Ads

Friday, December 28, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 048

◄◄◄◄ Kembali

Mendapat kesempatan ini, selagi para lawannya jatuh bangun, Joko Wandiro sudah menyambar sepasang goloknya lagi karena ia khawatir kalau-kalau sepasang goloknya itu dirampas lawan. Pada saat ia membungkuk dan mengambil sepasang goloknya, tiba-tiba ada angin keras menyambar dari depan. Joko Wandiro terkejut, maklum bahwa ada serangan yang hebat. Cepat ia mengelak sambil membabat dengan golok kanannya, akan tetapi tubuhnya terlempar dan golok kanannya terlepas ketika sebuah kaki menyambar dengan kekuatan yang dahsyat!

Joko Wandiro terbanting roboh, matanya berkunang-kunang akan tetapi ia tidak mengalami cedera. Cepat ia menggulingkan tubuhnya ke arah golok yang terlepas tadi dan begitu ia meloncat bangun, ia sudah siap dengan sepasang golok di tangan, menghadapi segala kemungkinan dengan sikap gagah dan memasang kuda-kuda amat kokohnya. Kiranya di sebelah depan telah berdiri dua orang laki-laki tinggi besar berkulit hitam, rambutnya panjang terurai dan
sepatutnya dua orang ini menjadi raksasa-raksana dalam cerita jaman dahulu!

Tidak hanya segala-galanya pada kedua orang itu jauh lebih besar daripada orang biasa, juga mata mereka yang besar menonjol keluar itu kemerahan, wajah mereka buas dan mengerikan. Agaknya mereka itu saudara kembar, karena segala-galanya, dari rambut, wajah, bentuk tubuh sampai pakaian mereka, serupa. Sukar sekali membedakan satu dari yang lain kalau saja senjata mereka tidak berbeda. Yang seorang memegang sebatang tombak yang dihias rambut di leher tombak, sedangkan orang ke dua memegang sebatang ruyung yang bergigi, amat menyeramkan.

Namun Joko Wandiro tidak menjadi gentar. Sekali sudah terjun ke dalam gelanggang yuda, ia tidak mengenal takut lagi. Dengan hati-hati ia bersiap sedia menghadapi dua lawan yang nggegirisi (menggiriskan) ini. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan eyang gurunya,

"Joko, mundur kau!"

Joko Wandiro tidak berani membantah, dan ia lalu mengundurkan diri, kembali duduk bersila seperti tadi, di mulut guha di belakang Resi Jatinendra. Adapun Resi Bhargowo kini sudah berdiri dan dengan langkah tenang ia maju ke depan menyambut dua orang raksasa itu.

"Anak baik, kau patut menjadi cucu murid adi resi " demikian bisikan Empu Bharodo di sebelah kanan Joko Wandiro.

Anak ini menengok dan melihat betapa kakek itu tersenyum ramah, lalu membungkuk dengan sikap merendah. Kemudian mereka lalu memandang ke depan untuk menonton bagaimana Resi Bhargowo akan menghadapi dua orang lawan yang buas itu. Resi Bhargowo bersikap tenang saja. Sejenak ia beradu pandang dengan kedua lawannya, kemudian ia berkata,

"Kisanak, siapakah gerangan andika berdua? Dan mempunyai keperluan apa mendatangi pertapaan Jalatunda?"

"Heh-heh-heh, aku adalah Gagak Kunto!" jawab raksasa yang memegang lembing atau tobak berhias rambut.

"Dan akulah Gagak Rudro!" jawab orang ke dua sambil mengamang-amangkan senjata ruyungnya yang mengerikan.

Resi Bhargowo sudah menduga akan hal ini. Tentu saja dia sudah mendengar nama kedua orang ini yang merupakan jagoan-jagoan dari Kerajaan Wengker yang sudah hancur. Tadi ketika mendengar suara burung gagak yang diikuti oleh semua burung lain, dia sudah dapat menduga bahwa suara itu bukan keluar dari mulut burung gagak sewajarnya. Kiranya kedua orang "Gagak" inilah yang datang! Dia sudah mendengar bahwa Gagak Kunto dan Gagak Rudro (Gagak Bertombak dan Gagak Buas) adalah bekas perwira-perwira Kerajaan Wengker, orang-orang kepercayaan mendiang Sang Prabu Baka dan memiliki kesaktian-kesaktian tinggi, yang merupakan ahli-ahli ilmu hitam seperti biasa dimikili para jagoan Wengker. Maka ia bersikap hati-hati dan menanti keterangan selengkapnya.

Melihat betapa pertapa yang kelihatan kecil itu tidak kaget mendengar nama mereka, Gagak Kunto berkata lagi, suaranya membentak marah,

"Tua bangka kecil kurus kering, kau minggirlah! Kami datang mewakili kakang Wirokolo!"

"Hemmm, kalau Wirokolo ada niat menghadap Sang Agung Resi Jatinendra, mengapa ia tidak langsung menghadap sendiri? Mengapa ia menyuruh pula kalian? Mundurlah, dan sampaikan kepada Wirokolo bahwa lebih baik dia sendiri yang maju."

Dua orang raksasa itu makin marah.
"Heh, keparat sombong, siapakah engkau berani menentang sepasang Gagak Sakti? Apakah kau sudah bosan hidup?"

"Gagak Kunto dan Gagak Rudro, aku bicara baik-baik kepada kalian, sebaliknya kalian begitu jumawa. Ketahuilah, aku adalah Bhagawan Rukmoseto."

"Bhagawan Rukmoseto??" Gagak Kunto mengulang, mengingat-ingat nama yang tak dikenal nya ini.

"Ya, dahulu disebut Resi Bhargowo."

"Ha-ha-ha! Resi Bhargowokah kiranya engkau, tua Bangka kerdil? Minggirlah, apa kau belum mendengar nama Gagak Kunto? Minggir dan biarkan kami bicara dengan Sang Prabu Airlangga!"

"Hemm! Wirokolo hanya seorang senopati taklukan, namun masih mewakilkan orang-orang kasar macam kalian. Tentu saja kalian tidak cukup berharga untuk menghadap Sang Agung Resi Jatinendra, dan akulah wakil beliau untuk menandingi segala tingkahmu!"

"Aauugggh, bojleng iblis laknat! Bhargowo, berani engkau melawan senjata pusakaku ini?" Gagak Kunto mengamangkan tombaknya.

"Majulah, siapa takut kepadamu?"

"Keparat sombong! Hayo keluarkan senjatamu!"

"Senjataku adalah kebenaran. Majulah kalian berdua, aku takkan mundur setapakpun!"

"Babo-babo .......!!"

Gagak Rudro tak dapat menahan kemarahannya lagi dan ia mendahului saudaranya, menerjang dengan ruyungnya yang mengerikan.

"Wuuuuuttt.......!!" Angin besar menyambar ketika ruyung ini bergerak. Namun dengan gerakan ringan dan sikap tenang sekali Resi Bhargowo menggeser kaki miringkap tubuh. Ruyung itu lewat di samping tubuhnya bagaikan waringin tumbang, menghantam tanah membuat batu-batu kerikil pecah dan terbang berhamburan disusul debu mengepul tebal.

Serangan gagal ini dalam detik selanjutnya sudah disusul tombak meluncur bagaikan kilat menyambar, menusuk ke arah dada Resi Bhargowo. Demikian cepatnya serangan maut ini sehingga Joko Wandiro yang menonton merasa ngeri dan khawatir. Baginya, eyang gurunya terlalu tenang, sehingga tampaknya seperti lambat. Kalau dia yang diserang tombak seperti itu, tentu sudah cepat-cepat meloncat ke samping. Akan tetapi eyang gurunya seakan-akan menanti datangnya ujung mata tombak, dan setelah kurang sejengkal dari kulit dadanya, barulah eyang gurunya itu miringkan tubuh tanpa menggeser kaki! Sebuah kelitan yang amat berbahaya dan pula amat berani, namun juga merupakan awal jurus yang ampuhnya menggiriskan!

Hanya beberapa detik saja terjadinya, tahu-tahu tombak yang meluncur lewat itu telah tertangkap di bawah ketiak lengan kiri sang resi, dikempit dengan pengerahan tenaga dalam, kemudian dalam detik berikutnya disusul dengan tamparan yang menggunakan jari tangan kanan.

"Werr ....... plakkk!!"

Itulah tamparan Pethit Nogo yang tepat mengenai pundak kiri Gagak Kunto! Joko Wandiro hampir saja bersorak menyaksikan hasil mentakjubkan eyang gurunya dalam jurus pertama ini. Tubuh Gagak Kunto seperti kemasukan aliran halilintar, matanya terbelalak rambutnya bangkit berdiri kemudian tubuhnya mencelat ke belakang sampai lima meter jauhnya, lalu terbanting roboh dan di situ ia terengah-engah sambil memegangi pundaknya. Biarpun ia memiliki kekebalan, namun pukulan Pethit Nogo tadi berhasil meremukkan tulang pundaknya!

"Si keparat Bhargowo ....... ! Berani kau ....... menjatuhkan saudaraku ??"

Dengan muka merah dan mata terbelalak mulut berliur sakiing marahnya, Gagak Rudro menubruk dan menggerakkan ruyungnya yang besar dan berat itu, mengancam kepala dan tubuh lawan. Gerakannya cepat dan amat kuat, serangannya susul-menyusul sehingga terpaksa Resi Bhargowo menggunakan ilmu kesaktiannya, dengan Aji Bayu Tantra ia brrkelit ke sana ke mari dengan amat gesitnya. Mengagumkan sekali kalau dilihat betapa seorang kakek yang sudah tua, rambutnya sudah putih semua seperti Resi Bhargowo ini, masih dapat bergerak sedemikian gesitnya, tiada ubahnya seekor burung sriti yang bergerak melesat ke sana-sini menghindarkan diri dar ipada ancaman ruyung maut. SAKING cepatnya gerakan ruyung, terdengar suara "werrwerr-werr!" tiada hentinya dan daun-daun di dahan pohon bergoyang-goyang seperti tertiup angin keras. Kelihatannya Sang Resi Bhargowo terdesak dan tak mampu membalas, padahal sesungguhnya, pertapa sakti yang tenang ini sedang menanti kesempatan baik untuk sekali pukul meruntuhkan lawan. Ketika ruyung itu lewat dari atas hendak menghantam kepalanya, ia menanti dan sengaja memperlambat gerakan.

"Remuk kepalamu!" Gagak Rudro sudah berseru girang sekali, yakin bahwa kali ini ruyungnya tentu akan mendapat "makanan" otak dan darah kepala yang remuk.

"Werr ........ wuuutttt!!"

Ruyung meluncur cepat karena Resi Bhargowo baru dekat, maka ruyung itu tidak dapat ditahan oleh Gagak Rudro, terus meluncur ke bawah dan menghantam tanah. Akan tetapi kali ini Resi Bhargowo sudah melihat kesempatan baik. Jari-jari tangan kirinya menyambar ke depan dan "krakk!!! " pangkal lengan kanan Gagak Rudro dekat pundak patah tulangnya dan ruyungnya terlepas dari pegangan.

"Aduhh ........ , tobat........ !"

Gagak Rudro berteriak kesakitan dan menggulingkan tubuh menjauhi lawan, takut menerima hantaman ke dua. Akan tetapi Resi Bhargowo tidak menyerang lagi, melainkan berdiri tegak dan tersenyum pahit.

"Orang-orang macam kalian ini masih berani membikin ribut? Hayo, kalau masih belum bertobat, majulah lagi, keluarkan semua kedigdayaan kalian, sepasang Gagak yang jahat! Kalau sudah mengaku kalah, pergilah dan ajak kelima orang anak buahmu!"

Tiba-tiba terdengar suara mendeis-desis ketika Gagak Kunto dan Gagak Rudro pergi diikuti lima orang anak buah mereka yang tadi roboh oleh Joko Wandiro. Suara mendesis-desis ini makin tajam dan nyaring setelah tujuh orang itu tak tampak bayangannya lagi. Kemudian terdengar bentakan dengan suara parau.

"Babo-babo, Resi Bhargowo! Sumbarmu seperti dapat menumbangkan puncak Mahameru! Jangan tekebur hanya karena dapat mengalahkan segala perajurit rendahan. Akulah lawanmu!!" mendadak terdengar suara keras seperti pohon beringin tumbang dan sesosok tubuh inggi besar menyambar turun, kini berdiri tegak di depan Resi Bhargowo.

Joko Wandiro yang memandang penuh perhatian, terkejut melihat raksasa yang baru muncul ini. Tubuhnya sama tinggi besar dengan sepasang gagak tadi, akan tetapi wajahnya lebih menyeram kan karena berwarna merah. Bibirnya yang pucat tak dapat rapat menutup giginya yang besar-besar dan di kedua ujungnya bertaring! Matanya melotot dan tak pernah kelihatan berkedip. Tubuhnya bagian atas tidak berbaju sehingga tampak otototot sebesar dadung membelit-belit tubuh yang kulitnya berbulu itu. Akan tetapi yang paling menyeramkan adalah lima ekor ular belang yang menghias tubuhnya. Seekor yang paling panjang membelit leher seperti kalung,dua ekor di kedua pergelangan tangan dan dua ekor pula membelit pergelangan kaki yang telanjang. Lima ekor ular berbisa inilah yang mengeluarkan suara mendesis-desis itu.

"Wirokolo! Akhirnya engkau muncul juga! Engkau mau apa? Jangan kira Resi Bhargowo takut kepadamu!"

"Haaaahhh! Sombong sekali engkau, keparat! Rasakanlah ampuhnya Anolo Hasto (Tangan Api)!"

Berkata demikian, Wirokolo menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan dari kedua telapak tangan yang saling digosokkan itu mengepul asap hitam dan tercium bau sangit seperti kulit atau rambut terbakar. Kedua telapak tangan itu kini tampak merah seperti besi dibakar. Kemudian Wirokolo bertepuk tangan. Terdengar ledakan seperti geledek dan tampak bunga api berpijar! Benar-benar ilmu yang mujijat dan dahsyat. Tiba-tiba Wirokolo membentak keras tubuhnya yang tinggi besar itu menerjang maju, kedua tangannya menampar bertubi-tubi.

Resi Bhargowo dengan sikapnya yang tenang itu mengelak sambil menangkis, karena gerakan lawan yang sedemikian cepatnya, mengimbangi gerakannya sendiri Aji Bayu Tantra, tak mungkin dihadapi dengan kelitan-kelitan saja, harus dihadapi dengan tangkisan,keras lawan keras.

"Desss.......!!"

Benturan kedua tangan orang-orang sakti ini merupakan pertemuan dua tenaga dahsyat. Dari tangan Wirokolo memercik bunga api menyilaukan mata dan terjangannya tertahan, Akan tetapi Resi Bhargowo terhuyung-huyung ke belakang, terdorong oleh tenaga lawan yang bukan main dahsyatnya!

"Huah-hah-hah-hah! Sebegitu saja kekuatanmu, Resi Bhargowo?"

Wirokolo mengejek sambil menerjang terus menggunakan kedua tangannya yang seakan-akan telah berubah menjadi dua tangan baja membara. Memang hebat kepandaian Wirokolo ini. Hal ini tidaklah amat mengherankan kalau diingat bahwa ia bekas senopati Kerajaan Wengker dan merupakan senopati yang sakti nomor dua sesudah Dibyo Mamangkoro. Wirokolo adalah adik seperguruan Dibyo Mamangkoro, dan dalam perang antara Wengker melawan pasukan Kahuripan dahulu, dia merupakan lawan tangguh yang hanya dapat dipukul mundur setelah banyak perwira tewas dan akhirnya Ki Patih Narotama sendiri yang turun tangan di medan yuda.

Semenjak kekalahannya dalam perang itu yang mengakibatkan tewasnya Sang Prabu Boko di tangan Sang Prabu Airlangga sendiri dan hancurnya Kerajaan Wengker, seperti juga Dibyo Mamangkoro, senopat Wirokolo ini lari menyembunyikan diri dan bertapa sambil menggembleng diri sehingga ilmu kepandaiannya meningkat tinggi.

Resi Bhargowo bukanlah tokoh sembarangan. Dengan Aji Bayu Tantra dan ilmu pukulan Phetit Nogo dia sudah merupakan seorang sakti yang jarang tandingannya, apalagi dia telah memiliki tenaga sakti yang bertingkat tinggi. Dalam pertandingan di Pulau Sempu, menghadapi serbuan para utusan Pangeran Anom, Resi Bhargowo telah membuktikan kesaktiannya. Akan tetapi sekarang, berhadapan dengan Wirokolo, dia benar-benar terdesak dan jelas bahwa tingkat kesaktiannya kalah tinggi Dengan ajinya Bayu Tantra, Resi Bhargowo hanya dapat mengelak untuk menyelamatkan diri dari serbuan kedua tangan membara itu. Ada kalanya ia mampu membalas sekali dua dengan pukulan Pethit Nogo yang ampuh, namun pukulan inipun membalik ketika bertemu dengan hawa Anolo Hasto yang panas seperti Kawah Condrodimuka. Juga pukulan Pethit Nogo yang tidak terlalu tepat kenanya, tidak mempan terhadap tubuh Wirokolo yang keras dan kebal. Hanya dalam kecepatan saja Resi Bhargowo dapat mengimbangi lawan sehingga ia masih dapat bertahan, namun jelas bahwa pukulan-pukulannya kalah ampuh dan tenaga dalamnya kalah kuat.

"Huah-hah-hah! Resi Bhargowo, begini saja kekuatanmu? Hah-hah-hah!"

Wirokolo terkekeh-kekeh dan ia benar-benar menguasai pertandingan itu sehingga kini Resi Bhargowo sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membalas, melainkan meloncat ke sana ke mari, mengelak dan sedapat mungkin menangkis. Namun setiap kali menangkis, ia terpental dan terhuyung-huyung.

“Wirokolo manusia iblis! Masih belum bertobat engkau sejak dahulu?"

Suara ini keluar dari mulut Empu Bharodo yang ternyata sudah maju dan membantu adik seperguruannya. Begitu suaranya terdengar, orangnya sudah datang dan tangannya sudah menampar. Bukan main cepatnya gerakan Empu Bharodo. Memang, dalam hal ilmu meringankan tubuh dan gerak cepat, agaknya sukar dicari bandingnya karena Empu Bharodo memiliki Aji Bayu Sakti! Gerakannya ringan dan cepat sekali sehingga tahu-tahu tangannya menampar seperti kilat, tak sempat ditangkis maupun dielakkan lagi oleh Wirokolo.

"Plakk!"

Tamparan itu tepat mengenai dada Wirokolo, sebuah tamparan dahsyat yang didasari ilmu pukulan Jonggring Saloko.

"Huah-hah-hah! Tanganmu empuk seperti tangan perempuan, Empu Bharodo pendeta cacingen!"

Wirokolo yang hanya tergeser selangkah oleh tamparan itu tertawa mengejek lalu balas memukul dengan tangannya yang merah membara. Namun dengan amat cepatnya Empu Bharodo mengelak sehingga pukulan ini mengenai tempat kosong. Juga desakan yang bertubi-tubi merupakan pukulan berantai sampai tujuh kali, sama sekali tidak dapat menyentuh ujung baju si pertapa yang amat cepat gerakannya ini. Setelah Empu Bharoflo turun tangan membantu Resi Bhargowo, pertandingan menjadi lebih ramai, tidak berat sebelah seperti tadi.

Kalau tadi Resi Bhargowo terdesak hebat dan hanya mampu mengelak ke sana ke mar i, sekarang dengan bantuan Empu Bharodo keadaan berubah. Biarpun tubuh Wirokolo kebal dan amat sakti sehingga tidak roboh oleh pukulan Pethit Nogo maupun pukulan Jonggring Saloko, namun karena kini kedua orang pertapa itu menujukan pukulan-pukulan mereka ke bagian- bagian tubuh yang lemah, raksasa yang sakti itu menjadi repot juga. Ia sudah mengamuk dan balas memukul atau mencengkeram dengan kedua tangan yang membara, namun gerakan kedua orang lawannya itu terlalu gesit sehingga semua balasan serangannya gagal.

"Plakk !! Dess ...... !!"

Tamparan Pethit Nogo oleh jari tangan Resi Bhargowo mengenai pundaknya dan selagi terhuyung, ia dihantam oleh tangan kiri Empu Bharodo yang mengenai lambungnya. Biarpun dua pukulan ampuh ini tidak merobohkannya, namun cukup membuat tulang pundak ngilu dan perut mulas. Bangkit lah kemarahan Wirokolo. Untuk mempergunakan ilmu hitam seperti tadi, ia maklum tidak akan ada gunanya karena Empu Bharodo adalah seorang ahli dalam hal ilmu sihir, sehingga ilmu hitam seperti yang telah ia keluarkan tadi, yaitu Calon Arang, juga dapat dipukul buyar.

Maka kini Wirokolo mengeluarkan teriakan keras sekali sehingga bumi seakan goncang, pohon-pohon bergoyang dan banyak daun pohon berguguran. Di saat lain Wirokolo telah menerjang maju dengan hebat sekali. Kini ular-ular yang tadinya melingkar di pergelangan tangannya, ikut bergerak dan setiap kali ia menghantam, maka ular di pergelangan tangan ikut pula menyambar dan menggigit. Demikian pula ular-ular di kedua kakinya. Bahkan ular di lehernya mengulur leher dan menyembur kan uap berbisa! Semua ini masih ditambah lagi dengan sepasang tombak pendek yang entah kapan telah dicabut oleh Wirokolo dari belakang pinggangnya.

Hebat bukan main raksasa ini sehingga Resi Bhargowo dan Empu Bharodo terkejut juga dan melompat mundur. Empu Bharodo cepat mengeluarkan tombaknya, tombak pusaka yang tadi ia letakkan di depan guha, sedangkan Resi Bhargowo juga menyambar tombak milik Gagak Kunto yang tadi ia rampas. Mereka kini sudah siap dengan senjata di tangan, siap untuk bertanding mati-matian menghadapi lawan yang amat sakti itu.

"Kakang berdua Bharodo dan Bhargowo, harap kalian mundur dan biarkan Wirokolo menjumpai aku."

Suara ini halus, namun mengandung getaran penuh wibawa. Mendengar suara ini, seketika kedua orang pertapa itu melangkah mundur dan kembali duduk bersila di tempat semula. Napas mereka agak terengah, tanda bahwa pertandingan melawan Wirokolo tadi benar-benar amat berat bagi mereka yang sudah berusia lanjut.

Diam-diam Joko Wandiro merasa khawatir sekali. Kalau kedua orang kakek sakti ini tidak mampu mengalahkan lawan, bagaimanakah kakek di depan itu akan menghadapinya seorang diri?

Sementara itu, Wirokolo dengan kedua tombak pendek di tangan, tertawa bergelak sampai perutnya yang besar bergerak-gerak dan mukanya yang beringas menengadah. Kemudian ia menghentikan tawanya dan melangkah maju menghampiri Resi Jatinendra yang masih duduk bersila, akan tetapi kini tidak bersamadhi lagi, sepasang matanya terbuka, memandang penuh kelembutan dan bibirnya tersenyum ramah.

"Kisanak, apakah kau yang bernama Wirokolo?"

Pertanyaan ini terdengar halus dan sedikitpun tidak membayangkan kemarahan atau permusuhan.

"Huah-hah-hah! Sang Prabu Airlangga, betul aku Wirokolo!"

"Wirokolo, aku sekarang bukan lagi sang prabu, melainkan Resi Gentayu atau Resi Jatinendra. Andika bertekad datang ke Jalatunda, ada keperluan apakah? Katakan jangan meragu karena apapun permintaanmu, jika aku kuasa memberi, akan kuberikan kepadamu."

"Huah-hah, Raja Airlangga! Jangan coba bersembunyi di balik kedok pertapa! Setelah kedua orang jagoanmu tak dapat mengalahkan aku, engkau lalu menggunakan kata-kata manis untuk menyenangkan hatiku? Engkau menjadi ketakutan? Takut kepadaku? Hah-hah, Sang Prabu Airlangga yang dahulu disohorkan gagah perkasa itu kini menjadi seperti harimau kehilangan kukunya, garuda kehilangan sayapnya ! "

Di dalam hatinya Joko Wandiro terkejut ketika mendengar bahwa kakek pertapa yang tenang dan ramah itu ternyata adalah sang prabu sendiri! Hatinya berdebar penuh kekhawatiran, akan tetapi melihat sikap yang kurang ajar dan sombong dari Wirokolo, jiwa satrianya memberontak, semua urat syaraf di tubuhnya menegang dan hampir tak dapat ia menahan dirinya yang hendak meloncat dan menandingi raksasa sakti itu. Akan tetapi Sang Prabu Airlangga atau Resi Jatinendra sendiri sama sekali tidak kelihatan marah mendengar ejekan dan cemoohan itu, melainkan tersenyum dan suaranya tetap halus dan ramah,

"Satu-satunya hal yang kutakuti di dunia ini hanyalah kalau-kalau aku menyeleweng daripada kebenaran tanpa kusadari, Wirokolo. Selain itu, tidak ada yang kutakuti, juga engkau tidak. Aku telah sadar, Wirokolo, bahwa penggunaan kekerasan adalah penyelewengan manusia yang paling parah. Dari kekerasan inilah timbulnya segala perkosaan dan kerusakan, wahai kisanak, demi kebaikanmu sendiri, hentikanlah segala kekerasanmu dan katakanlah apa yang kau kehendaki dan aku akan memberikannya kepadamu."

Sejenak sunyi menyambut ucapan yang amat sedap didengar ini. Suasana sunyi yang mengaman kan hati, sunyi yang amat indah di mana tidak ada sesuatu yang mengganggu perasaan. Akan tetapi hanya sebentar karena segera terganggulah getaran damai yang timbul dari sabda sang resi itu oleh suara Wirokolo,

"Heh, Airlangga! Siapa percaya obrolanmu? Kau tanya apa kehendakku? Aku menghendaki nyawamu! Lihat, aku akan membunuhmu!!"

Wirokolo mengamang-amangkan kedua tombaknya dengan sikap mengancam sambil melangkah makin dekat. Akan tetapi sang resi tersenyum, kemudian terdengar kata-katanya penuh wibawa sehingga ucapan yang keluar dari mulut sang resi mengandung getaran dan gema,

"Hai Wirokolo, dengarlah baik-baik selagi engkau mendapat kesempatan mendengar kebenaran ini. Siapakah engkau ini yang akan dapat membunuh Aku? Siapakah engkau ini yang akan dapat menentukan mati hidup seseorang? Yang tidak berawal takkan berakhir, dan Aku tidak berawal, maka tidak berakhir pula. Yang tidak terlahir, takkan mati, dan Aku tidak terlahir. Yang berawal dan terlahir hanyalah tubuhku, maka yang berakhir atau mati kelak hanya tubuhku. Jangan kira engkau akan dapat membunuhku, oh, Wirokolo, engkau tersesat amat jauh kalau berpikir demikian! Sebaliknya tubuhku ini takkan terluput daripada kematian, namun jangan pula mengira bahwa engkau yang akan menentukan mati hidup tubuhku, karena hal itu tidak berada dalam kekuasaanmu atau kekuasaan siapapun juga.Di samping bahwa engkau tidak berdaya untuk menguasai mati hidup seseorang, juga Aku telah diwajibkan menjaga wadah di mana Aku tinggal berupa tubuh ini, Wirokolo! Karena kalau tidak kulakukan hal itu, maka berarti meninggalkan wajib dan hal ini menyalahi keadaan!"

Kembali sunyi yang mendalam menyambut ucapan Sang Resi Jatinendra ini. Lebih lama daripada tadi. Tiada suara terdengar, bahkan angin sekalipun seperti berhenti bertiup untuk menghormati kata-kata yang merupakan untaian mutiara keluar dari mulut sang resi. Mutiara filsafat yang menjadi ajaran Sang Bhatara Wishnu, dituangkan dalam Bagawad Gita, yaitu ketika Sri Kresna (titisan Wishnu) memberi wejangan kepada Sang Arjuna dalam perang Bharatayuda. Akan tetapi, semua ajaran dan filsafat yang baik hanya dapat memasuki sanubari orang yang hatinya terbuka untuk kebajikan. Hati Wirokolo sama sekali tertutup oleh nafsu-nafsu duniawi yang menggelora sehingga kesadarannya terselimut oleh uap hitam yang timbul dari hawa nafsu, membuat mata sadarnya sementara menjadi buta akan kebenaran. Ia tertawa bergelak penuh ejekan, lalu berkata,

"Apapun yang kaukatakan, Airlangga, takkan dapat menahan kehendakku membunuhmu. Hendak kulihat apakah engkau mampu mengelakkan diri daripada mati di tanganku, huah-hah-hah!"

"Sesukamulah, Wirokolo. Aku sudah memperingatkanmu !"

Wirokolo kemudian menggunakan sepasang tombaknya. Karena ia maklum bahwa pertapa tua yang duduk bersila itu adalah Sang Prabu Airlangga yang amat sakti. Dahulupun rajanya yang terkenal sakti, Sang Prabu Boko, tak sanggup melawan, maka kini ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ajinya. Sebelum menerjang maju, ia berkemak- kemik membaca mantera dan muncullah bayangan nenek tinggi besar yang tadi muncul dan kemudian mundur karena dikalahkan Empu Bharodo.

Nenek Calon Arang itu tampak bayangannya di belakang Wirokolo! Ketika Wirokolo menggereng, tidak hanya kedua telapak tangannya yang membara, bahkan mulutnya seakan-akan mengeluarkan api bernyala dahsyat, matanya mencorong seperti ada api di dalamnya. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

"Iblis jahat! Biar aku mengadu nyawa denganmu!"

Bentakan ini keluar dari mulut Joko Wandiro yang sudah meloncat maju sambil menggerakkan sepasang goloknya. Hati anak ini tidak dapat menahan lagi menyaksikan sikap Wirokolo yang dahsyat itu. Ia merasa ngeri membayangkan betapa pertapa bekas raja itu sama sekali tidak melawan menghadapi ancaman yang begitu buasnya. Maka tanpa berpikir panjang lagi, mengikuti getar hatinya, ia sudah meloncat dan menerjang Wirokolo dengan sepasang goloknya.

"Joko .......... ! "

Resi Bhargowo berteriak, namun terlambat karena anak itu sudah menggerakkan tubuh dan goloknya, bagaikan seekor harimau muda menerjang Wirokolo dengan kecepatan mengagumkan. Wirokolo sama sekali tidak menduga bahwa dirinya akan diserang seorang anak-anak, menjadi terheran-heran dan hanya memandang dengan mata terbelalak.

"Werr ........ werr ........ ! Trangg ........ trangg ........ !!"

"Heh-heh-heh!"

Wirokolo tertawa dan sekali lengannya bergerak, tubuh Joko Wandiro terlempar dan roboh bergulingan, pingsan! Tadi sepasang golok anak ini dengan tepat mengenai sasaran, yaitu di dada dan pundak. Akan tetapi, sepasang golok itu membalik seperti menghantam baja saja ketika bertemu dengan tubuh Wirokolo yang kebal, dan sekali raksasa itu menampar, Joko Wandiro terlempar dan pingsan.

"Huah-hah, Airlangga, setelah kehabisan jago tidak malukah engkau mengajukan seorang bocah? Nah, terimalah kematianmu!"

Tubuh yang tinggi besar itu kini menerjang maju, sepasang tombaknya diputar-putar. Akan tetapi Sang Resi Jatinendra sama sekali tidak bergerak, hanya memandang dengan senyum menghias bibir dan masih duduk bersila di atas batu.

"WuuuutttH Desssss!!" Bunga api berhamburan ketika batu yang diduduki Resi Jatinendra pecah ujungnya, dihantam tombak pendek di tangan kanan Wirokolo. Akan tetapi anehnya, Resi Jatinendra masih duduk bersila di situ sambil tersenyum, seujung rambutpun tidak bergeming, apalagi terluka, tombak itu tadi kelihatan tepat mengenai dada pertapa bekas raja ini!.

Sejenak Wirokolo terbelalak kaget, akan tetapi ia menjadi makin marah dan penasaran. Ia sama sekali tidak merasa betapa bayangan nenek mengerikan Calon Arang di belakangnya mundur-mundur ketakutan satelah dekat dengan sang pertapa. Selagi Wirokolo melangkah mundur lalu mengambil ancang-ancang untuk menerjang lebih hebat lagi, tiba-tiba menyambar angin keras dari samping, dibarengi bentakan nyaring,

"Bedebah Wirokolo, pergilah!!"

Angin itu menyambar datang, lalu tampak kaki tangan orang bergerak menerjang Wirokolo! Raksasa itu berusaha menangkis dan melawan, namun sia-sia belaka. Tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat seperti daun kering ditiup angin, terlempar sampai sepuluh meter jauhnya dan jatuh berdebuk seperti batang pohon pisang tumbang!

Lanjut ke Jilid 049 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment