyerang hebat.

Ki Tejoranu yang sudah terluka hebat itu cepat meloncat mundur dan Kartikosari juga kaget dan cepat mundur memasang kuda-kuda. Saat itu dipergunakan oleh Cekel Aksomolo untuk mencelat ke belakang dan melarikan diri. Ki Tejoranu cepat maju dan memberi hormat kepada Kartikosari, berkata kagum,

"Nona yang gagah pelkasa telah menolong saya olang tua yang tiada guna, sungguh melupakan budi besal."

Akan tetapi Kartikosari tidak menjawab karena perhatiannya tertarik oleh gerakan-gerakan di belakangnya. Ketika ia menoleh, ia melihat dua orang anak itu masih saling serang dengan gerakan cepat. Ia tertegun sejenak, kagum menyaksikan gerakan mereka yang jelas sealiran. Akan tetapi iapun dapat melihat bahwa anak perempuan itu yang lebih banyak menyerang, sedangkan anak laki-laki itu lebih banyak mengalah, menangkis dan mengelak.

"Endang! Berhenti, jangan pukul orang!"

Suaranya merdu akan tetapi berpengaruh karena anak perempuan itu meloncat mundur, mencibirkan bibir bawah yang merah kepada Joko Wandiro sambil berkata perlahan,

"Untung kau, ibu melarang, kalau tidak .... hemmm ..... !"

Joko Wandiro mendongkol, akan tetapi lega hatinya karena tidak harus melayani anak perempuan liar dan galak ini. Ia menengok dan memandang wanita itu penuh kagum. Kartikosari sudah menghadapi Ki Tejoranu lagi sambil mengeluarkan pertanyaan halus,

"Kau terluka, paman?"

Ki Tejoranu menoleh ke arah pundak kirinya. Ia tadi sudah merobek baju di sebelah kiri dan tahu bahwa pundaknya terluka biji tasbih yang berbisa sehingga pundaknya memperlihatkan luka menghitam.

"Ah, telkena senjata ganitli yang belbisa. Kakek itu benal jahat."

Kartikosari agak geli hatinya mendengar omongan yang pelo itu, dan ia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang asing.

"Syukur kalau kau dapat mengobatinya sendiri, kalau tidak, saya mempunyai obat widosari (semacam boreh) yang baik untuk memunahkan bisa."

"Telima kasih. Tidak usah, bisanya tidak amat jahat, tidak sejahat Cekel Aksomolo."

"Ah, dia Cekel Aksomolo? Pantas begitu sakti. Nah, paman, harap kautinggalkan kami dan kuharap kau tidak usah sebut-sebut kehadiranku di sini."

Ki Tejoranu memandang penuh perhatian, lalu mengangguk-angguk.
"Nona telah menolong, saya tidak akan lupa."

Kemudian ia melangkah menghampiri Joko Wandiro dan mengangguk-angguk pula memberi hormat.

"Saudala kecil amat gagah calon ksatlia, kelak kita beltemu lagi. Selamat ... selamat .... !" pergilah kakek itu dengan gerakan cepat sekali.

Kartikosari membalikkan tubuh memandang Joko Wandiro yang juga memandangnya dengan matanya yang tajam.

"Eh, bocah, siapa namamu dan mengapa kau bertanding melawan anakku? Kau tadi tahu betapa aku telah menolongmu, mengapa kau membalas pertolongan orang dengan cara demikian?"

Joko Wandiro menundukkan mukanya, tak kuasa menentang kilatan sinar mata wanita itu, lalu menguatkan hati karena merasa tidak bersalah, memandang lagi dan menjawab,

"Bibi yang baik, nama saya Joko Wandiro. Saya sama sekali tidak mengajak berkelahi boc .. eh, adik ini, melainkan saya hanya membela diri karena diserang kalang-kabut. Selain itu, tadi saya tidak tahu bahwa dia.... dia anak bibi. Maafkan, bibi."

Senang hati Kartikosari melihat anak tampan dan bertubuh tegap ini bicara secara jujur dan pandai membawa diri pula. Ia mengangguk-angguk dan berkata,

"Gerakanmu bertanding tadi, dari siapa kau belajar?"

Kartikosari setengah menduga bahwa anak ini kalau bukan murid Pujo tentulah murid ayahnya, Resi Bhargowo. Akan tetapi alangkah herannya ketika ia mendengar jawaban yang tegas,

Lanjut ke Jilid 024►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment