Ads

Sunday, December 23, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 029

◄◄◄◄ Kembali

Kenyataan bahwa kakek tua renta yang rambut dan cambangnya sudah putih semua itu memondong mereka dengan sikap hati-hati, yang wajahnya membayangkan keramahan dan larinya secepat terbang, membuat Joko Wandiro dan Endang Patibroto akhirnya tidak meronta-ronta lagi dan mandah saja dibawa lari. Baik Endang Patibroto maupun Joko Wandiro adalah anak-anak yang cerdik dan mereka dapat menduga bahwa kakek ini tentulah bukan orang yang mempunyai niat buruk terhadap mereka.

Joko Wandiro pernah mendapat pesan ayahnya bahwa kelak kalau ayahnya meninggalkannya, dia akan disuruh tinggal bersama seorang resi yang sakti mandraguna, yaitu kakek gurunya sendiri yang kata ayahnya bernama Resi Bhargowo dan tinggal di tepi Laut Selatan sebelah barat. Kalau kakek gurunya itu seperti kakek ini saktinya, alangkah senang hatinya.

"Kek, kami akan kaubawa ke mana, kek?" Akhirnya Joko Wandiro tak dapat menahan lagi hatinya dan bertanya.

Kakek itu tertawa tanpa memperlambat larinya.

"Kubawa ke tempat tinggalku."

"Tetapi ayah akan mencari-cariku, kek! Dia kan kebingungan tidak tahu ke mana aku kaubawa pergi," kata pula Jo ko Wandiro.

"Heh-heh-heh, biarlah, kelak juga kau akan bertemu kembali dengan ayahmu."

Kakek itu lari makin cepat lagi sehingga suara angin bertiup keras di telinga kedua orang anak itu.

"Kakek, kalau ibuku tahu kau menculikku, tentu kau akan dibunuh!" tiba-tiba Endang Patibroto berkata, suaranya nyaring, penuh ancaman.

"Ha-ha-ha, ibumu takkan berani membunuh aku, angger!"

Endang Patibroto mengerutkan keningnya. Ia seorang anak yang keras hati dan tidak mau kalah. Ia menganggap ibunya seorang yang paling sakti di dunia ini, masa tidak berani menghadapi kakek ini? Karena ibunya kalah tua barangkali?

"Kalau ibu tidak berani, aku juga punya kakek yang sakti, kau tentu akan dicekik!" katanya mendongkol.

Namun kakek itu malah makin keras tertawa dan tidak menjawab. Sementara itu, diam-diam Joko Wandiro memperhatikan gerak kaki kakek yang menggendongnya dan ia amatlah kagum. Kedua kaki kakek itu benar-benar seperti tidak menyentuh bumi, tidak ada suaranya namun amatlah cepat larinya, dan amat tinggi loncatannya.

"Kek, kau hebat sekali. Akan tetapi belum tentu kakek akan dapat menangkan kakekku!" kata Joko Wandiro. "Kakek guruku amat sakti."

"Kakek gurumu? Siapa dia?"

"Kakek guruku adalah guru ayahku bernama Resi Bhargowo!"

"Wah, bohong! Kau tidak tahu malu!" Tiba-tiba Endang Patibroto berteriak marah.

"Eh, eh, mengapa kau marah-marah dan memaki orang?" Joko Wandiro menegur.

"Kau tak tahu malu! Resi Bhargowo adalah kakekku! Ayah ibuku adalah murid Resi Bhargowo yang tinggal di Bayuwismo. Bagaimana kau berani mengaku-aku sebagai kakek gurumu? Cih, tak bermalu!"

"Kau yang tak tahu malu. Ayahku adalah murid terkasih Resi Bhargowo!"

"Bohong!"

"Kau yang bohong!"

"Kek, turunkan aku. Biar kuhajar mulutnya yang lancang!" Endang Patibroto marah-marah.

"Boleh kaucoba!" tantang Joko Wandiro.

Kakek itu tertawa, akan tetapi keningnya berkerut dan ia menggeleng- geleng kepalanya. Ia berhenti berlari, menurunkan Endang Patibroto dan memegang muka yang ayu itu dalam kedua tangannya, memandangi penuh perhatian, kemudian berkata,

"Kau memang anaknya, tak salah lagi. Cah ayu, kau adalah cucuku. Ibumu, Kartikosari, adalah puteri tunggalku."

Endang Patibroto yang sedang marah kepada Joko Wandiro itu kini terbelalak memandang kakek itu. Wajah kakek yang menyeramkan dan menimbulkan rasa takut inikah kakeknya?

"Siapakah engkau, kek?"

"Aku Bhagawan Rukmoseto, cucuku."

"Ah, kalau begitu kau tak mungkin kakekku! Kakekku bernama Resi Bhargowo!"

"Ha-ha-ha, memang sepuluh tahun yang lalu namaku Resi Bhargowo, akan tetapi sekarang julukanku Bhagawan Rukmoseto. Lihatlah, rambutku sudah putih semua. Cucuku yang manis, namamu siapakah?"

"Namaku Endang Patibroto."

Diam-diam kakek itu terkejut. Mengapa Kartikosari menamakan puteri-nya demikian? Rahasia apakah yang telah terjadi sehingga puterinya itu berpisah dari suaminya? Kemudian ia berpaling kepada Joko Wandiro dan memandang tajam. Bocah inipun sejak tadi mendengarkan dengan mata terbelalak. Tiada hentinya ia memperhatikan kakek ini dan menjadi ragu-ragu. Jadi kakek inikah guru ayahnya?

Melihat Joko Wandiro, Bhagawan Rukmoseto juga kagum. Anak ini bukan anak sembarangan dan sudah sepatutnya kalau menjadi cucu muridnya pula. Akan tetapi mengapa anak ini mengaku sebagai putera Pujo? Sering ia melihat dari jauh betapa seperti Endang Patibroto dilatih Kartikosari, anak laki-laki ini digembleng oleh Pujo secara hebat.

"Anak baik, sekarang tiba giliranmu. Kau anak siapa?"

"Ayahku Pujo dan menurut ayah guru ayah bernama Resi Bhargowo " Ia meragu.

Bhagawan Rukmoseto tersenyum.

"Memang tidak keliru. Ayahmu itu muridku, angger. Akulah kakek gurumu."

Mendengar ini, serta-merta joko Wandiro menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. Makin girang hati kakek itu dan ia mengelus-elus kepala Joko Wandiro.

"Siapakah namamu, nak?"

"Namaku Joko Wandiro, eyang."

"Ayahmu bernama Pujo. Dan ibumu? Siapakah ibumu?"

Joko Wandiro hanya menggeleng kepala. "Tidak tahu, eyang. Ayah tidak pernah menceritakan tentang ibu,"

Si kakek mengelus-elus jenggotnya lalu berpaling kepada Endang Patibroto.

"Dan kau, angger. Siapakah nama ayahmu?"

Gadis cilik itu menggeleng kepala keras-keras.

"Tidak tahu!"

Berkerut kening yang sudah putih itu.

"Ah, cucu-cucuku, mari kita lanjutkan perjalanan. Kalian ikut bersamaku mempelajari ilmu. Dunia sedang kacau- balau, permusuhan terjadi di mana- mana, perebutan kekuasaan membuat orang saling bunuh, iblis dan setan merajalela, lebih baik kalian belajar ilmu bersama kakek di tempat sunyi. Hayo!"

Tanpa menanti jawaban kedua orang anak itu, Bhagawan Rukmoseto sudah menyambar tubuh mereka lagi dan di lain saat ia sudah berlari secepat terbang meninggalkan tempat itu, menuju ke timur. Bhagawan Rukmoseto tinggal di Pulau Sempu yang sunyi. Untuk menyeberang ke pulau kosong itu ia menggunakan sebuah perahu yang disembunyikannya di dalam semak-semak di tepi Laut Selatan.

Baik Joko Wandiro maupun Endang Patibroto tadinya merasa tidak senang karena merasa dipaksa dan diculik oleh orang tua yang mengaku menjadi kakek mereka itu, akan tetapi setelah kakek itu memastikan bahwa ayah Joko Wandiro dan ibu Endang Patibroto kelak pasti akan datang ke situ, mereka berdua merasa terhibur. Hanya anehnya, di antara kedua orang anak itu seakan-akan terdapat rasa saling iri, seakan-akan mereka bersaing dan tidak mau saling mengalah sehingga diam-diam kakek pertapa itu merasa prihatin sekali, juga terheran-heran. Apalagi ketika ia mencoba tingkat mereka, ia mendapat kenyataan bahwa tingkat mereka itu tidak banyak selisihnya dan memang tidak salah lagi, ilmu yang mereka pelajari adalah ilmu daripadanya, yaitu Bayu Tantra dan pukulan Gelap Musti. Maka mulailah ia menggembleng keduanya dengan ilmu-ilmu yang tinggi, karena kakek yang waspada ini maklum bahwa kedua orang cucunya ini akan hidup dalam jaman yang kacau dan penuh dengan perang.

Juga dalam mempelajari ilmu yang diturunkan kakek itu, kedua orang anak ini selalu berlomba dan bersaing. Namun sifat ini sesungguhnya malah membuat mereka cepat sekali maju. Sifat tidak mau kalah dan ingin mengatasi yang lain inilah justeru membuat mereka tekun sekali berlatih dan kemajuan yang mereka peroleh luar biasa sekali. Kurang lebih setahun kemudian semenjak mere katinggal bersama Bhagawan Rukmoseto, pada suatu senja kakek itu tampak datang mendayung perahu ke pulau itu dengan wajah penuh kerut-merut dan sinar mata sayu. Begitu ia melompat ke atas pulau, ia segera memanggil kedua orang cucunya dan masuklah mereka bertiga ke dalam pondok kecil yang menjadi tempat tinggal mereka.

Dua orang anak itu bersila, bersujut di depan kakek ini dengan hati berdebar. Melihat wajah yang biasanya berseri dan ramah itu kini kelihatan marah dan gelisah, dua orang anak ini dapat menduga pasti telah terjadi hal yang hebat.

"Cucu-cucuku, aku telah bertemu dengan orang tua kalian dan mereka telah kuberi tahu bahwa kalian berada bersamaku."

Endang Patibroto bersorak girang.

"Eyang, kenapa ibu tidak diajak ke sini?"

"Sstttt ..... !" Joko Wandiro mencela.

Gadis cilik itu menjebi kepadanya dan mengernyitkan hidung mengejek. Sejenak keduanya saling melotot. Bhagawan Rukmoseto menarik napas panjang.

"Cucu-cucuku, kalian ini biarpun bukan saudara sekandung, akan tetapi terhitung saudara seperguruan. Mengapa tidak bisa akur dan selalu bercekcok saja?"

"Dia yang selalu mulai dulu, eyang," kata Joko Wandiro.

"Ah, tidak, eyang. Dia itu anak laki- laki tidak pernah mau mengalah."

"Aaahhh !"

"Aahhhhh !"

Kembali keduanya saling pandang melotot. Bhagawan Rukmoseto tersenyum. Kakek ini memang telah menjumpai Pujo dan juga telah menjumpai puterinya. Mereka telah mengaku terus terang apa yang terjadi sepuluh tahun yang lalu, maka ia tahu bahwa Joko Wandiro sesungguhnya adalah putera Wisangjiwo, sedangkan Endang Patibroto puteri Pujo dan Kartikosari. Akan tetapi bukan hal ini yang membuat kakek itu pulang dengan wajah keruh. Melainkan apa yang ia lihat dan dengar tentang keadaan di Kerajaan Kahuripan. Permusuhan menjadi-jadi di antara Pangeran Tua dan Pangeran Muda.

Kini permusuhan dan persaingan terjadi secara terang-terangan, tidak sembunyi-sembunyi lagi seperti dulu. Bentrokan antara jagoan-jagoan mereka setiap hari terjadi. Para ponggawa terpecah dua, memihak pilihan masing-masing. Juga para adipati di luar kerajaan mulai terpecah-pecah bahkan sudah mulai saling serang sendiri. Perang saudara yang hebat sudah membayang, takkan mungkin dapat dicegah lagi. Bunuh-membunuh mulai terjadi. Kedua pihak saling menarik bala bantuan, orang-orang sakti dan para pertapa yang biasanya bersembunyi di gunung-gunung dan pekerjaannya hanya mengejar ilmu kebatinan dan bertapa memujikan selamat dan sejahtera bagi dunia dan isinya, kini mulai turun gunung, keluar dari tempat sembunyi masing-masing untuk ikut berlomba memperebutkan kedudukan Kebajikan menyuram, kekuasaan iblis dan setan menonjol.

Dan kini, di depan matanya sendiri, dua orang anak kecil yang masih bersih pikiran dan hatinya, agaknya tidak terluput pula dari pengaruh hawa jahat yang merajalela menguasai dunia. Ia lalu menggerakkan tangannya, merangkul kedua orang anak itu di kanan kiri.

"Endang Patibroto, kau adalah cucuku. Ibumu itu puteri tunggalku. Oleh karena itu engkau harus taat kepadaku. Dan kau, Joko Wandiro, biarpun bukan keluarga, namun sama saja. Kau cucu muridku dan akupun sayang kepadamu. Kalian ini ada hubungan keluarga seperguruan, oleh karena itu sama sekali tidak boleh bermusuhan. Kelak kalian harus bantu-membantu tidak boleh berselisih dan bermusuhan. Ketahuilah, dunia sedang kacau dan tenaga kalian kelak amatlah dibutuhkan untuk membantu para dewata memulihkan ketentraman. Kini orang-orang jahat yang memiliki kesaktian luar biasa sedang merajalela, oleh karena itu kalian harus tekun belajar di sini. Marilah, cucu-cucuku, mari ikut denganku. Ada semacam rahasia yang harus sekarang juga kuberitahukan kalian sebelum terlambat. Mari kalian ikut denganku."

Keluarlah mereka bertiga dari dalam pondok. Hari telah senja dan matahari telah bersembunyi di langit barat, hanya tinggal cahaya layung (merah kekuningan) yang masih menerangi sebagian permukaan bumi bagian barat. Bhagawan Rukmoseto menggandeng tangan Endang Patibroto di kiri sedangkan Joko Wandiro berada di kanannya. Mereka berjalan perlahan menuju ke barat, menuju ke sinar layung kemerahan, mendekati pantai pulau sebelah barat yang ditumbuhi pandan. Setelah mereka tiba dekat pandan yang memenuhi tempat itu, terdengar suara keras dan burung-burung camar yang menjadikan tempat itu sebagai sarang, beterbangan sambil mengeluarkan suara hiruk-pikuk, agaknya marah karena tempat mereka terganggu. Akan tetapi Bhagawan Rukmoseto terus mengajak mereka menyelinap di antara pandan-pandan yang tebal dan akhirnya mereka tiba di depan sebuah guha kecil yang tersembunyi di antara pandan.

Lanjut ke Jilid 030 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment