Ads

Sunday, December 30, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 056

◄◄◄◄ Kembali

"Tangkap hidup-hidup, jeng ! Akan kubeset kulitnya, kuminum darahnya!" teriak Kartikosari.

"Baik, mbokayu! Akupun hendak melihat bagaimana macam jantungnya!" teriak pula Roro Luhito.

Jokowanengpati merasa serem dan hal ini membuat. gerakannya agak lamban sehingga sebuah pukulan Kartikosari berhasil "masuk" dan menghantam perutnya.

"Ngekkk!"

Pukulan yang keras sekali dan biarpun Jokowanengpati sudah mengerahkan tenaga dalam untuk melawan, tetap saja ia merasa seakan-akan isi perutnya berantakan di dalam dan dadanya terasa nyeri dan napasnya sesak.

"Aduh, mati aku....... !” teriaknya.

Untung ia masih sempat menghindarkan tendangan kaki Roro Luhito yang menyambar ke arah pusarnya, lalu menangkis pukulan ke dua Kartikosari yang melayang ke arah dadanya. Kalau tendangan atau pukulan ini mengenai sasaran, tentu ia akan roboh. Sepasang mata Jokowanengpati jelilatan. Ia sudah putus harapan untuk melawan lebih lama lagi. Sudah tidak kuat. Matanya mencari-cari, akan tetapi sudah tidak ada batu atau senjata lain di atas karang itu. Ia melirik ke belakang. Tebing tinggi dan laut bergelombang. Laut ! Jalan keluar satu-satunya dari ancaman maut mengerikan di tangan dua orang musuhnya. Tiba-tiba, sebelum dua orang lawannya sempat mencegah, ia sudah meloncat ke belakang dan dengan tiga kali berjungkir balik terus ke belakang, akhirnya tubuhnya melayang ke bawah tebing batu karang besar dan......

"byuuurrr...... !”
Tidak berapa tinggi air muncrat ketika tubuhnya terbanting ke air, karena ombak Laut Selatan yang mulai membesar itu telah mulai menelannya. Kartikosari dan Roro Luhito cepat lari ke pinggir tebing batu karang dan mencari-cari dengan pandang mata mereka. Hati mereka kecewa sekali.

"Ahh, celaka, dia berhasil lolos......" Kartikosari membanting-banting kakinya dengan penuh sesal.

"Tidak mungkin ! Biar kita ikuti dia, kemanapun dia mendarat, kita akan siap memberi hajaran. Binatang itu kali ini harus mampus di tangan kita!" kata Roro Luhito.

Mereka mencari terus dengan pandang mata mereka. Ombak yang memecah di batu karang, berbeda dengan ombak yang menepis di pantai pasir. Air laut dipukul-pukulkan pada batu karang menciptakan busa membuih putih sehingga menyilaukan mata dan agak sukar mencari tubuh Jokowanengpati di antara buih putih menyilaukan. Sinar matahari yang terik membuat air laut berkilauan seperti kaca.

"Itu dia...... !!”

Tiba-tiba Roro Luhito bersorak dan menudingkan telunjuknya ke laut. Kartikosari cepat memandang dan benar saja, ia melihat Jokowanengpati menggerak-gerakkan tangannya, berenang agak tengah, sudah lewat ombak. Jelas tampak Jokowanengpati melambai-larnbaikan tangannya dengan sikap mengejek, bahkan terdengar suara ketawanya menggema terbawa angin!.

"Binatang! la dapat berenang ke tengah. Celaka sekali, kalau ia menyelam, sukar mencegat dia mendarat!” Kartikosari berkata dengan suara menyesal sekali.

"Tempat ini tinggi, tentu akan kelihatan ke mana dia mendarat. Kurasa ia takkan kuat bertahan sampai malam nanti di tengah laut."

"Belum tentu! Dia tentu saja tidaklah begitu bodoh, diajeng. Bagaimana kalau dia tidak mau mendarat sebelum hari menjadi gelap? Aku akan mengejarnyal Di lautpun aku tidak takut, dia harus mati di tanganku!" Berkata demikian, Kartikosari melangkah ke bagian yang paling rendah untuk melompat ke laut dan mengejar musuh besarnya.

"Mbokayu......., jangan...... !" Roro Luhito memegang lengan Kartikosari, wajahnya tampak ketakutan.

Kartikosari menoleh kepadanya dan mengerutkan kening.
"Kau kenapakah, jeng? Takutkah engkau ??" Suaranya penuh ketidak percayaan.

Akan tetapi Roro Luhito mengangguk!
"Aku....... aku takut, aku....... aku selamanya tidak pernah berenang, apalagi di laut...... !”

Kartikosari mengangguk-angguk. Tentu saja, ia sampai lupa. Dia sendiri adalah seorang wanita yang tidak asing dengan laut, bahkan semenjak kecil ia tinggal di tepi laut, pandai berenang dan selama bersembunyi di Karang Racuk ia telah memperdalam ilmunya, termasuk ilmu bermain dalam air laut. Akan tetapi bagi Roro Luhito yang berenangpun tidak pandai, tentu saja tak mungkin dapat mengejar Jokowanengpati.

"Engkau lihatlah saja dari sini, diajeng. Biar aku sendiri yang mengejarnya dan menyeretnya ke darat. Dia agaknya sudah terluka."

"Jangan...... , berbahaya sekali. Andaikata kali ini tidak berhasil kita menewaskannya, masih banyak waktu dan kita selalu akan mencari dan mengejarnya, mbokayu. Lihat, dia masih segar-bugar dan nampaknya ia pandai sekali bermain di air. Kalau engkau mengejar kemudian kalah dan bahkan tewas olehnya di air, lalu bagaimana?" Roro Luhito memegang lengan Kartikosari erat-erat, tidak mau melepaskan lagi.

Memang betul kata-kata Roro Luhito dan diam-diam Kartikosari mulai merasa sangsi apakah ia benar-benar akan dapat menangkan Jokowanengpati di air. Orang itu kini berenang mendekat, berenang dengan gerakan mahir, ketika akan dekat lalu melambaikan tangannya ke arah mereka.

"Mari, kekasihku berdua.......! Marilah ikut kakangmas Jokowanengpati bermain di air ! Ha-ha-ha-ha! Apakah kalian takut, manis ? Biar lah kugendong, seorang sebelah, ha-ha-ha!!”

Kartikosari menggigit bibirnya menahan marah. Si bedebah itu benar saja amat pandai berenang. Dan agaknya betul dugaannya, Jokowanengpati sengaja mengejek dan mempermainkan mereka, tentu menanti sampai matahari terbenam. Kalau hari sudah menjadi gelap, tentu saja ia akan dapat mendarat dengan aman Dan untuk bertahan di atas air sampai malam nanti, bukan merupakan hal yang sukar, bahkan sama sekali tidak melelahkan bagi seorang perenang mahir seperti Jokowanengpati. Ia tentu takkan membiarkan kesempatan amat baik itu lalu begitu saja. Jelas tadi bahwa Jokowanengpati telah mengalami tendangan yang jitu. Tentu orang itu sudah terluka di sebelah dalam tubuhnya. Kalau tidak terluka, tentu dia tidak selemah tadi dan tidak akan lari meloncat ke laut. Kalau aku kejar dia sekarang, mungkin belum terlambat.

"Diajeng, biarkan aku mengejarnya! Dia harus mati di tanganku !!”

"Tidak! Jangan, mbokayu !"

Kartikosari memberontak, Roro Luhito mempertahankan. Keduanya bersitegang dan untuk sementara tidak memperhatikan Jokowanengpati. Tiba-tiba terdengar pekik melengking mengerikan. Otomatis keduanya berhenti meronta dan keduanya menoleh ke laut, mencari-cari dengan pandang matanya.

Tiba-tiba keduanya terbelalak memandang ke bawah, ke arah air, dengan mata dibuka lebar dan mulut celangap, terlampau kaget, terlampau kesima sehingga tidak kuasa mengeluarkan kata-kata, bahkan seakan-akan berhenti bernapas untuk menyaksikan pemandangan di air itu. Sepasang mata Roro Luhito bersinar-sinar, sedangkan ujung bibir Kartikosari membayangkan senyum. Mereka tadi tidak berdaya menghadapi Jokowanengpati yang agaknya sudah akan lolos, akan tetapi kiranya Dewata Agung sendiri yang berkenan menghukumnya!

"Toloooooooongggg...... !”

Untuk ketiga kalinya tubuh Jokowanengpati tersembul ke permukaan air, kedua tangannya meronta-ronta, memukul-mukul ke arah kakinya. Untuk ketiga kalinya ia memekik minta toiong, matanya terbelalak lebar sekali, mukanya yang sebagian tertutup rambut yang awut-awutan itu menyerupai muka setan. Dan di sebelah bawahnya, seekor ikan hiu menggigit kakinya, seekor ikan hiu yang ganas dan liar!. Kiranya selagi berenang kian ke mari sambil mengejek Kartikosari dan Roro Luhito, seekor ikan hiu besar telah menyerangnya, menggigit kakinya. Terjadi pergulatan hebat antara Jokowanengpati yang mempertahankan nyawanya dan ikan hiu yang mempertahankan mangsanya. Kalau saja tadi tidak mencurahkan perhatiannya untuk mengejek kedua orang bekas lawannya, tentu Jokowanengpati dapat menjaga diri, dapat menggunakan kepandaiannya untuk menendang atau memukul ikan hiu. Akan tetapi karena perhatiannya ke atas, ia tidak melihat ikan itu yang tahu-tahu sudah menyambar dan menggigit kakinya.

Ikan hiu itu berusaha menyeret korbannya ke bawah dan berkali-kali ia berhasil. Namun dalam keadaan penuh ketakutan seperti itu, timbul semua tenaga Jokowanengpati dan berkali-kali pula ia berhasil meronta dan timbul di permukaan air, menyerang ikan itu, meronta memukul menendang. Namun ikan itu tak pernah mau melepaskan gigitannya. Sekilas pandang Jokowanengpati melihat dua orang wanita di atas batu karang. Saking takutnya ia berteriak, menjerit parau,

"Tolooooooongggg...... ! Tooil....... auupp...... !"

Tubuhnya sudah diseret masuk ke dalam air lagi. Sejenak tampak kedua tangannya menjangkau ke atas permukaan air, kedua tangan yang jari-jarinya kaku seperti cakar setan, lalu kedua tangan inipun lenyap ditelan air. Bagaikan dua buah arca batu, Kartikosari dan Roro Luhito berdiri terbelalak memandang peristiwa mengerikan di depan mata itu. Setelah beberapa lama Jokowanengpati tidak timbul kembali dan air di mana untuk terakhir kali tubuhnya terseret dan tenggelam tadi berwarna agak kemerahan, keduanya melepas isak dan menutupi muka dengan kedua tangan. Pundak mereka menggigil. Betapapun juga, mereka bukanlah wanita yang berhati kejam. Hukuman yang dialami Jokowanengpati merupakan siksaan yang terlalu mengerikan bagi
mereka.

"Duh Jagad Dewa Batara........ tiada kejahatan tanpa hukuman! Habislah riwayat Jokowanengpati manusia berhati iblis....... !!”

Kartikosari dan Roro Luhito terkejut sekali. Tersentak kagetlah mereka, akan tetapi ketika keduanya membalikkan tubuh, kiranya yang mengeluarkan kata-kata itu bukan lain adalah Pujo, suami mereka ! Kartikosari dan Roro Luhito kembali melepas isak, lalu keduanya lari ke depan, menjatuhkan diri berlutut dan menubruk kaki suami mereka. Pujo berlutut pula, merangkul kedua isterinya penuh kasih sayang.

"Nimas berdua...... sudahlah. Memang pemandangan yang mengerikan hati. Akan tetapi, kiranya sudah sepatutnya manusia keji dan jahat itu menemui siksa seperti itu. Marilah kita lupakan itu semua. Kita telah bebas, bebas dari dendam yang menyiksa batin. Marilah kita pergi, nimas. Jangan lupa, kita masih ada kewajiban mencari Joko Wandiro dan Endang Patibroto."

Kedua orang wanita itu mengangkat muka dan mereka bertiga saling pandang dengan mesra. Biarpun mulut tidak mengatakan sesuatu, namun pandang mata mereka kini lebih mesra, penuh kasih sayang, tidak dibayangi lagi oleh dendam dan aib. Bebaslah mereka kini, dapat melakukan tugas sebagai suami isteri sebagaimana mestinya, dapat menyatakan cinta kasih sepenuhnya tanpa diganggu keraguan dan sakit hati. Dengan hati bunga penuh bahagia, mereka bertiga bergandeng tangan meninggalkan pantai Laut Selatan.

Karena merekapun melihat betapa Resi Bhargowo muncul di medan perang di samping Sang Prabu Airlangga, maka tentu saja mereka segera langsung menuju ke pertapaan bekas raja itu, di Jalatunda. Tepat seperti perhitungan mereka, mereka dapat bertemu dengan Resi Bhargowo di tempat itu.

Perlu diketahui bahwa ketika Pujo dan kedua isterinya berada di keraton Pangeran Sepuh sebelum terjadi perang campuh di alun-alun, Resi Bhargowo yang ketika itu tengah melakukan penyelidikan ke kota raja, bertemu dengan mereka, Pertemuan yang mengharukan dan menggirangkan, akan tetapi bagi Resi Bhargowo tidaklah mengherankan karna kakek ini sudah seringkali melihat Pujo dan puterinya ketika mereka berdua masih berpisah dan bertapa masing-masing di muara Sungai Lorog dan di Karang Racuk. Dalam pertemuan singkat itulah, Pujo dan isterinya menceritakan segala pengalaman mereka tanpa menyembunyikan sesuatu. Di lain fihak, Resi Bhargowo menceritakan bahwa dialah yang membawa pergi Endang Patibroto dan Jokî Wandiro ke Pulau Sempu dan menganjurkan agar kedua orang anak itu dibiarkan belajar disana untuk sementara waktu.

Setelah ketiga orang itu menghaturkan sembah sujud kepada Sang Resi Jatinendra dan Empu Bharodo, mereka lalu menceritakan betapa mereka mengejar Jokowanengpati yang akhirnya menemui kematian mengerikan di Laut Selatan, menjadi mangsa ikan hiu. Ketika bercerita perihal kematian Jokowanengpati inilah, mau tak mau Pujo melirik kepada uwak gurunya. Ia melihat Empu Bharodo menarik napas panjang dan berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya yang rambutnya sudah putih.

"Alangkah akan baik dan untungnya andaikata ia benar telah berhenti menjadi hamba nafsu-nafsunya."

Pujo dan kedua isterinya heran mendengar kata-kata ini. Pujo dan Kartikosari tahu betul betapa dahulu Empu Bharodo amat mencinta muridnya itu. Akan tetapi ketika mereka memandang, mereka melihat Empu Bharodo, seperti juga Resi Jatinendra, duduk tepekur dan meramkan mata, tampaknya pulas dalam samadhi. Resi Bhargowo lalu memberi isyarat kepada mereka untuk keluar dari guha, agar mereka dapat melakukan percakapan tanpa mengganggu kedua orang pertapa itu.

"Rama, di manakah Endang Patibroto anakku? Apakah rama tinggalkan di Pulau Sempu?" Serta-merta Kartikosari bertanya ketika mereka sudah duduk di bawah pohon beringin yang terdapat di tempat agak jauh dari guha pertapaan.

Kini Resi Bhargowo menarik napas panjang dengan wajah agak muram.
"Segala perbuatan di dunia ini tentu ada akibatnya, seperti juga pohon ada buahnya. Mereka berdua itu tadinya lenyap dari pulau ketika aku diserbu oleh kaki tangan Pangeran Anom." Resi Bhargowo lalu menceritakan peristiwa yang terjadi di Sempu. "Joko Wandiro sudah berada di sini, sekarang menjadi murid Ki Patih Narotama. Akan tetapi............ tentang Endang Patibroto, sampai sekarang aku sendiripun tidak tahu ke mana perginya."

Roro Luhito girang sekali mendengar bahwa keponakannya telah berada di situ, akan tetapi melihat Pujo dan Kartikosari menjadi muram wajahnya mendengar akan hilangnya Endang Patibroto, ia menekan kegirangannya di dalam hati dan ikut berprihatin. Melihat kemuraman wajah puteri dan mantunya, Resi Bhargowo berkata,

"Sudah kukatakan tadi, Sari dan engkau, Pujo. Tiada perbuatan yang tak berakibat, tiada pohon yang tak berbuah. Akibat selalu mengikuti perbuatan seperti bayangan mengikuti dirimu. Kadang-kadang tidak tampak namun pasti ada dan tidak pernah jauh. Engkau merasa bagaimana prihatin dan khawatir kehilangan anak. Pikir dan kenanglah, apakah ini bukan merupakan akibat daripada perbuatanmu sendiri?"

Mendengar ucapan ini, Pujo dan Kartikosari seketika sadar. Lenyap kemuraman dari wajah mereka, akan tetapi kini berganti penyesalan. Pujo lebih-lebih lagi merasa betapa perbuatannya yang lalu merupakan dosa besar. Karena salah duga, ia telah menghancurkan rumah tangga Wisangjiwo, bahkan telah menculik Joko Wandiro, memisahkan anak itu dari ayah bundanya sehingga sampai pada kematiannya, Wisangjiwo tidak pernah bertemu dengan puteranya!. Alangkah hebatnya penderltaan itu, sedangkan mereka sendiri, baru beberapa bulan saja kehilangan Endang Patibroto, sudah merasa gelisah dan duka!.

"Saya mengaku dosa saya, rama, semoga Dewata mengampuni saya......." kata Pujo sambil menundukkan muka, penuh penyesalan.

Resi Bhargowo mengelus jenggotnya.
"Perbuatanmu terdorong oleh rangsangan dendam dan nafsu membalas dan karena salah pengertian. Kurasa tidak ada malapetaka menimpa diri Endang, akan tetapi segala hal Dewatalah yang mengaturnya. Sekarang masih belum terlambat untuk memperbaiki kesalahan lama dengan membuat pengakuan kepada Joko Wandiro. Baiknya bahwa biarpun engkau bukan ayahnya, akan tetapi sekarang telah menjadi suami bibinya. Itu dia datang ! Sering ia berkunjung ke sini."

Semua orang menengok dan benar saja, dari jauh tampak pernuda tanggung itu berjalan dengan langkah tenang. Agaknya diapun melihat bahwa kakek gurunya bercakap-cakap dengan tiga orang yang dari jauh tidak dikenalnya. Akan tetapi setelah agak dekat ia mengenal Pujo, maka berlarilah ia. Gerakannya tangkas, larinya cepat sekali sehingga mengagumkan dan menggirangkan hati Pujo dan kedua isterinya.

"Sayang iapun tidak tahu ke mana perginya Endang," Resi Bhargowo berkata. "Di Pulau Sempu mereka memang berpisah jalan... "

"Ayaaaaahhh...... !!"

Joko Wandiro berseru girang lalu merangkul ayahnya. Pujo memeluknya dan sepasang matanya menjadi basah air mata ketika ia teringat bahwa anak yang dikasihi ini harus mendengar bahwa ia bukan ayahnya! Joko Wandiro amat rindu kepada Pujo dan tentu ia akan bersikap lebih mesra lagi kalau saja ia tidak ingat bahwa di situ terdapat orang lain. Ia lalu melepaskan rangkulannya, menoleh kepada Roro Luhito yang memandangnya dengan air mata bercucuran!

Wanita ini masih mengenal keponakannya, yang dahulu sering ia gendong-gendong dan sekarang sudah menjadi seorang pemuda tanggung. Saking terharu hatirya, ia tidak dapat mengeluarkan katakata. Joko Wandiro hanya merasa heran mengapa wanita itu menangis dan menduga-duga siapa gerangan wanita cantik ini. Ketika ia memandang kepada Kartikosari, ia segera mengenalnya dan menegur,

"Ah...... bibi ! Bukankah bibi ini ibu Endang Patibroto? Dimanakah dia sekarang, bibi ? "

Melihat Roro Luhito menangis dan teringat akan Wisangjiwo, Kartikosari juga meruntuhkan air mata. La memegang pundak anak itu, merangkulnya dan berkata,
"Anak yang baik, kami sendiri tidak tahu dia sekarang berada di mana."

Joko Wandiro makin terheran melihat semua orang meruntuhkan air mata. Ia menoleh lagi kepada ayahnya dan Pujo lalu menarik tangannya, diajak duduk di atas batu.

"Anakku, Joko Wandiro, kau dengarlah baik-baik dan dengan hati tenang ada yang akan kuceritakan kepadamu. Rama resi ini memang benar adalah kakek gurumu karena aku...... aku hanyalah gurumu, sama sekali bukan ayahmu....."

"Aaahh...... !!!”

Joko Wandiro meloncat bangun dari tempat duduknya. Benar-benar ia terkejut seperti disambar petir mendengar keterangan yang sama sekali di luar dugaannya ini. Wajahnya menjadi pucat dan ia memandang Pujo dengan mata terbelalak.

"Tenanglah, nak...... !!”

Pujo menegur, terharu akan tetapi juga mendesak. Merah sekali wajah Joko Wandiro. Sudah bertahun-tahun ia digembleng oleh ayahnya ini, digembleng lahir batin sehingga sebetulnya ia dapat menguasai perasaannya. Akan tetapi tadi ia hampir tak dapat menguasai perasaannya oleh karena memang berita itu amat mengejutkan. Ia duduk lagi dan berbisik,

"Maaf, ayah !”

Pujo tersenyum pahit. Sungguh tidak enak tugasnya bercerita dan membuat pengakuan ini. Akan tetapi memang betul ayah mertuanya. Ia harus berterus terang membuka rahasia ini, demi kebaikan mereka semua.

"Ayah kandungmu yang sejati sebetulnya adalah Raden Wisangjiwo...... "

Kembali Joko Wandiro memotong,
"Tapi. ayah bilang Wisangjiwo adaiah musuh besar yang harus kubunuh kelakl!"

Mendengar ini, serasa ditampar muka Pujo. Mukanya menjadi merah sekali, lalu berubah pucat dan ia menundukkan mukanya.

"Besar sekali dosaku, anakku...... ! Dan semua ini terjadi hanya karena salah duga yang timbul dari sifat terburu nafsu!"

Berceritalah Pujo tentang peristiwa dua belas tahun yang lalu. Mendengar tentang gurunya yang tadinya ia anggap ayah kandungnya, kemudian mendengar pula betapa ia di waktu kecil bersama ibu kandungnya yang ia lupa lagi bagaimana wajahnya itu, diculik oleh gurunya, makin lama makin pucatlah wajah Joko Wandiro. Dadanya terangsang sesuatu yang menggelora, yang membuat tubuhnya menggigil. Teringat ia akan penuturan Cekel Aksomolo yang pernah menangkapnya, pernah mengatakan bahwa dia adalah putera kadipaten, putera Raden Wisangjiwo, bahwa Pujo adalah penculiknya. Dan ia malah memaki-maki dan memukul Cekel Aksomolo yang disangkanya membohong!

Kini mendengar betapa satu-satunya orang di dunia ini yang dicintanya, dipujanya dan disangka ayah kandungnya itu telah sedemikian kejamnya terhadap ayah bundanya, terhadap dia sendiri, hatinya seperti disayat-sayat. Apalagi kalau ia teringat betapa Pujo semenjak ia kecil selalu menekankan bahwa musuh besar di dunia ini adalah Wisangjiwo yang harus dibunuhnya kelak! Ayah kandungnya sendiri! Harus dibunuhnya! Alangkah kejinya dan hal ini sungguh-sungguh mengecewakan dan menghancurkan hatinya. Saking kerasnya desakan gelora hati yang ditekan-tekannya, ketika mendengar cerita bahwa ayah kandungnya, Wisangjiwo gugur dalam perang, sedangkan ibunya yang pulang ke Selogiri dibawa lari perampok, Joko Wandiro terbelalak memandang ke angkasa, lalu tiba-tiba menjerit dan tubuhnya terjungkal roboh pingsan.

Ketika siuman dari pingsannya, Joko Wandiro berada dalam pelukan Roro Luhito. Tentu saja ia terheran-heran, apalagi melihat wanita itu menangis sambil menyebut-nyebut namanya. Sejenak timbul harapannya. Inikah ibu kandungnya? Ah, tak mungkin. Bukankah tadi diceritakan bahwa ibu kandungnya diculik perampok di Selogiri?

"Joko, aku adalah bibimu sendiri, aku adik kandung ayahmu." Dengan suara terputus-putus Roro Luhito memperkenalkan diri. Kemudian ia membuat pengakuan bahwa iapun telah menjadi isteri Pujo.

Makin tertusuk hati Joko Wandiro, makin bingung dan kecewa. Pujo ternyata bukan ayahnya, hanya gurunya. Ayah kandungnya sudah tewas, ibunya diculik perampok, bibinya menikah dengan Pujo yang seakan-akan membikin celaka rumah tangga ayah bundanya. Tidak tertahankan lagi, melihat gurunya menundukkan mukanya yang pucat, melihat eyang gurunya mengelus-elus jenggotnya dengan senyum pahit, melihat isteri gurunya, ibu Endang Patibroto juga tertunduk, kemudian melihat bibinya menangis terisak-isak, Joko Wandiro juga menangis! Tangis penuh penyesalan, penuh kekecewaan.

"Duh, anakku, angger Joko! Gurumu tadi belum menceritakan semuanya. Ayahmu telah meninggal dunia dan bukan maksud bibimu ini memburukkan nama ayahmu, sama sekali bukan. Akan tetapi agaknya engkau harus mendengar segalanya dengan jelas agar jangan engkau timbul kebencian kepada kami."

Setelah berkata demikian, Roro Luhito lalu menceritakan segala yang telah terjadi, betapa Wisangjiwo bersama ayahnya, mendiang Adipati Joyowiseso tadinya menyeleweng dan hendak memberontak, bersekutu dengan tokoh-tokoh sakti yang jahat seperti Cekel Aksomolo dan lain-lain. Betapa Wisangjiwo menyerang Pujo dan Kartikosari di dalam guha gelap sehingga ketika muncul Jokowanengpati mempergunakan narnanya, maka Pujo dan Kartikosari tertipu. Semua ia ceritakan dengan jelas, tanpa tedeng aling-aling lagi, bahkan ia ceritakan kekejian dan kejahatan Jokowanengpati terhadap keluarga Kadipaten Se lopenangkep, terhadap dirinya sendiri!.

Mendengar cerita ini, berubahlah wajah Joko Wandiro. Lenyap semua bayangan penyesalan. Betapapun juga, orang yang selama ini ia kasihi, ia anggap ayah kandung sendiri, ternyata adaiah seorang satria utama, yang telah salah tindak karena tertipu. Seluruh penyesalan dan bencinya kini ia timpakan kepada orang yang bernama Jokowanengpati.

"Si bedebah Jokowanengpati! Di mana si jahat itu sekarang??" Ia melompat berdiri dengan kedua tangan terkepal.

Pujo meraihnya. Girang dan bangga hatinya bahwa murid yang ia kasihi seperti puteranya sendiri ini sekarang telah melihat kenyataan, dan tidak membencinya. Ia merangkul dan berkata,

"Joko anakku, musuh besar itu telah tewas di tangan kedua bibimu, baru-baru ini."

Joko Wandiro balas memeluk gurunya, lalu berkata,
"Harap sebuah permohonanku dikabulkan."

'Tentu saja, Joko. Jangankan hanya sebuah, biarpun seribu permohonanmu tentu akan kupenuhi," jawab Pujo terharu.

"Hanya satu saja, yaitu...... karena ayah kandungku telah tewas...... supaya...... supaya aku tetap boleh menyebut...... ayah kepadamu."

Pujo merangkul dan memeluk kepala Joko Wandiro. Dari kedua pelupuk matanya mengalir beberapa butir air mata. Sambil mencium kepala anak Itu, ia berkata,

"Engkau memang anakku! Biarpun bukan anak kandung, akan tetapi engkau anakku, Joko! Terima kasih bahwa engkau masih mau menyebut ayah kepadaku. Akan tetapi, karena engkau telah mendapatkan seorang guru yang maha sakti, engkau harus melanjutkan pelajaranmu kepada gurumu yang sakti mandraguna dan bijaksana, Ki Patih Narotama. Kami bertiga akan kembali ke Bayuwilis di pantai Laut Selatan, dan kelak, kalau ada perkenan gurumu, kita akan bertemu lagi, Joko."

Anak yang semuda itu telah mengalami kecewa, sesal, dan duka yang amat hebat itu hanya mengangguk-angguk sambil memandang dengan air mata berlinang. Pujo, Roro Luhito dan Kartikosari memandang anak itu dengan hati penuh keharuan sehingga suasana menjadi sedih. Tiba-tiba Resi Bhargowo tertawa. Suara ketawanya tenang dan sewajarnya, sekaligus mengusir suasana yang iengang sedih itu.

"Ha-ha-ha, alangkah lemahnya kita diseret kedukaan berlarut-larut! Joko, cucuku yang baik. Gurumu adalah kawula yang paling gagah perkasa dan sakti di seluruh Kahuripan, sungguh mengecewakan kalau engkau sebagai muridnya tak mampu melawan nafsu perasaan sendiri!"

Sadarlah mereka semua. Joko Wandiro lalu menjatuhkan diri berlutut, menyembah kepada empat orang itu sambil berkata,
"Hamba pamit mundur.. .... !"

Tanpa menanti jawaban, tubuhnya sudah melesat dan bagaikan terbang ia lari meninggalkan tempat itu untuk kembali ke tempat pertapaan gurunya yang berada di lereng gunung.

**** 056 ****
Lanjut ke Jilid 057 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment