Ads

Thursday, January 3, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 065

◄◄◄◄ Kembali

Ayu Candra dengan wajah berseri berjalan keluar dari hutan itu. Ia sengaja menahan haus dan baru di pondok nanti akan menikmati air dawegan yang manis dan sedap. Akan tetapi ketika tiba dl pinggir hutan dan melewati sebuah pohon randu alas yang besar sekali karena tiga batang pohon tumbuh menjadi satu, mendadak ia berhenti melangkah karena mendengar suara orang!

"Duh Dewa........ kenapa tidak dicabut saja nyawaku? Tidak kuat aku menderita siksaan ini........!”

Ayu Candra adalah seorang gadis yang tidak pernah mengenal takut karena sejak kecil ia telah digembleng ayahnya Akan tetapi, mendengar dengan telinga sendiri betapa pohon randu alas dapat bicara dan mengeluh seperti manusia benar-benar ia merasa ngeri juga dan wajahnya yang
cantik jelita itu berubah agak pucat. Ia tahu bahwa iblis dan setan berkeliaran di atas bumi ini, akan tetapi di waktu malam hari.

Sekarang, di waktu matahari masih bersinar seterang-terangnya, menjelang tengah hari, bagaimana ada iblis berani muncul dan memperdengarkan suaranya? Kalau bukan iblis, mustahil ada pohon randu alas benar-benar bisa mengeluh seperti manusia dan menyatakan bosan hidup? Ah tak mungkin, pikirnya. Tentu orang! Akan tetapi kalau ada orangnya, di mana sembunyinya? Ayu Candra merasa curiga dan karena kedua tangannya menjinjing buah buah kelapa, ia lalu melemparkan tiga butir buah kelapa itu ke atas tanah. Kemudian ia mendekati pohon randu alas dan bertanya,

"Siapakah orangnya yang mengeluarkan suara keluhan tadi?"

Sunyi mengikuti pertanyaan ini, seakan akan orang yang mengeluarkan suara tadi merasa kaget. Kemudian terdengar orang merintih, suaranya keluar dari dalam pohon!

"Sudah begini menderita masih ada wanita menggangguku lagi? Ah, Dewata Yang Agung, sampai di ambang maut masih haruskah aku berhadapan dengan penggodaku?"

Tiba-tiba "kulit " pohon itu terbuka dari dalam dan seorang laki-laki menggelundung keluar. Kiranya batang pohon itu berlubang dalamnya dan laki-laki ini tadi bersembunyi di dalam pohon. Melihat keadaan laki-laki ini, Ayu Candra terkejut bukan main. Keadaan laki-laki ini mengerikan. Laki-laki itu usianya tentu empat puluh tahun lebih pakaiannya compang-camping, wajahnya penuh bekas luka. Melihat ke bawah Ayu Candra merasa makin ngeri. Kedua kaki orang itu buntung sebatas lutut! Karena celananya juga compang camping maka tampaklah kaki yang buntung itu yang ujungnya merupakan tulang menjedol keluar dikelilingi daging terbungkus kulit berkeriputan. Laki-laki itu setelah menggelundung keluar, lalu menoleh dan sepasang matanya terbelalak penuh kekaguman memandang wajah cantik jelita dan tubuh yang muda, montok, dan padat. Akan tetapi hanya sebentar saja kekaguman itu terpancar keluar dari sinar matanya. Segera ia mengerang kesakitan dan sinar matanya layu.

“aduh…..mati aku….!”

Ayu Candra memiliki dasar watak yang penuh welas asih seperti watak ayahnya. Melihat keadaana orang itu dan mendengar rintihannya, ia merasa sangat kasihan sekali. Bagaimana ada orang sampai begini sengsara ?

"Kasihan sekali engkau paman Mengapa engkau sampai menjadi begini?!.”

Laki-laki itu mengerang panjang, tubuhnya yang miring itu terlentang dan ia memandang ke arah wajah yan cantik Jelita itu.

"Aku....... aku menderita sakit..ohh.. tolonglah aaugghhh.” Kembali ia mengerang dan melanjutkan, terengah-engah, "lapar…. Haus…aduh…."

Ayu Candra merasa hatinya seperti di tusuk-tusuk. Entah bagaimana wajah orang ini mendatangkan iba dalam hatinya. Ia dapat melihat bahwa dahulunya orang ini memiliki bentuk wajah yapg tampan dan pakaiannya walaupun butut, dilihat dari celana, baju, kain dan destarnya, pasti bukan orang dusun biasa. Dan sinar mata itu amat tajam berpengaruh menandakan seorang "berisi".

“Aku hanya punya kelapa. Maukah kau minum air dawegan?"

Laki-laki itu menggerakkan kepala mengangguk. Ayu Candra lalu berjongkok memungut sebutir dawegan yang tadi ia lemparkan keatas tanah, kemudian menggunakan sepotong batu untuk mengupas kulitnya bagian atas dan membuat lubang. Hal ini dapat ia lakukan dengan mudah, menggunakan tenaga dalam. Orang biasa saja, biarpun ia laki laki, takkan mungkin mengupas kulit kelapa yang amat liat dan keras itu hanya menggunakan sepotong batu! Hal ini rupanya dimengerti pula oleh laki-laki buntung karena ia kini sudah bangkit duduk sambil memandang dengan mata terbelalak kaget.

Kalau saja Ayu Candra tidak sedang asyik membuka kulit kelapa, dan melihat cara laki-laki itu bangkit duduk, tentu ia akan menjadi curiga, Ketika itu, laki-laki buntung itu tidak kelihatan selemah tadi, bahkan sekali tubuhnya bergerak ia sudah dapat bangkit dan duduk. Ketika Ayu Candra membalikkan tubuh membawa kelapa yang sudah terkupas dan terlubang, laki-laki itu kembali kelihatan menyeringai kesakitan, sungguhpun matanya masih terbelalak heran dan kaget.

"Minumlah air kelapa ini, paman. baik untuk kesehatan selain mengurangi haus," kata Ayu Candra dengan suara halus dan penuh perasaan.

Makin dipandang, makin kasihan ia terhadap laki-laki itu. Sebaliknya bagi laki-laki itu, makin dipandang, makin luar biasa cantik jelita dan halus budi pekerti gadis itu, membuat ia menelan ludah bukan karena haus.

"Terima kasih. terima kasih” katanya menerima dawegan, menyembunyikan debar jantungnya yang berdegupan ketika jari tangannya menyentuh jari tangan yang halus dan hangat.

Diteguknya air dawegan itu sampai habis, kemudian diusapnya air yang membasahi ujung bibir dan dagunya.

"Aaahhhh segar sekali. Sudah berkurang peningku. Terima kasih, nak. Engkau sungguh baik sekali."

Tiba-tiba Ayu Candra merasa betapa mukanya menjadi agak panas dan cepat ia membuang muka. Pandang mata orang itu membuat hatinya berdebar. Pandang mata itu seakan-akan menembus jantungnya dan menjenguk isi hati dan pikirannya. Bukan main tajamnya dan ia merasa aneh. Untuk menghilangkan rasa anehnya ini ia lalu memandang dan berkata,

"Apakah paman mau dahar daging dawegan ini?"

Kembali laki-laki itu mengangguk-angguk, menjilati bibir dengan lidah dan memandang kelapa muda sambil berkata,
"Bagaimana membukanya? Kulihat engkau tidak membawa parang......... "

Ayu Candra merasa bahwa di depan seorang tapadaksa itu tidak perlu lagi ia berpura-pura dan menyembunyikan kepandaiannya.

“Tidak perlu pakai parang," katanya singkat sambil mengangkat tangan kanan, dipukulkan pada kelapa muda yang berada di atas telapak tangan kirinya.

"Prakkk!" Kelapa muda itu pecah menjadi dua, terbelah seperti dibacok kapak tajam saja. Padahal kelapa itu masih terbungkus serabutnya yang liat!

Laki-laki itu makin heran sampai melongo, kemudian diam-diam ia mengangguk-anggukkan kepalanya, diterimanya kelapa itu dan dimakanlah daging kelapa muda yang lembut, gurih dan manis dengan lahapnya.

"Mau lagikah, paman? Aku masih punya dua butir........ " tanya Ayu Candra sejujurnya ketika melihat orang itu sudah makan daging kelapa muda.

"Tidak........ , sudah cukup. Terima kasih "

"Di manakah rumah paman? Dan mengapa sampai di tempat. ini dalam keadaan seperti........ itu?" Ia menudingkan telunjuknya ke arah kedua kaki yang buntung.

Laki-laki itu memandang kepadanya dan pcrlahan-lahan beberapa butir air mata menetes turun.. Trenyuh sekali hati Ayu Candra.

"Apakah paman dicelakai orang? Siapa mereka yang mencelakai paman? Kejam benar mereka!"

Mewarisi watak ayahnya, seorang pendekar besar, Ayu Candra mengepal kedua tinju, merasa marah sekali menyaksikan kekejaman orang terhadap laki-laki buntung ini. Dengan suara pilu laki-laki itu berkata,

"Terima kasih atas perhatianmu, nak. Aku........ aku memang seorang yang bernasib buruk. Aku disiksa orang-orang jahat, kedua kakiku dibuntungi dan nyaris dibunuh mereka. Akan tetapi, aku sendiri tidak tahu siapa mereka. Namaku Ki Jatoko dan aku tidak bersanak-kadang, tidak berkeluarga tidak punya tempat tinggal. Aku berusaha mencari pedusunan sambil merangkak-rangkak sedapatnya, sampai di tempat ini terserang sakit dan agaknya Dewata sudah akan mencabut nyawaku. Akan tetapi engkau muncul dan menolongku, ini hanya berarti kematianku agak diperpanjang berikut siksaan dan derita "

Wajah Ayu Candra menjadi pucat. Ia tidak tahu bagaimana harus menolong orang ini. Kalau sekarang ia pulang dan meninggalkan orang ini di sini, tentu orang Ini akan mati. KaJau tidak mati diterkam harimau atau binatang buas lain, tentu akan mati kelaparan dan kehausan. Membawanya pulang? Bagaimana caranya? Dia sudah buntung kedua kakinya. Pula, kedua orang tuanya tidak berada di rumah.

"Sayang. Ayah dan ibu tidak ada di rumah. Entah kapan pulangnya. Kalau ada ayah, tentu dia akan dapat menolongmu, paman. Ayah tidak akan membiarkan orang Iain menderita tanpa menolongnya."

Ayu Candra tidak melihat betapa sinar mata laki-laki itu berkilat ketika mendengar bahwa ayah bunda gadis itu tidak berada di rumah.

"Siapakan nama ayahmu yang mulia,nak? Dan siapakah namamu?Aku harus tahu nama dewi penolongku"

"Ayah bernama Ki Adibroto. Kini bersama ibu sedang pergi, mungkin masih lama kembalinya karena baru sepekan dan menurut pesan ayah, mungkin sampai berbulan. Aku bernama Ayu Candra."

"Ayu Candra, anak yang baik, engkau telah menyambung nyawaku tadi apakah sekarang engkau tega meninggalkan paman mati kelaparan di sini? Tolonglah aku, nak, tolonglah........biarlah aku ikut mondok di tempat tinggalmu, sampai orang tuamu datang, atau sampai aku sembuh kembali aduuhhh......!"

Laki-laki itu roboh dan bergulingan di atas tanah. Ayu Candra kaget sekali, cepat ia berjongkok dan meraba dahi orang. Amat panas! Terang bahwa orang ini terkena penyakit demam. Bagaimana mungkin ia membiarkan saja orang yang sakit ini di dalam hutan tanpa menolongnya?

"Aku suka menolongmu, paman. Dan aku tidak keberatan kau mondok di pondok kami. Akan tetapi bagaimana kau dapat sampai ke sana? Dari tempat ini agak jauh juga, dan jalannya sukar, naik turun dan licin."

Laki-laki ini mengeluh dan kembali bangkit duduk sambil menekan tanah. Cepat-cepat ia menjawab,
"Jangan khawatir, nak. Keadaanku ini membuat aku terpaksa dapat berjalan menggunakan kedua tanganku. Bertahun-tahun aku melatih jalan dengan kedua tanganku dan aku berhasil. Asal tidak terlalu cepat, agaknya aku akan dapat bersamamu pergi ke pondokmu."

Ayu Candra mengangguk-angguk.
"Baiklah, paman. Dan nanti apabila menemui jalan yang terlalu sukar, aku dapat membantumu."

Laki-laki yang mengaku bernama Ki Jatoko itu kelihatan girang sekali. Dengan menekankan kedua tangan ke Atas tanah, ia bangkit dan "berdiri" di atas kedua kakinya" yang buntung. Kemudian ia menggerakkan kedua kaki dan ia dapat berjalan cukup baik, seperti seorang anak kecil.

"Jika aku merasa lelah dan kedua kakiku yang bunting terasa nyeri, aku dapat membantunya dengan kedua tangan seperti ini." katanya dan kini ia berjalan dengan "empat kaki", sehingga Ayu Candra yang melihatnya merasa terharu sekali.

Melihat keharuan membayang di wajah yang cantik manis itu, Ki Jantoko berkata dengan suara memelas,
"Ayu Candra, bocah ayu yang berhati emas, cantik berbudi seperti Dewi Suprobo, sudikah engkau menolong paman yang sengsara ini? Kalau engkau tidak merasa jijik untuk menggandeng tanganku, agaknya aku akan berjalan lebih cepat, tidak usah merangkak seperti binatang berkaki empat "

Suara itu amat mengharukan hati Ayu Candra yang merasa heran kepada dirinya sendiri mengapa ia begini lemah perasaannya sehingga terhadap laki-laki ini, yang sudah setengah tua, buntung lagi buruk mukanya menjijikkan penuh bekas luka, ia merasa amat kasihan dan juga merasa suka! Betapapun juga, ia memiliki batin yang amat kuat dan masih murni, bersih daripada niat dan pamrih buruk, sehingga andaikata dia tidak merasa amat kasihan kepada Ki Jatoko tentu ia tidak sudi melaksanakan permintaan si buntuhg itu.

"Marilah agar kita cepat sampai di pondokku," katanya mengulurkan tangan kiri kepada Ki Jatoko.

Dengan pandang mata penuh haru dan syukur laki-laki itu memegang tangan kiri Ayu Candra dengan tangan kanannya. Di dalam hati laki-laki ini menyebut nama Dewata yang memberi berkah sedemikian besar kepadanya. Jantungnya berdebar-debar ketika kulit tangannya meraba kulit tangan gadis remaja yang halus lunak dan hangat itu. Kehangatan lembut yang seakan-akan menjalar melalui tangannya dan bagaikan embun membasahi hatinya yang mulai melayu sehingga hatinya menjadi segar kembali, semangatnya yang sudah tidur menjadi bangkit kembali. Kedua kakinya yang buntung tidak terasa sakit lagi ketika ia berlari-lari kecil dalam langkahnya untuk mengimbangi langkah Ayu Candra yang tentu saja lebih lebar daripada langkah kedua kaki buntungnya.

Siapakah gerangan laki-laki buntung itu? Benarkah seperti Apa yang ia ceritakan bahwa ia dianiaya oleh orang-orang jahat sehingga kedua kakinya buntung dan mukanya penuh cacad? Ah, kalau saja Ayu Candra tahu siapa dia sebenarnya! Laki-laki itu sama sekali bukanlah orang lemah seperti tampaknya. Dan kedua kaki yang buntung itu tidak lagi terasa sakit seperti yang diperlihatkannya. Tidak, sama sekali tidak. Kaki itu sudah buntung selama lima tahun yang lalu! Dan laki-laki itu sama sekali bukan orang lemah, bahkan dengan kedua kakinya yang buntung itu masih memiliki kesaktian yang hebat. Karena dia ini bukan lain adalah Jokowanengpati! Ya, kedengarannya aneh, akan tetapi sebetulnya tidak aneh. Tidak ada yang aneh di dunia ini, bahkan di alam semesta, apabila Tuhan menghendaki. Semua sudah wajar dan semestinya demikian, sesuai dengan kehendak Tuhan karena apabila Tuhan tidak menghendaki, tentu tidak akan terjadi
demikian!

Ketika Jokowanengpati dalam pertandingan melawan pengeroyokan Kartikosari dan Roro Luhito, terjun ke dalam Laut Selatan dan mengejek kedua orang wanita musuh besarnya itu, ia disambar ikan hiu. Dalam pandangan Kartikosari dan Roro Luhito, juga Pujo yang diam-diam menyaksikan babak terakhir pertandingan hebat itu, tentu saja Jokowanengpati tewas karena diseret ikan hiu yang buas dan lenyap ke bawah permukaan air laut. Mereka ini tidak melihat Jokowanengpati muncul kembali, maka sudah tentu menganggap bahwa musuh besarnya itu habis riwayatnya dikubur ke dalam perut ikan. Akan tetapi sesungguhnya tidak seperti yang mereka sangka dan harapkan. Jokowanengpati adalah seorang yang sakti dan memiliki tubuh yang kebal, juga amat cerdik, licin dan penuh akal. Tadinya ia memang kehilangan akal ketika secara tiba-tiba diserang ikan hiu yang besar dan amat kuat itu. Rasa ngeri dan takut membuat ia menjerit-jerit minta tolong, lupa untuk mempergunakan kecerdikan dan kekuatan sendiri untuk menolong dirinya.

Akan tetapi ketika ikan hiu itu membawanya menyelam, menyeretnya sampai jauh di dalam air, dalam keadaan pelik ini, dalam cengkeraman maut yang agaknya takkan dapat dihindarinya lagi, Jokowanengpati menjadi marah sekali. Marah terhadap ikan itu dan kini seluruh perhatiannya dicurahkan kepada musuh barunya ini, yang mengancam keselamatan nyawanya. Timbul akalnya. Yang digigit ikan itu adalah kedua kakinya. Ketika tadi ia meronta, gigitan ikan itu melorot turun dan kini gigi ikan yang seperti gigi gergaji itu tertanam di kedua paha dekat lutut. Kini kedua tangannya dapat menjangkau ke bawah. Jokowanengpati tadi telah menghirup napas sepenuh paru-parunya ketika akan dibawa menyelam, ketika ia melepaskan perlawanannya ketika diseret ke bawah permukaan air laut. Kini, sambil mengerahkan seluruh tenaga ke dalam jari-jari tangan kanannya, ia meraih ke depan, sejauh mungkin sehingga ia mampu mencapai mata ikan.

IA MENGERAHKAN tenaganya dan...... jari-jari tangannya menusuk mata ikan itu dan mengoreknya keluar, lalu cepat tangannya meraih mata yang sebelah lagi. Ikan itu kesakitan dan berkelojotan, membawa tubuh Jokowanengpati ikut pula terbanting-banting dan berputaran di dalam air. Akan tetapi dia berhasil membikin buta mata yang Scbelah lagi. Karena sakit sekali agaknya, ikan itu mengatupkan mulutnya dengan tenaga yang luar biasa dan Jokowanengpati tiba-tiba merasa tubuhnya terlepas dari pada gigitan ikan hiu. Rasa girang berbareng dengan timbulnya harapan membuat tenaganya menjadi berlipat ganda. la menggerakkan kedua tangan menekan air dan tubuhnya mumbul ke atas.

Hari telah menjelang malam dan Jokowanengpati segera menggerakkan kedua tangannya berenang menuju ke pantai yang kelihatan remang remang. Ketika ia berenang dan menggerakkan kaki, ia merasa jantungnya seperti tidak berdenyut lagi. Kedua kakinya! Begitu ringan! la menoleh dan matanya terbelalak lebar. Kedua kakinya tidak ada lagi! Hampir ia pingsan saking kagetnya. Dan sekiranya ia pingsan pada saat itu, tentu akan tamatlah riwayat hidupnya. Akan tetapi Jokowanengpati masih suka hidup dan berenanglah ia tanpa kaki, dengan susah payah menuju pantai. Ketika tiba di tempat dangkal ia tak dapat berenang lagi, tidak dapat berdiri pula. la lalu merangkak dan pada saat itulah semua rasa nyeri yang hebat menyelubungi tubuhnya.

Nyeri pada kedua kaki yang mendenyut-denyut sampai menembus jantung dan tulang sumsum. Nyeri karena perih dan sakit-sakit pada seluruh tubuh, pada mukanya. Nyeri yang tak tertahankan lagi, bagaikan dibetot-betot nyawa dari tubuh. Serasa ditarik-tarik semua urat di tubuhnya. Jokowanengpati tidak kuat lagi dan akhirnya ia roboh pingsan di atas pasir. Saat itulah penentuan mati hidupnya. Dan jelas bahwa Tuhan menghendaki dia hidup. Buktinya, secara kebetulan sekall air laut menjadi surut setelah ia roboh pingsan. Andaikata air laut tidak surut dan sebaliknya malah pasang, tentu ia akan terendam air atau dibawa hanyut ke tengah oleh ombak.

Air laut yang surut membuat Jokowanengpati menggeletak tertelungkup di atas pasir, seperti mayat. Semalarn suntuk ia menggeletak tak sadarkan diri di atas pasir. Kalau saja ia tidak terluka sewaktu berada di dalam air laut, tentu ia akan tewas, bukan saja karena luka akan tetapi juga karena kehabisan darah. Agaknya air laut menjadi obat penawar yang mujijat. Pada pagi harinya, Jokowanengpati siuman dari pingsannya. Dengan merangkak-rangkak ia mendarat. Setelah ia terbebas daripada cengkeraman maut yang mengerikan, biarpun ia harus mengorbankan kedua kakinya, kini ia ingin hidup terus! la belum mau mati dan timbul pula semangatnya untuk hidup.

Biarpun harus mernngkak-rangkak, akhirnya ia dapat memasuki sebuah hutan dan merawat luka- lukanya sampai sembuh. la tidak berani keluar dari dalam hutan-hutan lebat. la maklum bahwa kalau musuh-musuhnya mengetahui bahwa ia masih hidup, tentu mereka akan datang mencarinya dan rnembunuhnya. Dan dalam keadaan seperti itu, tak mungkin ia mampu mengadakan perlawanan seimbang. Karena itulah, Jokowanengpati hidup di dalam hutan-hutan, merawat luka-lukanya dan juga memperdalam ilmu-ilmunya karena la ingin hidup terus. Dan untuk dapat hidup terus ia harus memperdalam ilmu-ilmunya untuk mengatasi kebuntungan kakinya. Untuk menyambung hidupnya di dalam hutan ia tidak khawatir. Biarpun kedua kakinya buntung, namun kedua tangannya masih ampuh. Sekali sambit dengan batu ia mampu merobohkan binatang hutan, baik binatang kelinci, kijang, maupun harlmau.

Demikian, lima tahun lebih ia merantau seperti binatang di dalam hutan-hutan sehingga akhirnya ia naik ke lereng Gunung Lawu. Ia tadinya berniat hendak bertapa dan memperdalam kesaktiannya. Akan tetapi karena selama lima tahun lebih tidak bergaul dengan manusia, ia merasa kesepian dan terutama sekali ia merasa rindu akan seorang wanita. Perasaan sepi dan rindu ini yang membuat ia tergoda dan tersiksa dalam tapanya sehingga ia mengeluh dan merintih ketika secara kebetulan sekali Ayu Candra lewat.

Alangkah kaget, heran, dan girang hati Jokowanengpati ketika ia mendengar suara wanita menegur di luar pohon dimana ia bertapa! Hampir ia tidak percaya akan pendengaran telinganya. Suara wanita! Dan begitu merdu, begitu halus. Telinganya yang sudah hafal akan suara wanita segera dapat menduga bahwa yang berdiri di luar pohon adalah seorang wanita muda, seorang gadis remaja. Maka ia lalu bersandiwara, membuka pintu tempat pertapaannya di dalam batang gerowong, lalu menggelundung keluar. Dengan akal yang cerdik sekali, disertai Aji Asmoro-kingkin yang pernah ia pelajari dari Ni Nogogini, ia berhasil membuat hati gadis itu terharu dan suka kepadanya, ia berhasil mempengaruhinya dan kini dengan hati girang ia ikut gadis remaja yang cantik jelita itu pulang ke pondok!

Dapat dibayangkan betapa jantung laki-laki yang sudah bobrok moralnya ini berdebar tidak karuan ketika ia digandeng oleh Ayu Candra yang menaruh kasihan kepadanya. Akan tetapi, mengingat akan cara gadis jelita ini tadi memecah buah kelapa dengan telapak tangan, kemudian melihat pula cara Ayu Candra mendaki dan menuruni bukit sambil menggandengnya sedemikian cekatan, pula merasa betapa ketika menggandengnya, gadis itu menyalurkan hawa sakti untuk dapat membawanya melompati jurang-jurang kecil, Jokowanengpati yang kini sudah berganti nama Ki Jatoko (Sengsara) itu maklum bahwa Ayu Candra bukanlah gadis sembarangan. Tentu orang tuanya yang bernama Ki Adibroto juga seorang yang memiliki kesaktian.

Maka ia berlaku hati-hati dan menahan-nahan hasrat hatinya yang timbul oleh dorongan nafsu berahi melihat gadis yang benar-benar amat jelita ini. Hatinya girang dan lega mendengar bahwa ayah bunda gadis itu tidak berada di pondok. Gadis itu berada seorang diri! Calon korban yang mudah dan lunak. Betapapun juga, ia tidak mau berlaku sembrono dan ada sesuatu dalam gerak-gerik dan sikap Ayu Candra yang amat menarik dan yang mengguncangkan hatinya, perasaan yang selamanya belum pernah ia alami.

Biasanya, menghadapi setiap orang wanita dari gadis dusun sampai puteri bangsawan, ia memandang dan menganggapnya sebagai setangkai bunga yang menarik hati, yang menimbulkan rangsang dan hasrat untuk memetik, menikmati keindahannya, mencium keharumannya, kemudian melemparkannya bunga yang melayu tanpa perasaan kecewa atau menyesal lagi. Akan tetapi, kali ini tidak demikian. Memang tersentuh berahinya menyaksikan gadis jelita ini, mendorong nafsunya untuk memiliki Ayu Candra, akan tetapi berbeda dengan yang sudah-sudah, ia mendapat keyakinan dalam perasaannya bahwa hidupnya akan selalu bahagia apabila ia dapat terus berdampingan dengan gadis ini!

Inilah yang membuat hati Ki Jatoko ragu-ragu untuk mempergunakan kekerasan seperti yang seringkali ia lakukan terhadap para wanita korbannya. Inilah yang membuat Ki Jatoko timbul keinginan di hatinya untuk mempersunting Ayu Candra dengan bujuk rayu, ingin dicinta gadis itu sepenuh hati, dan ingin melihat gadis itu menyerahkan diri dan jiwa kepadanya dengan landasan cinta kasih!

Menggelikan sekali! Ki Jatoko, atau Jokowanengpati, yang dahulunya seorang pria yang gagah dan tampan, yang tidak pernah jatuh hati kepada wanita manapun juga, yang hanya suka untuk mempermainkannya, kini setelah berusia empat puluh tahun lebih, setelah kedua kakinya buntung dan badan serta mukanya penuh cacad, secara mendadak ia jatuh cinta kepada seorang gadis cantik jelita berusia tujuh belas tahun! Sungguh gila! Gilakah Jokowanengpati karena mencinta gadis jelita remaja puteri? Kalau dia dikatakan gila, maka agaknya di dunia ini penuh orang gila!.

Betapa banyaknya di dunia ini terdapat orangorang seperti Jokowanengpati, malah banyak yang lebih gila daripada itu. Orang-orang dimabuk cinta, dimabuk benci, dirangsang marah, dibakar dendam, digoda iri dan dengki. Tidak, Jokowanengpati atau Ki Jatoko tidak gila, melainkan lemah. Dia lemah seperti manusia kebanyakan, lemah terhadap nafsu nafsu pribadi, menjadi hamba nafsu dan karenanya menjadi abdi iblis dan setan!

Cinta kasih yang bersemi secara aneh di lubuk hati Ki Jatoko inilah yang membuat Ayu Candra terjamin keamanannya dalam perjalanan pulang itu. Andaikata tidak ada cinta kasih yang ganjil ini tentu ia telah ditubruknya dan diperkosa dengan kekerasan. Dan betapapun pandai gadis itu dalam ilmu silat dan kesaktian, dia bukanlah lawan Ki Jatoko atau Jokowanengpati!

Dalam perjalanan pulang ke pondok di Sarangan ini, sambil bergandeng tangan, Ki Jatoko berhasil memancing Ayu Candra menceritakan keadaannya. Gadis ayu yang sama sekali tidak menaruh curiga itu menceritakan bahwa ayahnya, Ki Adibroto, adalah seorang pendekar daerah Ponorogo yang terkenal, seorang "warok" golongan putih, yang tidak akan ragu-ragu untuk membasmi kejahatan. Dalam bercerita tentang ayahnya, Ayu Candra merasa bangga.

"Pantas saja engkaupun hebat sekali!" Ki Jatoko memuji. "Aku tadi merasa kagum dan heran ketika engkau memecah buah kelapa dengan tanganmu yang halus lunak ini. Kiranya engkau puteri seorang pendekar perkasa!"

Ayu Candra adalah seorang gadis yang masih hijau dalam pergaulan dan pengalaman. Ia tidak dapat membedakan antara bujuk rayu dan pujian sesungguhnya. Ia merasa bangga dan dengan kedua pipi kemerahan ia berkata,

"Ah, paman Jatoko, kau terlalu memuji. Kepandaianku tidak ada artinya kalau dibandingkah dengan ayah. Kau tunggulah sampai ayah pulang, tentu ayah akan menolongmu."

"Aku boleh tinggal bersamamu di pondok? Apakah ayah bundamu tidak akan marah?"

Ayu Candra masih bodoh. Belum begitu mendalam pengertiannya tentang tata susila antara pria dan wanita. ApaJagi, dalam pandang matanya, Ki Jatoko adalah seorang tua yang bercacad, pantas menjadi pamannya. Apa salahnya kalau mondok di rumahnya? Orang yang berpikiran bersih memang tidak ada syak wasangka yang bukan-bukan.

"Mengapa tidak boleh? Tentu saja mereka tidak akan marah! Siapa orangnya takkan menolong kalau melihat keadaanmu seperti ini?"

"Kau baik sekali.... kau baik sekali..... " Entah mengapa, Ki Jatoko menggigil seluruh tubuhnya dan biarpun ia berusaha menekan, tangan Ayu Candra yang menggandeng tangannya merasa betapa tangan laki-laki buntung itu tergetar. Hal ini dianggap oleh gadis itu sebagai perasaan terharu si laki-laki buntung yang merasa amat bersyukur dan berterima kasih. Ia menjadi makin kasihan.

Setibanya di pondok, Ayu Candra cepat menanak nasi dan memasak sayuran untuk Ki Jatoko yang duduk di lincak (bangku bambu) depan pondok. Setelah matang, gadis itu mempersilahkan tamunya dahar yang diterima dengan rasa syukur dan girang oleh Ki Jatoko. Malam itu Ki Jatoko bermalam di pondok. Akan tetapi ia menolak ketika oleh Ayu Candra ditawarkan bilik belakang.

"Tidak, anak manis, biarlah di sini saja di atas lincak ini cukuplah."

"Akan tetapi, di luar dingin sekali, paman. Pula, kalau malam nanti datang binatang buas, kan berbahaya?"

Di dalam hatinya, Ki Jatoko mentertawakan. Masa ia takut akan segala binatang buas? Akan tetapi mulutnya menjawab,

"Ah, kiranya tidak akan ada binatang buas yang doyan tubuhku lagi. Pula, biasanya binatang buas tidak berani mendekatl tempat tinggal manusia. Aku sudah biasa tidur di luar, mungkin kalau tidur di dalam pondok malah menjadi gelisah tak dapat tidur."

Ayu Candra tidak memaksa dan malam itu dia segera memasuki biliknya. Betapapun juga, tidak enak hatinya kalau malam-malam bercakap-cakap dengan laki-laki buntung itu, ia merasa canggung juga. Ia tidak tahu bahwa Ki Jatoko memang sengaja tidak mau tidur di dalam pondok karena ada niatnya. Di samping itu, laki-laki yang cerdik ini menjaga kalau-kalau orang tua gadis itu sewaktu waktu pulang. Jika pulang di waktu malam dan melihat dia sebagai seorang pria berani tidur sepondok dengan puteri mereka, tentu mereka akan marah dan menganggap dia tidak tahu aturan.

Sungguh dia polos, suci murni dan baik budi Demikian Ki Jatoko termenung memikirkan gadis ayu itu yang tanpa ragu-ragu mempersilahkan dia seorang laki-laki asing, untuk tidur di dalam pondok. Bagi umum, tentu hal ini dianggap pelanggaran susila, akan tetapi ia tahu betul bahwa gadis itu menawarkan pondok dengan hati bersih daripada segala pikiran yang bukan-bukan. Ki jatoko gelisah sekali. Sampai jauh malam ia tidak dapat tidur, hanya duduk merenung di atas lincak.

Bayangan wajah yang cantik jelita, bentuk tubuh yang ramping padat, keindahan dan keranuman usia muda, kulit tangan yang halus lunak dan hangat, semua ini menggoda hatinya, membangkltkan berahi yang makin berkobar. Apalagi kalau ia terkenang akan semua perbuatannya di masa lalu, membanding-bandingkan semua korbannya, yaitu wanita-wanita yang dimilikinya baik secara halus maupun kasar, secara suka rela maupun perkosaan, dalam kenangannya tidak ada yang dapat melawan Ayu Candra!

"Aku harus dapatkan dia! Harus! Matipun takkan penasaran lagi, setiap waktu matipun aku akan rela asal sudah mendapatkan dia. Ah, Ayu Candra bocah ayu denok, kau membikin aku tergila-gila "

Lanjut ke Jilid 066 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment