Ads

Sunday, December 30, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 058

◄◄◄◄ Kembali

"Hayoooohh.......! Mengapa kalian berhenti, pengecut-pengecut tak bermalu? Majulah semua, keroyoklah aku! Hayo, kalau kalian ingin mampus di tanganku. Inilah puteri dari Nusakambangan!"

Endang Patibroto yang sudah marah sekali menantang. Mendengar tantangan ini, Wirodurjono kaget sekali. Tentu saja, sebagai seorang tokoh dari Bagelen, ia sudah mendengar tentang Pulau Iblis, bahkan dia sendiri menerima peringatan langsung dari Ki Krendoyakso agar jangan membolehkan anak buahnya mendekati atau mengganggu Pulau Nusakambangan karena manusia raksasa Dibyo Mamangkoro yang amat mereka takuti tinggal di pulau itu. Dan kini, seorang gadis sakti muncul dan mengaku penghuni pulau itu, mengaku Puteri Nusakambangan! Dengan heran ia sekali loncat telah berada di depan Endang Patibroto, sikapnya agak hormat ketika bertanya,

"Wah, kiranya nona datang dari Pulau Nusakambangan? Bolehkah kami mengetahui, ada hubungan apakah antara kau dengan Dibyo Mamangkoro?"

Melihat laki-laki setengah tua yang bermuka merah dan bengis ini, hati Endang sudah tak senang.

"Kau yang mengepalai gerombolan pengecut ini? Siapa namamu?"

Diam-diam hati Witodurjono panas sekali. Dia adalah seorang pembantu Ki Krendoyakso yang terkenal, seorang yang biasa memberi perintah, biasa ditakuti oleh anak buahnya yang terdiri dari laki-laki kasar. Sekarang, gadis ini sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya, ditanya secara hormat belum menjawab balas bertanya dengan sikap demikian kurang ajar! Akan tetapi, nama Nusakambangan ternyata amat besar pengaruhnya sehingga seorang seperti Witodurjono masih mampu menahan kesabarannya terhadap seorang gadis remaja seperti Endang. Dengan muka menjadi makin merah, ia menjawab,

"Namaku Wirodurjono dan ketahuilah, kami semua adalah anak buah Ki Krendoyakso. Seingat kami, belum pernah kami bersilang jalan dengan Ki Dibyo Mamangkoro yang kami hormati...!"

"Orang macam engkau tak perlu menyebut-nyebut namanya. Pergilah!"

Endang Patibroto dengan melangkah maju dan tangan kirinya bergerak, mendorong ke arah dada Wirodurjono, Kepala rampok itu adalah seorang yang kuat dan sakti. Tentu saja ia merasa makin mendongkol. Gadis ini benar-benar sombong, pikirnya. Biarpun datang dari Nusakambangan, perlu diberi hajaran sedikit biar tahu rasa bahwa anak buah Ki Krendoyakso tak boleh dipandang ringan. Ia berseru keras dan lengan kanannya yang berkulit hitam dan amat kuat itu sudah menyambar untuk menangkis dan menangkap tangan kiri Endang yang mendorong. Akan tetapi entah bagaimana ia sendiri tidak tahu sebabnya, tubuhnya sudah terlempar ke atas bagaikan disambar angin lesus. Ia berteriak kaget dan tubuhnya yang terbang itu menimpa daun-daun dan dahan-dahan. Cepat ia meraih dan untung ia dapat menangkap cabang dan dahan. Ketika ia memandang ke bawah, kiranya ia telah dilemparkan ke atas pohon oleh gadis remaja tadi!

"Huah-hah-hah-hah! Bagus gerakanmu melempar orang itu, Endang! Akan tetapi, tikus-tikus ini sama sekali bukan musuhmu."

"Bapa guru.....!” Endang mengenal suara gurunya.

Dibyo Mamangkoro muncul dan dengan langkah lebar ia mengharnpiri pohon di mana Wirodurjono tersangkut, kemudian sekali mendorong, pohon itu jebol akarnya dan tumbang. Wirodurjono cepat melompat ke bawah dan langsung ia menjatuhkan diri berlutut di depan Dibyo Mamangkoro yang belum pernah dilihatnya akan tetapi sudah amat dikenal namanya.

"Hamba Wirodurjono, anak buah Ki Krendoyakso, mohon ampun telah bersikap kurang ajar karena tidak mengenal murid paduka."

"Huah-hah-hah! Mana bisa kalian berkurang ajar kepada Puteri Nusakambangan? Kalian ini tikus-tikus goblog! Biarpun Ki Krendoyakso sendiri harus merangkak dan menyembah puteri ini, mentaati segala perintahnya. Mengerti??"

"Am.... ampunkan hamba sekalian........"

Wirodurjono menggigil teringat akan cerita Ki Krendoyakso betapa dahsyat kesaktian kakek raksasa ini dan betapa besar bahayanya membikin marah kepadanya. Untung bahwa sisa anak buahnya juga tahu diri dan kini mereka semua sudah berlutut di belakangnya.

"Sudahlah! Kalian sudah cukup diberi hajaran. Sekarang lekas sediakan sebuah kereta lengkap dengan kudanya, untuk kendaraan sang puteri dari Nusakambangan yang hendak mengunjungi Jenggala. Cepat!"

Wirodurjono menyembah dan menyanggupi. Tidak lama kemudian pergilah ia bersama semua anak buahnya. Dibyo Mamangkoro mengajak muridnya duduk di tepi sungai sambil menanti.

"Eh, Endang, kenapa kau bisa sampai di tempat ini?"

"Aku hendak menyusulmu. Kenapa engkau terlalu lama meninggalkan pulau, bapa guru?"

Dibyo Mamangkoro tertawa, lalu memegang tangan muridnya penuh kasih sayang.
"Aku pergi bukan untuk keperluanku, muridku. Melainkan untuk keperluanmu juga. Tibalah waktunya sekarang engkau bersuwita (menghambakan diri) kepada raja di Jenggala. Aku baru puas kalau melihat semua orang di Jenggala menyembahmu, dan melihat Panjalu hancur di bawah telapak kakimu. Dan dengan wajahmu yang cantik jelita, dengan kesaktianmu yang hebat, ditambah keris pusaka Brojol Luwuk di tanganmu, huah-hah-hah, aku yakin takkan kecewa hatiku!"

Endang Patibroto masih meragukan apakah para gerombolan kasar tadi akan mentaati perintah gurunya. Tidak seorangpun di antara mereka kini tampak, bahkan mayat-mayat yang tadi berserakan kini telah diangkut pergi. Kemudian di tepi sungai itu amat sunyi. Akan tetapi, Dibyo Mamangkoro sikapnya tenang dan yakin bahwa perintahnya tentu akan ditaati. Dan ia benar. Tidak lama kemudian muncullah Wirodurjono dengan tujuh orang lain yang merupakan pimpinan perampok dan bajak sungai, anak buah Ki Krendoyakso. Mereka bersikap hormat ketika menyerahkan sebuah kereta yang cukup kuat indah, ditarik dua ekor kuda yang besar kuat. Dibyo Mamangkoro tertawa ketika mendengar mereka akan mengawal dan mengantar sampai ke Jenggaia.

"Tidak usah! Biar kami kendarai sendiri."

la lalu mengajak Endang naik kereta, mengayunkan cambuk dan. membalapkan dua ekor kuda itu menarik kereta. Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak. Satu kalipun ia tidak pernah mengucap terima kasih, bahkan melirikpun tidak kepada para pembantu Ki Krendoyakso yang berdiri di pinggir jalan dengan sikap menghormat. Tentu saja semua ini diperhatikan oleh Endang karena ia ingin tahu bagaimana kelak harus bersikap kalau berhadapan dengan orang-orang seperti itu.

**** 058 ****
Lanjut ke Jilid 059 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment