Ads

Sunday, December 23, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 024

◄◄◄◄ Kembali

"Dari ayah saya."

"Ayahmu.......? Siapakah nama ayahmu?"

"Namanya Pujo."

Berdegup jantung dalam dada Kartikosari. Lalu ia melirik ke arah puterinya, membanding-bandingkan. Anak laki -laki ini jelas lebih tua daripada anaknya. Akan tetapi ia masih belum puas.

"Berapa usiamu sekarang?"

"Kata ayah usia saya dua belas tahun, bibi."

"Hemm, kalau begitu tak mungkin Pujo beristeri lagi dan mempunyai anak ini," pikir Kartikosari agak lega.

Akan tetapi mengapa Pujo bisa memiliki putera yang lebih tua daripada anaknya?

"Siapakah ibumu?"

Joko Wandiro menggigit bibir, menekan perasaannya yang sakit, lalu menggeleng kepala.

"Saya saya tidak tahu, bibi, mungkin sudah tidak ada di dunia ini ..... "

"Oohhhh ...... di mana dia sekarang ? "

"Siapa, bibi?"

"Pujo itu, di mana dia?"

"Ayah?"

"Hemm, ya. Di mana dia?"

"Bibi mengenal ayah?" Joko Wandiro girang.

"Mengenal Pujo?" Kartikosari mengulang pertanyaan ini.

Bibirnya tersenyum akan tetapi hatinya serasa diremas-remas. Dia mengenal Pujo? Sungguh pertanyaan yang menggelikan, tapi juga menyedihkan.

"Tentu saja. Di mana dia sekarang?"

"Ayah sejak dahulu tinggal di muara Sungai Lorog, bibi."

Mendengar ini Kartikosari serentak timbul niat di hatinya untuk menjumpai suaminya. Sudah lama sekali ia merindukan suaminya yang tercinta. Sekarangpun ia baru saja meninggalkan Karangracuk di pantai selatan untuk melakukan balas dendam, untuk mencari Wisangjiwo dan mencari suaminya. Ia menyimpan dendamnya sampai sepuluh tahun adalah karena ia ingin memperdalam ilmunya dan di samping itu, iapun tidak dapat meninggalkan Endang Patibroto yang masih kecil. Kini anaknya sudah berusia sepuluh tahun, sudah cukup besar dan kuat diajak melakukan perjalanan jauh. Siapa kira, suaminya itu berada di muara Sungai Lorog, di pantai Laut Selatan pula yang tidak berapa jauhnya dari tempat tinggalnya sendiri. Apalagi kalau melakukan perjalanan dari Karangracuk terus menyusuri sepanjang pantai Laut Selatan menuju ke timur, dengan ilmu lari cepat agaknya dalam waktu dua hari saja paling lama tentu akan sampai! .

"Endang, kau kembalilah ke pantai bersama anak ini. Ibumu akan pergi selama sepekan. Kalian berdua tunggu kembaliku di pantai dan jangan berkelahi lagi!"

Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah Kartikosari dari depan kedua anak itu. Joko Wandiro masih termenung karena kagum melihat gerakan yang luar biasa cepatnya itu dan ia kaget ketika tiba-tiba punggungnya disodok siku dari belakang Ia menoleh dan ternyata yang menyikunya adalah anak perempuan tadi! Anak itu memandangnya, penuh tantangan.

"Mau apa kau?" Ia menegur marah.

Anak perempuan itu menjelajahi tubuhnya dari kaki ke kepala dengan pandang mata menilai, lalu berkata,

"Sekarang ibuku telah pergi. Hayo kita lanjutkan adu tebalnya kulit kerasnya tulang!"

Mau tak mau Joko Wandiro tersenyum. Anak perempuan ini memang luar biasa sekali dan ia tidak bisa mengharapkan lain dari anak seorang wanita sakti seperti tadi. Anak ini agaknya dimanja dan tak pernah mau kalah, pikirnya. Ia maklum bahwa kalau ia bersungguh-sungguh, biarpun tidak mudah namun ia pasti akan dapat menangkan anak perempuan ini. Akan tetapi anak ini adalah anak wanita cantik tadi yang telah menolong nyawanya, bagaimana ia dapat menjadi lawan? Kalau sampai kesalahan pukul, bukankah ibunya akan marah kalau pulang nanti? Dan pula, ia tidak tega untuk memukul kulit yang kelihatannya halus tipis itu.

"Eh, ditantang berkelahi kok malah mesam-mesem (senyum-senyum)! Hayo, kalau kau memang laki-laki gagah. Kalau bisa kalahkan Endang Patibroto barulah kau benar-benar perkasa!"

Anak perempuan itu berdiri memasang kuda-kuda, menggerak-gerakkan kedua tangannya yang jari-jarinya dibuka seperti kuku burung elang. Terdengar bunyi angina perlahan bercuitan dari jari-jari ini dan diam-diam Joko Wandiro terkejut. Itulah ilmu pukulan yang luar biasa ampuhnya! Mengapa tadi anak itu tidak mengeluarkan ilmu pukulan ini? Dia merasa ragu- ragu apakah akan mampu menghadapi tangan yang telah memiliki tenaga sakti seperti itu. Tentu saja ia tidak tahu bahwa karena tidak mau kalah, Endang Patibroto ini sengaja memperlihatkan ilmu simpanan yang ia pelajari dari ibunya. Ilmu ini adalah ciptaan ibunya sendiri yang mengambil inti gerakan burung-burung walet dan elang laut. Ibunya telah mengancamnya agar jangan menggunakan ilmu ini karena selain belum sempurna dipelajari, juga ilmu ini hanya boleh digunakan kalau keadaan betul-betul mendesak. Kini ibunya tidak ada maka timbul keberaniannya untuk memamerkan di depan Joko Wandiro!

"Sudahlah, aku terima kalah. Ibumu begitu baik menolongku, mengapa engkau begini galak?"

Setelah berkata demikian, Joko Wandiro membalikkan tubuhnya lalu duduk di atas sebuah batu hitam besar di bawah pohon asem. Di dekat kakinya banyak terdapat buah-buah asem yang rontok, buahnya sudah matang. Dipilihnya beberapa biji dan dikupasnya perlahan, lalu dimakannya daging asem yang matang berwarna merah kehitaman itu. Rasanya masam-masam manis. Rasa masam membuat kedua pelupuk matanya bergetar dan melihat ini, Endang Patibroto tak dapat menahan lagi air liurnya. Menyaksikan orang makan yang asam-masam memang bisa membikin mulut kemecer (mengeluarkan liur)! Joko Wandiro melihat betapa anak perempuan itu beberapa kali menelan ludah, tersenyum dan memilih beberapa buah asem matang, mengangsurkannya kepada Endang Patibroto.

"Enak yang kemampo (setengah matang) begini!"

Endang Patibroto masih memasang kuda-kuda. Melihat betapa orang yang ditantangnya tidak menyambut tantangannya malah menawarkan buah asem kemampo ia tertegun. Selama ini tidak banyak ia bergaul dengan orang lain. Ibunya melarangnya. Buah asempun belum pernah ia memakannya, kecuali buah asem yang dipergunakan ibunya membumbui ikan, itupun dimakan sebagai bumbu. Sikap dan senyum Joko Wandiro membuat ia kehilangan semangat bertempur, dan akhirnya ia menerima pemberian itu, duduk agak menjauhi dan mulai makan buah asem. Memang enak masam-masam manis. Akan tetapi rasa masam membuat kedua matanya kiyer-kiyer (tergetar setengah terpejam).

"lihhh, kecut sekali !" katanya.

Joko Wandiro tertawa karena lucu sekali melihat anak itu terkiyer-kiyer seperti itu. Endang Patibroto juga tertawa dan lenyaplah semua sisa rasa permusuhan dari dalam dada Endang.

"Namamu siapa?" tanya Endang sambil mengelamuti buah asem, matanya ketap-ketip menatap wajah Joko, mata yang seperti bintang.

"Namaku Joko Wandiro, dan kau?"

"Endang Patibroto "

"Wah, namamu bagus, terutama Patibroto itu...... "

"Dan namamu buruk, lebih-lebih Wandiro itu!"

Keduanya terdiam, hanya saling pandang. Karena keduanya sejak kecil jarang bergaul dengan anak-anak berbeda kelamin, pernah melihatpun dalam kelompok banyak, maka kini mereka saling berhadapan merupakan pengalaman pertama dan keduanya merasa seakan-akan menghadapi sesuatu yang aneh dan membutuhkan perhatian.

Setelah kini Endang Patibroto tidak marah lagi, wajahnya tampak manis dan menyenangkan sekali bagi Joko Wandiro. Terutama sepasang mata yang lebar seperti bintang itu. Melihat gadis cilik itu duduknya mendeprok di atas rumput, Joko Wandiro menepuk-nepuk batu hitam di sebelahnya dan berkata,

"Endang, marilah duduk di sini, enak duduk di sini."

Endang Patibroto menggeleng-geleng kepala.

"Di sini lebih enak!"

Wandiro menahan senyum. Anak ini benar-benar keras kepala. Rumput itu agak basah dan kotor, bagaimana enak diduduki?

"Mungkin lebih enak, akan tetapi hati-hati, kalau ada ulat berbulu dan semut api menggigit kakimu!"

Seketika Endang melompat bangun dan menggerak-gerakkan kedua pundaknya karena ngeri dan jijik, lalu berjalan perlahan menghampiri Wandiro, duduk di atas batu.

"Kau bilang tadi ibumu sudah tiada .... ? "

Joko Wandiro mengangguk sunyi, matanya redup dan keningnya agak berkerut. Melihat ini, Endang Patibroto cepatcepat menyambung,

"Ibuku masih ada, akan tetapi ayahku-pun sudah tiada. Engkau tak beribu, aku tak berbapa, jadi sama nilainya. Kita sama-sama anak yatim."

Joko Wandiro mengangguk-angguk, wajahnya masih muram. Dalam hatinya ia membantah. Kau mana tahu, pikirnya. Kehilangan ibu bukanlah suatu hal yang amat menyakitkan hati, akan tetapi mendengar ibu diperkosa orang!

"Joko, kenapa kau diam saja? Seperti arca!"

Teguran disertai sentuhan pada lengannya ini menyadarkan Joko Wandiro. Ia menoleh dan melihat anak perempuan itu tersenyum. Akibatnya luar biasa sekali. Seketika lenyap semua renungan buruk dan bagaikan terkena aliran aneh wajah Joko Wandiro juga murah cerah, tersenyum dan kemudian keduanya tertawa girang!

"Hayo kita berangkat!"

"Berangkat? Ke mana?"

"Ihh, bagaimana sih engkau ini? Bukankah tadi ibu berpesan agar kita kembali ke pantai, ke pondok kami dan menanti ibu di sana selama sepekan? Marilah!"

Joko Wandiro menggeleng kepala.

"Tidak, aku harus lekas pulang. Ayah akan mencari-cari dan menanti-nantiku."

"Eh, mengapa begitu? Kau dengar tadi. Ibuku sedang pergi mencari ayahmu, tentu ibuku akan memberi tahu bahwa engkau berada di sini bersamaku."

"Mengapa ibumu mencari ayahku?"

"Siapa tahu?" Tiba-tiba gadis cilik itu tertawa geli, matanya yang lebar memancarkan sinar berseri dan ia berkata, "Siapa tahu, ayahmu dan ibuku itu sahabat-sahabat baik dan ...... eh , kalau saja mereka bersatu"

"Hah ..... ??" Joko Wandiro terbelalak heran dan kaget, tidak segera dapat menangkap maksud kata-kata yang tersendat-sendat itu.

"Ibuku menjadi ibumu, ayahmu menjadi ayahku. Bukankah itu baik sekali? Kau mendapatkan ibu baru, aku mendapatkan ayah baru, dan kita menjadi kakak- beradik!"

Serentak gadis cilik itu menari-nari kegirangan, berjingkrak-jingkrak dan berputaran amatlah lincahnya. Joko Wandiro tertegun dan termenung. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, dalam hati ia tidak setuju, akan tetapi menyaksikan kegembiraan gadis cilik ini, ia tidak tega untuk membantahnya.

"Hayo kita berangkat ke pantai!" akhirnya Endang mengajaknya.

Dia menggeleng kepala. "Kurasa lebih baik aku pulang sekarang."

Endang Patibroto cemberut dan membanting-banting kaki kirinya, merajuk.

"Apakah kau tidak mau menemaniku? Kau membiarkan aku sendirian pulang ke pantai yang sunyi dan jauh? Apakah kau tidak suka menjadi kakakku?"

Di dalam suara anak perempuan ini terkandung isak tertahan, terkandung rindu akan kasih sayang saudara yang tak pernah dirasainya, terkandung rasa rindu akan teman bermain yang tak pernah pula dirasainya. Joko Wandiro terharu, apalagi kalau mengingat betapa ibu gadis cilik ini telah menyelamatkannya daripada bahaya maut. Ia mengeraskan hati. Biarlah aku dimarahi ayah kalau perlu. Kasihan dia ini. Ia mengangguk dan berkata tegas,

"Baiklah. Kutemani kau sampai ibumu pulang."

Lanjut ke Jilid 025►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment