Ads

Sunday, December 23, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 030

◄◄◄◄ Kembali

"Cucu-cucuku, di tempat ini tersimpan sebuah benda yang pada saat sekarang ini dijadikan perebutan semua manusia di dunia. Kalau ada yang tahu bahwa benda ini berada di sini, hemmm........ agaknya nyawa kita akan terancam bahaya maut."

"Ihhh, benda apakah itu, eyang?"

"Benda apakah eyang dan mengapa eyang menyimpannya di sini?" tanya pula Joko Wandiro.

Kakek itu menarik kedua orang cucunya duduk di atas batu depan guha, lalu bercerita.

"Dengarlah baik-baik, cucuku. Hanya kepada kalianlah aku mempercayakan benda ini, dan hanya kepada kalianlah aku mempertaruhkan kepercayaanku. Ketahuilah, Kerajaan Mataram yang kemudian disebut Kerajaan Medang dan kini disebut Kahuripan, memiliki sebuah pusaka yang menjadi lambang kejayaan kerajaan. Apabila pusaka itu lenyap dari kerajaan, hal itu berarti bahwa kerajaan akan. menyuram, berarti akan terjadi perang dan perebutan kekuasaan. Dahulu beberapa kali pusaka itu lenyap dan akibatnya memang hebat.

Belum lama ini, pusaka itu lenyap pula tercuri oleh orang jahat, dan inilah sebabnya mengapa kini Kerajaan Kahuripan mulai menyuram dan mulailah terjadi perebutan kekuasaan antara Pangeran Tua dan Pangeran Muda. Tidak itu saja, malah orang-orang cerdik pandai mulai berlomba untuk mencari dan memperebutkan benda keramat itu, oleh karena sesungguhnya benda itu luar biasa sekali, siapa yang memilikinya menjadi seorang yang paling sakti dan mempunyai wahyu mahkota, berhak menjadi raja! Secara kebetulan sekali, pusaka itu terjatuh ke dalam tanganku, ketika dibawa lari penjahat dan kusimpan di sini."

"Aiihhhh ..... !"

"Hebat ..... !"

"Hemm, mengapa kalian ribut-ribut?" Kakek itu memandang tajam.

"Oh, tidak, eyang. Hanya..... kalau begitu tentu eyang berhak menjadi raja?" kata Endang Patibroto.

Kakek itu tertawa.

"Tidak, cucuku. Aku seorang yang masih setia kepada sang prabu di Kahuripan. Sang prabu sendiri mengundurkan diri tidak suka lagi menjadi raja dan kini menjadi pertapa, masa aku seorang pendeta ingin menjadi raja? Tidak. Hanya aku merasa prihatin menyaksikan keadaan perebutan kekuasaan itu. Kalau mereka itu tahu bahwa pusaka berada di sini, sudah pasti mereka akan memperebutkannya dan keadaan akan menjadi lebih geger lagi. Aku sudah tua, aku tidak ingin menduduki kemuliaan, bahkan tidak ingin aku terseret ke dalam urusan-urusan kerajaan. Akan tetapi kalian adalah orang-orang muda yang harus mengisi hidup kalian dengan darma sebagai keturunan satria dan pertapa. Oleh karena itulah, kalian akan kugembleng di pulau ini dan pusaka itu kuserahkan kepada kalian. Kelak harus kalian yang mengembalikan pusaka itu ke kerajaan, akan tetapi harus kalian kembalikan kepada seorang raja yang benar-benar bijaksana, karena sekali pusaka itu terjatuh ke dalam tangan raja lalim, rakyat tentu akan celakalah."

Joko Wandiro adalah seorang yang cerdik.

"Eyang, mengapa eyang mengajak aku dan Endang sekarang ke tempat ini? Kami berdua masih kecil, bagaimana mampu melindungi pusaka itu? Ataukah, eyang mengajak kami hanya agar mengetahui tempatnya saja?"

Bhagawan Rukmoseto mengelus kepala Joko Wandiro.

"Kau benar. Bukan hanya untuk mengetahui tempatnya, melainkan akan kuberikan sekarang juga."

"Sekarang ..... ??" Endang Patibroto bersorak, girang dan kaget.

Bhagawan Rukmoseto mengangguk- angguk dan mengelus jenggotnya.

"Orang-orang di dunia hitam sudah mulai tahu akan tempat persembunyianku ini dan mulai curiga. Tak lama lagi tentu mereka akan mencari ke sini dan akan memaksaku mengaku. Oleh karena itu, biarlah pusaka itu kuberikan kepada kalian berdua karena mereka tentu tidak akan mengira bahwa pusaka yang sepenting itu kuberikan kepada dua orang anak kecil. Aku hanya bertindak menurutkan naluri dan agaknya Dewata yang memberi petunjuk kepadaku, cuku-cucuku."

Kakek itu lalu merangkak memasuki guha kecil itu dan tak lama kemudian ia sudah keluar lagi membawa sebuah bungkusan kain kuning. Dua orang anak itu duduk bersila dan memandang dengan mata terbelalak. Apalagi ketika kakek itu membuka bungkusan kain kuning, Endang Patibroto berseru girang.

"Golek kencono (boneka emas)!! Aduhhh bagusnya! Eyang, berikan aku saja !"

Bhagawan Rukmoseto tertawa, akan tetapi tiba-tiba ia memandang ke sekelilingnya seperti orang ketakutan.

"Kalian mendengar sesuatu tadi?"

Dua orang anak itu menggeleng kepala. Adapun Joko Wandiro merasa kecewa karena kiranya pusaka itu hanyalah sebuah boneka emas, mainan seorang anak perempuan!

"Pusaka ini macam dua," katanya berbisik, "karena itu akan kujadikan dua dan seorang menyimpan sebuah. Cucuku Endang, kau boleh memilih. Nah, kau terimalah ini dan kaupilih, yang mana kau suka."

Endang Patibroto menerima patung kencana itu, memutar-mutar dan memeriksa lalu tanpa ia sengaja tangan kanannya kena cabut gagang keris di sebelah bawah. Sinar yang menggiriskan hati berkelebat ketika keris pusaka Brojol Luwuk tercabut.

"Aku pilih ini, eyang ....... !"

Endang Patibroto berseru girang dan gadis cilik ini melemparkan patung emas yang menjadi warangka itu kearah Joko Wandiro! Joko menerima dan bibirnya cemberut. Untuk apa sebuah patung emas bagi seorang anak laki-laki? Ia memandang ke arah keris di tangan Endang Patibroto dengan penuh kagum dan ingin. Juga Bhagawan Rukmoseto memandang anak perempuan itu dengan tercengang. Dia terheran-heran mengapa anak itu memegang keris sedemikian cocok, seakan-akan memang keris itu sudah sejak dahulu dikenalnya. Keris itu memang bukan keris besar, hanya keris tanpa ganja seperti sebuah keris biasa, akan tetapi begitu digerakkan sedikit saja keluarlah sinar yang aneh. Ketika kakek itu menoleh ke arah Joko Wandiro, ia melihat anak laki-laki itu memandangi patung. Anak ini dapat membawa diri, pikirnya. Ia tahu bahwa anak ini kecewa mendapat bagian patung, akan tetapi sama sekali tidak diperlihatkan.

"Joko, benda di tanganmu itu bukanlah benda biasa. Itulah benda keramat yang menjadi pujaan sekalian raja di Mataram dahulu. Sekarang dengarlah kalian baik-baik. Kedua pusaka itu seharusnya menjadi satu. Patung itu merupakan warangka atau tempat pusaka di tangan Endang itu. Dan pusaka itu adalah pusaka Mataram yang menjadi lambang kemakmuran Mataram. Kini kerajaan sedang kacau balau. Orang-orang jahat memperebutkan kedudukan dan saling berlomba

mendapatkan singgasana. Oleh karena itulah belum waktunya pusaka ini kembali ke Mataram. Maka aku sengaja memberikan kepada kalian berdua dengan dipisah, agar tidak mudah kedua-duanya jatuh ke tangan orang jahat. Endang dan kau Joko. Setelah pusaka ini berada di tangan kalian, sekarang juga kalian harus mencari tempat persembunyian, kalian harus sembunyikan pusaka-pusaka itu di tempat yang aman, yang hanya kalian saja yang mengetahui. Dan ingat, biarpun nyawa kalian terancam, jangan sekali-kali kalian beritahukan kepada orang lain tentang pusaka itu. Kalian adalah cucu-cucuku, maka aku mempercayakan pusaka ini kepada kalian. Dapatkah kalian kupercaya?"

"Aku akan melindungi pusaka ini dengan nyawaku, eyang!" Endang Patibroto berkata sambil mainkan keris itu. Ia cekatan dan lincah sehingga ketika ia menggerakkan kerisnya tampak sinar berkilauan dan terdengar suara seperti halilintar.

"Saya akan mentaati perintah eyang guru," jawab Joko Wandiro.

"Bagus, kalau begitu sekarang juga kalian lekas pergi menyembunyikan pusaka-pusaka itu. Aku menanti di sini."

Tanpa menanti perintah dua kali karena anak-anak itu memang cerdik dan tahu bahwa pusaka-pusaka di tangan mereka itu amat diingini orang-orang jahat di dunia, Joko Wandiro dan Endang Patibroto berlari pergi, seorang ke barat seorang ke timur. Joko Wandiro tiba di tepi pulau itu yang penuh batu karang dan di situ terdapat banyak guha-guha batu. Akan tetapi guha itu demikian banyaknya dan bentuknya serupa. Bagaimana kalau kelak ia lupa lagi? Pula, tempat seperti ini malah mencurigakan orang. Ia harus menyembunyikan patung kecil itu di tempat yang tidak disangka- sangka orang, pikirnya. Akan tetapi di mana? Tiba-tiba wajahnya yang tampan berseri ketika ia memandang kepada sebatang pohon randu yang besar.

Pulau ini kosong, tidak ditinggali orang. Andaikata ada orang di pulau itu membutuhkan kayu, tak mungkin susah-susah menebang pohon besar ini, pikirnya. Banyak terdapat kayu di sekitar tempat itu, tinggal ambil saja. Pula, kayu randu adalah kayu yang lemah, tidak baik untuk dibuat apapun, kurang kuat. Joko Wandiro lalu mengambil sebuah batu yang tajam runcing dan dengan senjata ini naiklah ia ke atas pohon randu. Di ujung batangnya yang paling atas, ia mulai membuat lubang dengan batu itu, dengan perlahan-lahan dan hati-hati.

Karena kayu randu memang tidak keras, akhirnya ia berhasil membuat sebuah lubang cukup besar dan disembunyikannya patung emas itu ke dalam lubang yang segera ia tutup dengan kulit kayu randu yang tadi ia buka. Tempat yang amat aman dan tak seorangpun manusia akan menyangka bahwa di dalam batang randu itu terdapat sebuah pusaka yang dijadikan rebutan orang sedunia! Girang sekali hati Joko Wandiro. Akan tetapi ketika ia membuang batu tajam itu dan mulai merayap turun, tiba- tiba kakinya terasa sakit bukan main dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika betisnya itu dililit seekor ular hijau sebesar ibu jari kaki yang menggigit tungkaknya. Ia berteriak dan pegangannya pada pohon terlepas, tubuhnya roboh terguling. Ia memegang tubuh ular itu dan merenggutkannya dari kaki, akan tetapi ular yang berwarna hijau itu membelit tangannya dan kini malah menggigit pergelangan tangannya. Seluruh tubuhnya terasa panas dan sakit-sakit,

"Aduh, eyang....... celaka " Ia berlari, dan dalam marahnya karena ular itu tidak dapat ia lepaskan dari lengan, iapun lalu menggigit leher ular hijau itu. Belum jauh ia berlari, tubuhnya sudah terguling roboh dan ia pingsan.

Ular itu masih menggigit pergelangan lengannya, akan tetapi ia sendiripun masih menggigit leher ular itu sampai hampir putus! Sambil menggigit Joko Wandiro mengisap dan mengisap terus saking marah dan bencinya sehingga tanpa ia sadari ia telah minum darah ular, darah berikut racun ular yang terasa manis!

Sementara itu, Endang Patibroto juga kebingungan ketika ia tiba di pantai timur. Pantai sebelah ini amat indah, penuh rumput dan terdapat beberapa belas batang pohon nyiur yang tinggi- tinggi. Kemana ia harus menyembunyikan sebatang keris itu? Ditanam dalam tanah? Hanya itulah cara yang ia ketahui. Ia memilih sebatang pohon yang paling besar, kemudian mulailah ia menggali tanah, mempergunakan keris pusaka itu! Agaknya para tokoh sakti di empat penjuru dunia akan meringis kalau melihat betapa pusaka yang mereka impi-impikan itu kini dipakai menggali tanah oleh seorang anak kecil, seakan- akan pusaka itu hanyalah sebatang pisau dapur saja! Mendadak Endang Patibroto terkejut. Hampir saja kepalanya tertimpa kelapa yang berjatuhan dari atas. Ia menengok ke atas dan alangkah kagetnya ketika melihat betapa buah-buah kelapa dari batang itu rontok semua dan daunnya menjadi kering, juga batang kelapa menjadi kering sama sekali. Ia tidak tahu bahwa pohon kelapa itu tidak kuat menerima hawa mujijat keris pusaka yang menggali tanah di bawahnya!

"He, bocah ayu, kau sedang apa di situ?"

Endang Patibroto kaget seperti disengat kalajengking. Ia tersentak dan mencelat berdiri, menyembunyikan keris di belakang tubuhnya sambil memandang. Kiranya, tanpa ia ketahui, ada sebuah perahu mendarat tak jauh dari tempat itu. Sebuah perahu kecil yang ditumpangi dua orang laki-laki yang memandangnya sambil menyeringai menakutkan. Seorang di antara mereka masih muda, mukanya pucat matanya juling. Yang ke dua sudah agak tua, akan tetapi mukanya kasar bercambang-bauk dan matanya melotot seperti hendak meloncat keluar dari tempatnya. Endang Patibroto mundur-mundur, tetap menyembunyikan kerisnya di belakang tubuh sambil memandang mereka yang meloncat ke darat.

"Ha-ha-ha, masih kecil sudah cantik jelita. Eh, cah ayu, apakah kau anak peri penjaga pulau kosong ini?" kata si muka pucat dengan sikap ceriwis sekali. "Mari beri pamanmu cium selamat datang, ya?"

"Jangan main-main, siapa tahu dia itu keluarganya. Eh, genduk (sebutan anak perempuan), tahukah kau di mana rumah bapa Resi Bhargowo?"

Endang Patibroto hanya menggeleng dan sepasang matanya yang lebar dan bening itu memandang tak pernah berkedip. Dua orang itu masing-masing membawa golok besar yang diselipkan di pinggang dan sikap mereka itu jelas membayangkan watak yang kasar dan kejam.

"Anak manis, kau tinggal bersama siapa di pulau ini? Mana ibumu? Wah,ibumu tentu masih muda dan cantik heh-heh!" Si juling berkata, lagi sambil mendekati.

"Adi Wirawa, jangan lupakan tugas kita. Kita di sini menyelidik, bukan bersenang-senang!" Si cambang-bauk menegur.

"Ah, kakang, bekerja saja tanpa senang-senang, membosankan. Anak ini manis sekali, ibunya tentu cantik. Biar kugendong dia dan kita ajak dia pulang, siapa tahu di rumahnya kita bisa bertemu dengan Resi Bhargowo, ha- haha! Hayo, nduk cah ayu, mari kugendong. Diupah cium, ya?"

Ia mendesak maju. Endang Patibroto masih mundur-mundur dan tangannya disembunyikan di belakang tubuh. Ketika si juling itu menubruk maju sambil tertawa-tawa, tiba-tiba dengan gerakan gesit Endang Patibroto miringkan tubuh, tangan kanannya menyambar ke depan laksana kilat cepatnya.

"Aduhhhh..... mati aku..... !!"

Sijuling itu terjengkang, menggelepar seperti seekor ayam dipotong lehernya, berkelojotan menggeliat-geliat kemudian tak bergerak lagi, tubuhnya kering dan hangus, mati seketika! Temannya berdiri terbelalak, matanya yang lebar itu makin lebar lagi dan kumisnya yang tebal menggetar-getar. Ia memandang anak perempuan itu dengan heran dan marah. Anak itu paling banyak berusia sepuluh atau sebelas tahun, dengan sebatang keris di tangan, bagaimana dapat membunuh temannya? Dan mengapa temannya itu tidak kelihatan terluka, akan tetapi mati sedemikian mengerikan, bajunya hangus semua, kulitnya juga hangus dan kering? Akan tetapi kemarahannya meluap-luap dan ia sudah mencabut goloknya yang lebar dan besar.

Lanjut ke Jilid 031 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment