Ads

Friday, December 28, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 042

◄◄◄◄ Kembali

"Silakan duduk. Di sini sunyi tak terganggu. Kita dapat berbicara leluasa dan tenang. Agaknya banyak hal yang harus mendapat penjelasan, Dimas Pujo. Terutama sekali tentang keterangan dahulu bahwa Diajeng Kartikosari suda meninggal. Aku tidak melihat sebab-sebab yang tepat mengapa dahulu itu engkau berbohong kepadaku. Akan tetapi biarlah engkau sendiri yang nanti memberi keterangan agar hatiku tidak merasa bingung dan penasaran. Sekarang lebih dahulu kau dengarlah tentang Kadipaten Selopenangkep."

Jokowanengpati menarik napas panjang dan memandang kedua orang suami isteri yang duduk di atas bangku berukir di depannya. Lampu lampu dipasang pada dinding di belakang dan atas kepala Jokowanengpati sehingga sinar lampu yang menyinari kepalanya membuat wajahnya tersembunyi dalam bayangan gelap. Sebaliknya, sinar lampu itu langsung menerangi wajah Pujo dan Kartikosari. Melihat betapa suami isteri itu kelihatannya gelisah, kadang-kadang saling lirik dan terutama sekali selalu memandang ke arah tangan kirinya Jokowanengpati tidak memberi kesempatan mereka membuka mulut, langsung menyambung kata-katanya.

"Seperti telah kuceritakan kepadamu sepuluh tahun yang lalu, Adimas Pujo, ketika itupun aku sudah menduga bahwa Adipati Joyowiseso merencanakan pemberontakan terhadap Medang. Maka aku sengaja datang ke sini dan melakukan penyelidikan, terpaksa ketika itu aku berpura-pura memusuhimu, bahkan setelah kau berhasil melarikan diri, aku membawa pasukan untuk mengejar dan mencari-carimu."

Melihat betapa pandang mata suami isteri itu tidak berubah, tetap tegang, penuh selidik dan penuh benci, Jokowanengpati diam-diam menduga-duga. Perbuatannya dalam beberapa hari ini, bersama Ni Durgogini dan Ni Nogogini, menyerbu ke Bayuwismo dalarn usaha mencari pusaka Mataram kalau-kaIau disernbunyikan di situ, kemudian membunuh enam orang cantrik agar tidak mengenalnya, dilakukan secara sembunyi dan tidak seorangpun tahu. Tak mungkin Pujo dan isterinya tahu akan hal itu. Akan tetapi kedatangannya ke Bayuwismo beberapa tahun yang lalu bersama Cekel Aksomolo dan pasukan kadipaten, tentu ada yang tahu. Berpikir sejauh ini ia lalu berkata pula,

"Karena harus dapat melakukan penyelidikan secara tepat, aku terpaksa membantu usaha pemberontakan Adipati Joyowiseso sehingga terpaksa pula aku ikut menyerbu ke Bayuwismo bersama Cekel Aksomolo dan pasukan kadipaten. Untung aku ikut ke sana, kalau tidak ada aku yang mencegah, tentu parnan-paman cantrik di sana sudah dibunuh Cekel Aksomolo ketika itu."

Dua pasang mata di depannya itu memancarkan sinar penuh kemarahan, akan tetapi mereka diam saja. Hal ini bahkan menimbulkan ketegangan dan kegelisahan di hati Jokowanengpati yang cepat-cepat menyambung,

"Akan tetapi, akhirnya tibalah saatnya menghancurkan para pemberontak. Dua pekan yang lalu, aku diberi tugas oleh Gusti Pangeran Anom, memimpin pasukan besar dan menyerbu kadipaten ini, menangkap adipati, membasmi kaki tangannya dan mengambil alih kadipaten atas nama Gusti Pangeran Anom, dan ..... "

"Cukup ! Kami datang bukan untuk mendengarkan obrolan!!"

Tiba-tiba Kartikosari bangkit berdiri sambil membentak. Jokowanengpati terkejut sekali, dan Pujo segera memegang tangan isterinya, disuruhnya duduk dan bersikap tenang. Kemudian sambil memandang tajam kepada Jokowanengpati, Pujo berkata,

"Kakang Jokowanengpati, maafkan sikap kami. Akan tetapi sesungguhnya kedatangan kami ini mempunyai keperluan penting. Kami tidak mengira akan bertemu denganrnu di sini. Soal-soal lain kami tidak peduli, akan tetapi harap kau suka menjawab dua pertanyaan kami. Pertarna, siapakah yang begitu keji membunuh semua cantrik Bayuwismo siang tadi dan ke dua, ke mana hilangnya kelingking tangan kirimu itu!"

Wajah Jokowanengpati menjadi pucat, akan tetapi karena terlindung oleh bayang-bayang gelap, tidak tampak oleh kedua orang tamunya. Di dalam hatinya Jokowanengpati agak menyesal mengapa ia membiarkan Ni Durgogini dan Ni Nogogini pergi dari kadipaten, menuju ke kota raja memberi laporan kepada Pangeran Anom. Kalau saja ia yang pergi ke kota raja, tentu tidak akan bertemu dengan Pujo dan Kartikosari. Akan tetapi, bagaimana ia bisa meninggalkan Kadipaten Selopenangkep kalau kadipaten ini sudah dikuasainya dan setiap hari ia dapat bersenang-senang dengan gadis-gadis rampasan yang cantik-cantik? Sebagai penguasa sementara yang baru, ia memerintahkan agar semua perawan denok di kadipaten itu dikumpulkan di kadipaten untuk melayaninya.

Tentu saja ia membiarkan kedua orang iblis betina yang makin tua makin menggila akan tetapi masih tetap cantik itu untuk mengumpulkan pemuda-pemuda tampan pula dalam kadipaten. Senyum simpul menghias mulut Jokowanengpati. Untung ia cerdik. Terlalu cerdik untuk orang-orang tak berpengalaman macam Pujo dan Kartikosari. Untung ia telah bersiap-siap menghadapi ancaman musuh dari manapun datangnya. Dengan pelbagai siasat, ia mérencanakan penjagaan diri yang cukup kuat, dan di antaranya, ruangan tamu ini merupakan tempat ia menyelamatkan diri daripada musuh-musuh yang terlampau berat.

Sarna sekali ia tidak gentar menghadapi Pujo dan Kartikosari, yang keduanya adalah adik-adik seperguruannya. la sudah banyak menerima gemblengan Ni Durgogini yang sakti. Akan tetapi sebagai seorang cerdik, ia tidak rnau mengambil resiko berbahaya. Kalau ada cara lain mengalahkan lawan yang jauh lebih mudah, mengapa menggunakan cara yang sukar dan berbahaya? Jokowanengpati memasukkan kedua tangannya ke bawah meja yang berdiri di depannya, lalu berkata dengan suara mengejek,

"Mengapa tidak kau cari sendiri siapa yang membunuh para cantrik, dan tentang kelingkingku ini, hemm .... digigit kuda betina liar!!"

Pujo dan Kartikosari menjadi marah sekali. Sungguhpun Jokowanengpati tidak mengakui perbuatannya secara berterang, namun kata-katanya itu merupakan ejekan yang cukup jelas. Namun, tak sempat suami isteri itu mengeluarkan kata-kata, karena pada saat itu, lantai di bawah mereka amblas ke bawah sehingga dua buah bangku yang mereka duduki berikut tubuh mereka melayang ke dalam lubang dan tidak dapat dicegah lagi!

"Ha-ha-ha-ha! ..... Orang-orang tolol macam kalian mana mampu melawan aku?"

Jokowanengpati tertawa bergelak sambil menepuk-nepuk meja di depannya. Otomatis lantai yang berlubang itu bergeser dan tertutup kembali. Tepukan tangannya disambut munculnya empat orang pengawal. Mereka duduk bersimpuh dan menyembah.

"Seorang dari kalian atur penjagaan yang lebih ketat, jangan biarkan siapapun masuk kadipaten. Seorang lagi bawa pasukan menjaga tawanan di bawah tanah. Kamu dua orang mari ikut bersamaku, bawa regu penyemprot asap belerang!"

Jokowanengpati kelihatan gembira sekali. Dua orang musuhnya, yang selama ini mendatangkan mimpi buruk kepadanya, telah tertangkap dan sebentar lagi tentu dapat dilenyapkan dari permukaan bumi. Yang pasti Pujo, adapun Kartikosari ..... hemmm! Wanita itu makin montok dan ayu saja.

Kalau orang biasa yang terbanting jatuh dari tempat hamper sepuluh meter, tentu akan luka-luka, setidaknya patah tulang salah urat, kalau tidak pecah kepalanya dan mati. Namun Pujo dan Kartikosari adalah orang-orang yang selain kuat juga terlatih, memiliki susunan syaraf yang amat peka, tubuh yang trampil. Ketika melayang-layang jatuh, cepat mereka dapat mengatur keseimbangan tubuh sehingga ketika terbanting di atas tanah, mereka dapat menahan bantingan itu dengan kedua tumit kaki dan tekukan lutut. Bangku yang turut melayang jatuh, telah mereka dorong ke pinggir sebelum sampai di dasar "sumur" itu.

"Kau tidak apa-apa, Nimas ..... ? " Pujo merangkul isterinya di dalam ruangan yang gelap pekat itu.

"Tidak, Kakangmas," bisik Kartikosari.

"Aku , sungguh bodoh kita sampai kena di akali jaharam itu!" Pujo mengepal tinjunya daiam gelap.

"Keparat itu dengan perbuatannya ini jelas membuktikan dosanya. Mari kita periksa tempat ini dan berusaha keluar."

Mulailah mereka meraba-raba. Alangkah kaget hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa mereka terkurung dalam sebuah ruangan yang tertutup rapat dan amat kuat, terbuat dari ternbok yang amat tebal. Di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah tiang kayu jati. Pujo memanjat tiang ini ke atas dan ternyata di atas juga tertutup bahkan tertutup jeruji besi yang kuat di bawah atap! Sebuah pintu di kiri terbuat dari besi pula. Suami isteri ini sudah mencoba-coba untuk mencari jalan keluar dengan membobol pintu atau dinding, namun sia-sia. Terlampau kuat dinding dan pintu itu. Mereka seperti dua ekor harimau masuk perangkap, hanya bisa marah- marah akan tetapi tidak mampu keluar!

"Jahanam busuk Jokowanengpati!" Kartikosari berteriak marah. "Kalau kau memang jantan, hayo bertanding sampai titik darah terakhir! Engkau menjebak kami secara pengecut. Tak tahu malu!"

Pujo kembali merangkul isterinya yang berteriak-teriak itu, kemudian berbisik,
"Nimas, percuma marah-marah terhadap seorang yang sudah kehilangan jiwa ksatrianya. Lebih baik kita memikirkan akal untuk dapat keluar dari sini."

Mereka duduk berdampingan di atas lantai ruangan itu. Keadaan yang gelap pekat mulai remang-remang setelah mata mereka biasa di ruang gelap itu. Kiranya di sebelah bawah terdapat lubang-lubang kecil, agaknya lubang hawa. Legalah hati Pujo. Setidaknya, dengan adanya lubang-lubang kecil itu, mereka tidak akan mati pengap. Dan dari lubang-lubang kecil ini pula masuknya sinar yang membuat ruangan itu remang-remang. Mulailah mereka mempelajari keadaan ruangan. Bentuknya bundar, di tengah-tengah tiang. Tidak ada sebuahpun perabot rumah yang menghias ruangan kecuali sebuah lampu kecil tergantung di dekat tiang. Tembok dan pintu besi, juga tiang itu tidaklah baru, berarti tempat ini sudah ada sejak Joyowiseso menjadi adipati di situ.

"Hemm, agaknya tempat ini memang merupakan tempat tahanan, akan tetapi tidak seperti tempat tahanan di mana aku dahulu dikeram," kata Pujo.

Kartikosari mengangguk-angguk dan menyentuh lengan suaminya.
"Kakangmas, kita tenang-tenang saja dan mengaso mengumpulkan tenaga. Biarkan mereka itu membuka pintu lalu kita menyerbu keluar!"

Pujo menggeleng kepala.
"Kurasa Jokowanengpati pengecut licik itu tidaklah begitu bodoh, Nimas. Bagaimana kalau dia membiarkan kita kelaparan, kehausan dan lemas tak berdaya sebelum pintu ini dibuka?"

"Ah, Kakangmas, takut apa? Biar kita mati. Mati di sampingmu adalah nikmat, Kakangmas. Takut apa?"

Pujo merangkul leher isterinya dan mencium bibirnya, lalu berbisik,
"Akupun tidak takut mati, karena ada engkau di sampingku, Nimas. Akan tetapi, kita tidak boleh mati sekarang. Bangsat itu belum terbalas, dan aku belum melihat anak kita, bagaimana kita bisa mati ? Tidak, kita hatus berusaha. Kerisku masih ada padaku, dengan senjata aku bisa membongkar tembok, sedikit demi sedikit, sebata demi sebata."

"Kau benar, Kakangmas. Akupun dapat membantumu dengan cundrikku!"

Penuh semangat suami isteri itu mulai bekerja. Biarpun senjata di tangan mereka hanya keris dan cundrik kecil saja, namun karena mereka memiliki tenaga dalam yang amat kuat, agaknya tidak akan sukar bagi mereka untuk membongkar tembok tebal itu. Akan tetapi, belum juga sebata terbongkar, tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis keras disusul ketawa bergelak.

Pujo dan Kartikosari kaget sekali, melompat berdiri dan tampaklah asap putih membanjir masuk dari lubang-lubang di bawah dekat pintu. Pujo tersedak dan Kartikosari terbatuk-batuk ketika asap belerang mulai menyerang hidung dan memenuhi ruangan itu! Mereka berusaha menutup pernapasan, namun betapa saktipun seseorang, tak mungkin is dapat menghentikan napas terlalu lama. Mereka terbatuk-batuk, terengah-engah, terhuyung-huyung. Pujo masih ingat akan isterinya, memeluk isterinya, seakan-akan hendak melindungi isterinya dengan tubuh sendiri menjadi perisai. Namun, menghadapi musuh berupa asap belerang, tak mungkin dia dapat melindungi isterinya atau dirinya sendiri. Hampir berbareng mereka roboh pingsan, menggeletak di atas lantai, masih berpelukan.

"Cukup! Buka pintunya, tangkap dan ikat mereka pada tiang!"

Terdengar suara Jokowanengpati berseru, akan tetapi suami isteri itu tidak dapat mendengar perintah ini, juga masih belum sadar ketika tubuh mereka yang lemas itu diseret ke tiang, kemudian dipaksa berdiri dan diikat lengan dan kaki mereka pada tiang, beradu punggung pada tiang di tengah ruangan. Jokowanengpati memasuki ruangan setelah asap mulai menipis dan karena sekarang pintu terbuka, maka ruangan itu tidaklah segelap tadi.

"Ha-ha-hal Pujo, keparat. Kau mau bilang apa sekarang?"

Jokowanengpati tertawa mengejek setelah member isyarat kepada Para pengawal yang jumlahnya enam orang Itu untuk keluar dari ruangan. la melangkah maju dan menampar muka Pujo dengan kedua telapak. tangan, berkali-kali. Karena Pujo masih belum sadar betul dan tubuhnya lemas, maka kepalanya terguncang-guncang ke kanan kiri ketika menerima tamparan. Akan tetapi, pukulan-pukulan keras itu malah membuatnya cepat siuman dari pingsannya. Begitu sadar dan melihat bahwa ia ditampari Jokowanengpati, seketika Pujo menegangkan tubuhnya dan urat-urat di lehernya mengeras, kepalanya tidak terguncang-guncang lagi.

"Jokowanengpati manusia pengecut!" Ia memaki, suaranya penuh nada ejekan.

"Ha-ha-ha-ha! Tak usah kau memancing-mancing kemarahanku agar kau kubebaskan dan kutantang bertanding, Pujo. Sebentar lagi kau mampus. Nah, rasakan ini!"

Kakinya melayang dan

"ngekkk!" kaki itu bersarang di perut Pujo! Betapapun Pujo mengerahkan tenaga, namun karena tenaga lawannya juga amat kuat, maka is meringis kesakitan.

"Desss! Plakk! Bukk!!"

Jokowanengpati terus menghantam dan memukuli seluruh tubuh Pujo.

"Jahanam pengecut, keparat!"

Kartikosari yang baru saja siuman itu menjerit-jerit ketika menoleh dan melihat suaminya dipukul tanpa dapat membalas sedikitpun karena tangan dan kakinya terikat. Makian Kartikosari menolong Pujo. Jokowanengpati menghentikan siksaannya, lalu melangkah mendekati Kartikosari. Mukanya yang tampan itu menyeringai, matanya memandangi tubuh yang montok, melahapnya penuh nafsu.

"He-he-he, kau makin cantik jelita saja, Kartikosari. Kau makin ayu denok. Ah, ingatkah kau malam hari itu di dalam guha? Alangkah senangnya!"

"Jokowanengpati manusia rendah! Binatang! Tutup mulutmu yang kotor dan bunuhlah aku kalau kau tidak berani menghadapi aku bertanding secara jantan!" Pujo berteriak-teriak marah.

"Ha-ha-ha-ha! Pujo, sepuluh tahun yang lalu kau hanya menduga-duga, sekarang akan kausaksikan dengan mata kepalamu sendiri bahwa akulah yang akhirnya mendapatkan Kartikosari, bukan engkau! ....... Ha-ha-ha!"

Jokowanengpati mendekat dan dengan lagak kurang ajar mencium bibir Kartikosari. Wanita itu membuang muka sehingga hanya pipinya yang kena cium.

"Bedebah! Binatang ....... !!" Kartikosari memaki.

"Joko, iblis laknat engkau!" Pujo hanya dapat memaki dengan amarah meluap-luap.

Jokowanengpati kembali menghadapi Pujo, lalu memperlihatkan tangan kirinya. Kelingkingnya buntung mengerikan.

"Kau lihat ini ? Kau tadi menanyakan mengapa Kelingking kiriku buntung? Ha-ha-ha, Kartikosari. Bukankah kelingking ini ketika dengan liar kau menyatakan sayang dan kasihmu kepadaku, Manis? "

"Jahanam.......! Kubunuh....... engkau......... !!! " Kartikosari hampir pingsan saking marahnya.

"BUNUH? Kau membunuh aku? Heh-heh-heh! Suamimu inilah yang akan kubunuh. Lihat!"

Jokowanengpati kembali menghantam, kali ini ke arah dada Pujo. Kartikosari menjerit, Pujo mengerahkan tenaga dan ......

"Bukkk!" pukulan jatuh dengan hebatnya, rnembuat Pujo sesak bernapas dan mukanya pucat. Akan tetapi ia tidak mati, pingsanpun tidak, hanya menderita nyeri bukan main.

"Ha-ha-ha, akan kubunuh dia perlahan- lahan, kusiksa dia perlahan-lahan, di depan matamu, Kartikosari. Ya, di sini, di depanmu! Akan tetapi, dia harus melihat dulu betapa kau adalah milikkul Heh, Pujo. Katakanlah, ada yang akan kau lakukan kalau aku menggagahi Kartikosari di sini, di depan matamu ?"

"Jokowanengpati, kaubunuhlah aku! Bunuhlah Aku dan kalau perlu, kaubunuh pula Isteriku, jangan kau lakukan penghihaan biadab ini!"

Pujo akhirnya mengeluh. Sementara itu, Kartikosari menangis karena wanita inipun maklum betapa kehormatannya terancam penghinaan yang lebih hebat daripada kematian. Betapa ia dan suaminya sama sekaii tidak berdaya, tak mampu berbuat apa-apa.

"Heh-heh-heh, salah siapa? Kenapa Isterimu begini cantik, begini molek, begini menggairah kan! Dan mengapa kau kebetulan berdiri di tengah jalan menghalangi kesenangan hidupku? Ha-ha, kau akan menyaksikan betapa senangnya aku memiliki tubuh isterimu, kemudian dia akan melihat kau mampus. Aduh, alangkah manis dan nikmatnya pembalasan!"

Jokowanengpati tertawa-tawa berkakakan , Suami isteri itu memandang penuh kengerian dan diam-diam mereka menganggap betapa musuh besar ini telah menjadi gila. Mereka berdua memendam sakit hati bertahun-tahun, mengharapkan pembalasan. Sekarang setelah bertemu dengan musuh besar, mereka tertahan dan si musuh besar ini malah bicara tentang nikmatnya membalas dendam! Siapa sebetulnya yang mendendam ? .

Kartikosari diam-diam mengambil keputusan untuk tidak melawan, membiarkan dirinya diperhina, bahkan akan diusahakan agar Jokowanengpati mengira dia membalas cumbu rayu dan cintanya, agar orang ini menjadi lengah, kemudian ia akan mencari kesempatan baik untuk mengirim serangan maut! Pujo sendiri sudah putus harapan, tidak tahu bagaimana ia akan dapat menolong isterinya. Kematiannya sendiri yang sudah diambang mata tidak dihiraukan, hanya keadaan isterinya yang membuat ia putus harapan dan risau.

Sepasang suami isteri ini benar-benar sudah merasa putus asa, tidak melihat jalan keluar, hanya dapat menyerahkan nasib di tangan Hyang Widi . Hanya penyerahan bulat inllah yang membuat mereka masih bertahan, dengan hiburan batin bahwa akhirnya toh kematian akan menamatkan segala derita.

Jokowanengpati sudah kelihatan buas. Sambii menyeringai seperti iblis ia sudah menanggalkan bajunya, menanggalkan destarnya. Dibentangnya kainnya di atas lantai, di depan Pujo yang memandang dengan mata terbelalak tanpa cahaya. Semua ini dilakukan oleh Jokowanengpati lambat-lambat, sengaja untuk menyiksa perasaan hati Pujo. Kemudian ia bangkit berdiri, melangkah mendekati Kartikosari sambil berkata, manis-manis buatan,

"Marilah, wong ayu ...... "

Akan tetapi pada saat itu, terdengar orang batuk-batuk dan di depan pintu ruangan itu muncul dua orang pengawal yang memandang ke arah Jokowanengpati dengan wajah serius.

"Setan! Mau apa kalian?" bentak Jokowanengpati, menarik kembali kedua tangannya yang tadi sudah hampir menyentuh tubuh Kartikosari. Wanita itu meramkan kedua matanya dengan tubuh lemas dan isak tertahan.

"Maafkanlah hamba, radenmas, hamba tidak berani mengganggu...... akan tetapi...... perlu melaporkan bahwa menurut penjaga, dua orang tawanan ini tadi datang bersama seorang wanita lagi yang kini entah menghilang kemana."

Seperti disengat kelabang Jokowanengpati memutar tubuhnya serentak memandang Pujo dan Kartikosari. Pujo masih membelalakkan kedua mata penuh kebencian, sedangkan Kartikosari membuang muka ke samping, matanya masih dipejamkan, dadanya yang membusung padat itu bergerak naik turun. Dengan langkah lebar Jokowanengpati mengbadapi Pujo dan membentak,

"Hayo katakan, siapa wanita itu? Dan di mana dia sekarang?"

Pujo tersenyum mengejek.
"Hemm, manusia yang diperhamba nafsu macam engkau ini, jokowanengpati, selalu dibayangi rasa cemas akan datangnya hukuman atas perbuatan-perbuatanmu yang terkutuk. Memang takkan meleset lagi, manusia rendah dan hina, hukuman itu akan datang, bagaikan pedang yang selalu tergantung di atas tengkukmu. Tentang wanita itu, kau carilah sendiri ! "

"Plak-plak-plak!"

Dalam amarahnya Jokowanengpati menampar dan menghantam muka Pujo sehingga mengucurlah darah dari hidung dan mulut Pujo. Namun sedikitpun Pujo tidak mengeluh, masih tersenyum mengejek dan baru dia mengusap darah itu dari pundak kanan kiri ketika dengan muka keruh, Jokowanengpati melompat keluar ruangan itu.

"Kalian jaga baik-baik mereka, awas, jangan sampai terlepas!"

Demikian Jokowanengpati berpesan kepada empat orang penjaga di depan kamar tahanan, kemudian pergi bersama dua orang pelapor tadi untuk mencari wanita yang dikabarkan datang bersama Pujo dan Kartikosari, dan yang katanya hilang tak meninggalkan jejak. Perlu diperiksa seluruh isi kadipaten, pikirnya.

Belum lama Jokowanengpat pergi, sesosok bayangan yang luar biasa gesitnya menyelinap di tempat gelap mendekati pintu ruangan, kemudian bagaikan halilintar menyambar, tubuhnya bergerak menerjang empat orang penjaga itu, tangannya bergerak dan mata pisau berkilat. Empat orang pengawal yang sama sekali tidak menyangka akan datangnya serangan hebat ini, terkena tusukan di bagian tubuh yang mematikan. Mereka roboh dan berkelojotan, hanya mampu mengeluarkan sedikit suara. Bayangan itu lalu melompat ke dalam kamar dan ternyata dia adalah Roro Luhito yang membawa sebuah pisau belati!

"Oh ...... diajeng, syukur kau datang........ ! "

Kartikosari berseru girang sekali. Memang tadi dia dan suaminya juga mengharapkan pertolongan Roro Luhito, akan tetapi mengingat akan saktinya Jokowanengpati ditambah bantuan para pengawal, rnereka sudah putus harapan karena mereka bersangsi apakah Roro Luhito akan mampu menghadapi Jokowanengpati dan kaki tangannya. Kini puteri ayu itu muncul setelah Jokowanengpati keluar, sungguh amat membesarkan hati.

Pujo juga rnemandang girang, akan tetapi tidak kuasa mengeluarkan kata-kata. Ia hanya terheran-heran melihat bekas air mata di kedua pipi wanita itu, dan tampak betapa kedua tangan Roro Luhito gemetar ketika ia menggunakan pisau belati untuk mengiris putus belenggu yang mengikat kedua lengan dan kaki Pujo dengan isterinya.

Bagaimanakah Roro Luhito tahu-tahu muncul di tempat tahanan rahasia itu? Seperti kita ketahui, puteri adipati ini memasuki kadipaten melalui pintu rahasia yang berada di taman sari. Agaknya Jokowanengpati dan kaki tangannya belum menemukan pintu rahasia ini sehingga ia dapat masuk dengan leluasa tanpa ada gangguan. Biarpun rumah besar itu adalah rumahnya dan sejak lahir sampai enam belas tahun lamanya ia tidak pernah meninggalkan rumah ini, namun Roro Luhito merasa asing. Sudah sepuluh tahun ia meninggalkan rumah ini. Kini usianya sudah dua puluh enam tahun. Betapa besar rindunya kepada ayah bundanya.

Akan tetapi sekarang ia merasa asing, seakan-akan memasuki rumah orang lain. Hal ini adalah karena ia tidak melihat seorangpun manusia yang dikenalnya dalam rumah itu. Dengan amat hati-hati ia memasuki rumah dan bersembunyi, melihat wajah-wajah pengawal yang asing, melihat wajah pelayan-pelayan wanita muda cantik-cantik yang asing pula.

Celaka, pikirnya. Benar-benar Kadipaten Selopenangkep telah diambil alih dan ke manakah perginya keluarganya? Ke manakah ibunya, ayahnya, isteri-isteri lain dari ayahnya? Ke mana perginya kakaknya, Wisangjiwo dan mbakyu iparnya, Listyokumolo?. Dengan hati penuh kegelisahan Roro Luhito lalu menyelinap ke belakang. Ia melihat empat orang wanita muda, dandanannya seperti pelayan, akan tetapi pakaiannya itu baru dan rapi, orangnya masih muda-muda dan cantik, sedang bercakap-cakap sambil terkekeh genit. Roro Luhito mengenal seorang di antara mereka, seorang penari yang seringkali dahulu bermain di pendopo kadipaten. Ia tidak tahu siapa namanya, akan tetapi wajah itu masih diingatnya. Ia menyelinap, mendekat akan tetapi tetap bersembunyi.

"Wah, Lasmini tentu menerima Hadiah hebat dari Raden Mas Joko!" kata seorang di antara mereka yang berkutang kuning.

"Dengan menyuguhkan keponakanmu yang remaja dan cantik itu, tentu hadiahnya besar, kalau tidak engkau sendiri menerima kehormatan melayani radenmas ...... hi-hi-hik!"

"Hisshh!" desis yang berkutang biru, yaitu wanita yang dikenal Roro Luhito. "Jangan bicara sembarangan, kau ! Keponakanku itu bocah tak tahu diuntung Tidak menurut, menyepak-nyepak meronta-ronta ketika dibawa masuk, sungguh memalukan hatiku dan juga menguatirkan. Jangan-jangan Raden Mas Joko akan marah....."

"Mana bisa marah?" sambung orang ke tiga. "Dik Lasmini agaknya tidak tahu akan kesukaan Raden Mas Joko. Menurut kakangmas Banu ...... "

"Hi-hik ! Pacarmu yang baru itu, pengawal yang bertugas di luar pintu gerbang, yang kumisnya tebal hidungnya panjang?" orang ke empat memotong.

"Hushh, jangan buka rahasia orang, dong !" seru yang digoda.

"Bagaimana kesukaan Raden Mas Joko?" desak Lasmini.

"Menurut ...... eh, kakangmas Banu, justeru bocah yang seperti keponakanmu itulah yang disukai Raden Mas Jokowanengpati, lebih suka yang demikian daripada yang jinak dan penurut. Katanya....... eh, katanya beliau lebih menyukai kuda liar daripada kuda jinak. Entah apa maksudnya, hi-hihik!"

Empat orang itu tertawa cekikikan. Muak rasa hati Roro Luhito mendengar percakapan ini, dan kebenciannya terhadap Jokowanengpati makin mendalam. Cepat ia mengambil empat buah batu kerikil, tangannya lalu diayun dan empat orang wanita itu roboh pingsan karena pelipis mereka disambar batu kerikil yang meluncur cepat dan kuat. Di Iain saat, tubuh Roro Luhito sudah berkelebat masuk dan melompat keluar lagi sambil memanggul Lasmini yang masih pingsan. Dengan gerakan laksana burung srikatan, cepat dan trampil, Roro Luhito berlompatan ke dalam taman sari, lalu keluar lagi dari taman sari melalui pintu rahasia, membawa tawanannya ketempat gelap di luar tembok kadipaten.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan bingungnya hati Lasmini ketika ia siuman kembali, tahu-tahu ia telah berada di bawah pohon, di udara terbuka, hanya diterangi bintang dan bulan sepotong. Serasa mimpi ia bangun duduk, dan memandang bengong kepada wanita cantik yang berdiri di depannya. Kini Roro Luhito tahu nama wanita ini, maka segera ia menegur,

"Lasmini, masih kenalkah engkau kepadaku?"

Lasmini bangkit berdiri. Rasa nyeri dan takutnya lenyap ketika ia mendapat kenyataan bahwa yang berdiri di situ adalah seorang wanita pula, seorang manusia, bukan setan.

"Bagaimanakah saya bisa berada di sini? Kepalaku pening tadi dan ...... "

Ia meraba pelipisnya dan kagetlah ia karena di pelipis kanannya kini tumbuh bisul! .

"Aduhhh ...... kenapa pelipisku ini ...... ?"

"Jangan banyak cerewet! Akulah yang merobohkan kau dan tiga orang temanmu tadi. Lihat baik-baik, siapa aku?"

Lasmini kaget, mulai gelisah hati, lalu memandang dan mengingat-ingat.
"Serasa kenal ...... eh, bukankah andika ini ...... Raden Ajeng Roro Luhito ...... ?"

"Hemm, ternyata engkau masih mengenalku .." kata Roro Luhito, agak terharu.

"Aduh, den ajeng....!" Lasmini lalu menjatuhkan diri, memeluk lutut wanita perkasa itu sambil menangis.

"Diam, tak usah menangis. Mari duduk yang baik dan ceritakan semuanya. Àpà yang terjadi di kadipaten? Dan kemana ayah bunda dan keluargaku semua?"

Lasmini masih menangis terisak-isak, kemudian setelah agak reda ia bercerita. Cerita yang membuat Roro Luhito terkejut bukan main, membuat wajahnya sebentar pucat sebentar merah dan giginya yang putih berkerot saking marahnya. Untung bagi Roro Luhito bahwa ia menculik Lasmini sehingga ia dapat mendengar semua urusan yang terjadi di situ. Lasmini adalah penari muda cantik yang dulu pernah diganggu oleh Cekel Aksomolo, bahkan dikorbankan kepada cekel tua yang mata keranjang itu.

Lanjut ke Jilid 043 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment