Ads

Tuesday, December 25, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 034

◄◄◄◄ Kembali

"Bagaimana, kakangmas ? Kau .... kau terluka.. ?"

Pujo serasa mimpi. Benar-benar Kartikosari sekarang yang berada di dekatnya, memeluk pundaknya dan dengan wajah yang gelisah bertanya kalau-kalau ia terluka. Tanda kasih sayang terbayang jelas di wajahnya yang selalu dirindukannya itu. Tak dapat lagi ia menahan hasrat hatinya. Dirangkulnya leher isterinya, dibelai dan hendak diciumnya! Kartikosari membuang muka mengelak.

"Hussshh, orang lain melihat.... !"

Barulah Pujo teringat dan sadar cepat ia menarik tubuh Kartikosari bangun dan berdiri. Resi Telomoyo sudah berdiri pula, memandang dan menyeringai.

"Ho-ho-ho! Kebetulan sekali! engkau isterinya? Engkau isteri Pujo? Kalau begitu engkau tentu puteri Resi Bhargowo! Ha-ha, sungguh kebetulan.dengarlah engkau akan kelakuan suamimu yang bagus itu! Dia telah meng ....... "

"Bapa guru, diam !!!" Tiba-tiba Roro Luhito menjerit meloncat berdiri dan menubruk gurunya sambil menangis. "Bapa guru, haruskah aku menderita malu dan terhina di depan banyak orang lain ? Biarlah aku yang menghadapi Pujo!"

Roro Luhito adalah seorang wanita yang berwatak keras. Sebentar saja ia sudah berhasil menekan perasaannya. Matanya masih merah, akan tetapi tidak ada air mata mengalir turun. Dengan pandang mata penuh benci dan dendam . Ia memandang Pujo, dan hanya mengerling sejenak ke arah Kartikosari yang diam-diam ia puji kecantikannya.

"Pujo, kau tadi bilang bahwa kau tidak mempunyai permusuhan dengan aku. Sekarang, aku minta engkau sebagai seorang ksatria jantan, sebagai laki-laki sejati, di depan isterimu, kau ceritakanlah apa yang terjadi di Kadipaten Selopenangkep sepuluh tahun yang lalu! Kalau kau menceritakan kesemuanya dan memang tepat, biar aku mengalah dan pergi. Akan tetapi kalau sebaliknya aku pasti akan mengadu nyawa denganmu!"

"Kakangmas, siapakah dia ini dan kakek itu? Jangan takut, biarlah kuhadapi mereka!" Kartikosari hendak melangkah maju, akan tetapi Pujo memegang lengannya dan berkata halus,

"Jangan, nimas. Urusan ini adalah urusan salah faham dan fitnah, memang harus dibikin terang agar jangan menjadi jadi." Pujo melarang isterinya karena ia tahu bahwa biarpun Kartikosari kini agaknya memperoleh kemajuan pesat dengan ilmunya, namun belum tentu dapat mengatasi Resi Telomoyo yang demikian saktinya. Selain itu, ia kini percaya bahwa betul-betul aib yang menimpa diri Roro Luhito dan bahwa di balik peristiwa ini tentu terselip rahasia yang harus dipecahkan. Ia melangkah maju dan berdiri berhadapan dengan Resi Telomoyo dan Roro Luhito, terpisah dua meter saja jauhnya. Kartikosari masih digandengnya. Kemudian ia menarik napas panjang dan berkata,

"Roro Luhito dan juga paman Resi Telomoyo, harap suka dengarkan baik-baik penuturanku. Aku bersumpah demi kehormatanku sebagai satria kepada Hyang Maha Pamungkas, bahwa apa yang kuceritakan ini adalah yang sebenar-benarnya, tidak lebih maupun kurang daripada hal-hal yang sebenarnya terjadi."

Ia menarik napas panjang, mengajak isterinya duduk di atas pasir sambil mempersilakan kedua orang guru dan murid itu untuk duduk pula. Resi Telomoyo yang memang yakin bahwa orang muda di depannya ini bukan orang jahat, segera menjatuhkan diri duduk di pasir seenaknya, sedangkan Roro Luhito melihat tiga orang itu duduk, biarpun dengan ragu-ragu, akhirnya duduk pula bersimpuh, matanya menatap wajah Kartikosari yang cantik dan berwibawa . Diam-diam ia merasa iri betapa kedua suami isteri itu bergandeng tangan dengan sikap mesra, penuh cinta kasih.

"Sepuluh tahun yang lalu, aku mempunyai dendam sedalam lautan terhadap Wisangjiwo, dendam yang hanya dapat diselesaikan dengan menyabung nyawa. Oleh karena dendam itu semata maka pada malam hari itu aku menyerbu Kadipaten Selopenangkep. Maksud hatiku hendak mencari Wisangjiwo dan membunuhnya. Akan tetapi sayang sekali, Wisangjiwo tidak berada di kadipaten dan karena mata gelap saking besarnya rasa dendam kesumat, aku mengamuk, membunuh beberapa orang pengawal, melukai Adipati Joyowiseso, akan tetapi akhirnya aku tertangkap. Aku tetap tidak mau mengaku dendam apa yang kurasakan terhadap Wisangjiwo. Aku disiksa dan akhirnya dihukum perapat."

"Ohhh.......!"

Kartikosari yang belum mendengar cerita ini berseru kaget dan jari-jari tangannya yang halus mencengkeram tangan suaminya. Pujo menoleh kepadanya dan mengangguk-angguk, mengerling kepada Roro Luhito dan Resi Telomoyo lalu berkata,

"Lihat, isteriku sendiripun baru sekarang dapat mendengarkan ceritaku karena akibat perbuatan Wisangjiwo itu telah membuat kami suami isteri berpisah pula sampai sepuluh tahun!"

"Hemmm.......!"

Resi Telomoyo mengangguk-angguk dan menggaruk-garuk punggung serta kepalanya. Sejak tadi Kartikosari memperhatikan gerak-gerik Resi Telomoyo ini dan di dalam hatinya ia merasa geli dan baru sekarang ia melihat betapa kakek ini mirip benar, baik muka maupun gerak-gerik, dengan seekor kera putih yang besar!

"Hukuman perapat tidak berhasil membunuhku dan akhirnya muncullah Jokowanengpati yang pada malam hari itu turun tangan dan membuat aku tertangkap."

"Jokowanengpati murid uwa guru Empu Bharodo?" Kartikosari tercengang Pujo mengangguk.

"Dia menjadi tamu kadipaten ketika itu dan membantu kadipaten sehingga aku tertangkap. Akan tetapi ketika hokum perapat dijalankan dan tidak berhasil membunuhku, kakang Jokowanengpati datang dan membawaku kembali ke dalam tahanan. Ternyata dia bermaksud baik terhadap aku, mengingat kita masih saudara seperguruan. Dia membalik terhadap kadipaten, malam itu ia membebaskan aku, malah dia pula yang membantu menculik isteri Wisangjiwo dan puteranya, membantu aku keluar dari kadipaten dan setelah jauh baru dia menyuruhku cepat-cepat pergi membawa isteri Wisangjiwo dan puteranya."

"Ahhh, kau lakukan hal itu ?? "

Suara Kartikosari benar-benar membayangkan hati kaget dan heran. Pujo menepuk-nepuk lengan isterinya, menyabarkan hatinya.

"Karena tidak berhasil mendapatkan Wisangjiwo, aku seperti kemasukan iblis saking kecewa dan marahku, maka kuculik isteri dan puteranya. Akan tetapi jangan salah sangka, demi Dewata Yang Agung, aku tidak melakukan hal-hal yang melanggar susila terhadap wanita itu, nimas."

Kemudian Pujo menoleh kepada dua orang bekas lawannya. Ia melihat betapa sepasang mata Roro Luhito terbelalak, pandang matanya liar dan sepasang alis yang hitam kecil itu berkerut-kerut.

"Lalu bagaimana ....... ? Lalu bagaimana ....... ??" desak Roro Luhito, dadanya yang membusung tertutup kemben itu bergelombang turun-naik, napasnya agak terengah tanda bahwa di dalam hatinya timbul perasaan yang tegang.

"Kubawa mereka ke Guha Siluman, kutinggalkan isteri Wisangjiwo di dalam guha akan tetapi kubawa lari puteranya yang selanjutnya kujadikan muridku dan kuanggap anak sendiri....... "

"Dia Joko Wandiro ....... ??"

Kini Kartikosari yang memegang lengan suaminya, bertanya, suaranya gugup.

"Benar. Eh, bagaimana kau bisa tahu, nimas?" tanya Pujo heran, menoleh kepada isterinya.

Akan tetapi, sebelum Kartikosari menjawab, Roro Luhito sudah melompat berdiri dengan gerakan cepat. Pujo, Kartikosari, dan juga Resi Telomoyo memandang kaget. Wajah gadis itu pucat sekali, matanya bergerak-gerak liar, hidungnya kembang-kempis, dadanya terengah-engah.

"Pujo........ Pujo....... kau bersumpahlah sekali lagi........ bahwa apa yang kauceritakan semua itu tadi adalah yang sebenarnya terjadi?"

"Aku bersumpah demi Dewata Agung!"

"Dan bukannya engkau terlepas karena bantuan gurumu Resi Bhargowo, kemudian gurumu membantumu menculik isteri dan putera kangmas Wisangjiwo dan engkau sendiri memasuki....... bilikku ? "

"Tidak sama sekali! Dari mana datangnya fitnah itu?!?" Pujo melompat berdiri, juga Kartikosari dan Resi Telomoyo. Mereka sama-sama menjadi tegang.

"Kata kakangmas Jokowanengpati engkau memasuki bilikku....... dan kau dibantu Resi Bhargowo maka dia tidak berdaya dan..... aduh Jagad Dewa Batara.......! Tahulah aku sekarang! Dialah orangnya! Dia si keparat Jokowanengpati........ , ya Dewa....... Gusti Maha Agung, cabut sajalah nyawaku....... bapa guru ..!"

Roro Luhito menubruk gurunya dan rebah pingsan dalam pelukan Resi TeHomoyo. Resi Telomoyo memandang Pujo bingung, bertanya,

"Anakmas, apa sebenarnya yang terjadi?"

Pujo menggeleng kepala.
"Aku sendiri bingung, paman. Bawalah dia ke pondok, dia perlu istirahat dan menenangkan perasaannya yang terguncang hebat."

Kakek itu mengangguk, memondong tubuh muridnya dan membawanya memasuki pondok Pujo. Pujo dan isterinya memandang sampai kakek itu lenyap di balik pintu pondok.

"Kakangmas! Jadi putera Wisangjiwokah yang bernama Joko Wandiro?"

"Betul, nimas. Tadinya hendak kudidik dia agar kelak memusuhi ayahnya sendiri. Bagaimana kau bisa tahu?"

"Ah, kakangmas....... celaka! Aku khawatir sekali. Dia dan....... anak kita telah lenyap......."

Saking kagetnya Pujo melepaskan tangan Kartikosari yang memegang lengannya sambil melompat mundur sejauh lima meter lebih. Benar-benar kaget sekali dan tadi ia meloncat seperti menghindar kan diri dari serangan maut! Kini matanya terbelalak, kakinya bergerak lambat-lambat maju, bibirnya gemetar ketika ia bertanya,

"Anak....... anak....... kita....... ?? "

Kartikosari tak dapat menahan diri lagi. Ia menjatuhkan dirinya bersimpuh di atas pasir, mengangguk-angguk sambil menangis, lalu keluar kata-katanya tersendat-sendat,

"Ketika....... kita berpisah....... aku...... aku sudah mengandung aku....... lari dan bersembunyi ke Karang Racuk....... memelihara dan mendidiknya di sana ....... "

Pujo melompat dan menubruk isterinya, mendekapnya dan air mata membanjir di pipinya,
"Aduh Gusti....... terima kasih! Nimas Sari, di mana anak kita.......? Laki-laki atau perempuankah? Siapa namanya?"

"Kunamakan dia Endang Patibroto....."

Pujo terharu sekali mendengar nama ini, dipandangnya wajah isterinya, lalu didekapnya kepala itu ke dadanya,diciumnya.

Lanjut ke Jilid 035 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment