Ads

Friday, December 28, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 041

◄◄◄◄ Kembali

Kita tinggalkan dulu Sang Bhagawan Rukmoseto yang secara ajaib atas kehendak Yang Maha Kuasa, dapat terlepas dari ancaman maut itu. Mari kita menengok dan mengikuti perjalanan Pujo bersama Kartikosari dan Roro Luhito. Tiga orang ini menunggang kuda, pertama-tama mereka mencari kedua orang anak, yaitu Endang Patibroto dan Joko Wandiro di sekitar daerah pantai selatan. Mereka naik turun gunung yaitu barisan Gunung Kidul yang membujur dari timur ke barat tiada berkeputusan. Mereka keluar masuk hutan, ada kalanya harus meninggalkan kuda untuk menuruni tebing pantai yang amat curam dan yang tidak mungkin dapat dilakukan seekor kuda. Namun hasilnya sia-sia belaka. Kedua orang anak itu lenyap tanpa ada jejaknya, seakan-akan lenyap ditelan bumi. Mulai gelisah hati Kartikosari yang kehilangan puterinya. Alga Pujo muiai merasa khawatir kalau-kalau kedua orang anak itu tertimpa malapetaka. Ia amat sayang kepada Joko Wandiro, apalagi setelah kini diketahui bahwa ayah Joko Wandiro sesungguhnya bukanlah musuh besar yang selama ini didendamnya.

Dan tentu saja ia ingin sekali bertemu dengan Endang Patibroto, anak kandungnya. Untung bahwa di samping mereka terdapat Roro Luhito yang pandai sekali menghibur mereka. Bahkan kadang-kadang wanita muda itu bertembang, suaranya merdu sekali, pandai berkelakar, wajahnya selalu riang dan sikapnya bebas sehingga puteri adipati ini kadang-kadang dapat menghibur mereka dan membuat suami isteri itu tersenyum.

"Nimas Sari, kurasa untuk mencari anak kita dan muridku, kita membutuhkan bantuan banyak orang. Bagaimana kalau kita sekarang pergi ke Bayuwismo? Para cantrik kiranya. Akan dapat membantu kita. Pula, perlu kita menghadap bapa resi yang tentu amat sengsara hatinya oleh kepergian kita."

Kedua mata Kartikosari menjadi basah ketika ia teringat akan ayahnya. la mengangguk dan menjawab,
"Agaknya begitulah sebaiknya, Kakangmas Kita perlu mohon pengampunan dan petunjuk dari ayah."

"Akupun akan pulang ke Selopenangkep. Siapa duga bahwa kita sebenarnya adalah tetangga dekat! Jangan kalian khawatir, mari ikut aku ke Selopenangkep. Dengan pengerahan pasukan kadipaten untuk mencari jejak kedua orang anak itu, tentu akan dapat segera berhasil!"

"Terima kasih, Diajeng. Akan tetapi biarlah kita pergi dulu ke Bayuwismo menjenguk ayah sepertl yang diusulkan kakangmas Pujo. Kalau perlu kelak, boleh saja kami menerima bantuanmu itu. Memang lebih banyak yang mencari lebih baik."

"Mari kita berangkat," kata Pujo, memandang ke angkasa," matahari sudah naik tinggi. “Kalau kita mempercepat kuda, menjelang senja kita akan sampal di Bayuwismo."

Tiga ekor kuda meloncat ke depan lalu terdengar derap kaki mereka mernbalap ke arah barat. Pujo berada di depan, tegap dan gagah perkasa. Kartikosari di tengah dan Roro Luhito paling belakang. Rambut kedua orang wanita cantik jelita ini berkibar tertiup angin. Tepat seperti telah diperhitungkan oleh Pujo, lewat tengah hari sarnpailah mereka di Sungapan dan dari jauh sudah nampak pondok Bayuwismo. Tiba-tiba Kartikosari berseru,

"Kakangmas, berhenti di sini ! "

Pujo menahan kudanya dan mereka bertiga melompat turun. Tiga ekor kuda yang tubuhnya penuh keringat dan hidungnya berkembang-kempis terengah-engah itu dilepas.

"Mengapa, Nimas?"

Dengan terharu Kartikosari berkata,
"Sudah terlalu lama kita tidak pulang. Akan terlalu mengagetkan ayah kalau kita datang berkuda. Kasihan, ayah sudah tua ..... " Wanita itu menahan isak, lalu dengan air mata membasahi pipi ia memandang Pujo, memaksa senyum. "Hatiku terlalu gembira ..... melihat pondok itu. ...... . mari kita ke sana, Kakangmas. Diajeng Luhito, mari ..... "

Dengan wajah berseri akan tetapi sinar matanya penuh keharuan Kartikosari menggandeng tangan Pujo dan tangan Roro Luhito. Berangkatlah mereka berjalan kaki melalui pantai berpasir, membiarkan kuda mereka mencari rumput dan melepaskan lelah.

"Ehhh.. ..... apa itu. .... .. ? "

Tiba-tiba Roro Luhito menudingkan telunjuknya ke depan agak ke atas. Mereka harus melindungi mata dari sinar matahari yang sudah condong ke barat, karena letak pondok itu berada di sebelah barat.

"Seperti ..... burung-burung gagak ..... " kata Kartikosari.

"Ahhh ..... apakah yang menggeletak di pasir itu. ..... .?"

Pujo berseru dan serentak, seperti mendapat komando, ketiga orang itu lalu lari, tidak bergandeng tangan lagi, melainkan berlari, cepat seperti tiga orang kanak-kanak bermain-main dan berlumba lari di atas pasir pantai ! .

"Duh Jagad Dewa Batara .... !!"

Pujo berseru ketika melihat bahwa enam orang cantrik Bayuwismo telah menggeletak malang-melintang di atas pasir, tak seorangpun di antara mereka masih bernapas.

"Aduh Gusti....... !! "

Kartikosari menjerit dan berlutut di samping suaminya, memeriksa enam orang yang sudah menjadi mayat itu. Keadaan mereka sungguh mengerikan. Tidak tampak luka-luka yang mengeluarkan darah di tubuh mereka, namun jelas bahwa mereka tewas penuh penderitaan. Ada yang dengan mata terbelalak, dan wajah mereka masih membayangkan kengerian dan ketakutan. Roro Luhito berdiri seperti patung, terbelalak memandang ke arah mayat-mayat itu, tidak tahu harus berkata apa berbuat apa.

"Ramanda resi....... !"

Tiba-tiba Kartikosari yang teringat ayahnya menjerit ngeri dan meloncat lalu lari ke arah pondok, diikuti oleh Pujo yang wajahnya pucat dan gelisah sekali. Roro Luhito juga berlari di belakang mereka. Seperti orang gila, Kartikosari nnemasuki pondok hamper berbareng dengan Pujo dan di belakang mereka, Roro Luhito juga menyusul masuk. Pondok itu kosong! Akan tetapi jelas tampak tanda-tanda bahwa orang telah menggeledah pondok itu dengan kasar. Semua isi pondok jungkir-balik.

Melihat pondok itu kosong, Kartikosari agak lapang dadanya. Akan tetapi ia masih merasa tidak enak, lalu lari keluar dari pintu belakang, diikuti Pujo dan Roro Luhito. Setelah rnencari-cari dan yakin bahwa tidak ada mayat lain di sekeliling pondok, mereka kembali ke depan pondok. Kartikosari terisak dan merangkul lengan kiri Pujo yang berdiri tegak dengan muka pucat dan mata melotot memandang ke arah mayat-mayat yang malang melintang.

Roro Luhito berdebar debar jantungnya, merasa gelisah dan tidak enak hatinya. Siapakah yang melakukan pembunuhan keji ini? Jangan-jangan pembunuhnya datang dari Kadipaten Selopenangkep! la merasa cemas sekali.

"Kakangmas Pujo, siapakah kiranya yang begini keji. membunuhi para cantrik yang tidak berdosa ? "

Kartikosari bertanya, suaranya gemetar. la mengenal semua cantrik ini, apalagi cantrik Wisudo dan cantrik Wistoro yang tua. Kedua orang cantrik ini dahulu seringkali menggendongnya dan mengajaknya main-main ketika ia masih kecil. Mereka itu seperti paman-pamannya, atau kakak-kakaknya sendiri. Dan sekarang, mereka semua menggeletak tak bernyawa di depan kakinya ! Pujo rnenggeleng kepada, lalu mengepal tinju tangannya.

"Aku sendiri tak dapat menduga, Nimas. Akan tetapi siapapun juga orangnya, dia itu tentu memusuhi bapa resi. Mungkin bapa resi tidak berada di pondok, maka kernarahan orang atau orang-orang itu ditimpakan kepada para cantrik. Keji benar mereka!"

"Kakangmas Pujo, bukankah dekat tempat ini terdapat dusun? Tentu di antara penduduk dusun ada yang melihat, siapa yang baru-baru ini datang ke sini. Kulihat para korban ini belum terlalu lama tewasnya...."

"Kau benar!" Pujo berteriak. "Nimas Sari, kau bersama jeng Roro tunggu di sini, biar kucari keterangan sebentar ke dusun!"

Tanpa menanti jawaban Kartikosari yang masih termangu-mangu itu Pujo lalu melesat cepat dan lari secepatnya menuju dusun terdekat, yaitu dusun Karang Tumaritis. Seorang nelayan tua memandangnya dengan mata terbelalak heran. Barulah nelayan ini merasa yakin bahwa la tidak bermimpi ketika Pujo berseru kepadanya,

"Paman Kerpu !"

"Eh....... benarkah ..... Gus Pujo ini.. ..... ?"

"Benar, Paman."

"Wah, sewindu lebih engkau pergi, gus. Juga Nini Kartikosari ..... ! malah setahun kemudian kakang resi pergi pula meninggalkan Sungapan. Aduh, alangkah banyaknya peristiwa terjadi sejak itu ..... Gus. Perubahan besar terjadi di mana-mana dan ......."

"Maaf, Paman Kerpu," Pujo memotong. "Saya sengaja mencari Paman untuk bertanya, apakah Paman melihat ada orang mendatangi Bayuwismo tadi?"

"Tadi ....... ? "

"Dalam hari ini maksud saya, Paman. Adakah Paman melihat orang-orang pergi ke sana?"

Kakek itu mengerutkan keningnya dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Aku tidak melihatnya, gus. Kalau dahulu memang. Wah, jahat-jahat benar orang-orang dari Kadipaten Selopenangkep. Pantas saja Sang Hyang Widi sekarang menghukum mereka."

"Apa yang terjadi ketika itu, Paman?" Pujo tertarik. Mungkin kejadian dahulu ada hubungannya dengan kejadian sekarang.

"Terjadinya sudah lama sekali. Setahun lebih setelah kau dan isterimu pergi, atau tidak lama setelah kakang resi pergi tanpa pamit. Serombongan orang-orang dari Kadipaten Selopenangkep datang dan ....... ah, benar kejam sekali. Lima orang cantrik di Byuwismo dibikin tuli semua!"

"Dibikin tuli?"

"Ya, entah bagaimana. Tahu-tahu mereka itu tuli semua. Akhir-akhir ini aku jarang mengunjungi pondok Bayuwismo. Habis, enam orang cantrik sana menjadi tuli semua, sukar diajak bicara. Akan tetapi sekarang datang hukuman Kadipaten Selopenangkep. Kabarnya Adipati Joyowiseso ditangkap, dan kadipaten diambil alih serombongan pasukan dari kota raja. Entah bagaimana duduknya perkara. Kami orang-orang kecil mana berani banyak bertanya?"

"Terima kasih, Paman. Saya harus pergi sekarang juga. Peristiwa hebat terjadi di Bayuwisrno. Keenam paman cantrik di sana telah terbunuh hari ini."

"Mereka terbunuh ....... ? Siapa....... siapa.......? "

"Entah siapa pembunuhnya. Justeru saya sedang melakukan penyelidikan."

"Kalau begitu, biar kukerahkan kawan-kawan untuk membantu di sana, mengurus mereka ....... "

Kakek itu menjadi pucat dan segera ia berteriak-teriak sambil lari memasuki dusun. Pujo mengangkat pundaknya, lalu ia menggunakan ilmu Iari cepat kembali ke Bayuwismo di mana kedua orang wanita itu menanti dengan penuh harapan.

"Bagaimana, Kakangmas? Berhasilkan? Siapakah yang melakukan ini?" Kartikosari tidak sabar Iagi, menyarnbut suarninya dengan hujan pertanyaan.

"Tidak ada orang yang melihat orang datang ke sini, Nimas. Akan tetapi ....... "

Pujo berpaling ke arah Roro Luhito dan menahan kata-katanya. Selama ini, Pujo tidak pernah terlepas dari perhatian puteri Adipati Selopenangkep ini. Belum pernah sedetikpun juga Roro Luhito dapat melenyapkan rasa cinta kasihnya terhadap Pujo yang selama bertahun-tahun ia tahan-tahan. Selama bertahun-tahun ketika ia menjadi murid Resi Telomoyo, ia selalu merindukan Pujo dan seringkali di waktu tidur ia bermimpi tentang laki-laki yang menjadi pujaan hatinya. Biarpun Ia tahu bahwa ia telah salah duga, dan bersama dengan terbukanya rahasia itu maka harapannya untuk menjadi isteri Pujo tersapu habis seperti asap tipis tersapu angin, namun tak pernah hatinya dapat ia yakinkan bahwasanya rnencinta Pujo merupakan hal yang sia-sia belaka. Perasaannya tetap saja lekat kepada laki-laki itu dan setiap gerak-gerik Pujo tak pernah terlepas daripada perhatiannya, sungguhpun tentu saja ia tidak berani memperlihatkan secara berterang.

Ia tidak cemburu kepada Kartikosari karena sejak dahulupun ia maklurn bahwa Kartikosari adalah isteri Pujo. Ia hanya merasa diam-diam iri dan perasaannya seringkali hancur, namun tangisnya hanya ia kubur di dalam lubuk hatinya, tak pernah ia biarkan keluar, bahkan ia tutup-tutupi dengan sikap riang gembira! Hanya di waktu malamlah, apabila mereka bertiga sudah tertidur, ia berani membiarkan air matanya bercucuran, menangis tanpa suara!. Karena itulah, maka begitu Pujo berpaling dan memandang, ia sudah dapat menangkap bahwa ada sesuatu terjadi yang menyangkut dirinya. Jantungnya berdebar dan ia cepat-cepat bertanya,

"Kakangmas Pujo, ada terjadi apakah? Di Selopenangkep....... ??? "

Pujo mengangguk, dan diam lagi.

"Kakangmas, kalau terjadi sesuatu, ceritakanlah. Diajeng Roro Luhito bukanlah anak kecil lagi, tak perlu menyembunyikan sesuatu."

Pujo menarik napas panjang, kemudian is berkata,
"Tadi aku bertemu dengan Paman Krepu "

"Nelayan tua Karang Turnaritis ahli mengail ikan kerpu itu?" potong Kartikosari.

"Benar, dialah orangnya. Dari paman Kerpu aku mendapat keterangan bahwa sehari ini tak tampak orang datang ke tempat ini. Akan tetapi hampir sepuluh tahun yang lalu memang ada pasukan dari Selopenangkep yang datang ke Bayuwismo dan ....... "
Kembali Pujo mengerling ke arah Roro Luhito. Betapapun juga, setelah mendengar kisah Roro Luhito dan setelah meneliti sikap dan watak gadis bangsawan ini selama dalam perjalanan. Pujo merasa kasihan kepadanya dan tidak ingin menyinggung perasaannya atau membuatnya berduka.

"Teruskanlah, Kakangmas Pujo. Tak perlu ragu dan rikuh kepadaku, karena biarpun aku puteri kadipaten, buktinya aku melarikan diri, minggat dari kadipaten. Berarti aku bukan puteri kadipaten lagi, melainkan seorang gadis gelandangan Kartikosari!"

Gadis itu tersenyum, akan tetapi Kartikosari membuang muka karena hatinya tertusuk, tidak tega melihat wajah ayu yang senyumnya amat pahit membayangkan kehancuran kalbu itu.

"Menurut cerita paman Kerpu, enam orang cantrik itu telah dibikin tuli, lebih tepat lagi, lima orang cantrik karena Paman Cantrik Wistoro memang sudah tuli sejak dahulu."

"Siapa yang melakukan hal sekeji itu?" tanya Kartikosari.

"Paman Kerpu tidak tahu, juga tidak ada orang lain yang tahu. Hanya yang jelas diketahui bahwa yang melakukan adalah rombongan pasukan dari Selopenangkep. Kemudian paman Kerpu menceritakan bahwa Kadipaten Selopenangkep telah diambil alih oleh serombongan pasukan dari kota raja, dan paman Adipati Joyowiseso kabarnya ditangkap."

Perubahan satu-satunya yang terjadi pada diri Roro Luhito hanyalah cahaya matanya yang mendadak menjadi tajam berkilat-kilat seakan-akan mengeluarkan api.

"Kalau begitu, mungkin yang melakukan pembunuhan adalah orang-orang yang kini berkuasa di Selopenangkep!" kata Kartikosari.

"Mungkin sekali dan hal ini baru jelas kalau kita menyelidiki ke sana. Selain itu, agaknya.. ..... hemmm, perlu kau membantuku, Nimas. Aku harus melihat keadaan kadipaten itu dan sedapat mungkin menolong ayah diajeng Roro Luhito, hitung-hitung untuk menebus dosaku dahulu......"

Tiba-tiba Roro Luhito tak dapat menahan keharuan hatinya lagi. la melompat ke depan dan tanpa ragu-ragu ia memegang tangan Pujo dan tangan Kartikosari, bulu matanya yang panjang lentik itu basah ketika ia berkata,

"Kakangmas, Kakangmbok aku amat berterima kasih kepada kalian Aku amat khawatir tentang keadaan ayah.......! Marilah kita segera !"

Pada saat itu datanglah berbondong-bondong penduduk Karang Tumaritis dan sekitarnya, dipimpin oleh Kerpu. Pujo lalu menyerahkan kepada mereka untuk mengurus penguburan enam orang cantrik itu, kemudian ia bersama Kartikosari dan Roro Luhito segera meninggalkan temput itu, mendapatkan kuda mereka dan cepat mereka menuju ke Selopenangkep. Datang perjalanan membelok ke utara ini mereka tidak banyak cakap, dan malam telah tiba ketika mereka tiba di luar daerah Kadipaten Selopenangkep. Pujo menghentikan kudanya, memberi isyarat kepada dua orang wanita itu untuk berhenti dan turun.

"Lebih baik kita tinggalkan kuda di sini dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Kita tidak tahu siapa yang berkuasa di sana, tidak tahu pula apakah mereka itu akan memusuhi kita, karena itu, penyelidikan harus dilakukan secara rahasia."

"Malam hari amatlah tepat untuk melakukan penyelidikan rahasia," kata Kartikosari.

Setelah mengikatkan kuda di bawah sekelompok pohon, mereka lalu melanjutkan perjalanan dengan hati-hati mendekati tembok rendah yang mengelilingi daerah Kadipaten Selopenangkep.

"Kakangmas berdua setelah nanti tiba di kadipaten, harap melakukan penyelidikan dengan hati-hati. Kurasa paling balk masuk melalui pintu depan dan terang-terangan menyatakan hendak bertemu dengan pengurus yang baru. Mereka tidak mengenal kalian berdua, agaknya keadaan kalian berdua tidak akan berbahaya. Akupun tidak takut untuk masuk berterang, kalau perlu aku akan mengadakan amuk di sana. Akan tetapi, aku harus rnemikirkan keselamatan ayah dan keluargaku. Mungkin mereka masih di tahan di sana, dan sebelum menyelidiki keadaan mereka, lebih baik aku tidak ikut masuk bersama kalian."

"Habis, bagaimana kau hendak mencari keluargamu?"

"Aku mengenal jalan rahasia memasuki kadipaten dari belakang. Aku sudah hapal akan tempat tinggalku sejak aku lahir di sana. Dan akan lebih leluasalah bergerak seorang diri."

Pujo mengangguk-angguk.
"Baiklah, Diajeng. Kami berdua akan masuk dari depan. Biar kami menarik perhatian mereka semua sehingga keadaan di sebelah dalam berkurang penjagaannya dan kau dapat mencari keluargamu dengan leluasa."

Kata-kata Pujo ini disambung oleh Kartikosari,
"Mudah-mudahan saja ayahmu sekeluarga dalam selamat, Adikku."

Sepasang mata Roro Luhito kembali memancarkan sinar berapi seperti tadi. Ia mendengus dan sambil rnenggeget (memperternukan gigi) berkata,
"Semoga begitu. Kalau tidak kubikin karang abang (lautan api) dan banjir darah di Kadipaten Selopenangkep!"

Kartikosari merangkulnya.
"Jangan khawatir, Diajeng. Musuh besar pribadi kita sama orangnya. Agaknya musuh keluarga kita juga sama. Kami akan mendampingimu!"

Roro Luhito meraih dan mengambung pipi Kartikosari.
"Kau seorang yang amat baik."

Ketika mereka tiba di depan istana kadipaten, dari luar keadaannya seperti tidak ada perubahan. Diam-diam hati Roro Luhito terharu melihat tempat tumpah darahnya ini. Sepuluh tahun lebih la meninggalkan tempat ini dan betapa rindunya akan tempat ini. Melihat sepasang pohon beringin di depan halaman, pohon sawo di sebelah kiri dan taman sari di sebelah kanan terus ke belakang, terbayanglah is betapa ketika masih kecil ia bermain-main di ternpat itu.

"Kami akan masuk berbareng, Diajeng," bisik Pujo.

Roro Luhito mengangguk dan menyelinaplah dia ke dalam gelap, menyusuri pagar tembok kadipaten sebelah kanan. la mengenal jalan rahasia dari balik pagar tembok taman sari. Sementara itu, Pujo menggandeng tangan isterinya dan melangkah lebar ke arah pintu gerbang depan, di mana terdapat gardu para penjaga. Makin dekat, terdengarlah suara para penjaga, dan kanan kiri pintu gerbang terdapat lampu yang apinya bergoyang-goyang tertiup angin.

Waktu itu belum malam benar dan para penjaga masih berkumpul di gardu karena belum waktunya meronda. Pujo yang pernah melakukan penyerbuan ke kadipaten ini sepuluh tahun yang lalu, melihat betapa pakaian para penjaga kini berbeda dengan dahulu. Pakaian penjaga yang sekarang ini iebih mentereng, juga sebagian besar adalah orang-orang muda.

Ada tujuh orang penjaga di situ, sedang bercakap-cakap dan kadang-kadang tertawa. Setelah dekat jelas terdengar bahwa mereka itu mempercakapkan wanita. Karena percakapan mereka itu kotor dan cabul, Pujo mempercepat langkahnya dan batuk-batuk.

Berhentilah percakapan itu seperti yang diharapkan Pujo dan beberapa orang muncul keluar dari gardu penjagaan. Melihat seorang laki-laki tampan dan seorang wanita cantik jelita berdiri di pintu gerbang, mereka itu tercengang dan segera menegur,

"Siapakah kalian dan ada keperluan apakah?"

Tujuh orang penjaga itu kini sudah keluar semua dan empat belas buah mata yang haus semua melotot lebar tertuju ke arah tubuh yang denok montok dan wajah yang cantik jelita itu. Kecantikan wajah dan kehalusan kulit tubuh Kartikosari tampak makin mempesonakan tertimpa sinar lampu yang kemerah-merahan. Mereka itu selain terpesona, juga terheran-heran mengapa selama ini mereka tidak pernah bertemu dengan wanita ayu ini di Kadipaten Selopenangkep.

"Kami hendak menghadap Sang Adipati!" jawab Pujo singkat, sedangkan Kartikosari membuang muka karena tidak dapat menahan kemarahan dan malunya melihat betapa tujuh orang penjaga itu memandangnya dengan mata lahap seakan dengan Pandang mata itu mereka hendak menelanjanginya bulat-bulat!

"Menghadap Sang Adipati?" Si penanya menyeringai dan bermain mata dengan teman-temannya.

"Eh, masih keluarga Adipati Joyowiseso?" tanya orang ke dua.

"Dari mana kalian datang?" orang ketiga bertanya pula.

"Kami bukan keluarga Adipati Joyowiseso dan kami datang dari Sungapan."

"Dusun Bayuwismo?" kata seorang.

"Murid Resi Bhargowo ....... ?" seru yang ke dua.

Pujo tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi.
"Betul, dan lekas beritahukan adipati atau yang menjadi penguasa di Kadipaten Selopenangkep bahwa kami berdua hendak bertemu!"

Tujuh orang itu kelihatan tegang dan tangan mereka otomatis meraba senjata. Ada yang niencabut golok, ada yang meraba gagang pedang dan ada Pula yang menyambar tornbak.

"Tangkap dial"

"Biar kutangkap yang wanita, ha-ha ! "

Bermacam-macarn teriakan mereka. Akan tetapi suara ejekan dan ketawa mereka segera disusul teriakan kaget dan kesakitan, mencelatnya senjata dan robohnya tubuh dua orang. Kartikosari sudah menerjang maju dan dua kali tangannya hergerak, dua orang tadi sudah roboh. Pujo juga sudah bergerak karena melihat para penjaga itu mulai menggerakkan senjatanya. Iapun merobohkan dua orang dengan sekali bergerak.

Melihat ini, tiga orang lain menjadi gentar, namun mereka masih berteriak-teriak sambil mengayun-ayunkan senjata dari tempat agak jauh, takut mendekati suami isteri yang sakti itu.

"Ada apa ribut-ribut ini?" Tiba-tiba terdengar suara keras menegur.

"Raden Mas ..... mereka itu ....... "

Akan tetapi penjaga itu terpelanting roboh ketika orang yang muncul itu melihat Pujo dan Kartikosari lalu bergerak maju sambil mendorong penjaga itu dengan tangan kirinya ke samping.

"Adimas Pujo ....... ! " Orang itu berseru sambil melangkah maju mendekat.

Pujo mengerutkan alisnya sedangkan Kartikosari dengan kaget memegang tangan kiri suaminya. Suami isteri ini menatap tajam wajah orang yang baru muncul, kemudian otomatis mereka memandang ke arah tangan kiri orang itu.

"Hemmm...., Kakang Jokowanengpati. Sejak dahulu itu engkau masih di sini.......?"

Sambil berkata demikian, Pujo menggunakan tangannya menowel lengan isterinya sebagai isyarat dan Kartikosari dapat menduga bahwa Pujo sedang menjalankan siasat halus. Memang sebelum yakin benar, tak baik bertindak sembrono. Tak boleh kali ini mereka salah .lagi seperti ketika suaminya menangkap Wisangjiwo. Akan tetapi Jokowanengpati tidak menjawab pertanyaan ini karena dia sedang memandang kepada Kartikosari dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, seakan-akan ia melihat munculnya setan di siang hari.

"Dia ini Kartikosari, isteriku, apakah kau lupa ? " Pujo memancing.

" ....... dia ....... eh ....... bukankah kau dulu bilang bahwa Diajeng Kartikosari sudah ....... mati? dimas Pujo, apa yang terjadi? Dahulu kau bilang bahwa Diajeng Kartikosari sudah mati terbunuh oleh Wisangjiwo ....... ! "

Pujo tersenyum kecil.
"Tadinya memang kami sangka begitu akan tetapi ternyata tidak demikian. Kakang Jokowanengpati, apa yang telah terjadi dengan kelingking kirimu?"

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Jokowanengpati mendengar pertanyaan yang tiba-tiba ini kemudian melihat betapa sinar mata sepasang suami isteri itu memandangnya bagaikan ujung dua buah pedang yang tajam runcing menodong ulu hatinya! Namun Jokowanengpati tetap cerdik sekali bahkan sekarang lebih berpengalaman dan lebih licin. Betapapun kaget hatinya, wajahnya tidak membayangkan kekagetan ini, bahkan ia dapat memaksa wajahnya itu memperlihatkan keheranan dan kesungguhan. Padahal di hatinya ia mengerti bahwa agaknya suami isteri ini sudah mengerti atau setidaknya sudah menduga akan rahasianya, sepuluh tahun yang lalu di dalam Guha Siluman yang gelap.

Tidak mungkin dalam pertemuan dan dalam percakapan itu, secara tiba-tiba. saja Pujo menyimpangkan percakapan dengan pertanyaan tentang tanga kirinya yang kehilangan jari kelingking, kalau saja mereka berdua itu tidak sudah menduga bahwa kelingking yang dahulu digigit putus oleh Kartikosari dalam gelap itu adalah kelingkingnya! Agaknya suami isteri ini sadar bahwa bukan Wisarigjiwo yang memperkosa Kartikosari dalam guha itu, berdasarkan bukti kelingking itulah.

"Adimas Pujo dan Diajeng Kartikosari, silahkan Adinda berdua masuk. Mari kita bercakap-cakap di dalam. Tentang ini....... " Ia menggerakkan tangan kirinya ke depan, " ....... ada riwayatnya. Marilah masuk dan nanti kuceritakan semua kepada kalian."

Pujo dan Kartikosari saling lirik, kemudian mereka mengangguk dan ikut masuk. Sudah sepatutnya sikap Jokowanengpati itu. Andaikata bukan Jokowanengpati musuh besar mereka, tentu begini pula sikapnya. Tak mungkin, seseorang, apalagi seperti Jokowanengpati yang agaknya di kadipaten ini sekarang mempunyai kedudukan tinggi, suka menceritakan tentang buntungnya kelingking di depan para penjaga itu. Seorang di antara tiga penjaga yang tadi belum
dirobohkan, dibentak oleh Jokowanengpati,

"Hayo perketat penjagaan dan jangan bertindak sembrono seperti tadi. Kalian bertujuh patut dihukum mampus. Tak tahukah bahwa yang datang ini adalah adik-adik seperguruanku?"

"Ampun ..... Raden Mas ..... " mereka berlutut dan menyembah penuh permohonan, wajah mereka ketakutan.

"Keparat, minggir!"

Jokowanengpati membentak lagi, lalu mempersilahkan dua orang tamunya memasuki pendopo, terus melalui pintu menuju ke ruang tamu di sebelah kiri pendopo. Pujo dan Kartikosari bersikap tenang, namun pandang mata mereka waspada mengerling ke kanan kiri, menjaga kalau-kalau ada serangan gelap.

Lanjut ke Jilid 042 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment