Ads

Thursday, January 3, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 066

◄◄◄◄ Kembali

Ki Jatoko lalu bersedakap dan matek aji sirep. Sejam kemudian, keadaan pondok dan sekelilingnya sunyi mati, tidak terdengar suara sedikitpun karena terkena pengaruh aji sirep yang ampuh. Ki Jatoko lalu meloncat turun dari lincak dan kini gerakannya amat gesit ketika ia membuka daun pintu pondok dan berjalan biasa menggunakan kedua kaki buntungnya. Berindap-indap ia menghampiri bilik tempat tidur Ayu Candra. Dari dalam bilik bersinar cahaya dian yang menyorot keluar menembus celah-celah anyamam bambu, menyinari wajah Ki Jatoko yang kelihatan mengerikan sekali. Wajah itu lebih buruk daripada biasanya. Kini berkilat-kilat basah oleh peluh, matanya agak kemerahan dan bersinar-sinar penuh nafsu berahi, mulutnya menyeringai basah, napasnya agak tersendat-sendat tertahan karena gelora nafsu asmara.

Dengan tangan gemetar didorongnya daun pintu bilik itu dan di lain saat ia sudah memasuki bilik. Seperti terpesona ia berdiri di ambang pintu. Dian itu kecil sumbunya. Api minyak kelapa itu kecil namun anteng dan membuat keadaan bilik remang-remang. Ayu Candra tampak tidur nyenyak. Rambut yang panjang gemuk dan hitam itu terurai, sebagian menutupi muka, tcrus terurai ke bawah menutupi dada, membuat kulit dada itu tampak makin putih halus di balik kehitaman rambut. Dada padat membusung itu bergerak perlahan naik turun seirama dengan napas yang halus dan tidak bersuara. Mata yang membuat bulu mata tampak panjang melengkung dan membuat bayang-bayang di bawah mata. Bibir yang merah membentuk gendewa terpentang itu mengulum senyum, manis mengalahkan sari madu. Tubuh yang padat, denok dan ramping, kelihatan panjang ketika tidur telentang. Lengan kiri dara itu ditekuk ke atas,
lengan kanan menyilang perut, seperti gerak tari yang amat indah gemulai. Ki Jatoko mengejapkan matanya, menggoyang-goyang kepala. Akan tetapi ketika memandang kembali, tetap saja ia menjadi seperti mabuk. Berkali-kali ia menelan ludah, tubuhnya makin menggigil, dan perlahan-lahan ia mendekati pembaringan.

"Ayu... Ayu Candra....... aduhhh alangkah cantik jelita engkau...... belum pernah kumelihat wanita secantik engkau,Ayu......!”

Ucapan ini tidak dibisikkannya, melainkan diucapkan. Akan tetapi Ayu Candra yang biasanya peka dan mudah bangun dari tidurnya setiap mendengar suara yang tidak sewajarnya, kini tetap pulas. Ternyata ia telah terkena pengaruh aji sirep yang ampuh tadi sehingga keadaannya seperti orang pingsan.

Jangankan hanya suara manusia, biar suara harimau mengaum dekat telinganya, ia takkan dapat bangun. Andaikata ia diseret turun dari atas pembaringan sekalipun, ia takkan dapat sadar!. Ki Jatoko kini sudah dekat, berdiri di pinggir pembaringan. Harum kembang mawar putih yang tersebar di atas pembaringan membuat ia sejenak memejamkan kedua matanya. Cuping hidungnya tergetar dan napasnya menjadi sesak. Ketika ia membuka matanya kembali, tampak matanya membasah. Keindahan yang tampak di depan matanya begitu mempesona, begitu memikat, begitu indah sampai mendatangkan rasa haru.

"Aduh, dewiku...... kalau engkau tidak membalas cintaku, aku tidak mau hidup lagi.....!”

Kedua tangan Ki Jatoko terulur, jari-jari tangannya tergetar, ia bergerak memeluk, hendak merangkul. Akan tetapi sebelum jari tangannya menyentuh kulit yang putih halus itu, tiba-tiba ia tersentak kaget dan menarik kembali tangannya.

"Duh Jagad Dewa Bathara! Gilakah aku? Ayu Candra....... bocah ayu kuning....... bagaimana aku dapat memperlakukannya seperti wanita-wanita lain? Bagaimana aku tega untuk memperkosanya? Tentu dia akan benci kepadaku! Tentu ia akan memandang rendah, akan mengutukku, memusuhiku. Ahhh... tidak boleh begini! Jokowanengpati, engkau sudah gila! Gadis ini benar-benar telah menjatuhkan hatiku. Aku aku cinta kepadanya, tidak boleh ia membenciku. Aduh,..... Ayu Candra........ engkau maafkan aku, nimas! Aku tidak tega memaksamu, aku akan menanti sampai engkau dengan suka rela menyerahkan diri kepadaku, membalas cinta kasihku.......!!”

Lemaslah kedua kaki yang tinggal paha itu dan Ki Jatoko hanya berani mencium ujung rambut yang terurai keluar dari pembaringan. Kemudian dengan pipi basah air mata ia keluar lagi dari bilik menutupkan pintu dan merebahkan diri di atas lincak di depan pondok. Ia gelisah tak dapat tidur, mengeluh panjang pendek, dan akhirnya baru bisa pulas menjelang fajar.

Cinta memang perasaan ajaib. Akibat daripada cintapun banyak macamnya dan aneh-aneh. Orang merasa dirinya dalam surga dunia karena cinta. Akan tetapi dapat juga merasa dirinya dalam neraka dunia karena cinta. Cinta ditempeli nafsu berahi membuat orang lupa akan tata susila. Cinta dicampur cemburu dapat membuat orang menjadi kejam dan suka menyiksa. Cinta dapat merubah seorang baik-baik menjadi seorang yang jahat dan keji. Sebaliknya cinta dapat pula merubah seorang yang biasanya jahat menjadi seorang yang baik dan setia terhadap orang yang dicintainya. Cinta mampu merubah watak domba menjadi watak harimau, sebaliknya watak harimau dirubah menjadi watak domba.

Ayu Candra bangun dari tidurnya, bangkit dengan malas, menggeliat dan menguap di belakang kepalan tangannya. Ia merasa tubuhnya segar. Enak sekali tidurnya malam tadi. Akan tetapi....... tiba-tiba ia mengerutkan alisnya yang hitam melengkung. Ia bermimpi malam tadi! Mimpi aneh sekali, dan tiba-tiba ia menggerakkan kedua pundaknya yang telanjang seperti orang jijik. Ia mimpi menggandeng tangan Ki Jatoko seperti kemarin akan tetapi tiba-tiba Ki Jatoko mencium ujung jarinya. Ketika dilepaskan pegangannya, tangan yang dicium itu menjadi busuk dan rusak, seperti orang saklt kusta dan makin lama penyakit itu menjalar makin ke atas, makan jarinya, tangannya, lengannya!

"Ihhh........! Gila, menjijikkan!"

la melompat turun dari pembaringan dan mencoba untuk menghibur diri dengan keyakinan bahwa hal itu hanya terjadi dalam mimpi. Akan tetapi hatinya tetap tidak enak, seakan-akan ada kotoran yang hinggap pada tubuhnya dan harus segera dibersihkan!.

Di luar pondok, ayam hutan terdengar berkokok saling sahut. Memang sudah biasa dara ini bangun pagi-pagi sekali. Bangun pagi di waktu ayam berkokok menyehatkan dan menyegarkan badan. Ia lalu meniup padam dian di atas meja, dan berjalan keluar dari bilik. Hati-hati ia membuka pintu depan dan ketika menjenguk keluar, ia melihat Ki Jatoko masih tidur meringkuk di atas lincak. Kelihatan pendek sekali. Mulutnya terbuka dan dengkurnya kasar. Ayu Candra bergidik teringat akan mimpinya semalam.

Makin tak enak perasaan hatinya setelah melihat orang yang kakinya buntung itu tidur mendengkur di atas lincak. Benar menjijikkan sekali. Karena keadaan si buntung itu tidak menderita seperti siang tadi, rasa kasihan menipis di hatinya dan rasa jijik timbul. Sialan, pikirnya. Mimpi saja kok macam itu. Ia jarang sekali mimpi dan mimpi yang sekali ini benar-benar membuat ia tak tenang jiwanya. Ia menutup daun pintu depan lalu melangkah keluar dan ccpat-cepat ia berlari menuju ke telaga. la sengaja jalan memutar dan memilih bagian yang jauh dari pondoknya, yang sunyi dan memang bagian ini menjadi tempat ia mencuci pakaian dan mandi. Bagian ini airnya paling bersih.

Sampai tempat itu, ia duduk di atas batu yang bersih licin. Duduk termenung. Mengapa ayah bundanya lama amat perginya? Kalau mereka pulang, tentu hatinya akan tenteram. Kini teringat ia betapa sepasang mata orang buntung itu seperti mata setan. Aneh sekali, pikirnya. Orang buntung yang sengsara dan lemah itu memiliki sepasang mata yang memancarkan cahaya aneh dan begitu kuatnya, seakan-akan mampu menjenguk isi hatinya. Mata seperti itu sepatutnya dimiliki seorang yang sakti! Ada persamaan dengan sinar mata ayahnya, hanya kalau sinar mata ayahnya yang tajam itu mengandung kelembutan dan ketenangan, adalah mata orang buntung ini juga tajam akan tetapi mengandung sesuatu yang aneh dan liar tidak tenang.

Ayu Candra tidak segera turun keair. Hari masih terlalu pagi, dan hawa udara amat dingin. Biasanya, ia baru berani terjun ke air kalau matahari sudah muncul sehingga begitu selesai mandi ia dapat berjemur menghangatkan tubuh dan mengeringkan rambut. Apalagi sekarang karena tergesa-gesa hendak segera meninggalkan pondok dan orang buntung itu, ia teiah kelupaan membawa kain pengganti.

Ibunya melarangnya mandi bertelanjang, kecuali di waktu malam gelap. Banyak mata laki-laki kurang ajar, kata ibunya. Pernah dibantahnya bahwa di telaga tidak ada orang lain. Siapa tahu, kata ibunya. Di mana-mana dalam dunia ini akan kau jumpai laki-laki kurang ajar yang suka mengintai wanita mandi, apalagi kalau mandi bertelanjang, kata pula ibunya. Ia teringat akan laki-laki buntung.

Apakah mata laki-laki itupun mata kurang ajar? Ayu Candra belum mampu membedakan dengan jelas. Pernah ketika di Ponorogo dahulu, ketika ia pulang dari pasar, lima orang pemuda berandalan menggodanya dengan ucapan ucapan kasar, bahkan tangan mereka berlancang hendak menjamahnya. Mula-mula Ayu Candra melayani mereka bicara, akan tetapi setelah tangan mereka mulai jahil, ia mengeluarkan kepandaiannya dan membuat mereka berlima berjungkir balik dan babak belur. Mulailah ia dikenal orang dan tak seorangpun pemuda berani berkurang ajar kepadanya. Apalagi setelah orang tahu bahwa dia puteri pendekar Adibroto!.

Kalau teringat kepada Ki Jatoko dan mimpinya semalam, Ayu Candra masih merasa jijik dan merasa seakan-akan tubuhnya menjadi kotor. Ia bangkit dari duduknya dan mencari daun pandan dan bunga-bungaan karena ia hendak keramas. Kalau hanya mandi biasa tanpa keramas, ia takkan merasa dirinya bersih kembali. Sementara itu, matahari sudah mulai menyinarkan cahayanya yang lembut dan kemerahan.

Lama juga gadis ini duduk termenung tadi. Ayu Candra sama sekali tidak tahu bahwa ketika sedang memetik daun pandan dan bunga-bunga mawar, sepasang mata yang baru bangun tidur menatapnya dari atas sebatang pohon yang besar. Mata itu mula-mula terbuka kaget dan bangun dari tidur ketika Ayu Candra menginjak daun-daun kering, kemudian terbelalak memandang ke bawah, lalu ketap-ketip (berkejap-kejap) dan tangannya menggaruk-garuk kepala, menggosok-gosok kedua mata yang masih sepet, memandang kembali dan sekali lagi melongo.

"Mimpikah aku? Gila benar, ada mimpi begini jelas?"

Tangan itu kini mencubit pahanya sendiri dan mulutnya menyeringai ketika ia merasa nyeri. Ketika memandang ke bawah lagi, ia melihat dara jelita itu yang sudah selesai memetik bunga, kini berjalan pergi. Lenggang yang seenaknya tak dibuat-buat itu seakan-akan mempunyai daya tarik dan membetot-Betot hati laki-laki yang rebah di atas batang pohon besar. Ia bangkit dan duduk di atas cabang pohon, matanya terbelalak memandang pinggul yang menari-nari itu.

"Bukan mimpi! Dia itu peri penjaga hutan atau peri telaga yang kesiangan! Atau bidadari kahyangan hendak mandi! Kalau manusia tak mungkin. Bagaimana seorang dara remaja berada seorang diri dihutan sunyi dan liar ini? Dan kalau manusia tidak ada yang sedemikian eloknya, wajahnya bersinar-sinar seperti mengeluarkan cahaya keemasan, rambutnya seperti awan hitam berarak, kakinya begitu ringan tak menyentuh bumi! Aduh Gusti, benar-benarkah aku melihat bidadari?"

Laki-laki itu menyingkap rambut yang turun ke dahi itu, lalu sekali menggerakkan tubuh ia telah melayang turun dari pohon. Gerakannya amat ringan dan sigap, kedua kakinya menginjak tanah tanpa mengeluarkan suara! Dia seorang laki-laki yang masih amat muda, bertubuh sedang dengan bentuk tegap kuat, wajahnya tampan. Akan tetapi pada saat itu sinar matanya yang tajam berpengaruh itu diselimuti kebingungan yang timbul dari hati yang berdebar-debar. Dengan gerakan yang amat gesit namun sama sekali tidak mengeluarkan suara, ia mengejar ke depan dan mengikuti Ayu Chandra yang berjalan dengan lenggang sewajarnya menuju ke pinggir telaga.

Sinar matahari pagi disambut keriangan burung yang berkicau merdu, tanda bahwa permukaan bumi mulai bangun untuk menyambut kemegahan sang surya. Keadaan yang indah ini agaknya mempengaruhi hati Ayu Candra karena mulutnya mulai tersenyum-senyum, wajahnya berseri dan ia lalu bersenandung.

"Ana pandhita akarya wangsit,
minda kumbang angajab ing tawang,
susuh angin ngendi nggone,
lawan galihing kangkung,
wekasane langit jaladri,
Isining wulung wungwang,
lan gigiring punglu,
tapaking kuntul anglayang,
manuk miber uluke ngurgkuli langit,
kusuma jrahing tawang."

Pemuda yang mengikuti dari belakang itu melongo. Aduhh, pikirnya, tentu bidadari kahyangan. Kalau seorang gadis gunung biasa tak mungkin bertembang seperti itu! Suaranya merdu melebihi burung kenari. Tembang Dandanggendis itu tepat dan indah alunannya seperti nyanyian waranggana istana saja. Dan kata-katanya Mengandung makna yang amat dalam, penuh filsalat kebatinan yang hebat!

Selama hidupnya, baru kali ini Joko Wandiro terpesona oleh seorang wanita. Ya! Pemuda itu bukan lain adalah Joko Wandiro. Setelah ia gagal mengabdi kepada Sang Prabu Panjalu, kemudian di alun-alun kerajaan itu ia berhasil mengalahkan dan mengusir Ni Durgogini dan Ni Nogogini, Joko Wandiro lalu meninggalkan Kerajaan Panjalu. Ia terus mengembara ke barat karena tujuan hatinya adalah mencari ayah angkatnya dan bibinya di Bayuwismo pantai Laut Selatan. Ia melakukan perjalanan seenaknya, melalui gunung-gunung sambil menikmati pemandangan alam yang indah sehingga akhirnya ia sampai di lereng Gunung Lawu dan bermalan di sebuah hutan tidak jauh dari Telaga Sarangan.

Perjumpaannya dengan Ayu Candra benar-benar tak disangkanya sama sekali. Tidak pernah ia menyangka bahwa di tempat sunyi ini tinggal seorang gadis jelita seorang diri sehingga mau ia percaya bahwa gadis itu tentulah sebangsa bidadari penghuni kahyangan. Biarpun Joko Wandiro semenjak kecil digembleng oleh orang-orang pandai, memiliki batin yang amat kuat, namun ia seorang manusia juga. Manusia laki-laki yang masih muda, baru berusia dua puluh tahun kurang. Sebagai seorang manusia biasa, tentu saja iapun mempunyai perasaan wajar terhadap wanita, teristimewa kepala wanita yang memiliki daya penarik khas terhadap perasaan dan seleranya. Joko Wandiro bukanlah seorang laki-laki mata keranjang, dan biasanya hatinya acuh tak acuh apabiia ia bertemu dengan wanita muda. Memang setelah dewasa, ia dapat menilai akan cantik tidakhya seorang wanita, namun belum pernah ia merasa tertarik dan boleh dikatakan hatinya selalu dingin.terhadap mahluk jenis lawan ini.

Akan tetapi sekali ini lain sama sekali. Begitu melihat Ayu Candra, ia terpesona, jantungnya berdebar-debar tidak karuan dan semangatnya serasa melayang layang. Tidak ada hasrat lain di hatinya kecuali mengikuti ke manapun juga dara itu pergi! Seperti, seorang linglung kini ia berindap-indap dan mengikuti dara itu yang menuju ke pinggir telaga sambil bertembang amat merdunya.

Ayu Candra tidak tahu bahwa dirinya diikuti dan diperhatikan orang. Ia lalu turun ke dalam air, terus ke depan di mana air sampai di pinggangnya. Amat sejuk dan segar. Ia menyelam tiga kali lalu menggosok-gosokkan daun pandan dan bunga-bungaan kepada rambutnya yang terurai basah. Rambut yang hitam gemuk panjang itu mengkilap tertimpa sinar matanari pagi dan kulit yang putih menguning itu seperti kencana muda.

Joko Wandiro berindap-indap mendekat pantai. Seperti mimpi ia terus mendekat sampai berada di tepi pantai, hanya beberapa meter jauhnya dari gadis itu, lalu bersimpuh di atas rumput. Kini ia tidak bersembunyi lagi, melainkan duduk menonton di tepi telaga seperti orang tak sadar akan keadaan dirinya. Terpesona ia memandang ke depan, melihat tubuh belakang dara itu. Kain yang basah itu menempel ketat dan mencetak tubuh belakang yang ramping, padat dan gempal. Di bagian pinggul, kain itu seakan-akan hendak pecah, tidak kuat menahan gumpalan daging yang menonjol haus akan kebebasan.

Ketika kedua tangan dara itu bergerak-gerak mulai menggosok leher dan dadanya, dari belakang tampak tulang belikatnya bergerakgerak, membuat punggung yang halus itu bergerak-gerak pula seperti menari. Melihat semua keindahan yang selama hidupnya baru kali ini mengikat perhatiannya, Joko Wandiro menahan napas. Pandang mata manusia mengandung getaran-getaran yang kuat, apalagi kalau pandang mata itu didorong perasaan. Juga manusia diperlengkapi alat-alat halus untuk menerima getaran ini, menangkap dengan indera ke enam. Makin bersih batin manusia, makin kuat indera ke enam ini sehingga membuat ia mungkin menerima getaran-getaran yang paling halus, memungkinkan ia melihat yang tak terlihat mata, mendengar yang tak terdengar telinga.

Ayu Candra yang tadi sedang tenggelam dalam lamunannya sendiri, sampai-sampai tidak memperhatikan getaran-getaran halus yang semenjak tadi menyerangnya, kini mulai merasakan getaran itu dan membuatnya melakukan gerak otomatis membalikkan tubuhnya secara tiba-tiba ke belakang. Dua pasang mata bertemu pandang. Dua pasang mata yang bersinar sama tajam, penuh getaran. Sampai lama dua pasang mata itu bergelut pandang, yang satu terpesona yang ke dua kaget dan heran. Menyaksikan tubuh dara itu dari belakang sudah hebat, kini menatapnya dari depan, benar-benar menakjubkan, membuat kerongkongan Joko Wandiro serasa kering tercekik sehingga terpaksa ia berusaha menelan ludah. Kemudian, terdorong oleh keharuan dan perasaan kagum terpikat yang sukar dilukiskan dengan kta-kata, terdorong pula oleh rasa kesadaran bahwa ia telah bersikap tidak sebagaimana mestinya dan melakukan pelanggaran susila yang semenjak ia kecil sudah digariskan oleh guru-gurunya, mendadak Joko Wandiro menunduk dan menyembah!

"Duh sang dewi, hamba mohon ampun akan kelancangan hamba, berani menjatuhkan pandang mata terhadap paduka."

Sejenak Ayu Candra tertegun. Sinar kemarahan yang mulai menyelubungi mukanya, perlahan-lahan lenyap, berganti keheranan, tidak mengerti, kemudian setelah sikap pemuda yang amat aneh itu dapat ia duga maksudnya, ia tersenyum lebar dan menutupkan tangan kiri ke depan mulut menahan ketawa geli.

"Hi-hi-hik! Kau sangka aku ini dewi penjaga telaga? Hi-hik!"

Joko Wandiro mengangkat muka memandang dan hamper saja ia terjungkal ke dalam telaga! Setelah kini tersenyum, wajah itu makin hebat! Dan dara itu tertawa dan mengeluarkan kata-kata, ia menjadi sadar akan keadaannya yang tidak sewajarnya, menyeretnya kembali kealam dunia dari alam mimpi. Seketika wajahnya menjadi kemerahan dan rasa malu membuat mukanya terasa dingin panas tidak keruan! Ia hanya bisa memandang dengan mulut melongo dan hal ini kembali mendatangkan kemarahan di hati Ayu Candra karena kembali timbul prasangka bahwa pemuda itu tentu mengintainya dengan sengaja untuk bersikap kurang ajar

"Heh! mau Apa kau di situ? Kau mau mengintai orang mandi, ya? Kurang ajar......!”

Joko Wandiro yang telah sadar bahwa ia berhadapan dengan seorang manusia, seorang dara jelita, seakan-akan disiram air dingin. Ia gelagapan, bingung, malu dan gugup. Jelas tertekan dalam benaknya betapa ia telah berlaku terlalu kurang ajar, melanggar tata susila. Dengan gagap-gugup ia menyangkal,

"Tidak........ tidak.......! Aku tidak berniat kurang ajar.....!”

Diam-diam Ayu Candra memperhatikan pemuda itu dan iapun kagum. Pemuda ini amat tampan dan muka seperti itu tak mungkin kurang ajar! Akan tetapi dengan mulut cemberut ia mendesak,

"Kalau tidak mau kurang ajar, mau Apa kau di sini?"

"Aku mau..... mau mandi.........!"

Ayu Candra membentak,
"Mana ada orang mandi di darat?"

"........ aku........ belum........sekarang juga...... mandi........"

Dengan gagap dan gugup Joko Wandiro yang hendak menyembunyikan rasa rnalunya itu bangkit dan segera pergi ke sebelah kanan, terpisah sepuluh meter dari tempat dara itu mandi, kemudian ia melompat ke air tanpa membuka pakaian pula!.

"Eeeeeeh, awas di situ amat dalam....!”

Ayu Candra menjerit kaget, akan tetapi sudah terlambat, pemuda itu sudah ambyur ke air sehingga air muncrat tinggi ketika terdengar suara menjebur. Tubuh pemuda itu tenggelam dan tak tampak lagi sampai permukaan air menjadi tenang kembali dan hanya tampak air berbunyi blekutuk-blekutuk karena ada hawa naik dari bawah.

"Celaka........!” Ayu Candra berseru kaget Melihat cara pemuda tadi terjun ke air, begitu kaku dan dengan perut lebih dulu, dapat diduga bahwa pemuda itu tidak pandai berenang, kini ternyata pemuda itu tenggelam dan tidak muncul kembali!

Gerak gerik pemuda tadi amat aneh. Kalau bukan orang yang miring otaknya tentu orang yang mempunyai penyakit ayan! Menurut ayahnya, penyakit ini hebat sekali dan kabarnya orang yang mempunyai penyakit ayan sama sekali tidak boleh dekat air yang dalam karena sekali tergelihcir ke dalam air di waktu penyakitnya kumat, orang itu tentu akan mati! Teringat akan hal ini, bangkit sikap pendekar dalam diri Ayu Candra. Bagian di mana pemuda tadi terjun amat dalam, kata ayahnya dalamnya setinggi pohon bambu tua! Ia lalu berenang ke depan, ke bagian telaga yang dalam di mana pemuda tadi terjun, kemudian mengambil napas panjang dan menyelam.

Dengan gerakan kedua kakinya disertai tenaga dalam yang amat kuat, Ayu Candra terus menyelam. Ia membuka mata di dalam air dan untung baginya bahwa sinar matahari ada yang menimpa bagian itu dan air amat jernih sehingga ia dapat melihat ke bawah. Tidak jauh di sebelah bawah ia melihat benda hitam bergerak-gerak. Tidak salah lagi, tentulah itu pemuda yang gendeng tadi, atau mungkin sedang sekarat karena penyakit ayannya kumat. Dengan gerakan kaki dan tangan, Ayu Candra menyelam terus dan setelah dekat, benar saja ia melihat bayangan kepala orang. Menolong orang kalap (tenggelam di air) sekali-kali tidak boleh sembrono, pikirnya, teringat akan nasehat ayahnya. Kalau yang ditolong itu saking takutnya merangkul dan memeluk mencari pegangan, bisa celaka pula orang yang berusaha menolong. Harus dijambak rambutnya, atau dibikin tak berdaya, atau dipukul sekali biar pingsan!.

Ayu Candra meragu. Untuk menempiling kepala itu ia khawatir kalau-kalau pukulannya terlalu keras dan yang dipukul akan mampus sama sekali! Ketika tangannya meraih ke depan, jari-jari tangannya mencengkeram muka dan menangkap hidung. Ia merasa betapa muka itu hangat dan dari hidungnya keluar hawa yang menimbulkan gelembung-gelembung air, maka ia cepat merangkul leher orang itu dan memiting (menjepit) dengan lengan erat erat. Kalau ia meronta dan hendak mencengkeram, kuperkeras jepitanku pada lehernya, hendak kulihat apakah ia takkan tercekik pingsan, pikirnya.

Dengan lengan kiri memiting leher, Ayu Candra lalu menjejakkan kedua kaki bergantian ke bawah dan tangan kanannya membantu. Memang hebat tenaga dalam dara ini sehingga dalam waktu singkat, kepalanya sudah tersembul keluar dari permukaan air. Ia mengguncang-guncang kepala dan menghapus air dari muka dengan tangan kanan, kemudian melihat sejenak ke arah yang menempel di dadanya.

Orang yang dipiting lehernya itu matanya meram, napasnya terengah-engah akan tetapi tidak mati. Ayu Candra lalu berenang ke pinggir dan sctelah tiba di pinggir, di tempat dangkal, ia melepaskan pitingannya dan menyeret orang itu dengan mencengkeram leher bajunya, menariknya ke darat. Akan tetapi, perut orang itu sama sekali tidak kembung, tidak terisi air seperti biasanya orang yang tenggelam. Bahkan begitu sampai di darat, pemuda itu membuka matanya dan bangkit duduk! Matanya terbelalak lebar, mukanya kemerahan dan pemuda itu memandangnya dengan bengong.

Ayu Candra melihat arah pandang mata pemuda itu ditujukan ke dadanya. Cepat ia menunduk dan hampir ia menjerit ketika melihat betapa kainnya telah merosot turun sampai ke pinggang membuka bagian dadanya yang hanya sebagian tertutup rambutnya. Secepat kilat tangan kirinya menarik kainnya ke atas dan tangan kanannya menampar.

"Plakk!!"

Tamparan itu keras sekali dan diam-diam Joko Wandiro kaget bukan main. Tidak disangkanya dara ini memiliki tenaga yang demikian hebatnya. Untung dia memiliki kesaktian, kalau orang biasa menerima tamparan sehebat itu, tentu akan rontok giginya! Akan tetapi, karena tidak menyangka-nyangka sehingga ia tidak mengerahkan tenaga, untuk menerima tamparan, pipinya terasa panas dan perih juga. Joko Wandiro mengangkat tangannya, mengusap-usap pipinya yang kena tampar. Ia tidak tahu bahwa dara itu lebih terkejut dan lebih heran daripadanya. Ayu Candra merasa kaget melihat betapa pemuda yang disangkanya gendeng (setengah gila) atau berpenyakit ayan itu menerima tamparannya seperti orang yang pipinya dihinggapi lalat saja agaknya! Padahal tadi karena malu dan marah ia telah melakukan penamparan yang cukup keras untuk membikin gigi rontok bibir pecah Ataukah tanpa disadarinya ia merasa kasihan dan menampar tidak sekeras yang ia kehendaki semula?

Kini Joko Wandiro sudah dapat menentramkan hatinya kembali. Agaknya tamparan tadi mengusir semua sisa kegugupan dan kecanggungan yang masih ada di hatinya. Akan tetapi kalau teringat akan penglihatan yang baru saja terbentang di depan matanya, ia merasa ubun-ubun kepalanya berdenyut-denyut dan kedua pipinya terasa panas. Kini ia bangkit berdiri dan berkata,

"Sungguh aku tidak mengerti sama sekali mengapa engkau begini marah kepadaku. Sudah kuakui kesalahanku tadi yang tidak sengaja datang ke tempat ini dan mendapatkan kau sedang berjalan seorang diri lalu mandi. Aku sudah minta maaf dan akupun hendak mandi, sudah menjauhimu dan..... "

"Cerewet! Kau orang tak kenal budi, tak tahu terima kasih dan mata keranjang!" Ayu Candra berkata marah sekali.

Joko Wandiro menekan jantungnya yang berdebar keras. Bukan main! Marah-marah malah bertambah manisnya. Heran ia mengapa hatinya berhal demikian. Mengapa ia kini sekali bertemu tergila-gila kepada seorang wanita? Apakah ini yang namanya mata keranjang?

"Benar mata keranjang!" Joko Wandiro menampar kepalanya dan ia kaget sendiri karena kata-kata dan gerakannya ini di luar kehendaknya. Saking kerasnya berpikir, ia sampai mengeluarkan suara hati melalui mulutnya tanpa disadarinya.

"Apa........kau bilang...... ?"

Ayu Candra bertanya dengan mata terbelalak lebar, memandang penuh perhatian. Tidak salah lagi. Orang ini otaknya miring! Sayang sekali, muda belia yang tampan sekali ini, yang memiliki sifat gagah juga karena ditampar sama sekali tidak mengeluh, ternyata tidak beres ingatannya. Tentu saja Joko Wandiro makin gagap.

"Ku..... kumaksudkan..... eh, biarpun mata..... eh, sama sekali tidak mata keranjang, tapi aku.....aku bukan tidak mengenal budi dan sama sekali tidak berniat kurang ajar, dan...." berhenti dan bingung sendiri.

Mata gadis itu yang membingungkannya. Matanya begitu lebar, begitu jernih, begitu indah.
"Apa? Engkau hampir mampus di kedung itu, susah payah aku menolongmu. Akan tetapi kau......kau memandang...... dengan mata melotot! Apa itu namanya tahu terima kasih, mengenal budi? Apa itu namanya tidak mata keranjang dan kurang ajar?"

"Memandang........ ? Melotot....... ?"

"Ya! Biji matamu tadi hampir terloncat keluar, melotot memandang....... memandang........ hemm, ini!"

Ayu Candra menuding ke arah dadanya dan tiba-tiba pipinya menjadi merah sekali. Kedua pipi Joko Wandiro lebih merah daripada pipi dara itu. Ia menundukkan mukanya dan menjawab,

"Bu..... bukan aku yang menyebabkan kain....... merosot."

"Tentu saja, akan tetapi matamu memandang!"

Joko Wandiro menjadi penasaran juga. Gadis ini hebat, cantik jelita dan menarik, akan tetapi terlalu galak dan mau menang sendiri.

"Aku tidak sengaja memandang, habis............................ di depan mata sih. Dan lagi, untuk Apa punya mata kalau tidak untuk memandang? Kalau aku tahu bakal menjadikanmu marah, aku lebih senang meramkan mataku tadi. Kaukira aku ini begitu ceriwis untuk memandangi.... anu orang?"

Diserang begini, Ayu Candra kewalahan. Bagaimanapun juga, pemuda itu tak dapat dipersalahkan karena begitu membuka mata melihat dadanya terbuka di depannya.

"Mata sih boleh dipakai memandang, tapi kau memandang sampai melotot!"

Wah benar-benar dara yang mau menang sendiri.
"Kuharap engkau sekali lagi suka maafkan aku. Sesungguhnya, ketika kau berada di hutan sana tadi, aku menjadi amat heran dan kaget melihat betapa seorang dara berada di tempat sesunyi ini sendirian saja. Sungguh mati, aku menyangka kau bukan manusia, sebangsa peri atau bidadari kahyangan, maka scperti orang bermimpi aku mengikutimu sampaai di sini. Kau lalu mandi dan aku...... aku menjadi gugup ketika kau tegur. Akupun hendak mandi... "

"Gila! Mana ada orang mandi berpakaian lengkap begitu, langsung terjun tanpa melihat air itu dalam atau tidak? Nyaris engkau mampus!"

"Hemm, agaknya ada salah pengertian di sini. Aku tadi sudah minta maaf, akan tetapi mengapa engkau tidak membiarkan aku mandi dengan aman? Aku sudah menjauhimu akan tetapi engkau malah mendekat, menyusul ke bawah air dan dengan sewenang-wenang engkau memiting leherku sampai hampir patah, menyeretku ke darat. Belum juga kutegur perbuatanmu ini, baru saja mataku kubuka, kau sudah menamparku. Coba, kalau perbuatanmu terhadapku ini tidak sewenang-wenang, Apa namanya?"

Ayu Candra membelalakkan matanya lagi dan kembali Joko Wandiro merasa jantungnya jungkir balik. Celaka, pikirnya sambil mengalihkan pandang agar ia jangan menentang mata yang sedemikian indahnya. Kalau terlalu sering ia membelalakkan matanya, aku akan gila, pikimya

"Jadi kau..... kau tidak gendeng....... ?"

"Gendeng..... ?!?" Joko Wandiro berteriak kaget.

"Ya, gendeng, begini.......!” Ayu Candra menaruh telunjuk di depan dahi, melintang. Aih, aih....... orang ini terlalu amat, pikir Joko Wandiro dan kini ia yang melototkan matanya.

"Kukira engkau tadi gendeng atau setidaknya mempunyai penyakit ayan "

Lanjut ke Jilid 067 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment