Ads

Sunday, December 30, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 057

◄◄◄◄ Kembali

Segala sesuatu di permukaan bumi ini, mau atau tidak, semua harus tunduk kepada kekuatan Sang Waktu. Betapapun kerasnya besi baja, betapapun besarnya gunung dan luasnya lautan, semua itu akan lenyap atau berubah setelah tiba saatnya. Namun, demikian halus Sang Waktu bekerja sehingga sedikit demi sedikit kesemuanya itu digerogoti sampai habis tanpa ada yang merasakannya! Manusia sendiri, setiap hari digerogoti waktu dalam bentuk usia, kanak-kanak menjadi dewasa, dewasa menjadi tua dan kakek-kakek, tanpa si manusia merasainya, sehingga tahu-tahu Sang Waktu menyeretnya ke lubang kubur!.

Sang Waktu merayap selambat kura-kura apabila diperhatikan, akan tetapi terbang secepat kilat apabila tidak diperhatikan. Tahun-tahun lalu serasa hari kemarin! Karena inilah, sebelum terlambat, seyogianya manusia mengisi hidupnya yang tak berapa lama ini dengan perbuatan-perbuatan bermanfaat bagi dunia, bangsa, negara, masyarakat atau sedikitnya bagi orang lain. Bahagialah mereka yang tidak menyia-nyiakan waktu hidup sebentar ini hanya dengan perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri saja. Karena sudah pasti bahwa pada akhir hidup, hati nurani sendiri menuntut jasa apakah yang telah diperbuat semasa hidupnya bagi dunia dan manusia ?.

Sang Waktu melesat cepat sehingga tanpa disadari, Endang Patibroto telah enam tahun tinggal di Pulau Iblis. Selama enam tahun ini, setiap hari ia menerima gemblengan dari gurunya. Dibyo Mamangkoro yang amat mencinta muridnya, bahkan menganggap muridnya itu seperti anak atau cucu sendiri. Tidak ada ilmu yang ia sembunyikan, semua kedigdayaannya ia turunkan kepada Endang Patibroto. Bahkan pada kesempatan menurunkan ilmu terakhir, Dibyo Mamangkoro berkata,

"Muridku yang pintar, anakku yang denok ! Sudah habislah sekarang semua aji kaupelajari. Tidak ada apa-apa lagi yang dapat kuajarkan kepadamu, kecuali hanya hawa sakti di dalam tubuhku yang dapat kuberikan kepadamu. Akan tetapi tidak Sekarang, muridku, karena penyerahan hawa sakti itu akan mendatangkan kematian padaku. Aku tidak sayang mengorbankan nyawa untukmu, Endang, akan tetapi jangan sekarang."

Endang Patibroto, kini seorang gadis berusia tujuh delapan belas tahun, cantik manis dengan tubuh padat berisi dan ramping, dengan sepasang mata yang tajam akan tetapi bersinar dingin, bibirnya yang selalu merah basah itupun tak pernah ketinggalan senyum, senyum dingin mengejek, kini berdiri memandang gurunya. Sukar untuk menduga apa yang terkandung di hati gadis muda ini, karena wajahnya menyerupai topeng puteri jelita yang tidak pernah berubah.

Bahkan Dibyo Mamangkoro sendiri, seorang sakti mandraguna, seorang yang berwatak aneh, liar dan ganas, kadang-kadang mengakui di dalam hati bahwa dalam diri muridnya ini terdapat kekuatan luar biasa, dan memancarkan keanehan dan kesereman. Bahwa di balik sinar mata yang tajam bersinar itu tersembunyi kedinginan yang membeku, dan di balik senyum yang manis menggairahkan hati tiap pria itu tersembunyi maut yang selalu mengintai korban !.

"Bapa guru," jawab Endang Patibroto terhadap ucapan gurunya tadi. "Kalau bapa tidak hendak memberikan hawa sakti kepadaku karena takut mati, perlu apa bapa menceritakannya kepadaku? Tenagaku sendiri cukup, dan sesungguhnya aku tidak membutuhkan penambahan tenaga dari luar lagi." Setelah berkata demikian, perlahan Endang Patibroto membalikkan tubuhnya, lengan kirinya bergerak lambat ke depan, seperti main-main mendorong sebatang pohon sebesar tubuh manusia dan......

"kraaakkk!" pohon waru itu roboh !.

"Huah-hah-hah-hahl Kiranya tidak akan mudah mencari orang yang mampu melawan Endang Patibroto, murid terkasih Dibyo Mamangkoro!" Kakek raksasa itu tertawa bergelak, akan tetapi akhirnya suara ketawanya lenyap dalam keraguan. Keningnya yang tebal berkerut ketika ia berkata, "Betapapun juga, menghadapi manusia-manusia luar biasa seperti Airlangga dan Narotama, Empu Bharodo, Resi Bhargowo dan lain-lain tokoh di Kahuripan, tak boleh sekali-kali kau memandang rendah, muridku. Kalau teringat akan mereka itulah timbul kegelisahanku, dan agaknya hanya kalau engkau mendapatkan tambahan hawa sakti dari tubuhku, kau akan dapat menghadapi mereka. Sudah enam tahun engkau berada di sini, Endang. Biarlah sekarang aku pergi dulu menyelidik ke Kahuripan, melihat bagaimana perkembangan keadaannya sekarang. Wirokolo hanya mengabarkan bahwa Sang Prabu Airlangga telah meninggal dunia dalam pertapaannya, bahwa Narotama masih menjadi pertapa dan tidak mencampuri urusan kerajaan. Selain itu, ada berita baik bahwa mulailah kini Kerajaan Jenggala bergerak untuk menumpas Kerajaan Panjalu! Sekaranglah saatnya engkau muncul dan memperkenalkan diri pada dunia, muridku. Biarlah dunia membuka mata terhadap munculnya Endang Patibroto, sang puteri perkasa. Kau tinggallah menanti di sini, muridku. Aku pergi ke Kahuripan, menyelidiki keadaan."

Pada hari-hari pertama kepergian Dibyo Mamangkoro, tidak dirasakan oleh Endang Patibroto. Akan tetapi, setelah lewat tiga pekan, mulailah ia merasa betapa sunyi pulau itu. Selama enam tahun tak pernah ia berpisah dari gurunya. Kini mulailah ia kehilangan suara gurunya yang bergema di seluruh pojok pulau. Endang Patibroto mulai merasa tidak senang dan tidak kerasan di pulau ini, di mana selama enam tahun belum pernah ia tinggalkan. Diam-diam timbul rasa marah di dalam hatinya terhadap gurunya yang begitu lama meninggalkannya. Kenapa gurunya tidak mengajaknya pergi? Makin lama kemarahannya makin membesar, rasa jemu tinggal seorang diri di pulau tak tertahankan lagi dan akhirnya iapun meninggalkan Pulau Ibiis!.

Biarpun enam tahun ia tinggal di pulau, namun gurunya selalu mencukupi semua keperluannya. Bahkan pakaianpun Endang Patibroto tidak pernah kekurangan. Ia selalu menerima pakaian-pakaian yang halus dan indah. Bahkan keris pusakanya, Brojol Luwuk, kini memakai gagang yang amat indah, bertabur mutiara pilihan dan sarungnya terbuat daripada emas berukir!.

Pagi hari itu, karena tidak tahan lagi, Endang Patibroto meninggalkan Pulau Iblis. Ia mengenakan pakaiannya yang paling baru. Ia mempunyai banyak kain, akan tetapi sayang, sungguhpun bajunya banyak, namun oleh gurunya disuruh orang luar pulau membuatnya setahun yang lalu. Kini pakaiannya yang terbaik sekalipun terlalu ketat mencetak tubuhnya, agak kurang longgar karena tubuhnya makin berisi selama setahun ini. Keris pusaka tidak ia sembunyikan seperti dahulu lagi, melainkan kini terselip di pinggangnya yang dihias sabuk emas pula.

Perahu rampasan dahulu itu masih ada. Gurunya tidak menggunakan perahu ketika pergi. Mungkin menggunakan mancung kelapa seperti biasa. Ia sendiripun kini sanggup menyeberang dengan bantuan mancung kelapa, bahkan ia sanggup melakukan yang lebih hebat daripada itu. Akan tetapi ia tidak suka meniru gurunya karena selain melelahkan, juga ombak akan membasahi kainnya. Dengan perahu lebih enak. Sudah sering kali ia bermain-main dengan perahu di sepanjang pantai pulau. Ia bukan seorang ahli berlayar, namun cukup dapat menguasai perahu dengan dayungnya.

Oleh karena belum pernah Endang Patibroto menyeberang, perahunya hanyut oleh ombak ke timur sehingga ketika perahu itu tiba di pantai, ia berada jauh daripada tempat penyeberangan biasa. Betapapun juga, hatinya lega ketika ia meloncat ke darat. Tidak disangkanya sedemikian sukar mengendalikan perahu yang hanyut oleh aliran air yang sangat kuatnya. Ia membiarkan perahu itu dihanyutkan ombak ke tengah, dan dengan pandang mata gembira ia melihat ke depan. Hutan yang lebat dan gelap, dunia baru baginya setelah enam tahun dikeram dalam pulau kosong. Bagaikan seekor kijang muda yang baru terlepas dari kurungan, Endang Patibroto memasuki hutan, terus berlari menuju ke timur.

Tujuannya hanya satu. Ke Kahuripan dan menurut gurunya, Kahuripan terletak di sebelah timur. Ia hendak ke Kahuripan yang kini terpecah menjadi dua kerajaan, yaitu Panjalu dan Jenggala, menyusul gurunya. Hanya menyusul guruhya? Tidak! lapun ingin mencari ibunya. Ingin mencari eyangnya, Resi Bhargowo. Hatinya rindu kepada ibu, Hatinya bertanya-tanya, apakah eyangnya, Resi Bhargowo yang dahulu dikeroyok orang di Pulau Sempu, masih hidup. Dan, teringat akan Joko Wandiro, tak dapat ia menahan senyum yang dibayangi tarikan bibir mencibir, mengejek! Hi-hik, hatinya mentertawakan. Àpakah Joko Wandiro masih terus menggendong dan bermain-main dengan patung kencana ? Endang Patibroto tertawa lagi sambil meraba gagang kerisnya. Bangga dan senang hatinya bahwa ia dahulu memilih keris pusaka ini. Pusaka ampuh. Bahkan gurunya sendiri merasa jerih terhadap pusaka ini ! Secara berterang Dibyo Mamangkoro pernah berkata,

"Jangan engkau main-main dengan pusakamu itu, Endang. Dengan pusaka Ki Brojol Luwuk di tanganmu, semua aji kepandaianmu menjadi berlipat-lipat ampuhnya. Dengan pusaka itu, engkau akan mampu menggegerkan dunia, akan dapat menghancurkan kerajaan, seakan-akan dapat menggugurkan gunung menguras lautan! Kalau tidak terpaksa sekali, jangan mencabutnya dari sarungnya. Pusaka keramat tidak boleh dipergunakan sembarangan saja!"

Samar-samar ia masih ingat ketika enam tahun yang lalu Dibyo Mamangkoro mengajaknya sampai ke Pulau Iblis. Sedapat mungkin ia mencari jalan itu agar tidak sampai tersesat. Beberapa hari kemudian, setelah keluar dari sebuah hutan yang luas, tibalah ia di lembah Sungai Bogowanto. Ia merasa agak lelah karena perutnya lapar sekali. Melihat sungai dari jauh, begitu keluar dari hutan, ia sudah mengambil keputusan untuk beristirahat di tepi sungai, mencari kijang atau binatang hutan lain untuk dipanggang dagingnya, dan buah-buahan yang banyak terdapat di lembah sungai. Akan tetapi baru saja ia muncul dari daerah hutan, tiba-tiba dari balik pohon-pohon berlompatan keluar orang-orang tinggi besar yang segera mengepung Endang.

Sebentar saja lima belas orang telah berdiri mengepung dengan sikap garang. Mereka semua adalah laki-laki yang bertubuh tegap, bersikap kasar dan beroman galak. Paling depan berdiri seorang laki-laki setengah tua yang kelihatan paling buas di antara mereka, jelas memperlihatkan sikap pimpinan. Baju orang Itu berkembang totol-totol besar seperti kulit harimau. Mukanya juga mengerikan seperti muka harimau, dengan sepasang mata lebar berkilauan dan agak hijau, tidak seperti mata manusia. Hidungnya gemuk tebal, mulutnya terkurung kumis dan jenggot yang kasar menjijikkan. Sambil meraba gagang golok, laki-laki tinggi besar ini membentak,

"Berhenti ! Siluman, peri ataukah manusia yang berani mati lewat di sini? Eh, bocah denok ayu, langsing kuning seperti kijang kencana, denok montrok seperti bidadari kahyangan! Kedua kaki- mu menginjak tanah, berarti engkau adalah anak manusia. Siapa engkau, dari mana hendak ke mana dan mengapa seorang gadis jelita seperti engkau berani menjelajah hutan rimba seorang diri tanpa pengawal ? ".

"Kakang Suro, alangkah jelita gadis ini! Aduh, disambar kerling matanya saja seperti dicabut rasa jantungku !” Seorang di antara mereka, yang masih muda, berkata,

"Kakang Suro, berikan dia padaku sebagai hadiah! Wah, mau aku dikurangi umurku sepuluh tahun kalau dia menjadi punyaku!" kata orang ke dua.

"Uuuh, bodoh amat! Kalau aku yang beruntung mendapat dia, akan kuusahakan supaya aku jangan menjadi tua, jangan mati-mati,. lebih lama lebih baik menikmati hidup di sampingnya," seru orang ke tiga.

Mereka semua tertawa-tawa, atau setidaknya menyeringai lebar. Semua mata memandang penuh selidik, menjelajahi seluruh tubuh Endang Patibroto dengan lahap seperti mata harimau kelaparan menjilat kelinci muda. Gigi yang besar-besar menguning atau menghitam karena kinang, tampak di balik kumis yang tak terpelihara. Belasan orang laki-laki buas dan liar, yang terlalu lama berkeliaran di dalam hutan, berbulan-bulan tidak bertemu wanita. Sikap mereka akan membuat seorang laki-laki pun akan menjadi gentar, karena jelas dari sikap mereka bahwa belasan orang Ini adalah orang-orang yang sudah biasa mempergunakan kekerasan, sudah biasa memaksakan kehendak mereka mengandalkan golok yang tergantung di pinggang.

Akan tetapi Endang Patibroto sama sekali tidak merasa gentar. Seujung rambut pun ia tidak takut menghadapi kepungan belasan laki-laki tinggi besar dan bersikap kasar itu. Dengan tangan kanan meraba gagang keris di pinggang, ia berdiri menentang pandang mereka, lalu perlahan-lahan ia memutar tubuh agar dapat memandang wajah mereka seorang demi seorang.

Pandang matanya dingin, tak pernah berkejap, sikapnya tenang dan pada wajahnya yang jelita tidak terbayang perasaan apa-apa, tenang dingin seperti permukaan air telaga yang dalam. Ia harus mengukur keadaan belasan orang itu dengan sapuan pandang mata tadi dan mendapat kenyataan, menurut ajaran gurunya, bahwa mereka ini orang-orang yang memiliki keberanian dan tenaga besar saja, akan tetapi pada hakekatnya kosong. Mungkin hanya orang bermuka singa itu saja, pemimpin mereka, yang agaknya sedikit berisi !

Orang-orang macam begini berani menghadangnya dan bersikap kurang ajar Endang Patibroto tersenyum, senyum yang membuat wajahnya menjadi manis sekali, akan tetapi senyum yang dingin, yang akan membuat beku dan ngeri orang yang berperasaan. Akan tetapi lima belas orang itu adalah orang-orang kasar sehingga seperti buta terhadap kenyataan yang tersembunyi. Melihat gadis jelita ini tersenyum, mereka makin berani dan tertawa-tawa gembira, bahkan mulai bergerak mendekat dengan sikap kurang ajar.

Melihat mereka itu maju dekat sehingga muka-muka menyeringai itu amat menjijikkan, ditambah bau keringat yang apek, Endang Patibroto menjadi marah. Namun wajahnya tidak membayangkan sesuatu, hanya senyum yang masih membayang di bibirnya menjadi masih dingin. Tiba-tiba ia menggerakkan kedua tangannya, diputar sambil berseru,

" Mundur.. ..!!"

Hebat kesudahannya! Tujuh orang tinggi besar yang berdiri paling depan, seperti daun-daun kering ditcrbangkar lesus (angin puyuh), terpelanting dan menabrak kawan sendiri yang berdiri di belakang! Tentu saja mereka menjadi terkejut dan mundur. Endang Patibroto yang masih berdiri di tengah kepungan, kini dengan sikap tenang berkata,

"Pergi kalian ! Ataukah ada yang sudah bosan hidup? Mereka yang sudah bosan hidup boleh maju !”

Surosardulo, demikian nama kepala gerombolan yang bermuka singa itu, tadi juga merasa betapa ada angina mendorongnya, namun ia hanya terhuyung ke belakang. Kini ia berkata marah,

"Heh-heh, kiranya gadis cilik yang punya kepandaian juga! Berani kau menyentuh kumis harimau! Hayo konco, siapa yang berani menangkapnya untukku?"

Mereka yang tadi berdiri di belakang, tidak merasai kehebatan sambaran hawa dari tangan Endang Patibroto. Mendengar seruan kepala mereka ini, tiga orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar meloncat hampir berbareng ke depan menghadapi Endang Patibroto. Yang Iain-lain agaknya merasa malu untuk maju setelah melihat bahwa sudah ada tiga orang kawannya yang maju. Tentu saja mereka merasa malu kalau menghadapi seorang gadis cilik saja mereka harus maju bersama mengeroyok. Tiga orang itu yang amat kepingin menangkap dan rnendekap tubuh muda yang padat itu, seperti hendak berlomba. Endang Patibroto memandang tiga orang ini dengan sinar mata mengukur dan bibir mengejek.

"Kalian benar sudah bosan hidup? Ingin mampus secara bagaimana?"

Ucapan ini bernada dingin penuh ancaman maut, akan tetapi oleh karena keluar dari mulut mungil, terdengar lucu bagi tiga orang raksasa itu. Mereka bergelak tertawa.

"Ha-ha, cah-ayu manis! Apa engkau bisa membikin aku mati tanpa kepala?" ejek orang pertama yang mukanya pucat.

"Aduh rnati aku! Kerlingmu dan senyummu sudah cukup membikin remuk dadaku, denok." Orang ke dua yang matanya juling berkata.

"Dan aku rela mati dengan tubuh hancur di depan kakimu, asal...... hemm, engkau suka menjadi punyaku, sayangl" kata orang ke tiga yang kumisnya jarang.

Endang Patibroto dengan sikap tenang menghitung-hitung dengan jari tangannya.
"Seorang ingin mampus tanpa kepala, yang ke dua ingin mampus dengan dada remuk, yang ke tiga dengan tubuh hancur. Hemmm, kehendak kalian akan terpenuhi. Majulah!"

Si mata juling agaknya sudah tidak dapat menahan lagi hasrat hatinya, ingin segera dapat memeluk gadis itu, maka sambil tertawa ia sudah menubruk maju dengan gerakan laksana seekor harimau menubruk kelinci. Dua orang tcmannya tidak mau kalah dulu, juga segera menerjang maju dengan kedua tangan menjangkau ke depan.

Sukar diikuti pandangan mata apa yang selanjutnya terjadi. Dalam sekelebatan mereka yang tidak bertanding melihat betapa gadis jelita itu menggerakkan tangan kakinya menyambut tiga orang pengeroyoknya. Mula-mula terdengar suara "krakkkk!" disusul jeritan si mata juling yang terpelantlng roboh, Disusul berkelebatnya golok menyambar leher si muka pucat yang roboh dengan leher putus dan darah menyembur-nyembur, kemudian tampak gadis itu sudah memegang lengan kanan si kumis jarang dan tubuh laki-laki ini terayun ke atas lalu terbanting pada batu besar yang terletak tak jauh dari tempat pertempuran. Kemudian keadaan menjadi sunyi. Gadis itu berdiri di tempat tadi, tegak dan tenang, matanya tajam dan bersinar-sinar, mulutnya tersenyum mengejek.

Semua mata terbelalak memandang penuh kengerian. Tiga orang penyerbu tadi tak dapat bangun kembali, mata dalam keadaan amat mengerikan. Si muka pucat telah terbabat putus lehernya, oleh goloknya sendiri, dan kini kcpalanya menggelinding agak jauh dari tubuhnya, mati tanpa kepala! Si mata juling rebah telentang mandi darah, dadanya pecah terkena hantaman tangan Endang Patibroto. Adapun si kumis jarang lebih mengerikan lagi. Tubuhnya yang dibanting di atas batu tadi remuk dan pecah-pecah! Sejenak gerombolan itu tercengang dan dengan muka pucat memandang mayat tiga orang teman mereka: Akan tetapi segera timbul kemarahan di hati mereka. Tanpa diperintah lagi, mereka semua menghunus golok dan dua belas orang itu sudah bergerak maju mengurung dengan sikap mengancam.

Endang Patibroto masih tenang saja. Baru setelah jarak antara dia dan mereka sudah dekat, tubuhnya bergerak, kedua tangannya mendorong ke sana ke mari dan terdengarlah teriakan-teriakan kesakitan disusul terlemparnya tubuh para pengeroyok. Berturut-turut lima belas orang itu termasuk Surosardulo sendiri, roboh tumpang-tindih dan babak-bundas. Untung bagi mereka bahwa Endang Patibroto hanya mempergunakan hawa sakti yang disalurkan dalam kedua lengannya, merobohkan mereka dengan angin pukulan saja. Kalau sampai mereka tersentuh tangan gadis perkasa ini, tentu mereka akan mengalami nasib seperti tiga orang kawan mereka tadi.

Sambil meraba gagang keris pusakanya dengan tangan kanan dan bertolak pinggang dengan tangan kiri, Endang Patibroto memandang mereka yang roboh, membuang senyum mengejek lalu tanpa sepatah katapun ia melangkah pergi dari tempat itu untuk melanjutkan perjalanannya. Belum sejauh luncuran anak panah ia berjalan, Endang berhenti tiba-tiba dan memutar tubuhnya, membentak,

"Apakah di antara kalian ada yang sudah bosan hidup juga?"

Dua belas orang gerombolan yang dipimpin Surosardulo itu terkejut, dan tiba-tiba Surosardulo menjatuhkan diri berlutut, diturut anak buahnya. Mereka tadi sejenak terlongong keheranan, kemudian diam-diam mengikuti gadis itu yang berjalan menuju ke Sungai Bogowonto. Siapa kira, gadis itu dari jarak yang cukup jauh dapat mengetahui bahwa ia dibayangi orang !.

"Ampun......" kata Surosardulo, "hamba hanya ingin mengetahui siapa gerangan nama besar paduka. Hamba Surosardulo dan para anak buah hamba selama hidup belum pernah mendengar, apalagi melihat, seorang puteri sedemikian sakti mandraguna seperti paduka...... "

Endang Patibroto mengangkat dagu ke depan.
"Namaku Endang Patibroto. Apakah kalian masih tidak terima kalah? Mengapa mengikuti perjalananku?"

Setelah berkata demikian, dengan gerakan seenaknya saja Endang mengipatkan tangan kirinya ke arah pohon jati di dekatnya. Terdengar suara keras dan batang pohon sebesar paha itu patah, pohonnya tumbang! Pucat wajah Surosardulo dan anak buahnya.

"Tidak....karni tidak bermaksud apa-apa....hanya ingin tahu nama paduka..." kata Surosardulo.

Endang mencibirkan bibirnya lalu membalikkan tubuh, melanjutkan perjalanan. Diam-diam Surosardulo yang jantungnya masih berdebar dan wajahnya pucat itu memberi perintah kepada dua orang anak buahnya untuk mengambil jalan terdekat, mendahului gadis sakti itu menyeberang sungai dan memberi tahu kepada pimpinannya. Mereka ini, Surosardulo dan anak buahnya, sebetulnya adalah anggauta gerombolan perampok dan bajak sungai yang berada di bawah kekuasaan Ki Krendoyakso. Hampir semua penjahat yang beroperasi di daerah Bagelen, adalah anak buah Ki Krendoyakso. Mengandalkan nama besar dan kesaktian Ki Krendoyakso inilah maka para penjahat itu tidak pernah ada yang berani melawan.

Akan tetapi pada hari itu mereka mengalami kesialan, bertemu dengan Endang Patibroto. Karena Surosardulo maklum bahwa gadis jelita itu adaiah seorang yang sakti mandraguna, maka ia tidak begitu bodoh untuk bunuh diri melawan. Diam-diam ia mengirim berita ke depan agar pimpinan nya dapat mencegat perjalanan gadis yang telah membunuh tiga orang anak buahnya itu. Biarpun ia tahu bahwa pada waktu itu Ki Krendoyakso sendiri tidak berada disitu, namun di sebelah timur Sungai Bogowonto banyak terdapat anggauta-anggauta pimpinan yang sakti, yang tentu akan sanggup menghadapi gadis itu.

Endang Patibroto tentu saja tidak tahu dan tidak menduga akan hal ini. Dia tidak perduli. Andaikata tahu sekalipun, ia juga tidak perduii. Tidak perduli akan orang lain, asal jangan mengganggunya. Yang berani mengganggunya, akan ia binasakan! Dengan tenang ia melanjutkan perjalanan. Dari jauh sudah tampak Sungai Bogowonto yang lebar dan penuh airnya. Perutnya makin lapar. Tidak tampak seekorpun binatang hutan di daerah itu. Tentu habis oleh manusia-manusia kasar tadi, pikirnya jengkel. Juga tidak tampak ada dusun di sekitar situ. Mungkin di seberang ada. Tampak olehnya atap rumah pedusunan. Tentu di sana ada makanan. Ketika ia mendekat pantai sungai, ia melihat ada sebuah perahu kecil di pinggir. Entah perahu siapa. la tidak perduli dan segera melangkah masuk duduk dan mengambil sebatang dayung panjang yang berada di perahu. Perahu siapa ia tidak perduli, ia perlu menyeberang.

Andaikata tidak ada perahu di situ sekalipun, ia tetap akan menyeberang. Banyak cara untuk menyeberangi sungai yang amat kecil jika dibandingkan dengan selat Pulau Iblis, akan tetapi cara yang paling mudah dan enak adalah bcrperahu. Ia juga tidak menaruh curiga mcngapa di tempat sesunyi itu terdapat sebuah perahu tanpa pemiliknya. Iapun tidak tahu betapa dari dua seberang sungai, banyak pasang mata mengintainya penuh perhatian. Iapun tidak tahu betapa dari seberang lain, seorang laki-laki yang tubuhnya ramping panjang telah bergerak memasuki air ketika perahunya bergerak ke tengah.

Baru saja perahu itu ia dayung sampai di tengah sungai, tiba-tiba perahunya terguncang keras lalu terguling !. Tentu saja Endang kaget sekali. Akan tetapi ia tidak pernah ketinggalan ketenangan dan ketabahannya. Guncangan perahu yang tidak sewajarnya sudah mencurigakan hatinya, maka sebelum perahu terguling, ia telah meloncat tinggi ke atas sambil membawa dayungnya dan di tengah udara ia mematahkan dayung menjadi dua potong. Ketika tubuhnya turun ke air, ia melempar dua batang potongan dayung itu dan bagaikan seekor burung, kedua kakinya hinggap di atas dua potong kayu yang mengambang di air. Dengan demikian, kini ia berdiri di atas air, menggunakan dua potong kayu itu sebagai landasan kakinya!

Perahunya telah terbalik dan hanyut, akan tetapi Endang tidak perduii. Dengan pengerahan tenaga dalam disalurkan kearah kedua kaki, ia dapat menggerakkan kakinya mendorong kayu yang diinjak itu ke depan dan bergeraklah ia seolah-olah "berjalan" di atas air! Ia tidak tahu betapa banyak pasang mata yang mengintainya dari kedua tepi sungai, melotot lebar dan seakan-akan biji-biji mata itu akan meloncat keluar dari pelupuknya saking heran dan kaget mereka yang menyaksikan gadis jelita ini berjalan di atas air !.

Tiba-tiba sebuah lengan yang berbulu dan kuat muncul dari permukaan air dan menyambar mata kaki kiri Endang yang kecil merit. Tangan dengan jari-jari besar kuat itu mencengkeram lalu menarik dengan tujuan menenggelamkan gadis jelita itu. Akan tetapi Endang yang tadi melihat sambaran tangan ke arah kakinya, hanya tersenyum dan sama sekali tidak mengelak. Tentu saja kalau ia mau mengelak, amatlah mudahnya. Akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini, bahkan kini ia berhenti bergerak, menundukkan muka melihat apa yang hendak dilakukan oleh orang yang memegang kaki kirinya itu.

Ketika orang itu dengan tenaga kuat menarik-nariknya ke bawah, Endang mengerahkan tenaga dan mempertahankan. Sedikitpun kaki kecil yang dibetot oleh tangan kuat itu sama sekali tidak bergoyang! Betapa pun lengan kuat itu mengerahkan tenaga, menarik-narik dan menyeret, namun sia-sia belaka. Si gadis jelita tetap berdiri di atas air !. Bahkan saking penasaran, orang yang punya tangan itu kini muncul kepalanya di permukaan air, selain untuk menghirup hawa, juga untuk menyaksikan dengan mata sendiri bahwa tangannya sudah betul-betul mencengkeram kaki gadis itu. Ia hampir tidak percaya bahwa ia tidak mampu menyeret gadis itu masuk ke dalam air. Dikerahkannya kembali tenaganya menarik-narik.

Endang yang meiihat munculnya kepala seorang laki-laki tua yang wajahnya menyeramkan, bergidik jijik. la menambah tenaga pada kaki kirinya dan mendadak la melakukan gerakan menendang ke atas dan tubuh laki-laki itu ikut terbawa ke atas dan terlempar setinggi lima enam meter dari permukaan air!

Sebelum tubuhnya terbanting lagi ke air, Endang sudah meluncur maju dan sekali ia menggerakkan tangan, ia telah menjambak rambut orang itu, kemudian ia terus menggerakkan kedua kakinya menyeberang, tangan kirinya menyeret laki-laki yang dijambak rambutnya. Dapat dibayangkan betapa kaget dan takutnya laki-laki itu. Ia merintih-rintih dan mengaduh-aduh,

"Aduhh....... ampun... ampunkan hamba....... hamba Bajulbiru sudah tobat....... !"

Setelah dekat dengan pantai sungai, Endang lalu melemparkan tubuh Bajulbiru ke darat. Laki-laki itu terbanting dan mengaduh-aduh. Masih untung baginya bahwa Endang yang diam-diam kagum terhadap kepandaiannya dalam air tidak hendak membunuhnya sehingga tubuhnya hanya terbanting dan terluka saja, tidak sampai tewas. Kalau Endang menghendaki, tentu saja sekali pukul dapat membunuhnya. Selagi Endang hendak melompat ke darat, tiba-tiba muncul belasan orang yang rnenyambutnya sambil berlari dan membawa jala yang lebar. Dengan gerakan serentak dan berbareng, belasan orang itu melempar jala yang jatuh bagaikan air hujan menyelimuti tubuhnya!

Endang menggigit bibir, kemarahannya memuncak. Ia membiarkan jala itu menangkap dirinya. Ketika belasan orang itu menarik, ia meloncat ke darat dan sekali kedua tangannya bergerak, jala itu jebol dan ia melompat keluar. Kaki tangannya menyambar-nyambar dan terdengar suara mengaduh susul-menyusul ketika belasan orang itu roboh satu-satu tak dapat bangun pula!

Mendadak dari depan terdengar suara berciutan dan kiranya puluhan batang anak panah sudah menyambar dari depan, kanan dan kiri ke arah tubuh Endang. Gadis ini benar-benar menjadi marah sekali. Ia hanya menggunakan tangan menyampok anak panah yang rnengarah kepala. Anak-anak panah yang rnengarah bagian tubuh lainnya ia biarkan saja dan ternyata anak-anak panah itu runtuh semua seperti bertemu dengan tubuh baja saja! Sambil menyampok anak panah, Endang memperhatikan ke depan dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke depan dan sekali ia mengulurkan lengan, ia telah menangkap dua orag tukang panah terdekat dan dengan gemas ia mengadu kumba kepala mereka satu kepada yang lain.

"Prakkk!"

Keduanya roboh tak bernyawa lagi dengan kepala pecah! Dari tempat itu, Endang kembali meloncat ke belakang pohon, menyambar tubuh tukang panah lain, membantingnya mati seketika pada akar pohon.

Tentu saja perbuatannya Ini menggegerkan mereka yang bersembunyi. Serentak mereka mundur dan lari ketakutan dan berkelompok dari jauh memandang ke arah gadis yang kesaktiannya mengerikan itu. Jumlah para perampok dan bajak yang menjadi kaki tangan Ki Krendoyakso ini berjumlah empat puluh orang lebih. Mereka telah menerima kabar dari Surosardulo, maka telah mengatur penyambutan di seberang sungai. Bahkan seorang di antara mereka yang memimpin gerombolan bajak sungai, yang terkenal memiliki ilmu kepandaian di air, yaitu Bajulbiru, telah menyambut lebih dulu dan berusaha menangkap gadis Itu di tengah sungai.

Endang Patibroto menjadi marah sekali. Jelas orang-orang itu tidak mau berhenti memusuhinya. Ia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah segolongan dengan Surosardulo, buktinya menyerangnya tanpa bertanya dulu. Melihat puluhan orang laki-laki berkumpul di depan, ia tidak menjadi gentar, bahkan dengan gerakan cepat ia berlari ke depan. Mukanya merah, matanya bersinar tajam, mulutnya masih tcrsenyum manis!

Biarpun tadi menyaksikan sepak terjang yang amat dahsyat dari gadis ini, namun karena jumlah mereka puluhan orang, tentu saja para penjahat itu menjadi besar dan timbul pula keberanian mereka. Apalagi di situ terdapat Wirodurjono yang mengepalai perampok ini, orang yang menjadi pembantu Ki Krendoyakso dan memiliki ilmu kesaktian yang lebih tinggi daripada kepandaian Surosardulo maupun Bajulbiru.

"Serbu! Tangkap!!" Wirodurjono berseru dengan suaranya yang garang.

Pasukan terdepan terdiri dari dua puluh empat orang segera bersorak dan menyerbu maju dengan golok terhunus. Tingkah laku mereka seolah-olah barisan hendak maju perang campuh. Sungguh kelihatan lucu sekali kalau dipikir bahwa yang mereka serbu ini hanya seorang gadis remaja yang bertangan kosong! Namun, mereka itu kini tidak berani memandang rendah, maka serentak mereka maju dengan senjata terhunus disertai teriakan-teriakan untuk menindas rasa nyeri dan takut.

Endang Patibroto tidak menghentikan larinya. ia terus berlari maju, tidak perduli akan ancaman golok yang menyilaukan mata itu, tidak perduIi pula betapa dua puluh empat orang itu bergerak mengepungnya. Begitu Endang dekat dengan orang pertama, kaki tangannya bergerak. Tangannya dengan jari-jari terbuka bergetar seperti menggigil, akan tetapi setiap kali digerakkan,
terdengar jerit mengerikan dan tentu orang yang disentuh tangannya roboh terjengkang atau terpelanting tak mampu bangun lagi Endang mengamuk. Tubuhnya berputaran karena kini ia dikeroyok dari empat penjuru. Tidak perduli gotok yang bagaimana berat dan tajampun, kalau menyambar kearahnya, ia papaki dengan tangannya yang terbuka jari-jarinya, dan...... golok itu tentu terpukul patah atau terlepas dari tangan si pemegang nya.

Kemudian, setiap kali kaki atau tangannya menyentuh lawan, tentu lawan itu terjungkal dan tewas! Dalam waktu beberapa menit saja, mayat para perompak roboh malang-melintang. Hebatnya, tidak setetespun darah keluar dari tubuh mayat-mayat itu, yang mati dalam keadaan mengerikan, kalau tidak mukanya hangus menghitam, tentu tulang-tulang dadanya remuk-remuk atau isi perutnya hancur oleh pukulan sakti!

Setelah lima belas orang roboh tewas, barulah sisanya ketakutan dan tanpa dikomando lagi mereka lari tunggang-langgang kembali ke dalam pasukan kedua yang menonton dari jarak belasan tombak. Kini mereka, termasuk Wirodurjono, memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Sukar dapat mereka percaya. Seorang wanita, gadis remaja pula, dengan tangan kosong, demikian mudahnya membunuh belasan orang kawan mereka yang terkenal sebagai jagoan-jagoan tukang berkelahi! Mana mungkin hal ini terjadi? Akan tetapi mereka telah menyaksikan dengan mata sendiri!

Lanjut ke Jilid 058 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment