Ads

Friday, December 28, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 044

◄◄◄◄ Kembali

Jari-jari kecil panjang dengan kulit halus dan telapak tangan jambon (kemerahan) itu seperti mengeluarkan getaran yang menyentuh jantung ketika meraba-raba punggungnya, membersihkan luka-luka dan membasahinya dengan air obat. Enak rasanya air obat menyentuh punggung, dingin dan mengusir rasa panas dan perih. Namun yang paling terasa sampai menembus jantung adalah getaran hangat jari-jari tangan itu.

Pujo seperti dalam mimpi. Ketika ia membalikkan tubuh, ia melihat secara samar bayangan wanita. Siapa lagi kalau bukan isterinya, Kartikosari. Rindu dendam yang sejak lama ditahan-tahannya, dibendungnya dengan kekuatan hati penuh pengertian bahwa isterinya belum mau berbaik kembali kepadanya, belum mau memenuhi kewajiban sebagai isteri yang melayani kasih sayang suami, sebelum musuh besar mereka terbalas, kini seakan-akan bergolak, membadai dan hendak menggempur dan menjebol bendungan ! .

"Nimas Sari......!" bisiknya dengan suara gemetar ketika kedua lengan Pujo bergerak memeluk pinggang yang ramping, membenamkan muka di dada yang berdebar-debar, penuh rasa kasih sayang. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti ini.

Pujo merasa bahagia, tenang tenteram penuh aman dan damai seperti seorang anak kecil mendekap susu ibunya. Ia merasa puas bahagia karena isterinya tidak menolak bukti kasihnya, pinggang ramping yang dirangkulnya tidak menjauh, dan jantung di dalam dada yang penuh itu terguncang.

"Kakangmas Pujo...... jangan khawatir mbokayu Kartikosari selamat kau...... berbaringlah yang baik agar aku dapat mengobati punggungmu, kakangmas."

Pujo mengejap-ngejapkan matanya, menengadah dan bagaikan disambar petir kagetnya ketika ia melihat bahwa Yang dipeluknya adalah pinggang Roro Luhito. Gadis itu meramkan kedua mata dan dua butir air mata membasahi pipinya yang menjadi merah sekali. Cepat Pujo melepaskan rangkulannya pada pinggang, menatap wajah itu dari atas pembaringan sambil berkata gagap,

"Diajeng Roro....... ah, maafkan aku ...... maafkan ...... "

Bibir yang merah membasah itu merekah dalam senyum, membayangkan kilauan gigi putih di baliknya.

"Tidak mengapa, kakangmas. Kau ngelindur agaknya. Bertelungkuplah, punggungmu perlu diobati. Jangan khawatir, itu mbokayu Sari di situ, tidak apa-apa, agaknya tidur pulas saking lelahnya."

Karena malu dan jengah, Pujo segera bertelungkup. Akan tetapi kepalanya dimiringkan untuk memandang ke arah kiri yang ditunjuk Roro Luhito. Berdegup jantungnya melihat bahwa isterinya, Kartikosari, benar saja berbaring di atas sebuah dipan kayu lain dalam kamar itu. Isterinya rebah terlentang, kedua matanya meram, dadanya turun naik perlahan tanda bahwa isterinya sedang tidur. Benar sedang tidur pulaskah isterinya itu? Bulu matanya bergerak-gerak! Pujo merasa gelisah. Bagaimana kalau isterinya melihat perbuatannya terhadap Roro Luhito tadi?

"Sudah, cukuplah, diajeng. Luka-lukaku hanya luka di kulit, tidak apa-apa. Bagaimana dengan ayahmu, paman adipati?" Pujo berkata dan ia bangkit duduk.

"Ayah amat lemah usianya yang sudah tua membuat ia tidak dapat menahan pukulan batin dan siksaan, sekarang sedang dirawat bapa resi."

Sejenak wajah yang manis itu muram, kemudian tangannya menyerahkan sepasang pakaian baru kepada Pujo sambil berkata,
"Kaupakailah ini, kakangmas. Ini pakaian kangmas Wisangjiwo. Pakaianmu sudah hancur."

Pujo melihat ke tubuhnya. Bajunya sudah tidak merupakan baju lagi, compang-camping, demikian pula celana dan kainnya. Ia menerima sepasang pakaian itu dan pada saat itu Kartikosari bangun.

"Diajeng, bagaimana dengan keluarga ayahmu? Mana ibumu?"

Ditanya demikian, Roro Luhito terisak, lalu menubruk Kartikosari dan menangis di atas pangkuan nya, Dengan suara tersendat-sendat Roro Luhito menceritakan betapa sebagian besar keluarganya terbasmi ketika terjadi penyerbuan pasukan kota raja yang dipimpin Jokowanengpati dan kedua orang wanita iblis Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Juga ibu kandungnya telah tewas dalam penyerbuan itu.

"Jokowanengpati manusia iblis! Dosamu bertumpuk-tumpuk.... ! " kata Pujo dengan marah sambil mengepal tinjunya.

"Sayang sekali iblis itu dapat meloloskan diri ketika paman resi Telomoyo datang membantu," kata Kartikosari penuh penyesalan.

"Kali ini ia lolos, akan tetapi lain kali pasti tidak. Kejahatan takkan dilindungi oleh Hyang Widi!" kata pula Pujo penuh harapan .

Roro Luhito sudah dapat menguasai kesedihannya. Ia bangkit dengan muka basah air mata dan mata agak merah.

"Harap kalian maafkan, aku harus pergi menengok ayah."

"Tidak apa, pergilah, diajeng. Kami tidak apa-apa, yang perlu mendapat perawatan adalah ayahmu," kata Kartikosari.

Puteri adipati itu melangkah keluar dari dalam kamar sambil menundukkan mukanya.

"Sudah sepatutnya dikasihani ...... " terdengar Kartikosari menyambung lirih.

"Dan dia begitu baik, telah menolong kita."

"Ya, dua kali dia telah menolong kita. Di dalam kamar bawah tanah dan ketika kita terkurung jala ...... "

Pujo lalu membaringkan tubuhnya lagi sambii menghela napas panjang. Hening Sejenak di dalam kamar itu. Kemudian terdengar lagi suara Kartikosari,

"Kita berhutang budi kepada diajeng Roro Luhito, kakangmas."

"Engkau benar, nimas. Kita berhutang nyawa."

Hening lagi sejenak. Kini Kartikosari yang menghela napas panjang, jelas terdengar hembusan nafas halus panjang di kamar sunyi.
"Sesungguhnya, kita, terutama engkau, berhutang nyawa kepadanya. Dia malam itu bukan hanya menolong, kakangmas, dia malah rela hendak mengorbankan diri, berkorban nyawa, untukmu...... "

Sesuatu dalam suara Kartikosari membuat Pujo menengok dan memandangnya. Ia melihat Kartikosari sudah duduk dipembaringan, makin cantik dengan kain dan kutang yang serba baru, agaknya diberi pinjam Roro Luhito karena pakaiannya sendiri compang-camping, dengan muka agak pucat sehingga alis yang indah bentuknya itu makin hitam seperti dicat.

"Dan dia cinta kepadamu, kakangmas, cinta yang tulus ikhlas, suci murni, cinta yang membutuhkan balasan dan sudah sepatutnya pula mendapat balasan cinta kasih darimu...... "

Pujo kini melompat bangun, berlutut di depan pembaringan isterinya, memeluk pinggang isterinya dan menelungkupkan muka di atas pangkuannya, seperti yang dilakukan pada Roro Luhito tadi.

"Nimas...... nimas Sari...... apa...... yang kauucapkan itu? Kau...... kau...... cemburu ? "

Ia menengadah, memandang wajah ayu penuh selidik, mencari-cari dengan pandang matanya. Kartikosari menunduk dan jari-jari kedua tangannya membelai rambut kepala suaminya yang kusut, bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan suara lirih,

"Wanita mana di dunia ini yang bebas akan cemburu, kakangmas? Di mana ada cinta, di situ ada cemburu, Wanita mana di dunia ini suka melihat cinta kasih suaminya dibagi dengan wanita lain? Dan akupun hanya wanita biasa, kakangmas. Akan tetapi, aku ingin diajeng Roro Luhito menjadi maduku, aku ingin melihat dia bahagia di sampingku, berkumpul dengan kita selamanya."

"Hishhh! Apakah kau mengigau, nimas Sari? Sadarlah dan buang jauh-jauh rasa cemburu dari hatimu!", Pujo mempererat pelukannya pada pinggang yang ramping itu.

"Dia cinta padamu, kakangmas. Aku percaya dan yakin bahwa cinta kasihmu hanya untukku seorang dan karena ini aku merasa amat bahagia, suamiku. Akan tetapi,,,...., dia amat cinta kepadamu, dia menderita karenamu, bahkan dia rela menderita karena cintanya kepadamu ...... "

"Bagaimapa..,.,. bagaimana kau tahu,...... ?"

"Setiap orang yang tidak buta hati dan matanya akan dapat melihat, akan dapat mengetahuinya. Dahulu dia mencarimu, ingin menghambakan diri kepadamu, sungguhpun dahulu ia mengira bahwa engkaulah yang memperkosanya. Dan setelah tahu bahwa Jokowanengpati yang melakukannya, ia amat membenci Jokowanengpati, akan tetapi masih tetap cinta kepadamu, bahkan menolongmu, dan malam tadi rela hendak mengorbankan nyawa untukmu. Aku tahu bahwa engkau akan bahagia jika membalas cinta kasihnya, kakangmas, dan aku...... aku hanya ingin membuktikan bahwa cinta kasihku kepadamu sedalam Laut Selatan. Aku rela dan bahagia melihat kau bahagia, Bahwa....... aku tetap mencintamu, tetap bersetia kepadamu apapun yang akan terjadi "

"Nimas Sari ...... kau dewiku ...... !"

Pujo bangkit berdiri, merangkul leher dan hendak mencium bibir Isterinya yang sudah amat lama ia rindukan itu, Akan tetapi Kartikosari merenggutkan dirinya, mengelak sambil berkata, tersenyum,

"Stop, kakangmas! Ingat, belum tiba saatnya. Lupakah engkau akan syaratku?"

Tubuh Pujo yang tadinya mengejang penuh semangat dan kegembiraan itu, seketika menjadi lemah dan lesu. Ia kembali menjatuhkan diri berlutut dan mengeluh,

"Nimas Sari, isteriku, tidak kasihankah engkau kepadaku? Aku rindu padamu, nimas."

Bibir itu tetap tersenyum manis, akan tetapi matanya berkejap-kejap menahan air mata, memancarkan pandang penuh kasih mesra, kedua tangannya diulur menyentuh tangan suaminya. Jari- jari tangan mereka saling genggam, penuh getaran yang memancar keluar dari hati masingmasing.

"Kakangmas Pujo, suamiku. jiwa dan raga ini milikmu, sudah kuberikan kepadamu dengan rela sejak dahulu. Akan tetapi ksatria harus menepati janji. Satria harus tahan tapa tahan derita, dan pandai menguasai nafsu diri. Kakangmas, biarlah mulai saat ini kuajukan syarat baru kepadamu Setelah segala yang kita alami aku hanya mau melayanimu dengan segala kerendahan hati, dengan cinta kasih, apabila diajeng Roro Luhito menjadi maduku ! "

"Nimas! Apakah engkau sudah gila ....??"

Pujo bangkit berdiri, memandang wajah isterinya dengan mata terbelalak.

Kartikosari tersenyum.
"Sudahlah, bukan waktunya kita berbantahan Kaupakai pakaianmu pemberian diajeng Luhito dan mari kita menengok keadaan paman adipati. Tidak baik rasanya kalau kita berdua hanya mengeram diri di dalam kamar saja, padahal luka-luka kita hanyalah luka pada kulit."

Pujo hendak membantah, akan tetapi didiamkan oleh senyum Kartikosari yang dengan cekatan menanggalkan baju Pujo yang compang-camping itu. Terharu hatinya melihat betapa isterinya ini membantunya bertukar pakaian, membantunya seolah-olah dia seorang anĂ k kecil yang belum pandai bertukar pakaian sendiri. Sementara itu, diam-diarn Kartikosari terharu dan hampir ia tak dapat menahan isak haru dan gelora hatinya ketika ia menyaksikan kembali bentuk tubuh suaminya yang kokoh kuat dan padat.

Baru saja suami isteri ini keluar dari kamar, datang Roro Luhito berlari-lari. Mereka terkejut dan cemas, akan tetapi lega hati mereka ketika melihat wajah manis itu berseri gembira.

"Kakangmas Pujo, mbokayu Sari! Lekas, mari ke ruangan dalam. Kakangmas Wisangjiwo datang!" teriaknya girang.

Pujo dan Kartikosari tersenyum dan saling pandang. Betapapun juga, ada rasa kikuk dan tidak enak untuk bertemu muka dengan Wisangjiwo, orang yang tadinya mereka benci dan mereka jadikan musuh besar yang didendam di dalam hati. Tanpa mengeluarkan kata-kata mereka berdua menyertai Roro Luhito yang berjalan sambil menceritakan kedatangan kakaknya.

"Kakangmas Wisangjiwo telah menentang sekutunya yang jahat dan kini menghamba kepada Pangeran Tua. Itulah sebabnya maka Jokowanengpati dan sekutunya yang jahat, atas perintah Pangeran Anom (Muda) menyerbu dan mengambil alih Selopenangkep. Ketika kakangmas Wisangjiwo mendengar akan serbuan ini, segera ia mohon perkenan Gusti Pangeran Sepuh (Tua) membawa pasukan yang kuat dan baru saja tiba di sini. Marilah, dia sedang bicara dengan ayah. Bapa resi juga berada di sana."

Dari ruangan pinggir, tampak kini melalui pintu yang terbuka, banyak pasukan di depan pendopo. Terdengar pula ringkik dan derap kaki kuda. Agaknya pasukan yang dibawa Wisangjiwo dari kota raja mulai melakukan tugasnya memulihkan Kadipaten Selopenangkep, Roro Luhito mengajak dua orang itu menyeberang dan memasuki ruangan dalam dari pintu samping. Ruangan yang cukup luas dimana sang adipati duduk setengah rebah di atas dipan terukir, dengan punggung diganjal bantal. Tidak jauh dari situ, di atas sebuah bangku, dengan tangan sibuk menggaruki tubuh seperti biasanya, duduk Resi Telomoyo. Di pinggir dipan tampak Raden Wisangjiwo yang berpakaian indah dan gagah, duduk dan bicara serius dengan ayahnya. Ketika mendengar masuknya tiga orang Raden Wisangjiwo menoleh dan mendadak mukanya menjadi merah sekali ketika ia melihat Pujo dan Kartikosari. Ia cepat bangkit berdiri dan menyambut suami isteri itu dengan kata-kata terharu,

"Adimas Pujo, aku merasa amat berterima kasih atas pertolonganmu sehingga ayah terbebas dari pada ancaman maut di tangan si keparat Jokowanengpati. lebih besar pula rasa sesalku apabila kuingat betapa kalian berdua telah banyak menderita akibat perbuatanku yang sesat di masa lalu..... "

Suaranya tersendat oleh keharuan. Kartikosari hanya menundukkan mukanya, akan tetapi Pujo mengangkat tangan memprotes.

"Bukan hanya engkau yang keliru, raden. Akupun telah melakukan perbuatan sesat dan jahat, menyerbu kadipaten ini, bersikap kurang patut terhadap gusti adipati, bahkan telah melakukan penculikan terhadap isteri dan puteramu Biarlah kesempatan ini kupergunakan untuk mohon maaf sebesarnya, baik kepadamu terutama sekali kepada gusti adipati ! "

"Aahhh ...... jangan menyebut gusti, anakmas Pujo. Sebut saja paman kepadaku, dan jangan minta maaf. Uggh-huhhuh.......!"

Orang tua itu terbatuk-batuk, terengah-engah sehingga Roro Luhito cepat menghampiri ayahnya dan mengurut-urut punggungnya.

"Uuh-uh ...... anakmas Pujo, sesungguhnya semua peristiwa ini adalah akibat daripada kesalahan ku sendiri! Aku telah mendengar semua, mendengar penuturan Wisangjiwo yang telah insyaf dan sadar, telah melempangkan jalan hidup yang bengkok yang kutempuh. Aku telah mendengar semua penuturan Roro Luhito dan penjelasan Sang Resi Telomoyo. maka jelaslah bahwa semua adalah akibat penyelewenganku dahulu...... ugghh-uh. Aku....... terlalu mabok akan kesenangan dunia seperti terbalik pandang mataku, seperti buta mata hatiku, gila kedudukan mabok kemuliaan sehingga aku bersekutu dengan manusia-manusia lblis ...... , percaya mulut manis si keparat jokowanengpati ...... "

Tiba-tiba Resi Telomoyo tertawa dan terdengarlah suaranya yang parau dan dalam,
"Ha-ha-ha-ha, semua yang bersalah mengakui kesalahannya! Alangkah baiknya hal ini Adalah lebih baik bersalah tapi mengakui kesalahannya dan bertobat penuh penyesalan, daripada tidak bersalah merasa bangga dan mengagungkan serta menyombongkan kebersihannya."

Mendengar ucapan ini, Wisangjiwo menoleh ke arah adik tirinya, berkata sambil menarik napas panjang,
"Roro, adikku yang baik, engkau sungguh bahagia mendapatkan seorang guru sebijak paman resi ini, tidak seperti aku ...... "

Kemudian ia menghampiri Pujo dan berkata,
"Adimas Pujo, setelah segala yang terjadi, dapatkah engkau benar-benar mengampuni aku? Bolehkah aku kini bertemu dengan puteraku ?"

Suaranya tersendat oleh keharuan. Pujo mengerutkan keningnya.

"Tidak ada yang harus minta dan memberi ampun, raden...... "

"Ah, adimas, mengapa. menyebut raden? Bukankah ayahku minta kau menyebut paman kepadanya? Kita bukan orang lain, ah, bagaimana dengan puteraku, Joko Wandiro yang menjadi, muridmu? Mana dia?"

"Maaf ...... kangmas Wisangjiwo Tanpa kusengaja aku mengecewakan semua keluargamu. Kami sendiri sebetulnya sedang mencari-cari Joko Wandiro dan Endang Patibroto, puteriku..."

Kemudian secara singkat Pujo menceritakan kehilangan dua orang anak itu Wisangjiwo merasa gelisah sekali dan ketika ia memanggil kepala pasukan, memberinya perintah untuk mengerahkan pasukan dari kota raja mencari dua orang anak yang hilang itu.

Keadaan Adipati Joyowiseso amat payah. Bangsawan ini sudah tua dan lemah. Serbuan yang menghancurkan keluarganya, kemudian siksaan yang dideritanya, terlalu berat baginya. Biarpun Resi Telomoyo sudah berusaha sedapatnya untuk memberikan jamu-jamu yang berkhasiat, namun hasilnya sia-sia. Tiga hari kemudian, dalam keadaan payah, berbaring di atas pembaringan dalam kamarnya, Adipati Joyowiseso memanggil kedua anaknya mendekat, dan minta supaya dipanggilkan Pujo, Kartikosari, dan juga Resi Telomoyo.

Ketika Pujo dan isterinya memasuki kamar, mereka melihat Resi Telomoyo sudah berada di situ, duduk di bangku menggaruk-garuk tubuhnya. Wisangjiwo juga duduk di dekat pembaringan dengan wajah yang pucat dan muram, sedangkan Roro Luhito berlutut di dekat pembaringan sambil menangisi ayahnya. Adipati itu tampak kurus dan pucat sekali, akan tetapi matanya bersinar ketika ia melihat Pujo dan Kartikosari memasuki kamar. Pujo dan Kartikosari segera duduk menghadapi si sakit.

"Nakmas Pujo ....... ahhh......." Si sakit berkata dengan napas terengah-engah dan agaknya ia harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk dapat bicara. Telunjuknya menuding ke arah Wisangjiwo ketika . Ia menyambung, "....... aku....... aku tidak khawatirkan dia ini....... dia menghamba Pangeran Tua....... akan tetapi ....... " Ia terengah-engah, menoleh dan menyentuh kepala Roro Luhito yang berlutut di dekatnya, "akan tetapi dia ini dia akan terlantar...... aku...... aku...... menyerahkan dia kepadamu ...... anakmas ....... kauterimalah anakku ...... ini ...... "

Sang adipati tidak kuat melanjutkan lagi, merebahkan lagi kepalanya di atas bantal, napasnya terengah-engah, matanya dipejamkan setalah ia memandang ke arah Pujo dengan pandang mata penuh permohonan. Sunyi sejenak di kamar itu, kecuali isak tertahan Roro Luhito. Pujo bangkit dari bangku, bingung memandang ke sekeliling, memandang kepada wajah semua orang. Kartikosari hanya menundukkan muka.

"Ini ...... ini ...... bagaimana ini ...... ?" Ia menggagap, mukanya menjadi merah sekali. Ia memandang Wisangjiwo untuk minta bantuan. Wisangjiwo menggigit bibir dan mengangguk.

"Aku telah menyetujui, dan aku hanya mengharap kau akan suka memenuhi permintaan terakhir ayahku, adimas Pujo."

“AKAN TETAPI .... tetapi .... " Pujo sukar sekali mengeluarkan isi hatinya yang penuh keraguan. Ia memandang ke arah Roro Luhito, kemudian menoleh ke arah isterinya. Keadaan menjadi hening dan tegang.

Adipati Joyowiseso masih memandang ke arah Pujo, menanti jawaban penuh pandang memohon. Wisangjiwo juga menoleh ke arah Pujo. Kini Roro Luhito juga menggerakkan kepala, menoleh dan menatap wajah Pujo melalui tirai air mata. Namun Pujo tidak bergerak, tetap memandang kepada isterinya yang masih menundukkan muka. Agaknya pandang mata suaminya dan keadaan hening yang mencekam itu memaksa Kartikosari mengangkat muka memandang. Bertemulah pandang mata Kartikosari dengan sinar mata suaminya yang penuh dengan pertanyaan dan keraguan. Bibir yang merah itu merekah dalam senyum, pandang matanya penuh kasih dan rela, kemudian Kartikosari mengangguk memberi persetujuan kepada suaminya.

Dalam detik-detik itu pandang mata suami isteri itu telah melakukan tanya jawab yang hanya dimengerti oleh mereka berdua. Pujo bernapas lega dan gerak-gerik mereka ini diikuti oleh pandang mata semua orang, termasuk pandang mata Roro Luhito. Kalau semua orang masih belum tahu apa makna semua itu, Roro Luhito sudah mengerti. Dengan isak tertahan ia meloncat, menubruk dan merangkul leher Kartikosari, kemudian melepas rangkulannya dan lari keluar dari kamar itu! Kartikosari tersenyum dan mengusap air mata Roro Luhito yang membasahi pipinya ketika puteri adipati itu tadi mengambungnya.

Dengan anggukan kepala Kartikosari memberi isyarat kepada suaminya dan mereka berdua keluar dari kamar itu mengejar Roro Luhito. Roro Luhito duduk di atas sebuah bangku dalam taman sari, menyembunyikan mukanya dalam kedua tangan, menangis terisak-isak, sepasang pundaknya bergerak-gerak dan ia sama sekali tidak tahu betapa Pujo dan Kartikosari menghampirinya dari belakang dengan langkah perlahan, bergandengan tangan.

Kartikosari berhenti, melepaskan tangan suaminya, lalu mendorong-dorong pundak suaminya ke depan. Pujo meragu, berat rasa hatinya harus menyapa Roro Luhito dalam keadaan seperti itu, di depan isterinya yang tercinta. Akan tetapi dengan isyarat pandang mata, gerak bibir dan dorongan-dorongan, Kartikosari membujuknya. Pujo melangkah ke depan sampai dekat .Roro Luhito. Dadanya berdebar, kerongkongannya serasa kering sehingga sukar sekali baginya mengeluarkan suara.

"....... diajeng......." Akhirnya dapat juga ia bersuara.

Roro Luhito seketika berhenti terisak, tubuhnya tak bergerak, seakan-akan suara itu telah mencabut sukmanya. Kedua tangan masih menutupi muka, akan tetapi ia tidak menangis lagi, bahkan seakan tidak bernapas, agaknya tidak percaya akan mendengar suara Pujo. Pujo tadi sudah diajari isterinya bagaimana harus bicara kepada Roro Luhito, Kalimat itu sudah hafal olehnya, namun mulutnya sukar digerakkan, lehernya seperti tercekik. Tentu saja ia bukan seorang laki-laki yang lemah, bukan pula pemalu. Hanya karena Kartikosari berada di situ, hal inilah yang membuat ia merasa sungkan, malu, dan tak enak hati. Betapa ia dapat berkasih sayang dengan wanita lain di depan isterinya, wanita satu-satunya di dunia ini yang dicintanya? Ia memaksa diri ketika melirik ke kiri dan melihat Kartikosari kembali mendorong-dorongnya dengan isyarat pandang mata dan gerak mulut.

"....... diajeng Roro Luhito, mengapa kau menangis ? Kalau....... kalau sekiranya diajeng tidak setuju dengan usul paman adipati....... jangan khawatir, diajeng, aku....... aku dapat membatalkan....... "

Belum habis Pujo mengucapkan kalimat hafalan yang didekte oleh Kartikosari itu tiba-tiba Roro Luhito menangis lagi dan wanita ini menjatuhkan diri berlutut dan merangkul kedua kaki Pujo yang berdiri terlongong seperti patung penjaga alun-alun keraton!.

" eh ....... nimas Sari ....... kalau sudah begini bagaimana ini ....... ? "

Pujo tergagap bingung memandang isterinya dan menjaga keseimbangan tubuhnya agar jangan terguling karena kedua kakinya yang dirangkul itu mendadak menggigil! .

"Aduh, bodohnya laki-laki! Itu tandanya ia setuju!" kata Kartikosari menahan tawa.

Mendengar suara ini, Roro Luhito terkejut. Tak disangkanya bahwa Kartikosari berada di situ pula. Ia mengangkat muka, lalu ia melepaskan kaki Pujo, serta-merta ia berlutut di depan Kartikosari, sambil menangis tersedu-sedu.

"Duhai Dewata yang mulia ....... betapa mungkin Roro Luhito berlaku serendah ini ....... ?" Roro Luhito menjerit lirih sambil menangis.

"Diajeng ....... !! " Pujo dan Kartikosari berseru hamper berbareng karena kaget.

Roro Luhito mengangkat muka memandang mereka. Muka yang merawankan hati, agak pucat, matanya merah, air matanya berderai-derai.

"Kakangmas ....... mbokayu ....... kalian tentu tahu betapa cinta hatiku hanya tertuju kepada kakangmas Pujo. Aku rela mati demi cinta kasihku kepada kakangmas Pujo. Akan tetapi........ kakangmas Pujo adalah suami mbokayu Kartikosari yang begitu baik kepadaku ....... yang melepas budi kepadaku ....... betapa mungkin aku berlaku serendah ini, menyakiti hati mbokayu Kartikosari ....... ? "

Kartikosari terharu dan segera berlutut pula, merangkul Roro Luhito.
"Diajeng, kau keliru. Aku tahu betapa suci murni cinta kasihmu terhadap kakangmas Pujo, dan aku tahu pula betapa baik dan bersih hatimu terhadap aku. Tahukan engkau, diajeng, bahwa aku telah mengajukan syarat kepada kakangmas Pujo? Syaratku kepadanya, aku hanya mau bertugas sebagai isterinya kembali, melakukan kewajiban, sebagai isteri yang melayani suami, hanya dengan syarat bahwa engkau harus menjadi maduku! "

Roro Luhito tersentak kaget, menjauhkan mukanya untuk dapat memandang wajah Kartikosari dengan jelas melalui air matanya, matanya dilebarkan. Kedua orang wanita itu saling pandang, keduanya mengeluarkan air mata dan akhirnya mereka berpelukan sambil menangis dan saling berciuman. Pujo yang masih berdiri itu hanya dapat memandang. Keningnya berkerut matanya termenung, mulutnya tersenyum-senyum bingung, dan melihat dua orang wanita itu berpelukan dan bertangisan, ia mengangkat pundaknya berkali-kali sambil meraba-raba kumisnya yang tipis. Tiba-tiba ia terperanjat ketika mendengar suara Kartikosari menegur,

"Kenapa kau berdiri seperti patung di situ, kakangmas?"

"Eh ....... habis ....... bagaimana ini ....... selanjutnya?" jawabnya gagap.

Kartikosari menarik Roro Luhito bangkit berdiri. Dengan pipi masih basah Kartikosari tersenyum kepada suaminya.

"Apa kau tidak mau menerima diajeng Roro Luhito menjadi isterimu, kakangmas Pujo?"

Roro Luhito mengangkat muka pula, sepasang matanya memandang tajam kepada Pujo. Sepasang mata bintang, tajam jernih, indah! Pujo menelan ludah, sukar sekali menjawab pertanyaan yang diajukan isterinya seperti todongan ujung keris ini.

"Bagaimana? Kakangmas, seorang laki-laki harus berani mengambil keputusan tegas!" Kartikosari menegur.

"Betul ucapan mbokayu Kartikosari," Roro Luhito menyambung, suaranya juga tegas seperti suara Kartikosari.

"Kalau kakangmas merasa keberatan dan tidak tidak suka menerimaku, hendaknya berterus terang saja dan aku akan ikut dengan bapa resi guruku untuk menjadi seorang pertapa."

Ia menutup kata-katanya dengan isak ditahan. Kembali Pujo menelan ludah, kemudian ia menentang pandang mata kedua wanita itu, mengangkat dada dan menjawab lantang,

"Aku mau!!"

Jawaban ini dikeluarkan dengan suara yang amat lantang, terlalu lantang sehingga jelas tidak sewajarnya dan dibuat-buat untuk memberanikan hati. Keadaan ini amat lucu sehingga Kartikosari tidak dapat menahan ketawanya. Apalagi Roro Luhito, wanita yang pada dasarnya memang lincah dan gembira. Karena kini hatinya penuh dengan kebahagiaan, menyaksikan sikap calon suaminya yang memang sejak sepuluh tahun yang lalu telah menjadi pujaan hatinya ini, tak dapat menahan kegelian hatinya. Ia memeluk Kartikosari, menyembunyikan mukanya dan tertawa sampai terpingkal-pingkal dengan air mata membanjir keluar! .

Pujo berbesar hati. Tadi ia bingung menyaksikan dua orang wanita itu bertangis-tangisan. Akan tetapi sekarang menyaksikan wajah istennya penuh senyum yang manis dan cerah, melihat pula betapa Roro Luhitc tertawa-tawa sambil menyembunyikan muka karena malu-malu, ia menjadi bangga. Dengan langkah lebar ia mendekat. Hanya tiga langkah dan ia sudah berada di depan mereka, kedua lengannya dikembangkan dan dua orang wanita itu sudah berada dalam rangkulan dan pelukannya. Dengan kedua lengannya yang kuat, ia memeluk dan mendekap mereka di atas dadanya. Kartikosari di dada kanan, Roro Luhito di dada kiri. Kedua wanita itupun meramkan mata sambil balas memeluk, menyembunyikan muka di atas dada yang bidang, merasa aman sentausa dan bahagia. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti ini, tanpa bicara karena dalam saat seperti itu, kata-kata yang keluar dari mulut terlampau miskin untuk menyampaikan getaran rasa nikmat yang menggelora dan menggetar-getar dari dalam hati. Sebagai seorang wanita yang halus perasaannya, Kartikosari yang lebih dulu tergugah. Maklum betapa suaminya terbuai getaran cinta kasih yang menggelora, ia cepat berkata, suaranya halus tapi menekan,

"Kakangmas, kiranya cukuplah. Seorang satria harus teguh memegang janji. Belum tiba saatnya kita saling menumpahkan perasaan cinta kasih."

Lanjut ke Jilid 045 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment