Ads

Sunday, December 23, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 025

◄◄◄◄ Kembali

Endang Patibroto bersorak, lalu menyambar tangan Joko Wandiro, ditariknya dan diajaknya lari menuju ke selatan, keluar dari dalam hutan itu. Joko Wandiro hanya tersenyum-senyum dan ia makin tertarik kepada gadis cilik yang amat lincah, galak, mudah marah dan mudah gembira, berwatak aneh ini. Akan tetapi tidak lama kedua orang anak ini berlari-lari sambil tertawa- tawa gembira. Belum juga habis hutan itu mereka tembusi, tiba-tiba mereka berhenti lari dan berdiri terbelalak kaget.

Di depan mereka menghadang lima orang laki-laki tinggi besar yang semua membawa golok di tangan, dengan sikap mengancam memandang mereka berdua. Mereka itu adalah lima orang perampok yang tiga hari yang lalu bersama Cekel Aksomolo. Mereka mengejar dan mencari jejak Ki Tejoranu yang menuju ke hutan ini, maka sampailah mereka ke dalam hutan ini. Sungguh tak mereka sangka bahwa yang mereka temukan bukanlah Ki Tejoranu yang mereka cari-cari, melainkan Joko Wandiro bocah yang pernah membuat mereka kalang-kabut. Tentu saja dapat dibayangkan kemarahan mereka melihat anak ini. Terutama sekali perampok bermata juling yang pernah jatuh bangun oleh Joko Wandiro. Kemarahannya memuncak dan hatinya girang bukan main melihat bocah ini sekarang berada di depannya.

"Hoh-hoh-hoh, keketulan sekali! Kelinci muda mendekati mulut harimau kelaparan! Hayo, anak setan, kau akan lari ke mana sekarang?" bentaknya, goloknya siap membacok. "Uwah, Ki roko, cincang saja tubuhnya si bocah iblis!" seru perampok baju hitam di belakangnya.

"Hayo, kita bunuh dia, akan tetapi bocah ayu itu jangan dibunuh! Kuncup bunga yang belum mekar itu sayang kalau dibunun, ha-ha-hah!" kata perampok ke tiga yang wajahnya pucat.

Melihat lagak para perampok yang tertawa-tawa dan air ludah mereka menyemprot-nyemprot itu, Endang Patibroto ketakutan. Benar ia seorang anak yang sejak kecil menerima gemblengan ibunya di pantai Laut Selatan, akan tetapi belum pernah ia bertemu dengan orang-orang yang begini buas dan berwajah menyeramkan. Para petani yang pernah ia temui berwajah sabar dan manis budi, tidak seperti binatang buas sikapnya. Rasa takut membuat ia cepat bersembunyi di belakang Joko Wandiro dan telapak tangannya dingin ketika ia memegang lengan temannya. Juga Joko Wandiro merasa terkejut, gelisah. Ia sendiri tidak takut menghadapi lima orang buas itu, akan tetapi sekarang ia bersama Endang Patibroto yang harus ia lindungi. Keringat dingin menitik turun dari dahinya ketika bocah pemberani ini mendorong temannya supaya mundur sambil membentak.

"Kalian berlima mau apakah? Di antara kalian dan aku tidak ada urusan apa-apa, apa kesalahanku sehingga kalian mengancam hendak membunuhku?"

"Ho-ho-ho-ha-ha-ha! Kau ketakutan sekarang, anak setan?"

Si juling tertawa mengejek dan mengangkat goloknya menakut-nakuti. Joko Wandiro siap waspada, memasang kuda-kuda dan menjawab,

"Aku tidak takut karena aku tidak bersalah apa-apa. Orang yang berbuat salah, dialah yang akan ketakutan selama hidupnya!" Ia meniru wejangan ayahnya.

"Huah-ha-ha, bocah sombong, bocah setan. Kematian sudah di depan mata, lekas kau berlutut minta ampun di depan kakiku!" Si juling mengancam lagi.

"Kalau aku bersalah, tanpa kaupaksa aku suka minta ampun. Akan tetapi apakah kesalahanku?"

"Kau berani membantah? Minta kucincang kepalamu?"

Golok itu diangkat tinggi-tinggi, mulutnya menyeringai lebar memperlihatkan gigi yang besar-besar dan kuning, matanya makin menjuling lagi sehingga seakan menjadi satu di pinggir hidung. Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan sesosok bayangan berkelebat dari belakang tubuh Joko Wandiro. Bayangan itu menubruk ke depan dan ......

"cesssss .. ! " sebuah cundrik (keris kecil) menancap di perut perampok mata juling itu. Cepat gerakan Endang Patibroto ini dan sama sekali tidak pernah tersangka oleh perampok mata juling, bahkan tidak tersangka oleh Joko Wandiro yang menjadi kaget sekali. Cepat pula Endang Patibroto mencelat ke belakang mencabut cundriknya dan "currrrr!!" darah merah muncrat-muncrat dari perut yang gendut.

" ....... apa ..... ? Aduhh ..... wah ...... !"

Si mata juling mendekap perutnya dengan tangan kiri, matanya sejenak terbelalak mengawasi darahnya yang mengucur melalui celah-celah jari tangannya, kemudian ia terbelalak memandang gadis cilik yang berdiri di samping Joko Wandiro dengan cundrik di tangan, cundrik yang merah ujungnya karena darah! Kini Endang Patibroto sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan sepasang matanya yang lebar itu nampak beringas dan liar.

"Endang ...... kau ........ kenapa kau lakukan itu ....... ?"

Joko Wandiro bertanya gagap. Dia sendiri juga seorang anak gemblengan, akan tetapi selama hidupnya belum pernah ia melukai orang sampai darah bercucuran dari perutnya seperti itu, maka iapun merasa ngeri. Akan tetapi Endang Patibroto menjawab tegas,

"Dia mau membunuhmu, si keparat! Biar kubunuh mereka semua!"

Jawaban ini selain mengagetkan Joko Wandiro, juga membuat para perampok itu marah sekali. Bahkan perampok muka pucat yang tadi tertarik oleh kecantikan wajah gadis cilik ini, sekarang menjadi marah sekali.

"Bunuh mereka! Bunuh kedua setan cilik ini!"

Si mata juling yang lebih dulu mengamuk. Goloknya menyambar dan kini yang ia terjang bukannya Joko Wandiro, melainkan Endang Patibroto yang telah melukai perutnya. Namun gadis cilik yang masih kanak-kanak, baru berusia sepuluh tahun itu memiliki gerakan yang amat gesit sehingga bacokan golok si juling meluncur mengenai tanah. Ia terengah-engeh, mendengus-dengus dan mencari-cari. Ternyata anak perempuan itu sudah meloncat dua meter jauhnya di sebelah kiri. Ia menggereng dan menerjang lagi, kini goloknya ia obat-abitkan sekuat tenaga sehingga merupakan gulungan sinar yang menghalang anak itu meloncat.

Endang Patibroto sejak kecil belajar ilmu silat, akan tetapi ia masih belum ada pengalaman sama sekali, maka melihat golok itu berkelebat ke kanan kiri, ia menjadi bingung. Sambil melangkah maju ia nekat menangkis dengan cundriknya.

"Cringgg.. !" Cundrik itu terlepas dari tangannya, meluncur dan menancap ke atas tanah, tiga meter jauhnya.

"Heh-heh-heh, kucincang kepalamu, bocah keparat!" Si mata juling marah sekali, akan tetapi tiba-tiba tubuh Endang Patibroto sudah berkelebat ke depan, kemudian menggerakkan kedua tangannya seperti cakar burung.

Dua tangannya dengan jari-jari mencengkeram persis kaki burung elang itu membuat gerakan ke arah lengan besar si mata juling yang memegang golok, kemudian mencengkeram, yang kiri bergerak mundur yang kanan maju.

"Kreeeeekkkkk!"

Si mata juling berteriak keras sekali, goloknya terlepas dan lengan kanannya itu robek berikut kulit dan dagingnya! Demikian hebatnya ilmu simpanan yang diajarkan oleh Kartikosari kepada puterinya itu. Baru anak kecil berusia sepuluh tahun saja dengan ilmu ini sudah dapat merobek kulit, daging, dan baju lengan seorang yang kuat seperti perampok mata juling!

Sejenak perampok itu terbelalak, meringis kesakitan, lalu terhuyung-huyung mundur dengan muka ketakutan. Siapa yang takkan ngeri menghadapi bocah perempuan demikian kecilnya akan tetapi yang telah merobek perut dan lengannya? Apalagi darah yang terlalu banyak keluar membuat kepalanya pening dan pandang matanya berkunang. Akhirnya roboh terjerembab di bawah pohon.

Adapun empat orang perampok lain kini sudah menghujani Joko Wandiro dengan bacokan-bacokan golok. Mereka penasaran sekali karena sebegitu lama belum juga mereka mampu menyentuh anak itu dengan golok mereka. Memang mengagumkan sekali gerakan Joko Wandiro. Anak ini cerdik sekali dan maklum bahwa empat orang lawannya kuat-kuat pula memegang senjata tajam, ia tidak mau melawan dengan kekerasan, melainkan cepat menggunakan Aji Bayu Tantra, yaitu ilmu meringankan tubuh sambil berloncatan ke sana ke mari, mengelak ke kanan kiri, menyelinap di antara kilatan dan sambaran golok.

"Jangan takut, Joko, kubantu!" tiba- tiba terdengar teriakan Endang Patibroto yang sudah tidak punya lawan lagi. Gadis cilik ini berlari hendak mengambil cundriknya, akan tetapi melihat itu, dua orang perampok meninggalkan Joko Wandiro dan menerjang si gadis cilik.

Sabetan pertama pada kepalanya dapat dielakkan oleh Endang Patibroto yang cepat membungkuk untuk mengambil cundriknya. Dalam keadaan membungkuk inilah perampok ke dua sudah menggerakkan golok hendak membacoknya!

"Endang, awas ...... !"

Saking khawatirnya melihat bahaya mengancam Endang, Joko Wandiro melesat meninggalkan kedua orang pengeroyoknya dan karena lompatannya ini dilakukan sambil mengerahkan Bayu Tantra, tubuhnya melayang dan tahu-tahu telah berada di atas tengkuk si muka pucat yang hendak membacok Endang. Dalam keadaan seperti itu, Joko Wandiro tidak ingat untuk menggunakan ilmu silat lagi, ia segera mencengkeram ke depan sambil berjongkok di atas tengkuk dan pundak dan begitu jari tangannya bertemu benda lunak di depan, terus ia mencengkeram dan menarik.

"Auggghhhh!" Si muka pucat berteriak kesakitan karena cengkeraman itu tepat mengenai mukanya. Celakanya jari tangan yang kecil itu ada yang memasuki lubang hidungnya sehingga ketika Joko Wandiro mencengkeram dan menarik, sebagian hidung si muka pucat menjadi semplok (pecah) dan darah mengucur keluar. Lebih sialan lagi baginya, kawannya yang melihat Joko Wandiro jongkok di atas pundak si muka pucat, cepat mengayun goloknya membacok. Joko Wandiro secepat burung terbang telah melompat turun dari pundak si muka pucat itulah yang menjadi makanan golok. Si muka pucat mengeluh lirih dan roboh terkulai seperti kain basah.

Tiga orang perampok yang lain menjadi makin marah dan mengamuk dengan golok mereka diobat-abitkan. Terpaksa Joko Wandiro dan Endang Patibroto hanya menggunakan kegesitan tubuh mengelak ke sana sini. Pada saat itu tampak bayangan orang berkelebat seperti kilat menyambar-nyambar cepatnya dan berturut-turut tiga orang perampok itu berjatuhan, golok mereka terlempar. Sebelum kedua orang anak itu tahu apa yang terjadi, tahu-tahu mereka telah dikempit seorang kakek tua yang membawa mereka lari secepat terbang!

Betapapun mereka berdua berusaha meronta dan melepaskan diri, sia-sia belaka dan saking cepatnya si kakek ini "terbang", Joko Wandiro dan Endang Patilbroto merasa ngeri dan akhirnya mereka hanya meramkan mata dan menerima nasib!

*** 025 ***

Lanjut ke Jilid 026 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment