Ads

Sunday, December 30, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 053

◄◄◄◄ Kembali

Sementara itu, Endang Patibroto dibawa oleh gurunya ke Pulau Nusakambangan. Pada masa itu, pulau ini merupakan sebuah pulau yang terkenal sebagai sarang Iblis dan Siluman . Jangankan mendarat di pulau ini kalau ada yang berani bahkan mendekati pulau saja tidak ada seorangpun nelayan yang berani. Sebuah pulau angker, menyeramkan, dan penuh rahasia mengerikan. Kalau sekali waktu ada perahu-perahu nelayan yang diserang badai Laut Selatan di daerah itu, tentu mereka ini menghubungkannya dengan Pulau Nusakambangan atau yang mereka juluki Pulau Iblis. Mereka menganggap bahwa iblis-iblis di pulau itu mengamuk dan tidak senang karena ada perahu yang "melanggar" wilayah Pulau Iblis, yang berlayar terlalu dekat dengan pulau.

Dibyo Mamangkoro menggandeng tangan Endang Patibroto mendekati pantai Laut Selatan. Pulau Nusakambangan Nampak dari pantai itu seperti seorang raksasa sedang tidur. Cuaca sudah mulai gelap ketika mereka tiba di pantai.

"Bapa guru, bagaimana kita akan menyeberang ke sana?" tanya Endang Patibroto ketika gurunya memberi tahu bahwa pulau yang jauh itulah tempat tinggalnya. Ia bertanya demikian karena kini gurunya tidak membawa mancung (selapu bunga kelapa) seperti ketika menyeberang ke Pulau Sempu.

"Apakah kita harus mencari mancung lebih dulu? Itu di sana banyak pohon kelapa!" Ia menuding ke arah barat di mana terdapat beberapa batang pohon nyiur melambai-lambai tertiup angin laut .

"Huah-hah-hah, tidak usah, muridku. Setelah kau ikut bersamaku, kita perlu mempunyai sebuah perahu. Nah, bukankah di sana itu ada perahu. Mari !"

Dibyo Mamangkoro menarik tangan muridnya, diajak pergi mendekati pantai sebelah timur di mana terdapat beberapa buah perahu.- Dari jauh kelihatan beberapa orang nelayan sedang berkemas untuk mulai berlayar mencari ikan. Ada yang membereskan layar, ada pula yang menyiapkan jala, pancing, dan lain- lain.

Tanpa berkata sesuatu, Dibyo Mamangkoro yang menggandeng tangan Endang Patibroto itu menghampiri para nelayan, lalu seenaknya ia memilih perahu terbaik, lalu melangkah naik bersama muridnya.

"Haiii.......! Orang tua, kau mau apa dengan perahuku.,.....?"

Seorang nelayan muda yang bertubuh tegap dan Nampak kuat datang berlari-lari sambil membawa sebuah tombak berkail alat menangkap ikan besar. Sikapnya mengancam. Akan tetapi Dibyo Mamangkoro tidak memperdulikan teguran orang itu. Enak saja ia mengambil dayung dan hendak melepaskan dadung yang mengikat perahu dengan perahu lain di pantai.

"Heeeel! Lepaskan perahuku. Turun!!"

Si nelayan muda membentak sambil menerjang maju. Dengan tangan kanannya ia menangkap lengan Dibyo Mamangkoro dan menyeretnya turun dari perahu. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika lengan dan tubuh yang diseretnya itu sama sekali tidak bergoyang! Ia mengerahkan tenaga, membetot lagi. Sia- sia belaka, sama halnya kalau ia mencoba untuk menarik roboh sebuah batu karang yang kokoh kuat. Namun si nelayan yang muda dan kuat itu makin penasaran. Ia menancapkan tombaknya di atas tanah, kemudian menggunakan kedua tangan untuk menyeret.

"Huah-ha-ha ! Endang, kau lihat tingkah monyet pantai ini!" Sambil berkata demikian, Dibyo Mamangkoro menggerakkan tangan yang dibetot dari tubuh nelayan muda itu terlempar sampai lima meter jauhnya ke laut .

Sambil menyumpah-nyumpah nelayan itu berenang ke pinggir, sedangkan para nelayan lain yang belasan orang banyaknya datang mendekat dengan wajah terheran. Nelayan muda itu terkenal sebagai nelayan yang paling kuat di antara mereka. Pernah seordng diri saja melawan dan menaklukkan ikan hiu sebesar manusia ketika ia mengail dan tertarik jatuh dari perahunya ke dalam laut oleh seekor ikan hiu yang terkail. Bagaimana sekarang melawan seorang kakek tua itu, biarpun kakek tinggi besar seperti raksasa, begitu mudah saja dilempar ke laut? Dengan penuh ketegangan mereka melihat betapa nelayan muda itu sudah berhasil berenang ke pantai. Kini dengan kemarahan meluap melihat kakek tinggi besar itu terbahak-bahak ketawa dan anak perempuan itu tersenyum-senyum geli, si nelayan muda menyambar tombaknya.

"Suro....... sabarlah, jangan main-main dengan tombak.......!"

Beberapa orang nelayan tua memperingatkan. Para nelayan itu adalah orang-orang sederhana dan menghadapi buruan mereka, yaitu ikan laut, mungkin mereka dapat bersikap ganas dan kejam. Akan tetapi menghadapi peristiwa yang mengancam keselamatan nyawa manusia, mereka merasa ngeri juga. Namun, nelayan muda bernama Suro itu terlalu marah sehingga menjadi mata gelap. Jelas bahwa kakek raksasa itu hendak merampas perahunya, bahkan kini kakek itu sudah hendak mengembangkan layar, bagaimana ia tidak akan merah? Perahu lebih berharga daripada nyawa bagi seorang nelayan miskin seperti dia. Kini perahunya hendak dirampas orang, harus ia pertahankan dengan nyawa, kalau perlu ia tidak akan segan untuk membunuh! Kakek itu terlalu kuat, tidak dapat ia lawan dengan kedua tangan kosong. Apa salahnya kini menggunakan senjata untuk mencapai kemenangan mempertahankan perahunya?

Ia tidak tahu bahwa seruan peringatan teman-temannya yang tua tadi bukan hanya karena khawatir melihat ia hendak membunuh orang, melainkan lebih khawatir lagi terhadap keselamatannya. Para nelayan yang tua itu melihat sesuatu pada diri Dibyo Mamangkoro yang menyeramkan hati mereka. Sesuatu yang memancar dari sepasang mata yang liar dan besar itu, sesuatu yang membayang pada sikap kakek yang tidak sewajarnya, tidak seperti manusia umumnya. Terlambatlah seruan peringatan itu.

Suro sudah menerjang dengan tombaknya sambil melompat ke atas perahunya sendiri. Ia bermaksud menyerang kakek raksasa yang tadi telah melemparkannya ke laut, akan tetapi karena Endang Patibroto berdiri di pinggir menjadi penghalang, tentu saja otomatis anak perempuan inilah yang lebih dulu terancam bahaya serangan tombak. Anehnya, melihat datangnya marabahaya terhadap muridnya itu, Dibyo Mamangkoro hanya tertawa bergelak, sama sekali tidak menjadi gugup atau khawatir!

Memang tidak berlebihan sikap ini. Biarpun anak perempuan itu baru beberapa hari saja ikut kepadanya dan menjadi muridnya, namun pandang mata Dibyo Mamangkoro amat tajam sehingga ia mengenal anak macam apa muridnya ini. Kalau hanya menghadapi serangan tombak yang dilakukan oleh tangan-tangan yang curna kuat dan cepat itu saja, tanpa didasari ilmu bermain tombak, bukanlah apa-apa bagi Endang Patibroto.

Dengan jelas matanya yang jeli dapat mengikuti gerakan ujung tombak yang runcing berkail, yang menerjang gurunya akan tetapi lewat tubuhnya. Tombak itu meluncur ke tirah lambung kirinya. Endang Patibroto tidak meloncat pergi, melainkan dengan gerakan yang ringan dan tenang sekali kaki tangannya merobah kedudukan sehingga tubuhnya menjadi miring dan tentu Saja tombak itu tidak mengenai lambungnya. Secepat kilat gadis cilik ini melanjutkan gerakan kaki melangkah ke depan sambil memutar tangan menangkap batang tombak yang masih meluncur dekat lambung. Sambil mengerahkan tenaga membetot ke belakang, ia menambahi tenaga nelayan itu, atau "meminjam" tenaga dorongan tombak. Si nelayan berseru kaget dan tubuhnya terjerumus ke depan, disambut tungkak (tumit) kaki kiri Endang Patibroto.

Tungkak yang kulitnya kemerahan, halus dan kecil. Akan tetapi karena tungkak ini dengan cepat "memasuki" perut terdengar suara "ngekk!" dan tubuh nelayan itu terlempar ke belakang, terbanting ke atas pasir dan ia meringis-ringis sambil menekan perut yang mendadak menjadi mulas! Kemarahan Suro makin menjadi-jadi. Akan tetapi dia dan juga para nelayan memandang ke atas perahu dengah muka tiba-tiba menjadi pucat sekali, dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.

Apakah yang mereka lihat? Sungguh tidak masuk akal dan takkan mereka percaya kalau mereka tidak menyaksikan sendiri. Kakek raksasa itu telah mengambil tombak rampasan tadi, kini sambil tertawa-tawa kedua tangannya mematahkan tombak itu sedemikian mudahnya, dipatah-patahkan menjadi beberapa potong seperti orang mematahkan lidi saja! Kemudian, sambil melemparkan potongan tombak itu ke arah batu karang di pantai, ia berkata, suaranya parau menakutkan.

"SIAPA yang hendak mengambil kembali perahu ini, boleh datang ke Pulau Iblis. Huah-ha-hah!"

Perahu itu didayung ke tengah oleh Dibyo Mamangkoro, setelah melewati kepala ombak, angin menangkap layar dan berkembanglah layar itu. Perahu meluncur cepat ke arah pulau yang tampak hitam menyeramkan. Suro dan para nelayan masih berdiri pucat di pantai. Potongan-potongan tombak yang dilemparkan secara perlahan oleh kakek raksasa tadi telah menancap dan amblas terus memasuki batu karang !.

"Celaka....... ! Dia agaknya penghuni Pulau Iblis....... !!" Akhirnya seorang kakek mengemukakan terkaannya dengan suara gemetar.

"Ah, engkau masih untung, Suro. Untung tidak sampai dibunuh....... !”

"Tidak salah lagi. Mereka tentulah....... bukan manusia biasa, mereka penghuni Pulai Iblis. Bayangkan anak perempuan tadi. Begitu cantik, seperti anak peri....... akan tetapi begitu kuat, sekali gerak telah merampas tombak dan merobohkan Suro. Eh, Suro, bukankah tenaga anak tadi luar biasa sekali, bukan tenaga manusia?"

Suro masih ketakutan, mukanya pucat matanya sayu. Ia tidak kuasa membuka suara dan setelah menelan ludah, baru ia dapat menjawab dengan anggukan kepala.

"Suro, kau tentu akan mendapat untung besar. Perahumu diminta penghuni Pulau Iblis, tentu anugerahnya berlipat ganda ! Jangan murung, Suro, relakanlah, tentu engkau akan dilindungi !”

Bermacam-macam pendapat mereka. Tidak seorangpun berani mengomel atau menyumpahi kakek raksasa itu. Dan tentang untung yang mereka ramalkan untuk Suro, sungguhpun belum nampak untungnya, namun sedikitnya Suro sudah agak terhibur daripada dukanya karena para temannya secara gotong royong bergilir meminjamkan perahu mereka kepada Suro untuk mencari ikan. Dan secara kebetulan sekali, atau mungkin juga karena Suro sesudah kehilangan itu bekerja keras dan rajin, setiap kali pergi mencari ikan semenjak peristiwa itu, Suro selalu memperoleh penghasilan yang besar! Memang, di dunia ini tidak ada yang lebih kuat daripada kepercayaan yang mendalam.

Endang Patibroto merasa suka sekali kepada gurunya. Ia merasa cocok dengan watak gurunya yang kasar, berandalan, dan mencari enaknya sendiri saja. Perampasan perahu itu bagi Endang Patibroto bukan hal yang dianggap tidak semestinya. Malah dianggap benar, karena, bukankah mereka membutuhkan perahu untuk menyeberang? Dan bukankah sudah semestinya mereka memakai perahu siapa saja yang tak mampu mempertahankan miliknya? Semenjak kecil, anak ini hidup dalam asuhan seorang ibu yang mabok dendam. Bahkan semenjak dalam kandungan, ibunya seringkali membayangkan pembalasan dendam yang hebat-hebat dan kejam-kejam. Oleh karena itu, tidak mengherankan pula apabila Endang Patibroto memiliki watak yang aneh, berandalan, keras hati dan tidak mengenal kasihan! Hebatnya, anak ini secara kebetulan sekali telah rnewarisi keris pusaka Brojol Luwuk, pusaka Mataram yang semenjak dahulu kalau lenyap dari keraton pasti menimbulkan geger dan peristiwa-peristiwa hebat! Untuk melengkapinya lagi, secara kebetulan pula Endang Patibroto menjadi murid seorang sakti mandraguna yang liar dan ganas seperti Dibyo Mamangkoro!.

Begitu perahu menempel pulau, Dibyo Mamangkoro menggandeng tangan muridnya dan melompat ke darat. Kemudian sekali ia rnembetot dan melontarkan, perahu rampasan itu terlempar ke pantai pulau dan rebah miring. Ia tidak pedulikan lagi perahu itu melainkan menarik tangan muridnya, mengajaknya berlari-lari memasuki pulau sambil tertawa-tawa dan berkata,

"Huah-hah-hah! Inilah negara kita, inilah tempat tinggal kita, Endang! Inilah sorga dunia. Aku raja di sini, dan kini engkau menjadi puterinya, ha-ha-ha!"

Akan tetapi tiba-tiba Endang Patibroto terkejut dan berhenti berlari sambil melepaskan tangan gurunya, siap untuk menghadapi bahaya. Di depan mereka muncul seekor harimau tutul yang besar, sebesar anak lembu! Harimau itu meringis memperlihatkan taring yang besar meruncing, matanya bersinar-sinar galak, air liurnya menetes-netes seakan tak dapat ia menahan seleranya melihat manusia cilik yang berdaging lunak berdarah manis ini.

"Huah-ha-hah! Jangan takut, kalau dia berani mengganggu, bunuh saja! He, tutul, kalau kau berani membikin takut tuan puterimu, akan kubuntungi ekormu dan kedua telingamu. Pergi!" Kaki kiri Dibyo Mamangkoro terayun.

"Bukkk!!" Tubuh harimau tutul yang besar dan berat itu terlempar sampai beberapa meter jauhnya, jatuh terbanting, lalu binatang itu mengaum kesakitan dan berlari pcrgi terpincang-pincang, diikuti suara ketawa Dibyo Mamangkoro dan Endang Patibroto.

Mulailah isi pulau itu mengenal suara ketawa yang lain daripada biasanya. Suara ketawa yang merdu dan nyaring, kadang-kadang melengking tinggi, namun mengandung kekerasan yang menyeramkan! Itulah suara ketawa Endang Patibroto yang mulai saat itu menjadi penghuni Pulau Iblis atau Pulau Nusakambangan, hidup berdua dengan gurunya, Dibyo Mamangkoro dan binatang-binatang buas yang menjadi penghuni asli pulau itu.

"Hati-hatilah engkau terhadap manusia di dunia ini Endang," demikian sebuah di antara nasehat-nasehat Dibyo Mamangkoro kepada muridnya. "Jauh lebih baik berhadapan dengan ancaman binatang buas daripada manusia. Binatang hutan, betapa buaspun, selalu menyerang orang berdepan, bahkan mcmberi peringatan lebih dulu dengan suaranya. Menang atau kalah dalam pertandingan, binatang mengandalkan kekuatan dan kecepatan nya, secara jujur. Akan tetapi tidak demikian dengan lawan manusia. Manusia lebih sering menang mcngandalkan tipu muslihat yang licik. Karena itu, sekali-kali jangan engkau pereaya manusia. Apalagi manusia yang pandai bermain mulut, wah, berbahaya sekali dia itu, karena biasanya apa yang keluar dari mulutnya berlawanan dengan yang terkandung dalam hati. Kalau berhadapan dengan manusia yang mencurigakan, pukul saja lebih dahulu sebelum engkau dipukul!"

Ajaran-ajaran seperti inilah yang membuat Endang Patibroto menyerang kalang-kabut ketika beberapa bulan kemudian ia melihat tiga orang laki-laki tinggi besar mendarat di Pulau Iblis. Tiga orang laki-laki seperti gurunya, tinggi besar dan menyeramkan. Mereka itu mendarat dan menyeret sebuah perahu kecil ke pantai. Mereka itu adalah Wirokolo dan dua orang anak buahnya, Gagak Kunto dan Cagak Rudro yang telah gagal membunuh Sang Resi Jatinendra di Jalatunda.

Seperti kita ketahui, tiga orang ini mundur setelah Wirokolo dirobohkan Ki Patih Narotama. Setelah gagal, Wirokolo mengajak dua orang kawannya itu pergi ke Nusakambangan menghadap kakak seperguruannya. Melihat laki-laki tinggi besar yang berkalung dan bergelang ular pada leher dan kedua pasang kaki tangannya, tentu saja sekaiigus Endang Patibroto menjadi curiga. Apalagi sikap Gagak Kunto dan Cagak Rudro juga amat kasar dan tidak menyenangkan hatinya. Dari tempat persembunyiannya, di balik scrumpun pandan, Endang Patibroto mcngintai. Setelah ia merasa yakin akan dugaannya bahwa tiga orang itu tentu datang ke pulau dengan maksud buruk, Endang Patibroto menggerakkan tangan, mengambil beberapa buah pecahan batu karang.

"Pukul lebih dahulu sebelum engkau dipukul !" Bukankah demikian pesan dan ajaran gurunya?

Tiga orang ini mencurigakan, kalau tidak didahului tentu hanya akan mendatangkan bencana. Dari tempat persembunyiannya Endang lalu mengayun kedua tangan dan secara berturut-turut, tiga buah batu karang yang keras telah menyambar ke arah kepala tiga orang itu dengan kecepatan mengagumkan. Biarpun orang memiliki tubuh kuat, kalau kepalanya dihantam batu karang yang keras itu, tentu akan celaka, sedikitnya akan moncrot dan bileng !.

Namun, tiga orang itu adalah jagoan-jagoan Kerajaan Wengker dahulu, ilmu ke pandaian mereka tinggi. Biarpun sambitan itu dilakukan dari jarak dekat dan dilakukan dengan tenaga yang dahsyat melebihi tenaga orang biasa, namun mereka sudah dapat menangkap sambaran anginnya lebih dahulu sehihgga dengan miringkan tubuh, mereka dapat mengelak sehingga tiga buah batu itu menyambar lewat.

Wirokolo mengerutkan kening dan bertukar pandang dengan kedua orang temannya. Ia terheran dan meragu. Ia maklum benar bahwa pulau ini adalah pulau yang hanya ditinggali oleh kakak scperguruannya, Dibyo Mamangkoro, tidak ada manusia lain. Ia maklum pula bahwa pulau ini oleh semua nelayan dianggap sebagai pulau iblis yang gawat dan angker bahwa tidak ada manusia lain berani mendatangi pulau ini, bahkan mendekatipun tidak ada yang berani. Bagaimana sekarang begitu mendarat di pulau ini mereka bertiga diserang orang secara menggelap ? Apakah Dibyo Mamangkoro membawa anak buah ke pulau ini ? Andaikata demikian, tidak mungkin pula anak buahnya menyerang mereka !. Semua anak buah Dibyo Mamangkoro tentu sudah mengenal siapa dia Wirokolo, Gagak Kunto dan Gagak Rudro! Ini pasti perbuatan musuh yang diam-diam menyelundup masuk ke Pulau Nusakambangan!. Berpikir demikian, tiba-tiba Wirokolo tertawa berkakakan, kemudian kedua lengannya bergerak dan ia sudah melakukan gerakan memukul ke arah rumpun pandan di mana Endang Patibroto bersembunyi.

"Werrrr....... braaaakkkk....... !!"

Hebat bukan main kesaktian Wirokolo. Ilmu pukulan jarak jauh ini mendatangkan akibat yang mengerikan. Hawa pukulannya yang dahsyat tadi menyambar bagaikan angina puyuh. Debu mengebul dan daun-daun bergoyang, kemudian rumpun pandan itu bobol, tereabut berikut akar-akarnya dan terlempar sampai lima meter lebihl Akan tetapi di belakang rumpun pandan itu tidak ada apa-apa! Wirokolo sampai melongo keheranan. Juga Gagak Kunto dan Gagak Rudro yang tadi tertawa-tawa melihat Wirokolo melakukan pukulan dahsyat ke arah rumpun pandan.

Merekapun, seperti Wirokolo, sudah dapat mengetahui bahwa yang melakukan penyerangan gelap dengan sambitan batu tadi bersembunyi di belakang rumpun pandan. Akan tetapi setelah rumpun itu terlempar, mengapa di situ tidak tampak ada orangnya? Salahkah dugaan dan perhitungan mereka? Tidak, sebetulnya dugaan mereka tepat sekali. Akan tetapi mereka tidak pernah menyangka bahwa yang melakukan penyerangan gelap hanyalah seorang gadis cilik. Lebih-lebih lagi mereka tidak tahu bahwa gadis cilik itu adalah seorang yang amat cerdik, dan sekecil itu telah memiliki gerakan gesit dan tangkas seperti burung srikatan. Begitu serangannya tadi gagal, Endang Patibroto sudah maklum bahwa tiga orang itu bukanlah orang sembarangan, maka ia berlaku hati-hati sekali. Kalau mereka mampu mengelak dari sambitannya, tentu mereka itu akan dapat menemukan tempat persembunyiannya, demikian pikirnya. Maka cepat sekali Endang Patibroto lalu menggunakan ajinya Bayu Tantra, melompat dari belakang rumpun pandan ke atas anak pohon nyiur dan dari situ meloncat pula ke atas scbuah batu karang besar lalu bersejnbunyi di situ sambil mengintai!

Ia menjulurkan lidah saking ngeri dan kagum mcnyaksikan betapa rumpun pandan di mana tadi ia bersembunyi, jebol dan terlempar karena pukulan jarak jauh yang demikian dahsyat! Ia bersyukur bahwa tadi telah berlaku cerdik dan cepat. Kalau ia masih mendekam di belakang rumpun pandan, tentu tubuhnya menjadi korban pukulan dahsyat yang hebat akibatnya!.

Betapapun cepat gerakan Endang Patibroto, ia tidak dapat terlepas dari pandang mata yang tajam dari ketiga orang kakek itu. Mereka tadi melihat berkelebatnya bayangan dari rumpun pandan ke nyiur, hanya mereka tadi sama sekali tidak menduga bahwa itu adalah bayangan seorang manusia. Setelah kini melihat di balik pandan itu tidak ada apa-apa, barulah mereka maklum bahwa orang yang tadi menyambit mereka itu telah lari bersembunyi dan memiliki gerakan yang cepat.

"Babo-babo! Keparat dari mana berani memasuki Nusakambangan dan menyerang kami? Heh, pengecut di belakang karang. Keluarlah!" bentak Wirokolo.

Akan tetapi Endang Patibroto tidak mau keluar dari tempat sembunyinya. Ia tetap mendekam dan siap melakukan perlawanan apa bila diserang.

"Gagak Kembar, pergi kalian tangkap dia !" Wirokolo memerintah.

Dua orang raksasa kembar Itu tertawa lalu melangkah lebar ke arah batu karang. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan pereaya kepada diri sendiri, menjadi sombong, maka tanpa gentar mereka menghampiri tempat persembunyian lawan sarnbil tertawa-tawa.

Dari tempat persembunyiannya Endang Patibroto melihat datangnya dua orang raksasa yang sikapnya mengancam itu, diam-diam membuat perhitungan. Ia harus menyerang lebih dulu, pikirnya. Laripun tiada gunanya, tentu mereka akan mengejarnya dan kalau ketahuan gurunya, alangkah akan malunya. Melarikan diri dari lawan? Tidak sudi! Ia menanti dengan tubuh setengah membongkok, siap menerjang. Ketika dua orang raksasa itu sudah tiba di dekat batu karang, seperti seekor kijang muda Endang Patibroto melornpat keluar, tangan kakinya bergerak menyerang.

"Plak-bukk!!"

Cepat bukan main serangan Endang Patibroto, cepat laksana kilat dan sama sekali tidak terduga-duga oleh sepasang Gagak itu yang sejenak tertegun melihat bahwa yang keluar dari balik batu karang adalah seorang anak perempuan! Karena inilah mereka terlambat untuk mengelak atau menangkis sehingga perut mereka kena digebuk sekali oleh tangan Endang Patibroto. Akan tetapi tubuh mereka kebal dan pukulan Endang Patibrpto, sungguhpun jauh lebih keras daripada pukulan orang dewasa pada umumnya, masih kurang kuat untuk dapat merobohkan dua orang jagoan Wengker ini.

Di lain saat berikutnya, dua orang yang tadinya tertegun dan terkejut itu sudah menubruk hendak menangkapnya. Akan tetapi, biarpun kalah jauh dalam hal tenaga, namun mengenai kecepatan gerak, Endang menang jauh. Dua orang itu menubruk dan dua-duanya mendapat kan angin kosong karena secara indah sekali tubuh kecil itu telah rnenyelinap pergi di antara empat buah tangan mereka yang menubruk.

"Ha-ha-ha, bocah ayu. Mari kugendong, ha-ha!" Gagak Kunto tertawa sambil melangkah maju.

"Kiranya hanya seorang bocah perempuan. Ha-ha, marilah, manis!" Gagak Rudro juga tertawa-tawa untuk menutupi rasa malu bahwa selain tadi kena dihantam, juga sekarang sekali tubruk tak berhasil menangkapnya.

Terjadilah kejar-kejaran yang menggelikan. Dua orang laki-laki tinggi besar seperti raksasa itu menubruk sana-sini, namun selalu luput. Gerakan Endang yang menggunakan Aji Bayu Tantra amatlah cepatnya, secepat burung terbang, sedangkan dua orang raksasa itu terlalu besar tubuhnya sehingga agak lamban. Sampai tubuh mereka mandi peluh, belum juga mereka dapat menangkap Endang Patibroto !.

"Ha-ha-ha !"

Wirokolo terbahak tertawa menyaksikan hal yang dianggapnya lucu itu. Dengan berindap ia melangkah maju dan pada saat Endang meloncat ke samping menghindarkan tubrukan dua orang lawannya dari depan dan belakang, tiba-tiba ia merasa rambutnya dijambak orang dan tubuhnya sudah menggantung di tangan Wirokolo yang menyambaknya!.

"Ha-ha-ha! Bocah ayu manis, galaknya seperti kucing, haha!"

Wirokolo tertawa bergelak, membiarkan anak itu menendang dan memukul. Endang marah sekali. Biarpun tubuhnya tergantung dan kepalanya terasa pedas karena rambutnya dijambak, namun ia tidak tinggal diam, kaki tangannya bergerak menyerang. Celakanya, raksasa mengerikan ini tubuhnya jauh lebih kebal daripada yang dua tadi.

"Lepaskan aku, kau orang tua tak tahu malu!" Ia berteriak-teriak.

"Ha-ha-ha-ha! Kalau tidak kulepaskan, kau mau apa, cah ayu? Hayo kau mengaku lebih dulu, siapa kau ini dan dengan siapa kau datang ke pulau ini."

Endang Patibroto yang cerdik segera mengerti bahwa menghadapi kakek ini tidak bisa menggunakan kekasaran. Maka ia lalu tersenyum amat manis dan berkata, suaranya lembut dan merdu,

"Kakek yang baik, kau benar-benar sakti mandraguna. Aku takluk dan kagum melihat kesaktianmu. Aku sering mendengar bahwa seorang kakek sakti mandraguna pantang menghina seorang anak-anak."

"Ha-ha-ha, kau benar. Ha-ha-ha!"

Senang hati Wirokolo. Anak ini terang bukan bocah biasa, suaranya merdu dan pujiannya enak di hati dan telinga.

"Kaulepaskanlah aku, kakek yang sakti, nanti aku ceritakan siapa aku ini."

Dengan senyum di bibir, dengan pandang mata bersinar-sinar, dan dengan suara merdu Endang dapat mengalahkan Wirokolo. Sambil tertawa-tawa, diikuti pula oleh sepasang Gagak yang kini juga tertawa-tawa, ia melepaskan rambut Endang.

Endang Patibroto membereskan rambutnya yang mawut oleh jambakan tadi. Di dalam hatinya ia merasa marah dan panas sekali, akan tetapi hal ini tidak ia perlihatkan pada wajahnya yang berseri. Biarpun usianya baru dua belas tahun, namun sudah jelas terbayang kecantikan wajah Endang, dan tubuhnya juga mulai membentuk keindahan seperti bunga mekar. Manis sekali ketika ia membereskan rambutnya dengan kedua tangan.

"Ha-ha-ha, rambutmu hitam dan halus sekali....... !" Wirokolo mengusap kepalanya sambil memuji.

"Genduk, pipimu segar kemerahan!" Gagak Kunto juga memuji sambil mengusap pipi.

"Beberapa tahun lagi engkau tentu menjadi seorang gadis jelita, denok ayu, ha-ha-ha!" Gagak Rudro juga memuji dan mencubit dagu Endang.

Menghadapi tangan-tangan nakal ini, kemarahan Endang meluap. Tadinya ia hanya hendak menggunakan siasat bersikap lunak agar mereka lalai untuk kemudian mencari jalan dan kesempatan untuk melarikan diri melapor kepada gurunya. la maklum bahwa ia tidak akan menang menghadapi mereka ini. Akan tetapi setelah mereka ini memuji-muji dan tangan mereka mulai nakal, mengelus dan mendatangkan rasa jijik, ia marah sekali dan lupa bahwa mereka itu sama sekali bukan lawannya. Kalah atau menang ia tidak perduli lagi, yang penting kelakuan mereka yang ia anggap kurang ajar ini harus dihukum!.

"Lepas tangan! Ada apa kalian meraba-raba??" bentaknya, mukanya tidak berseri lagi, mulutnya kehilangan senyum dan matanya memancarkan sinar marah. Endang makin menarik kalau sedang marah-marah begini. Mulut yang manis itu cemberut, matanya seperti bintang dan kulit muka yang halus itu menjadi kemerahan.

Tiga orang kakek itu makin senang hatinya untuk menggoda. Sambil tertawa-tawa mereka sengaja mengusap, meraba dan mencubit untuk membuat anak itu makin marah. Endang Patibroto tak kuasa menahan kemarahannya. Kini ia menyerang dengan pukulan-pukulan tangannya. Ia mengerahkan Aji Pethit Nogo, meloncat dengan Àji Bayu Tantra. Kedua ilmunya ini sudah disempurnakan di bawah gemblengan Resi bhargowo, dan gurunya yang baru, Dibyo Mamangkoro yang melihat bahwa muridnya telah mempelajari ilmu-ilmu yang hebat, tidak melenyapkannya malah memperkuatnya dengan aji-aji yang lain. Karena kini Endang menyerang untuk membunuh, maka ia memilih bagian yang berbahaya, bahkan tidak ragu-ragu untuk menyerang pusar dan bawah perut!

Tiga orang kakek itu diam-diam terkejut juga. Akan tetapi mereka tidak kehilangan kegembiraan mereka. Dengan mengelak atau menangkis, mereka membuat Endang jatuh bangun. Siapa saja di
antara mereka bertiga yang diserangnya, tentu dapat mengelak lalu mendorongnya jatuh, atau menangkis lalu nembetotnya roboh tertelungkup. sungguh mereka bertiga mengalami saat yang gembira sekali sebagai hiburan atas kekalahan mereka di Jalatunda.

Makin hebat Endang mengamuk, makin gembiralah mereka yang mengelak dan menangkis sambil tertawa-tawa. Kasihan Endang yang jatuh bangun sampai lututnya lecet-lecet. Pada saat itu, Wirokolo menangkap pundaknya. Muka yang besar dan penuh rambut dengan mata lebar mulut nenyeringai menjijikkan itu dekat sekali dengan muka Endang.

"Ha-ha-ha, cah ayu, aku minta ambung, ya? Ha-ha-ha!"

"Ha-ha-ha! Bagus, beri kami cium manis !”

Gagak Kunto dan Gagak Rudro juga tertawa-tawa. Endang tak tahan lagi. Tangan kanannya merogoh ke balik baju, menggenggam gagang keris pusaka Brojol Luwuk, menghunusnya lalu menerjang sambil membentak nyaring,

"Mampuslah orang-orang kurang ajar!"

Suara ketawa mereka seketika terhenti. Wajah tiga orang itu menjadi pucat sekali dan serentak mereka membanting tubuh ke belakang lalu bergulingan menjauh dengan penuh ketakutan.

"Eh, jangan....... jangan....... !!” teriak Gagak Kunto.

"Aduh, celaka....... !” Gagak Rudro berseru ketika ia jatuh bangun dan tubuhnya menggigil, matanya seakan-akan silau oleh cahaya yang bersinar keluar dari keris pusaka Brojol Luwuk.

Wirokolo sendiri sungguhpun seorang sakti mandraguna, selama hidupnya belum pernah ia menghadapi sebuah keris pusaka yang mempunyai wibawa sedahsyat ini. Ketika keris itu tadi ditodongkan, ia merasa seakan-akan diserang lahar panas yang dimuntahkan kawah gunung berapi. Ketika ia bergulingan ke belakang menjauhkan diri kemudian meloncat kembali, ia mendapat kenyataan bahwa lima ekor ular berbisa yang tadinya melingkar di leher, kedua tangan dan kakinya, telah terlepas dan menjadi bangkai hangus di atas tanah !.

Baru hawanya saja sudah sedemikian ampuhnya, apa lagi kalau tubuh terkena pusaka mujijat itu. Ia bergidik. Maklum bahwa gadis cilik ini memegang keris yang amat ampuh dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan, lenyap semua sikap main-main pada Wirokolo dan dua orang pembantunya. Sepasang Gagak itu kini sudah mengeluarkan suara bergaok menyeramkan seperti suara burung gagak, sedangkan Wirokolo sudah menggosok-gosok kedua tangannya sampai mengepulkan asap karena ia telah mengerahkan ajinya Anolo Hasto (Tangan Berapi) untuk menghadapi keris pusaka di tangan Endang!.

Lanjut ke Jilid 054 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment