Ads

Sunday, December 23, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 028

◄◄◄◄ Kembali

Setelah kedua tangannya bebas, Wisangjiwo cepat melepaskan cambuk Sarpokenoko yang melilit lehernya. Ia merasa betapa kedua pergelangan tangannya sakit-sakit setelah terlepas daripada belenggu, dan hampir sukar digerakkan karena darahnya tidak lancar jalannya. Karena itu, ia lalu memencet-mencet kedua pergelangan tangannya untuk memperlancar jalan darahnya.

Kartikosari berdiri menanti sambil memandang dengan senyum mengejek, sama sekali tidak takut melihat musuhnya bebas dan sudah memegang sebatang cambuk. Akan tetapi ketika ia melihat ke arah jari-jari tangan yang bergerak-gerak memencet-mencet pergelangan tangan itu, tiba-tiba ia menjadi pucat, menjerit lirih dan tubuhnya terhuyung-huyung hendak roboh!

Pujo kaget sekali dan cepat ia merangkul pundak isterinya agar tidak sampai jatuh. Mendapatkan kesempatan ini, Wisangjiwo yang tahu bahwa nyawanya di tepi jurang kematian itu lalu melarikan diri. Pujo menjadi marah dan melepaskan rangkulannya dan pundak Kartikosari sambil membentak.

"Jahanam busuk hendak lari ke mana?" Akan tetapi sebelum ia sempat meloncat dan mengejar, lengannya dipegang Kartikosari yang mencegahnya. Pujo kaget dan heran, menoleh dan memandang dengan kening berkerut.

"Jangan kejar dia .... !"

"Mengapa? Aku harus bunuh dia!"

Kartikosari menggeleng kepala dan wajah yang ayu itu nampak kecewa.

"Bukan dia ...... ahhhh, bukan dia ...... "

"Nimas Sari ...... apa maksudmu?"

Pujo memegang pundak isterinya dan menatap wajah yang sudah bertahun-tahun ia rindukan ini.

"Bukan dia orangnya ...... ah, selama bertahun-tahun ini aku menjatuhkan dendam kepada orang yang sama sekali tidak berdosa, dan agaknya engkau juga, kakangmas Pujo. Aduh, makin payah penanggungannya kalau begini !"

Kartikosari merenggutkan tangannya yang dipegang suaminya, dan membanting-banting kakinya dengan marah. Tergetar hati Pujo menyaksikan ini. Terbayang depan matanya betapa dahulu isterinya juga membanting-banting kakinya kalau sedang marah-marah dalam kemanjaan. Akan tetapi sekarang lenyaplah sikap manja itu, dan kemarahannya benar-benar tidak dibuat-buat.

"Sari ...... apa maksudmu? Kau bilang bahwa bukan Wisangjiwo orangnya? Bukan dia musuh kita?"

Dalam suara Pujo terkandung kegetiran dan kepahitan, bahkan terbayang keraguan dan kecurigaan. Selama sepuluh tahun bertapa ini, perasaan Kartikosari peka sekali maka cepat ia membalikkan tubuh menoleh, menatap wajah suaminya dengan pandang mata seakan-akan menembus jantung Pujo.

"Kau kau masih tak berubah! Kau laki-laki penuh cemburu! Kau menyangka aku sengaja melindungi dia, bukan? Celaka !"

Merah wajah Pujo. Ingin ia memukul mukanya sendiri. Memang tak dapat disangkalnya, ada perasaan dan dugaan demikian itu tadi menyelinap dalam benaknya. Ia menunduk, lalu tiba- tiba ia menjatuhkan diri berlutut di depan isterinya.

"Nimas Sari, isteriku jangan kau memandangku seperti itu....... ah, isteriku, kau tidak tahu betapa hebat kesengsaraanku selama sepuluh tahun ini. Kartikosari, kau kembalilah kepadaku, nimas. Jangan kautinggalkan aku lagi. Aku percaya kepadamu, biarlah dewata menghancur leburkan diriku kalau aku tak percaya kepadamu. Aku cinta padamu, nimas, dan aku tidak sanggup hidup jauh daripadamu. Marilah, nimas, mari kita bangun kembali rumah tangga kita. ......

"Tidak ...... ! Tidak ...... kakangmas Pujo. Belum tiba saatnya!"

"Nimas Sari ...... tega benarkah engkau membiarkan aku hidup merana seperti orang gila tidak kasihankah engkau kepadaku ...... ?"

"Kakangmas Pujo, coba kau ingat-ingat, alangkah serupa keadaan kita sekarang ini dengan sepuluh tahun yang lalu di dalam guha, hanya akulah waktu itu yang memohon-mohon akan tetapi engkau yang membalas dengan penghinaan dan fitnahan keji ...... "

"Aduh, nimas ....... ampunkahlah aku. Ketika itu aku gila oleh malapetaka yang menimpa kita, aku gila dan tetap bersikap tidak adil kepadamu, nimas. Namun kegilaanku itu telah kutebus dengan penderitaan hidup bertahun-tahun. Kauampunkanlah aku, nimas ...... dan marilah kita hidup bersama kembali, membangun cinta kasih kita yang porak-poranda dilanda badai nimas Sari, aku selamanya tak pernah kehilangan cinta kasihku kepadamu dan aku tahu bahwa kaupun selalu mencintaiku, nimas ....... "

Suara Pujo memelas sekali. Melihat dia berlutut mengembangkan kedua lengan, dengan suara gemetar dan muka pucat, mata penuh permohonan, mulut seperti orang hendak menangis, hati siapa yang kuat menahan? Apalagi hati Kartikosari yang memang mencinta suaminya, serasa ditusuk-tusuk jarum rasa jantungnya. Ingin ia menjatuhkan diri berlutut, membiarkan dirinya di dalam pelukan suaminya yang aman sentausa, membiarkan dirinya dibelai dan dicumbu laki-laki yang setiap malam ia rindukan dan impikan. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya. Ia membuang muka untuk menyembunyikan air matanya yang bercucuran membasahi pipi, tangan kirinya ia goyang-goyang perlahan, kemudian berkatalah wanita ini dengan suara bercampur isak.

"Belum tiba waktunya, kakangmas. Engkau belum berhasil menghukum orang yang mendatangkan aib dan sengsara kepada kita, bagaimana kau ada muka untuk mengajak aku kembali? Kakangmas Pujo, sebelum kulihat dia yang telah merusak kebahagiaan kita itu menggeletak tak bernyawa di depan kakiku, mana mungkin aku dapat kembali kepadamu? Tadinya kusangka Wisangjiwo orangnya ah, kiranya bukan dia...... bukan dia ...!" Suara Kartikosari kecewa sekali dan kini ia menangis betul-betul.

"Kalau begitu, siapakah, nimas? Kau sungguh membikin hatiku bingung. Bukan sekali-kali aku menyangka engkau melindunginya, ohhh, sama sekali tidak. Akan tetapi, ketika itu, bukankah Wisangjiwo si keparat yang bertempur dengan kita? Bukankah tidak ada orang lain terdapat di dalam guha di malam jahanam itu? Maka betapa aku takkan heran dan bingung mendengar kau memastikan bahwa bukan dia orangnya yang menjadi musuh besar kita?"

Kartikosari menghapus air matanya. Kini wajahnya menjadi beringas kembali, penuh kemarahan.

"Bukan dia memang! Kakangmas Pujo, kau tidak tahu dan karena pada waktu itu engkau seperti gila karena cemburu, maka aku tidak sempat memberi tahu. Sekarang ketahuilah bahwa biarpun pada waktu itu aku tidak berdaya karena terluka, namun aku masih berhasil mendatangkan cacad

kepada si laknat terkutuk. Aku telah berhasil menggigit sampai putus sebagian daripada kelingking tangan kirinya." Ia meraba-raba ke dalam kembennya, mengeluarkan sebuah benda kecil dan melemparkan nya kepada Pujo yang masih berlutut di atas tanah. "Inilah dia kelingking itu. Musuh kita sekarang tidak mempunyai jari kelingking pada tangan kirinya! Dan kulihat Wisangjiwo tadi masih lengkap jari tangannya, oleh karena itu tanpa ragu kukatakan bahwa bukan dia si jahanam malam itu! Nah, kakangmas, aku girang melihat engkau masih hidup dan selamat serta sehat. Biarlah kita berpisah sekarang dan baru kita mungkin berkumpul lagi kalau sudah berhasil aku melihat musuh kita menggeletak tanpa nyawa di depan kakiku. Selamat tinggal, kangmas ...... !"

Kartikosari memandang suaminya penuh kasih sayang yang mesra untuk beberapa lamanya, kemudian ia membalikkan diri sambil terisak dan lari dengan cepat sekali meninggalkan Pujo. Pujo hanya membisikkan nama isterinya, mukanya pucat dan matanya tertuju kepada benda kecil di depannya, sepotong jari kelingking yang sudah kering. Pikirannya berputar-putar membuatnya nanar dan pening. Terang bukan Wisangjiwo kalau begitu. Akan tetapi mengapa? Bagaimana? Siapa gerangan? Dan dia sudah membalas kepada keluarga Wisangjiwo! Dia sudah menculik Joko Wandiro. Ah, dia sudah bertindak terlalu jauh. Jadi Wisangjiwo tidak berdosa? Siapakah dia yang melakukan perbuatan biadab di malam jahanam itu. Orang tanpa kelingking kiri? Tiba-tiba Pujo meloncat berdiri, serasa pernah ia melihat orang yang tak berkelingking kiri. Akan tetapi lupa lagi ia di mana, dan lupa pula bilamana dan siapa. Ia membungkuk, mengambil benda mengerikan itu lalu menyimpannya dalam saku.

Ketika ia memandang ke depan, bayangan Kartikosari telah lenyap. Betapapun juga, agak terhibur hatinya bahwa isterinya masih hidup, isterinya masih cantik jelita dan ia tahu dari pandang mata isterinya bahwa Kartikosari masih mencintanya, bahwa isterinya itu menanti sampai musuh besar mereka itu terbalas, baru suka kembali kepadanya. Wajah Pujo mulai tampak berseri, tidak seperti biasanya muram-suram. Kini ada titik api menerangi wajahnya, titik api harapan yang membuat hidupnya berarti. Dengan girang ia lalu berlutut dan menelungkup di atas tanah di tempat Kartikosari tadi berdiri. Dibelai-belainya rumput hijau yang masih rebah terinjak kaki isterinya, diciuminya rumput itu penuh rindu sambil berbisik-bisik,

"Sari ...... Sari "

Pujo sama sekali tidak pernah mimpi bahwa tak jauh dari situ, di tengah hutan, Kartikosari juga menangis sambil memeluk batang pohon. Kartikosari menciumi tangannya yang tadi terpegang Pujo sambil berbisik,

"Kakangmas Pujo kasihan kau...... begitu kurus dan pucat...... tapi cinta kasihmu belum bersih daripada cemburu, kangmas.......sehingga tak berani aku bercerita tentang Endang... hu-hu-hukk...... kangmas, bilakah kita dapat berkumpul kembali..?"

Sampai lama wanita ini menangis, memeluki batang pohon dan bersambat menyebut-nyebut nama suaminya, kemudian baru ia pergi dengan cepat sekali. Hatinya pepat karena kini musuh besarnya menjadi teka-teki setelah ternyata bahwa Wisangjiwo tidak buntung kelingkingnya. Ia menduga-duga akan tetapi tetap saja tidak dapat menerka siapa gerangan laki-laki yang telah melakukan perbuatan biadab atas dirinya di malam jahanam dalam guha sepuluh tahun yang lalu itu.

*** 028 ***

Lanjut ke Jilid 029 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment