Ads

Sunday, December 30, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 052

◄◄◄◄ Kembali

Setelah memberi nasehat banyak kepada kedua orang puteranya, akhirnya Sang Resi Jatinendra atau Resi Gentayu, mengambil keputusan untuk membagi Kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian. Raja sakti yang telah menjadi pertapa yang bijaksana dan waspada ini dengan hati prihatin dapat melihat bahwa betapapun ia memberi wejangan-wejangan, takkan dapat melenyapkan rasa dendam dan iri di dalam hati kedua orang puteranya, terutama di dalam hati Pangeran Anom. Sang Resi Jatinendra yang sudah awas pandangan batinnya dan dapat meraba dengan rasa ke arah masa depan menjadi trenyuh dan nelangsa.

"Manusia berusaha, namun Hyang Wisesa yang menentukan," keluhnya di dalam hati, "namun aku akan kesiku (terkutuk) kalau sebagai manusia aku tidak melakukan usaha sedapat mungkin yang sudah menjadi kewajiban manusia."

Pertapa ini maklum bahwa usaha satu-satunya yang dapat ia lakukan untuk mencegah perebutan, hanyalah dengan jalan membagi kerajaan menjadi dua bagian dan diberikan kepada kedua orang puteranya. Tentu saja hal ini berlawanan dengan politiknya sebagai raja dahulu. Dahulu Sang Prabu Airlangga berpendirian bahwa tanpa penyatuan seluruh Nusantara, kemakmuran takkan dapat tercapai karena selalu akan terjadi perebutan wilayah dan kekuasaan di antara para adipati dan raja-raja kecil. Karena pendirian inilah maka ketika Resi Jatinendra masih menjadi raja, tiada hentinya ia melakukan usaha perluasan wilayah, menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil sehingga akhirnya Kerasan Kahuripan terkenal sebagai kerajaan yang menegakkan kembali pemerintahan yang wilayahnya seluas Kerajaan Mataram yang lalu. Akan tetapi kini demi untuk mencegah meluasnya perang saudara, Sang Resi Jatinendra terpaksa membagi wilayah Kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian untuk dibagi rata di antara kedua puteranya berlainan ibu yang sudah bersiap untuk saling menghancurkan dalam perebutan kekuasaan!

Di dalam hatinya bekas raja besar ini maklum bahwa kebenaran ada pada puteranya yang tua, namun kasih sayang sebagai ayah membuat ia condong kepada putera yang muda. Sebetulnya, keputusan Sang Prabu Airlangga untuk membagi kerajaen menjadi dua ini, amat tidak disetujui oleh Narotama, patih yang menjadi sahabat sejak kecil, bahkan diakui sebagai kakak sendiri. Sang Patih Narotama yang dalam hal kebijaksanaan dan kewaspadaan hanya sedikit selisihnya dengan Sang Prabu Airlangga yang juga menjadi saudara seperguruannya, maklum bahwa usaha Sang Prabu Airlangga ini bukan merupakan jalan keluar yang baik! Hanya merupakan penyanggah perang untuk sementara waktu saja. Bukankah dengan pembagian kerajaan menjadi dua maka sang prabu telah menciptakan dua buah kerajaan yang sama besar dan sama kuat, yang berdiri berhadapan bagaikan dua ekor harimau saling berlaga mengadu kekuatan? Bukankah perang saudara yang terjadi di alun-alun itu hanya merupakan pertikaian di antara dua saudara sehingga merupakan perang kecil terbatas antara dua pasukan pengawal, sedangkan perang antara dua buah kerajaan besar merupakan perang besar-besaran yang mengerikan dan jauh lebih celaka akibatnya daripada perang antara kakak dan adik?.

Terjadi perbantahan antara Sang Prabu Airlangga dan Ki Patih Narotama dan akibatnya, Ki Patih Narotama tidak diperkenankan mencampuri urusan yang oleh Sang Prabu Airlangga disebut urusan dalam antara seorang ayah dan para puteranya !. Bahkan tak diperkenankan hadir dalam upacara pembagian kerajaan! Sesungguhnya bukan sekali-kali Sang Prabu Airlangga marah kepada Ki Patih Narotama, melainkan ia maklum bahwa kalau ia membiarkannya saja, Narotama tentu akan turun tangan membela Pangeran Sepuh dan kalau hal ini terjadi, sebagai seorang ayah tentu ia merasa tidak enak kalau harus berat sebelah. Di lain fihak, Narotama yang sudah berjanji takkan mencampuri urusan antara kedua putera sang prabu, lalu menyembah dan berkata,

"Kalau begitu, perkenankanlah hamba mengundurkan diri selaku patih. Selama hamba masih menjadi punggawa Kahuripan, betapa mungkin hanya akan mendiamkan saja kalau melihat Kahuripan terancam perpecahan? Lain halnya kalau hamba sudah bukan punggawa lagi, melainkan menjadi seorang pertapa."

"Kakang Narotama! Kau hendak menjadi pertapa?? " Melihat wajah junjungannya yang kaget itu, Narotama tersenyum.

"Paduka sendiri meninggalkan singgasana, meninggalkan kebesaran dan kemuliaan seorang raja dan mengundurkan diri menjadi pertapa, mengapa hamba tidak menauladan contoh paduka yang amat baik ini? Kerajaan akan dipecah menjadi dua, sebaiknya Gusti Pangeran Sepuh dan Gusti Pangeran Anom memilih pembantu masing-masing dan hamba lepas tangan, melepaskan diri dari dunia ramai, menikmati keadaan kosong sunyi, bersih daripada angkara murkanya nafsu. Hamba pamit, mohon diri, gusti."

Resi Jatinendra turun dari tempat duduknya lalu menghampiri ki patih yang bersimpuh di depannya. Dirangkulnya Narotama dan suaranya terharu ketika bersabda,

"Duh kakang Narotama. Betapa girang hatiku mendengar aturmu. Agaknya engkaupun dapat menginsyafi betapa beginilah sebaiknya. Kita sudah tua, kakang. Kita harus melepas tangan setelah melakukan ikhtiar sekuasa kita. Biarkanlah apa yang akan terjadi, terjadi seperti yang dikehendaki Sang Hyang Wisesa, kakang Narotama ! "

"Betul, yayi. Betul sekali. Ampunkan kekhilafan hamba yang sudah-sudah."

"Engkau akan bertapa di mana, kakang?"

"Paduka maklum, hamba takkan pernah dapat meninggalkan paduka. Oleh karena itupun, hamba takkan jauh dari Jalatunda, yayi."

"Bagus, kakang. Berangkatlah, dan jangan lupa, kau didiklah baik-baik si Joko Wandiro."

Demikianlah, Narotama berpisah dari junjungannya dan tidak menyaksikan pembagian Kerajaan Kahuripan, karena hal ini serupa dengan memecah jantungnya menjadi dua. Dahulu, bertahun-tahun dialah yang berjuang menyatukan wilayah-wilayah itu, dengan pengorbanan darah dan peluh. Bagaimana kini ia tega menyaksikan segala jerih payahnya itu dihancurkan, bukan oleh orang lain, melainkan oleh keturunan junjungannya sendiri? Dengan hati berat Narotama lalu mengajak Joko Wandiro meninggalkan Jalatunda, memilih tempat bertapa yang cocok di antara guha-guha yang banyak terdapat di pegunungan sekitar Gunung Bekel.

Biarpun maklum sedalamnya bahwa usaha manusia itu tak mungkin merobah jalannya jangka yang ditentukan Hyang Wisesa, namun Sang Prabu Airlangga berusaha keras untuk bertindak sebaik-baiknya. Pembagian wilayah kerajaan yang dilakukan dalam usaha mencegah perang saudara ini dilakukan dengan upacara besar-besaran, sengaja oleh Sang Prabu Airlangga didatangkan semua pembesar, punggawa, pendeta dan orang-orang terkemuka di seluruh kerajaan agar mereka Ini menjadi saksi. Semua ini dilakukan dalam rangka usahanya agar kewajibannya sebagai ayah yang adil terpenuhi. Pimpinan upacara pembagian wilayah Kerajaan Rahuripan ini diserahkan kepada Empu Bharodo yang terkenal sebagai seorang kakek sakti yang amat setia kepada Kahuripan, terkenal pula akan kejujuran dan kebersihan hatinya, juga akan kesaktiannya.

Berkat kebijaksanaan Empu Bharodo yang dibantu oleh adik seperguruannya, Resi Bhargowo, pembagian wilayah Kerajaan Kahuripan ini dilakukan dengan sempurna dan seadil-adilnya. Akan tetapi, manusia takkan terlepas daripada sifat angkara murka dan dengki iri. Betapapun adil pembagian itu menurut ukuran Empu Bharodo maupun Resi Jatinendra sendiri, tetap saja kedua orang pangeran itu diam-diam merasa tidak puas, karena pembagian itu tidak selaras dengan keinginan hati mereka dan karenanya keduanya menganggapnya kurang adil!. Namun oleh karena yang membaginya adalah Sang Prabu Airlangga sendiri, maka kedua orang pangeran tidak berani membantah dan menerima pembagian masing-masing.

Pangeran Sepuh mendapat bagian barat dan menjadi raja dari bagian ini yang kemudian dinamakan Kerajaan Panjalu. Adapun bagian timur menjadi bagian Pangeran Anom dan dinamakan Kerajaan Jenggala. Mereka menjadi raja dari kerajaan masing-masing dan untuk sementara kelihatan puas dan berlomba untuk memperindah dan memperbesar kerajaan masing-masing.

Setelah pembagian kerajaan selesai, Sang Prabu Airlangga kembali ke pertapaan, bertapa makin tekun lagi sambil memohon kepada dewata agar kerajaan yang kini dipimpin oleh kedua orang puteranya dapat makmur dan tidak timbul pula pertengkaran di antara mereka. Empu Bharodo dengan setia mengikuti junjungannya ini di pertapaan Jalatunda di lereng Gunung Bekel. Biarpun Ki Patih Narotama tidak diperkenankan mencampuri urusan pembagian kerajaan, bahkan tidak hadir pula dalam upacara, namun Ki Patih Narotama tidak merasa kecil hati terhadap junjungan, juga saudara seperguruan dan sahabat yang dikasihinya itu. Ia merasa girang bahwa jalan tengah yang diambil sri baginda itu agaknya memperlihatkan hasil baik.

Apapun yang terjadi, Ki Patih Narotama yang amat mencinta negara ini sudah merasa puas apabila menyaksikan negara aman makmur. Oleh karena itu, biarpun ia sudah menjadi pertapa, seringkali ia menghadap Resi Jatinendra, bahkan sering pula ia datang mengajak muridnya, Joko Wandiro yang tentu saja merasa girang mendapat kesempatan bertemu dengan eyang gurunya, yaitu Resi Bhargowo. Karena adanya hubungan ini, terutama sekali juga karena para kakek sakti yang waspada itu dapat melihat bahwa Joko Wandiro merupakan harapan mereka untuk mewakili mereka kelak menanggulangi segala keruwetan dan kekacauan negara, maka tiada bosannya mereka, juga Sang Resi Jatinendra sendiri, memberi nasehat dan petunjuk kepada Joko
Wandiro.

Anak ini dengan sikapnya yang sopan, dengan otaknya yang pintar, telah menarik perhatian mereka sehingga tidak hanya eyang gurunya saja yang menurunkan ilmunya, bahkan Empu Bharodo juga mengajarkan ilmu kesaktiannya Bayu Sakti kepada Joko Wandiro. Resi Jatinendra yang masih tunggal guru dengan Ki Patih Narotama, maklum bahwa anak itu tentu akan menerima kepandaian dari Narotama, maka iapun hanya memberi petunjuk tentang cara bersamadhi untuk menghimpun kekuatan sakti, dan kemudian memberi petunjuk pula tentang aji kesaktian yang luar biasa dan hanya dimiliki oleh bekas raja ini, yaitu aji Triwikrama. Aji Triwikrama ini sesungguhnya adalah aji yang mengandalkan kekuatan batin yang mengungkap keaslian ujud seorang manusia dan yang biasanya hanya dapat dilihat dengan pandang mata batin yang kuat. Aji ini apabila dipergunakan, pengaruhnya amat hebat, menundukkan segala macam lawan tanpa menggunakan kekerasan.

Joko Wandiro adalah seorang anak yang rajin, seorang anak yang pandai nyimpan perasaan dan rahasia hatinya, ia belajar dengan amat tekun, penuh perhatian. Ia tidak pernah bertanya tentang ayahnya , namun didalam hatinya tak pernah ia melupakan ayahnya, tak pernah ia kehilangan rasa rindunya yang ditekan-tekan, dan tak pernah ia lupa akan pesan ayahnya dahulu tentang seorang musuh besar ayahnya yang bernama Wisangjiwo! Tentu saja ia tidak pernah mendengar bahwa Wisangjiwo telah gugur dalam perang saudara. Juga sama sekali tidak tahu bahwa sebetulnya orang yang selama ini dianggap musuh besar, yang kelak harus ia balas, Sesungguhnya adalah ayah kandungnya sendiri! .

**** 052 ****
Lanjut ke Jilid 053 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment