Ads

Friday, December 28, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 043

◄◄◄◄ Kembali

Karena sejak peristiwa itu wataknya lalu berubah genit dan jalang, mudah saja bagi Lasmini untuk menarik perhatian dan ia berhasil menarik hati seorang perwira pasukan kota raja sehingga mendapat kepercayaan dari Jokowanengpati dan dijadikan pelayan.

Dari perwira yang menjadi pacarnya itulah Lasmini mendengar akan semua peristiwa yang kini ia ceritakan sambil menangis di depan Roro Luhito. Betapapun juga, karena semenjak kecilnya ia "ngenger" (mengabdi) Adipati Joyowiseso, ada juga kesetiaan dan keharuan menyelinap di hatinya ketika bersua dengan puteri bekas gustinya itu.

Memang terjadi perubahan besar dalam persekutuan antara Adipati Joyowiseso dan tokoh-tokoh sakti termasuk Jokowanengpati, setelah terjadi perpecahan di kota raja antara Pangeran Sepuh (Tua) dan Pangeran Anom (Muda). Jokowanengpati dan tokoh-tokoh sakti yang tadinya membantu niat berontak adipati ini, melihat kesempatan yang lebih besar untuk kemuliaan di kemudian hari. Mereka seakan-akan tidak menghiraukan lagi Adipati Joyowiseso setelah mereka diberi kesempatan oleh Pangeran Anom yang pandai mengumpulkan tenaga orang-orang sakti untuk mencapai cita-citanya, yaitu menguasai kerajaan yang diperebutkan dengan kakak tirinya, Pangeran Sepuh.

Melihat ini, Adipati Joyowiseso tentu saja juga menyerahkan diri menghamba kepada Pangeran Anom, akan tetapi dalam perebutan kekuasaan secara diam-diam itu, tenaga sang adipati belum sangat dibutuhkan sehingga adipati ini terdesak oleh Jokowanengpati, Cekel Aksomolo, dan yang lain.

Perubahan besar terjadi ketika secara tiba-tiba Wisangjiwo yang tadinya juga menjadi kepercayaan Pangeran Anom membalik dan menghamba kepada Pangeran Sepuh! Hal ini benar-benar mengejutkan dan tidak dimengerti oleh orang lain, juga tidak dimengerti pula oleh Adipati Joyowiseso sendiri. Kejadian aneh ini ada sebabnya, yaitu sejak Wisangjiwo ditangkap oleh Pujo di pantai selatan! Ketika mendapat kesempatan melarikan diri setelah ikatannya dilepaskan oleh Kartikosari, Wisangjiwo diam-diam bersembunyi dan mendengarkan percakapan suami isterl itu.

Alangkah kaget hatinya mendengar akan perbuatan Jokowanengpati yang luar biasa kejinya. Dia sendiripun seorang laki-laki rnata keranjang, akan tetapi tak pernah ia melakukan perbuatan keji seperti yang dilakukan Jokowanengpati. Tahulah ia bahwa Jokowanengpati orang yang telah memperkosa Kartikosari di dalam guha, mempergunakan namanya! Sungguhpun Kartikosari ketika bercerita kepada Pujo tidak menyebut-nyebut nama karena suami isteri itu sendiri masih menduga-duga, ia yakin bahwa Jokowanengpatilah orangnya. Kelingking kiri Jokowanengpati juga buntung! Pantas saja pengakuan Jokowanengpati tentang kelingking itu berubah-ubah Dan perbuatan Jokowanengpati itulah yang mendatangkan dendam di hati Pujo dan Kartikosari, sehingga terjadi penyerbuan ke Kadipaten Selopenangkep dan puteranya terculik! Semua gara-gara Jokowanengpati.

Mulai menyesallah hati W isangjiwo. Mulai terbuka matanya betapa Pujo dan Kartikosari adalah korban-korban keganasan orang jahat. Mulai insyaf ia betapa semua itu juga merupakan akibat daripada kesesatannya sendiri. Ia menyesal dan insyaf bahwa dengan menghamba kepada Pangeran Anom, ia bersekongkol dengan orang-orang jahat macam Jokowanengpati, Cekel Aksomolo, dan lain-lain. Inilah yang menyebabkan Wisangjiwo mengambil keputusan bulat, "menyeberang" kepada Pangeran Sepuh. Karena ia dahulu masuk dan mengabdi kerajaan atas perantaraan Ki Patih Narotama, tentu saja Pangeran Sepuh suka menerimanya dengan girang.

Wisangjiwo yang kebingungan, kehilangan pegangan dan merasakan pahitnya bibit yang ia tanam sendiri dahulu itu, sama sekali tidak menyangka bahwa Pangeran Anom menjadi marah sekali kepadanya. Tentu saja Pangeran Anom tidak berani berterang menyuruh orang menyerangnya di depan mata Pangeran Sepuh, akan tetapi atas hasutan Jokowanengpati, Pangeran Anom lalu mengutus pasukan pengawalnya, dikepalai Jokowanengpati dan kedua wanita iblis Ni Durgogini dan Ni Nogogini, mendatangi Selopenangkep dan memberi hukuman kepada keluarga Wisangjiwo, yaitu semua penghuni kadipaten dengan tuduhan memberontak yang diperkuat oleh Jokowanengpati! .

Pasukan kota raja amat terlatih dan kuat, apalagi dikepalai oleh seorang sakti seperti Jokowanengpati dibantu Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Tanpa perlawanan berarti, Kadipaten Selopenangkep dapat diserbu, banyak di antara keluarga kadipaten dibunuh, dan kadipaten diambil alih. Peristiwa itu sudah terjadi beberapa pekan lamanya. Kemudian, Lasmini menceritakan pula betapa Jokowanengpati dibantu oleh Ni Durgogini dan Ni Nogogini, pergi ke Sungapan, katanya hendak mencari pusaka Mataram, demikian cerita pacarnya.

"Baru tadi mereka bertiga kembali dari Sungapan, den ajeng. Malah dua orang wanita yang menakutkan itu siang tadi terus pergi, kabarnya hendak pergi ke kota raja. Ah, banyak kejadian mengerikan, den ajeng. Malah belum lama tadi, menurut pengawal dalam, ada dua orang musuh tertawan, kini dikurung dalam kamar tahanan bawah tanah yang menyeramkan itu ...... "

"Begitukah ...... ??"

Roro Luhito terkejut karena dapat menduga bahwa dua orang musuh yang dimaksudkan itu tentulah Pujo dan Kartikosari.

"Dan ayah di mana sekarang ...... ? Masih ...... masih hidupkah ...... ?"

Lasmini menangis tersedu-sedu. Roro Luhito berdebar hatinya dan ia mengguncang-guncang pundak wanita itu, kehilangan sabar.

"Hayo cepat jawab, di mana ayah dan ibu?"

"Hamba....... hamba tidak tahu jelas ... kabarnya ...... gusti adipati ditahan dalam kamar tahanan di belakang..dijaga keras...... "

Roro Luhito meloncat berdiri tegak.
"Keparat kau Jokowanengpati!" serunya marah. Kemudian sekali renggut, ia melepaskan kemben yang melibat pinggang ramping Lasmini. Wanita itu kaget sekali, tubuhnya gemetar wajahnya pucat.

"Raden ajeng....... hamba ....... hamba.. "

"Diam ! Kau juga bukan manusia baik-baik, Lasmini. Kau mengorbankan keponakanmu yang masih kecil untuk memuaskan nafsu jahat Jokowanengpati, agar kau disuka dan mendapat kedudukan baik. Kau perempuan rendah dan keji, sudah sepatutnya kalau kubunuh engkau. Akan tetapi karena kau telah menceritakan semua dengan jujur, kuampunkan nyawamu!"

Sambil bicara, Roro Luhito menelikung (mengikat kaki tangan) Lasmini seperti kambing akan disembelih.

"Katakan, selain Jokowanengpati dan para pengawal, ada siapa lagi di sana? Para pinisepuh (orang tua) sakti maksudku."

Dengan tubuh menggigil ketakutan Lasmini pienjawab,
"Ti ...... tidak ada lagi, setelah dua orang wanita iblis itu pergi ...... "

Roro Luhito menggunakan tangannya merenggut putus ujung kemben, menyumpal mulut Lasmini, tubuh Lasmini terguling ke dalam gerombola alang- alang. Cepat Roro Luhito kembali memasuki pintu rahasia di taman sari, masuk dengan hati-hati, langsung ia menuruni jalan rahasia dari kamar belakang yang kosong, yang membawanya ke bagian bawah tanah di mana terdapat beberapa ruangan untuk menahan tawanan-tawanan penting.

Tentu saja ia hafal akan keadaan di kadipaten ini. Menurutkan kata hatinya memang ia ingin segera pergi menjenguk ke belakang gedung, ke tempat tahanan di mana mungkin ia dapat bertemu dengan ayah bundanya, akan tetapi pikirannya mengingatkan bahwa untuk bergerak selanjutnya, tak mungkin dapat ia lakukan tanpa bantuan Pujo dan Kartikosari.

Ia tahu bahwa Jokowanengpati adalah seorang sakti. Biarpun sekarang ia tidak takut, dan belum tentu kalah setelah ia menerima gemblengan gurunya, Resi Telomoyo, namun ia harus berlaku hati-hati, apalagi kalau diingat bahwa Jokowanengpati dibantu oleh banyak pengawal. Baru saja menuruni ruangan di bawah tanah, yang agak gelap, tiba-tiba seorang penjaga. sudah menegurnya.

"Hordah ! Siapa ini ..... ??"

Dan sebelum ia sempat menjawab, penjaga itu sudah mencabut pisau belatinya dengan tangan kanan, lalu tangan kirinya mencengkeram ke arah pundak sambil berbisik,

"Ah, kau dayang dalam jangan berteriak!"

Penjaga itu dengan dengus penuh nafsu menyeringai dan hendak menciumnya, pisau belati dipakai mengancam, tangan kiri hendak berkurang ajar. Bagaikan kilat cepatnya, sekali menggerakkan tangan, Roro Luhito sudah membuat dua gerakan. Pertama merampas pisau dan kedua membenamkan mata pisau ke dalam dada penjaga sambil rnelompat mundur sehingga ketika tubuh penjaga yang jantungnya sudah ditembus pisau itu roboh, darah yang muncrat tidak mengenai bajunya. Kemudian, setelah membersihkan pisau pada baju korbannya, Roro Luhito melanjutkan perjalanan, berindap-indap di ruangan bawah, pisau tajam di tangannya.

Demikianlah, secara kebetulan sekali Jokowanengpati pergi meninggalkan ruangan tahanan, menyerahkan penjagaan kepada empat orang penjaga itu, menunda niatnya yang amat keji, niat yang kiranya hanya dapat dilakukan oleh iblis. Karena empat orang penjaga tidak menyangka-nyangka, secara mudah sekali mereka menjadi korban pisau belati di tangan Roro Luhito. Dengan menahan kemarahan dan tergesa-gesa, Roro Luhito membebaskan suami isteri itu, lalu berbisik,

"Lekas, mari keluar dari sini! Kalian bantu aku menyelidiki orang tuaku...ini"

Suaranya gemetar dan tangannya menarik lengan Kartikosari diajak keluar tahanan. Pujo mengikuti dari belakang setelah mengambil kerisnya Banuwilis dan cundrik isterinya yang tadi terlepas di lantai ketika mereka berjuang melawan asap belerang. Tanpa bicara ia menyerahkan cundrik isterinya dan mereka bertiga kini keluar dari kamar, senjata masing-masing di tangan.

Roro Luhito sudah membuang pisau rampasannya, kini juga menghunus kerisnya dan memegang di tangan kanan. Berkat ketrampilan Roro Luhito yang hafal benar akan keadaan di dalam kadipaten, mereka bertiga dapat keluar dari ruangan di bawah tanah, lalu langsung ke bagian belakang gedung kadipaten yang luas itu. Sunyi saja keadaannya. Tidak tampak seorangpun penjaga maupun pelayan, seakan-akan semua orang telah meninggalkan gedung. Di depan pintu kamar tahanan yang letaknya di belakang gedung, Roro Luhito berhenti, ragu-ragu.

"Tidak baik ini.... " bisiknya.

"Ada apakah, diajeng?" Pujo berbisik pula.

"Begini sunyi, tiada rintangan ...... "

Kartikosari melangkah maju.
"Terjang saja ke dalam. Takut apa?"

Penuh semangat tiga orang itu mendorong daun pintu kamar tahanan, Daun pintu terbuka dan...... Roro Luhito menahan pekik, lalu menerjang masuk diikuti Pujo dan Kartikosari.

"Ha-ha-ha-ha! Sudah kuduga tentu engkau yang datang, adinda yang manis Roro Luhito! Berhenti! Maju setindak lagi, keris ini akan memasuki tubuh ayahmu!"

Dengan muka pucat Roro Luhito terpaksa tidak berani bergerak, juga Pujo dan Kartikosari karena pada saat itu, Jokowanengpati sedang mengancamkan kerisnya pada dada Adipati Joyowiseso yang kelihatan lemah dan lemas. Jelas bahwa orang tua itu banyak menanggung penderitaan, bajunya compang-camping, membayangkan kulit tubuh yamg luka-luka, wajahnya pucat sekali dan ia tampak lemas kehabisan tenaga.

"Ayahh ...... !"

Roro Luhito terisak, akan tetapi tidak berani mendekati. Adipati Joyowiseso menggerakkan kepalanya dengan lemah, menoleh dan memandang puterinya. Kedua matanya menjadi basah dan dua butir air mata membasahi pipinya yang cekung.

"Jahanam Jokowanengpati!" Puteri adipati itu kini mendamprat dengan mata mendelik, berapi-api sinarnya ditujukan ke arah Jokowanengpati, musuh besarnya yang tidak saja telah menodai dirinya, akan tetapi yang kini malah mendatangkan malapetaka kepada keluarga ayahnya.

"Lepaskan ayahku!!"

"Jokowanengpati iblis keparat, binatang terkutuk ...... !" Kartikosari juga memaki saking bencinya.

"Dosamu bertumpuk-tumpuk, Jokowanengpati. Kini tiba saatnya engkau membayar, tiba saatnya engkau menerima hukumanmu!" Pujo berkata, kerisnya digenggam erat-erat.

Menghadapi ancaman tiga orang lawan tangguh ini, Jokowanengpati tertawa.

"Ha-ha-ha-ha! Kalian sudah masuk perangkap, masih banyak berlagak? Lihat, kalian sudah terkurung!"

Ketiga orang itu melirik ke belakang dan benar saja. Kalau tadinya tak tampak seorangpun penjaga, kini pintu kamar itu penuh dengan pasukan yang berjejal di luar. Jalan keluar sudah tertutup! Namun mereka tidak takut sama sekali. Satu-satunya hasrat hati yang ada hanyalah menerjang dan merobohkan Jokowanengpati, melampiaskan dendam kesumat. Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang berani bergerak maju karena lawan yang licik itu telah menodong Adipati JoYowiseso.

"Lepaskan ayahku! Pengecut, tak tahu malu!" Kembali Roro Luhito membentak.

"Kalian bertiga yang harus melepaskan senjata. Hayo buang senjata! Lihat! Haruskah aku menyiksa lebih dulu kakek ini?"

Jokowanengpati menekan ujung keris di dada Joyowiseso, tepat di ulu hatinya. Jelas tampak betapa ujung keris yang runcing itu merobek kulit dan beberapa titik darah menetes keluar.

"Uuhhhggghh !" Joyowiseso mengeluh, menahan rasa perih.

"Tidak lekas membuang senjata?" Jokowanengpati inengancam.

"Uuuuuhhhggh....!" Kembali Joyowiseso mengeluh.

Anak mana yang tidak akan hancur luluh hatinya menyaksikan ayahnya diancam maut ? Roro Luhito tak dapat lagi menahan hatinya. Dilemparkannya keris di tangan itu ke lantai, lalu ia lari menubruk ayahnya.

"Ayahhhh ...... ! |

"Luhito ...... uhphh, Luhito anakku ...... "

Ayah dan anak itu bertangis-tangisan. Pujo dan Kartikosari tidak dapat menyalahkan Roro Luhito. Dengan kemarahan meluap mereka hendak menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba dari belakang mereka menyambar angin yang aneh. Mereka cepat membalikkan tubuh dan ...... selembar jala telah melayang dan mengembang, langsung menubruk mereka. Suami isteri ini tak mungkin dapat mengelak lagi karena jala itu amat lebar. . Namun mereka tidak gentar karena apakah hebatnya selembar jala? Tentu mudah diputuskan!

Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika jala itu menyelimuti tubuh dan mereka berusaha meronta dan membabat dengan keris, jala itu tidak dapat dibabat putus! Kiranya itu bukanlah jala ikan biasa, melainkan jala yang terbuat daripada bahan yang tidak dapat diputus senjata tajam Mereka hanya dapat meronta-ronta dan bergerak-gerak seperti dua ekor ikan terkena jaring!

"Ha-ha-ha, Pujo manusia goblok! Sekarang kau hendak lari ke mana? Ha-ha-ha! Hayo rampok (keroyok) keparat ini sampai hancur tubuhnya, akan tetapi awas, jangan bunuh yang betina. Ha- ha-ha!"

Para penjaga itu berlomba maju untuk mengeroyok Pujo yang sudah berselimut jala. Pedang, golok dan tombak menghujam ke arah tubuh Pujo. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar jeritan yang merupakan lengking tinggi dan tahu-tahu dua orang penjaga yang terdepan, terpelanting seperti disambar petir.

"Hayo siapa berani maju mengantar nyawa! Majulah, keparat kalian semua! Siapa berani menyentuh kakangmas Pujo, hendak kulihat orangnya!"

Roro Luhito berdiri dengan sikap seperti Srikandi, kedua tangannya terkepal kedua kakinya terpentang, tubuhnya agak merendah, matanya mengeluarkan sinar berapi-api, berdiri membelakangi Pujo dan Kartikosari, bagaikan seekor singa betina melindungi anak-anaknya ! .

Melihat dua orang penjaga tadi roboh terpelanting dan tak dapat bangun lagi karena tulang dada dan tengkorak kepalanya remuk oleh terjangan gadis ini, para penjaga yang lain menjadi kesima dan jerih. Jokowanengpati juga terperanjat sekali. Sepak terjang Roro Luhito tadi benar-benar hebat luar biasa. Tidak disangka-sangkanya kalau gadis itu memiliki kepandaian sedemikian hebatnya , Iapun terheran-heran mengapa gadis ini menolong Pujo dan Kartikosari dari dalam kamar tahanan di bawah tanah, dan sekarang begitu nekat membela Pujo. Bukankah gadis itu seharusnya membenci dan sakit hati kepada Pujo?

"Diajeng Luhito........ dia ....... Pujo itu musuh kita, dialah jahanam yang dahulu memperkosa..."

"Tutup mulutmu yang busuk!!" Roro Luhito membentak, kemarahannya meluap-luap. "Jahanam terkutuk, siapa tidak ketahui perbuatanmu yang keji dan hina?"

Makin kagetlah Jokowanengpati. Celaka, pikirnya. Semua rahasianya agaknya telah terbuka. Tidak saja Pujo dan Kartikosari yang tahu bahwa dialah yang dahulu menggagahi Kartikosari mempergunakan nama Wisangjiwo, bahkan kini agaknya Roro Luhito juga sudah tahu bahwa dialah yang dahulu memperkosa puteri adipati itu mempergunakan nama Pujo! Akan tetapi dasar seorang cerdik, ia segera dapat menekan kegelisahannya dan sekali lagi ujung kerisnya ditekankan di dada Joyowiseso membuat adipati ini yang sudah lemah itu mengeluh kesakitan.

"Diajeng Luhito, lekas tinggalkan mereka, kalau tidak, ayahmu tentu akan kubunuh lebih dulu!"

Roro Luhito bimbang hatinya. Tidak ingin ia melihat Pujo Laki-laki yang dipujanya di dalam hati itu, mati dikeroyok. Akan tetapi bagaimana pula ia dapat melihat ayahnya dibunuh begitu saja? Cinta kasih dan bakti, sama berat! Selagi ia bimbang, ia mendengar suara bisikan Pujo di belakangnya, bisikan yang menggetar penuh perasaan haru.

"Diajeng, minggirlah. Belum tentu mereka dapat membunuh kami "

Ketika melirik dan melihat betapa suami isteri itu masih berdiri dengan keris di tangan, ia dapat mengerti bahwa biarpun sudah berselimut jala, agaknya tidak akan mudah membunuh mereka. Terpaksa ia lari menubruk ayahnya yang kelihatan amat pucat itu.

"Roro ....... anakku........ Pujo tidak berdosa ....... ??*'

Dengan air mata membasahi pipi, Roro Luhito menggeleng kepala. Ia tidak ada waktu untuk melayani percakapan ayahnya, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ayahnya yang membanjir keluar dari bibir yang pucat itu, karena pada saat itu seluruh perhatiannya ia curahkan ke depan, ke arah Pujo dan Kartikosari yang berada di dalam jala. Kembali para penjaga menyerbu dengan senjata-senjata mereka. Akan tetapi, tepat seperti yang diduga dan diharapkan Roro Luhito, begitu suami isteri itu bergerak, keris mereka menyambar di antara lubang-lubang jala dan empat
orang penjaga yang mengeroyok itu roboh dengan darah muncrat-muncrat dari perut mereka!

Jokowanengpati memaki-maki anak buahnya sehingga mereka terpaksa maju terus. Tombak-tombak panjang dating bagaikan hujan. Karena Kartikosari dengan gigih membantu suaminya, kini para penjaga yang panik dan agak gentar itu menjadi ngawur dan asal menyerang saja, tidak perduli Pujo ataupun Kartikosari mereka tusuk dengan tombak. Ribut keadaan di situ dan suami isteri yan gagah perkasa itu dengan gerakan teratur meloncat ke sana ke mari di dalam jala, merobohkan belasan orang perajurit anak buah Jokowanengpati, Para perajurit mengeroyok terus, korban-korban yang roboh diseret keluar.

Tidak mudah bagi para pengeroyok yang hanya memiliki kepandaian biasa itu untuk merobohkan dua orang suami isteri yang sakti. Hujan tombak dan golok itu hanya mampu membuat pakaian suami isteri itu compang-camping dan memang Pujo dan isterinya menderita luka-luka, namun hanyalah luka pada kulit belaka, bekas goresan-goresan senjata tajam dan tusukan-tusukan tombak runcing yang mengakibatkan darah membasahi baju dan jala.

Melihat betapa anak buahnya masih juga belum berhasil merobohkan Pujo malah sebaliknya banyak anak buahnya menjadi korban, Jokowanengpati marah sekali. Ia tahu bahwa Pujo sudah mulai letih, karena Pujo belum pulih dari akibat penyiksaan di dalam kamar tahanan di bawah tanah. Begitu melihat kesempatan baik, Jokowanengpati melompat ke depan dan sekali kaki tangannya bergerak, ia berhasil merampas keris di tangan Kartikosari dan menendang terlepas keris dari tangan Pujo. Suami isteri itu memang mengeluarkan tangan yang memegang keris dari dalam jala.

"Ha-ha-ha-ha, kalian masih hendak memperlihatkan kegagahan?" Jokowanengpati membentak anak buahnya yang sudah hendak menerjang lagi. Ia ingin melampiaskan kemarahannya dengan menyiksa Pujo. Di tangannya telah tampak sebatang cambuk besar dan panjang. Begitu ia menggerakkan tangannya, terdengar suara berdetak-detak dan cambuk itu melecut ke depan, menghantam tubuh Pujo di dalam jala. Bertubi-tubi cambuk itu bergerak dan melecut dan selalu tepat mengenai tubuh Pujo. Kartikosari memaki-maki dan berusaha menangkis ujung cambuk yang begitu keji menghujani tubuh suaminya yang makin lemah. Sementara itu, dengan pertanyaan-pertanyaan mendesak, Adipati Joyowiseso sudah mendengar hal-hal yang terpenting dari mulut puterinya. Mendadak ia memegang tangan puterinya, berbisik,

"Bagaimana kau bisa mendiamkannya saja? Lawan dia! Bantu mereka. Jangan hiraukan aku lagi!"

Memang di dalam hatinya, Roro Luhito yang menonton dengan muka pucat itu sudah ingin sekali turun tangan, hanya ia mengingat akan keselamatan ayahnya maka ia tidak berani meninggalkan ayahnya. Kini mendengar bisikan ayahnya, timbul semangatnya dan tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya mencelat ke depan. Gerakannya ini hebat sekali, pekiknya seperti bukan suara manusia dan ia menerjang Jokowanengpati benar-benar amat aneh sehingga Jokowanengpati terkejut bukan main, cepat membuang diri ke belakang. Sungguhpun ia berhasil mengelak, namun secara aneh dan tiba-tiba pecutnya sudah terampas oleh Roro Luhito.

Jokowanengpati yang cerdik maklum bahwa gadis itu sudah nekat dan agaknya percuma mengancamnya melalui ayahnya, maka ia segera memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk maju mengeroyok. Ia sendiri juga menerjang maju hendak meringkus Roro Luhito yang cantik manis akan tetapi kini memiliki ilmu kepandaian hebat itu.

Kembali ramai di dalam ruangan tahanan yang luas itu. Roro Luhito yang telah kehilangan kerisnya, kini mengamuk dengan cambuk rampasannya, Ia tidak pandai bermain cambuk, akan tetapi karena ilmunya tinggi, hantaman cambuknya amat hebat dan sekali terpukul cambuk, seorang pengeroyok tentu akan roboh dan tak dapat bangun kembali, Betapapun juga, karena di situ ada Jokowanengpati yang menerjangnya dengan pukulan-pukulan ampuh, Roro Luhito mulai terdesak mundur dan untuk mencari ruangan yang luas, gadis perkasa ini membuka jalan darah, keluar dari ruangan itu dikejar Jokowanengpati yang merasa penasaran.

Adapun suami isteri yang berada di dalam jala, masih dikeroyok banyak perajurit. Baiknya Kartikosari tadi berhasil menyambar sebuah golok yang terletak di lantai sehingga kini dengan golok ini ia dapat melindungi diri dan suaminya yang sudah lemas.

Pujo tak dapat melawan lagi, sudah rebah di lantai. Biarpun Kartikosari juga memiliki kesaktian, namun wanita ini sudah luka-luka pula sehingga hanya untuk sementara saja ia mampu melindungi hujan tombak dan golok dari luar jala. Ia mulai lelah, pandang matanya berkunang, namun ia bertekat bulat untuk mempertahankan diri dan suaminya sampai saat terakhir.

Roro Luhito setelah tiba di luar kamar dikeroyok oleh banyak sekali perajurit. Ia dikepung dan Jokowanengpati yang merasa tidak leluasa gerakannya, meloncat mundur membiarkan orang-orangnya melakukan pengeroyokan sambil menanti saat dan kesempatan terbaik untuk turun tangan menangkap gadis yang seperti Srikandi itu.

Dari luar kepungan ia berseru,
"Diajeng Luhito, menyerahlah! Ayahmu telah memberikan engkau menjadi calon isteriku. Menyerahlah!"

"Jokowanengpati manusia hina-dina! Hari ini kalau bukan kau yang mampus biarlah aku yang mati mencuci penghinaan!"

Tiba-tiba terdengar suara lengkingan menyeramkan dari luar. Kemudian tampak oleh Jokowanengpati betapa pasukan yang berada di luar menjadi geger. Tampak pula para pepjaga bergelimpangan diterjang oleh sesosok bayangan putih yang mengeluarkan suara seperti seekor monyet.

"Roro Luhito Di mana kau ...??" Bayangan yang mengamuk itu berseru.

"Bapa guru..,....! Bapa resi ...... ! Ke sinilah ...... !!"

Roro Luhito berseru girang sekali. Kembali bayangan yang kini tampak jelas adalah seorang kakek yang bermuka seperti kera itu bergerak dan para penjaga berpelantingan ke kanan kiri.

Jokowanengpati terkejut ketika mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Resi Telomoyo yang sakti mandraguna. Tanpa menanti lebih lama lagi atau memperdulikan nasib anak buahnya, Jokowanengpati yang cerdik dan curang itu sudah menyelinap dalam gelap, terus menyusup-nyusup ke belakang kadipaten, meloncat ke atas punggung kudanya dan selagi pertempuran keroyokan di dalam kadipaten masih ramai dan ribut, ia sudah membalapkan kudanya keluar dari Kadipaten Selopenangkep menuju ke timur! .

Amukan Roro Luhito dan Resi Telomoyo membuat pasukan kota raja yang menguasai Kadipaten Selopenangkep itu kocar-kacir. Sebelum lewat tengah malam, sisa pasukan yang belum menjadi korban amukan guru dan murid ini sudah lari cerai-berai. Para penduduk kota Kadipaten Selopenangkep yang mendengar bahwa puteri adipati yang dahulu lenyap itu kini pulang dan membasmi pasukan musuh yang menguasai kadipaten, berbondong-bondong keluar.

Mereka inilah, dan para pelayan lama, yang membantu Roro Luhito membersihkan kadipaten dari mayat-mayat fihak musuh yang tak sempat dilarikan kawan-kawan yang melarikan diri malam itu. Pada keesokan harinya, kadipaten sudah bersih dari mayat-mayat dan darah.

**** ****
Lanjut ke Jilid 044 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment