Ads

Thursday, January 3, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 067

◄◄◄◄ Kembali

"Ayan...... ? Aku....... , ayan....... ?!?"

Cuping hidung Joko Wandiro mulai kembang-kempis. Dara ini benar-benar lancang mulut. Terlalu amat sangat melewati ukuran! Melanggar batas Kesabarannya.

"Kau jangan main-main, memaki orang seenak perut sendiri saja!" ia balas menghardik.

"Habis engkau yang bikin orang mendongkol! Kalau tidak gendeng tidak ayan, kenapa pura-pura tenggelam?"

"Siapa yang pura-pura? Memang aku menyelam. Kau kira hanya kau seorang di dunia ini yang pandai berenang dan menyelam? Hayo kita bertaruh, kita berlumba renang atau kuat-kuatan menyelam!" Joko Wandiro menantang.

Akan tetapi Ayu Candra tidak memperhatikan tantangannya. Dara ini agaknya teringat akan sesuatu dan kembali matanya terbelalak. Aduh, jangan lagi! Joko Wandiro mengeluh dalam hati dan mengalihkan pandang.

"Kalau begitu..... ketika kau kutolong tadi, ketika kurangkul............ "

"Maksudmu kaupiting sampai leherku hampir patah tadi?"

"Ketika itu..... engkau...... tidak pingsan?"

"Siapa bilang pingsan! Baru enak-enak menyelam kauseret saja aku!"

"Kenapa kau pura-pura pingsan? Kenapa kau diam saja? Kau sengaja, ya? Kau mempergunakan kesempatan selagi aku salah menduga kau tenggelam, kau membiarkan lehermu kurangkul.... mukamu...... kudekap.....kau, manusia kurang ajar!"

Ayu Candra kini marah sama sekali dan ia sudah menerjang dengan kedua tangan dikepal. Melihat kedudukan dara ini memasang kuda-kuda, kembali Joko Wandiro terkejut. Agaknya dara ini selain cantik jelita dan mau menang sendiri, juga memiliki kepandaian pula.

"Eh, eh........ sabar dulu! Jangan mau menang sendiri dan jangan kukuh akan kebenaran sendiri. Kau memiting leherku erat-erat sampai hampir tercekik. Aku berada dalam air ketika kau tiba-tiba memitingku. Habis Apa yang harus kulakukan ketika itu? Apakah aku harus memberontak dan melawanmu? Kalau kulakukan itu, tentu kita berdua akan celaka. Apakah harus berteriak? Di dalam air mana dapat? Kau sendiri yang salah, tanpa periksa lebih dulu tahu-tahu menjatuhkan dugaan aku orang edan atau orang ayan yang akan mampus tenggelam. Maksud hatimu memang mulia akan tetapi pelaksanaannya yang keliru. Betapapun juga, kau telah bermaksud menolong nyawaku dan untuk itu biarlah aku memaafkan maki-makianmu tadi dan aku menghaturkan banyak terima kasih."

"Kau bisa saja membela diri. Lidah memang tak bertulang!"

"Kalau lidah bertulang, tentu sukar bergerak dalam mulut," Joko Wandiro membantah karena merasa jengkel juga.

"Kau tidak meronta dan berteriak di dalam air siapa peduli? Akan tetapi ketika sudah tersembul di atas permukaan air, mengapa kau masih enak-enak saja, pura-pura memejamkan matamu?? Hayo jawab, bukankah ini kau sengaja menyalahgunakan pertolongan orang untuk melakukan penghinaan?"

Joko Wandiro menarik napas panjang.
"Agaknya kau berkeras hati untuk memaksa aku mengaku kurang ajar. Apa boleh buat, engkau sudah menamparku, biarlah aku berterus terang. Ketahuilah, ketika kita tersembul di permukaan air, aku memang membuka mata. Baru kuketahui bahwa aku hemm bahwa mukaku tadi ah, bagaimana ini, terus terang saja, aku tidak berani membuka mata atau membuka suara. Aku terlalu bingung, terlalu...... ngeri!! Ah, sudahlah. Aku jadi bingung kau desak-desak. Apakah kau tidak mau memaafkan aku?"

Sejenak Ayu Candra membuang muka dengan mulut cemberut. Apa yang harus ia lakukan terhadap pemuda ini?

"Engkau menggigil. Berdiri di sini dengan kain basah tertiup angin dingin, bisa masuk angin. Pulanglah, kalau engkau punya rumah, dan jangan pikir lagi. Aku bersedia minta maaf dan biarlah kuakui lagi kesalahanku."

Suara Joko Wandiro kini amat halus dan penuh kesabaran, jelas ia mengalah. Ayu Candra mengangkat muka memandang. Kini wajah pemuda itu amat tampan dan ia heran melihat pandang mata yang demlkian tajam, seperti mata harimau.

"Aku sudah biasa dengan hawa dingin, tidak apa-apa. Engkau malah yang bisa sakit demam, pakaianmu basah kuyup."

Joko Wandiro tersenyum, girang hatinya. Agaknya dara ini tidak segalak yang ia sangka tadi. Mungkin tadi galak terdorong rasa malunya.

"Akupun sudah biasa melawan hawa dingin atau panas. Engkau baik sekali, dan terima kasih atas kemurahan hatimu yang suka memaafkan aku!”

"Hemm,siapa yang bilang aku sudah memaafkanmu, habis...... ada Apa?"

"Tidak apa-apa, hanya setelah kita berjumpa secara kebetulan di sini dan sudah lama juga bercakap-cakap, kalau boleh, aku ingin mengetahui siapa anda ini dan di mana tempat tinggalmu?"

"Namaku Ayu Candra, tempat tinggalku di sana, tak jauh dari tempat ini. Ayah ibuku sedang pergi, aku sendirian saja di pondok, akan tetapi ada...... "

Tiba-tiba Ayu Candra menahan kata-katanya. Cuping hidungnya bergerak sediklt. Ia mencium bau wengur, bau seekor harimau berada dekat tempat itu! Ia terkejut, akan tetapi bersikap tenang kembali. Malu kalau memperlihatkan kekagetannya. Pula ia meragu apakah ia harus bercerita sebanyak itu tentang dirinya? Mengapa ia mendadak menaruh kepercayaan yang mendalam kepada pemuda ini yang tadinya ia anggap seorang laki-laki kurang ajar?

"Ada Apa? Mengapa tidak kaulanjutkan?" Joko Wandiro mendesak.

"Tidak ada apa-apa lagi, sudah cukup keteranganku. Kau sendiri, kau orang dari manakah dan di mana tempat tinggalmu?"

Joko Wandiro menarik napas panjang, memandang wajah gadis itu dan sikapnya seolah-olah ia tidak mendengar pertanyaannya. Bukannya menjawab pertanyaan orang, ia melainkan berkata lirih seperti orang melamun,

"Ayu Candra.... bukan main indahnya nama ini....... memang ayu seperti candra (bulan) "

"Hishh! Ditanya tidak menjawab malah ngaco.........!" Ayu Candra menghardik dan mukanya menjadi merah sekali namun jantungnya berdebar girang!

"O ya , aku tidak punya tempat tinggal tertentu di dunia ini. Rumahku buana bebas, atap rumahku langit biru, dinding rumahku pohon-pohon, lantai rumahku bumi ditilami rumput hijau, batu batu dan akar-akar pohon meja kursiku, ranting-ranting pohon pembaringanku, bintang-bintang di langit pelitaku."

Ayu Candra tertawa mendengar jawaban ini, akan tetapi jantungnya makin berdebar gelisah ketika bau yang wengur makin keras.

"Kau seperti badut saja, suka melucu. Dan namamu......... ?"

"Namaku Joko....... " Aduh, tertelan kembali lanjutan namanya karena pada saat itu Ayu Ccindra sudah membelalakkan matanya lagi sehingga Joko Wandiro merasa semrepet (pusing dan gelap mata). Akan tetapi, tiba-tiba Ayu Candra menjerit,

"Joko....... awas.....!!"

Kedua tangan gadis itu secepat kilat mendorong ke depan, ke arah dada Joko Wandiro. Pemuda ini tentu saja maklum bahwa sejak tadi di dekat situ terdapat seekor harimau, akan tetapi ia memang pura-pura tidak tahu, karena selain tidak suka membikin dara itu terkejut, juga ia tentu saja tidak takut sama sekali. lapun tahu bahwa pada saat itu sang harimau telah meloncat dan menerkam ke arahnya dari belakang. Karena ia tadi terpesona oleh sepasang mata yang melebar indah, maka ia seperti orang yang kehilangan kesadaran. Begitu dadanya didorong, ia membiarkan dirinya terlempar sampai tiga meter lebih!

Seekor harimau yang amat besar telah menerkam dan kini, karena terkamannya luput, harimau itu membalik dan menggereng. Suara geramannya itu amat keras, seakan-akan menggetarkan seluruh permukaan telaga dan menggema di dalam hutan-hutan di sekitarnya. Bibir atas binatang itu bergerak-gerak tertarik ke atas memperlihatkan taring yang runcing kuat, tubuhnya yang panjang merendah sampai perutnya menempel tanah, sepasang matanya tajam penuh kemarahan menatap Joko Wandiro.

Pemuda ini yang tadi terlempar oleh dorongan Ayu Candra, sudah bangkit kembali dan menghadapi ancaman harimau dengan sikap tenang sekali.

"Joko jangan bergerak. Biarkan aku melawannya!" terdengar Ayu Candra berkata.

Gadis itu sudah memasang kuda kuda dan kakinya berindap-indap menghampiri harimau. Melihat gerak-gerik dara itu, Joko Wandiro dapat menduga bahwa Ayu Candra memiliki kepandaian yang tinggi juga. Akan tetapi harimau itu amat besar dan buas. Menghadapi binatang sebuas ini banyak bahayanya bagi Ayu Candra. Biarpun bukan bahaya maut, setidaknya kalau terkena cakaran kaki harimau, tcntu akan menimbulkan luka-luka parah.

"Jangan, Ayu. Biarkanlah, menghadapi harimau macam ini saja, biar ada lima ekor aku tidak gentar."

Jawaban ini membuat Ayu Candra tertegun.
"Kau..... ? Kau...... berani..... melawannya ??”

Joko Wandiro tersenyum bangga. Baru sekali ini selama hidupnya ia merasa bangga akan kepandaiannya. Dan baru sekali ini ia ingin memamerkan kepandaiannya di depan orang lain! Biasanya ia sama sekali tak mengharapkan pujian orang lain, akan tetapi sekali ini, ia bahkan ingin sekali mendengar pujian si dara jelita. Karena itu, tanpa disadarinya sendiri, ia secara sembarangan malah berjalan mendekati harimau yang sudah menggereng-gereng dan siap menerkamnya itu!

"Eh, Joko hati-hatilah harimau ini kelaparan!"

Ayu Candra menjerit kembali ketika Joko Wandiro menghampiri harimau itu sampai dekat sekali. Joko Wandiro kembali tersenyum.

"Tidak ada binatang sebuas manusia, Ayu. Harimau inipun tidak sebuas manusia. Ia hanya akan menerkam mahluk lain kalau perutnya lapar karena ia membutuhkan makan sebagai penyambung hidupnya. Manusia akan menerkam manusia lain hanya untuk memuaskan nafsu-nafsunya."

"Joko awas!!"

Ayu Candra memperingatkan, gelisah juga melihat pemuda itu masih enak-enakan mengobrol dan bahkan membelakangi harimau itu yang kini jaraknya hanya tinggal dua meter di belakangnya. Harimau itu menerkam untuk kedua kalinya. Dahsyat terkamannya, dengan cakar runcing melengkung siap merobek kulit daging dan moncong terbuka lebar siap meremukkan tulang-tulang.

"Joko........!”

Kembali Ayu Candra menjerit dengan muka berubah pucat. jerit penuh kekhawatiran dan kengerian yang terdengar merdu memasuki telinga Joko Wandiro. Dara itu mengkhawatirkan dirinya! Berarti dara itu tidak ingin melihat ia dirobek robek dan dijadikan mangsa harimau.

"Jangan khawatir, Ayu.......!" katanya sambil menggerakkan tubuhnya. Dengan sebuah gerakan yang indah cekatan sekali Joko Wandiro sudah menghindar dengan amat mudahnya.

Kembali harimau itu menerkam tempat kosong. Kini Ayu Candra melongo keheranan. Gerakan pemuda itu jelas membayangkan bahwa pemuda itu bukan seorang lemah, bukan penyombong seperti gentong kosong. Ketika harimau itu kini menerkam kembali, dan dari jarak dekat dan dengan gerakan yang lebih indah mengagumkan pemuda itu kembali menghindar, mulai berkuranglah kekhawatiran hati Ayu Candra. Mulailah ia mencurahkan perhatiannya dan menonton, tidak cemas lagi seperti tadi, melainkan menonton dengan kagum. Sudah tujuh kali harimau itu menerkam, makin lama makin dahsyat dan makin marah. Akan tetapi selalu terkamannya mengenai tempat kosong karena dielakkan secara mudah dan cepat oleh Joko Wandiro yang tersenyum-senyum dan melirik ke arah Ayu Candra, hatinya berdebar girang melihat sinar kekaguman terpancar keluar dari sepasang mata bintang itu.

"Joko, kenapa main-main dengan dia? Lekas bunuh saja!" Akhirnya Ayu Candra berteriak karena mengganggap bahwa dengan main kelit pemuda itu membahayakan diri sendiri.

"Ah, bagaimana aku tega?" balas Joko sambii mengelak lagi ketika si harimau menerkam dari samping. "Dia menyerangku untuk makan. Akan tetapi aku tidak membutuhkan kematiannya. Lihat, Ayu, akan ku akhiri permainannya ini!"

Sebelum harimau itu membalik, Joko Wandiro sudah mendahuiui dengan loncatan cepat sekali ke belakang tubuh harimau dan tangan kanan Joko Wandiro menyambar ekor harimau yang panjang. Harimau itu menggereng keras dan berusaha membalikkan tubuh untuk mencakar orang yang memegang ekornva, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terangkat dari atas tanah dan terus tubuhnya itu diputar-putar oleh Joko Wandiro di atas kepalanya, seperti seorang kanak-kanak mempermainkan seekor tikus saja.

Ayu Candra terbelalak kagum. Dia sendiri tidak takut menghadapi harimau, malah sanggup mengalahkan binatang itu. Akan tetapi untuk memegang ekornya dan memutar-mutar seperti itu, benar-benar membutuhkan tenaga dahsyat dan keberanian yang luar biasa! Kiranya pemuda ini seorang yang sakti! Dan dia tadi telah menduganya seorang gila, bahkan disangkanya pemuda itu seorang penderita penyakit ayan! Teringat akan hal ini, mendadak kedua pipi dara ini menjadi merah padam. DAN DIA tadi berusaha menolong Joko dari dalam air! Ah, benar-benar ia telah salah sangka. Pemuda yang tampan dan halus gerak-geriknya itu kiranya memiliki ilmu kesaktian yang mungkin melebihi tingkat kepandaiarmya sendiri. Ayu Candra menggigit bibirnya menahan rasa jengah.

"Lihat, Ayu. Biar dia mandi dan minum air banyak-banyak menghilangkan laparnya!" teriak Joko Wandiro dan sekali melernpar, tubuh harimau yang besar dan berat iiu melayang ke arah telaga dan terdengarlah suara menjebur ketika binatang itu terbanting kedalam air.

Harimau itu mengaum dan menggereng penuh kemarahan dan juga ketakutan. la meronta-ronta dan akhirnya berhasil juga berenang ke pinggir lalu mendarat dengan tubuh basah kuyub. Kelika Joko Wandiro meloncat ke depannya, harimau itu kembali menggereng dan tiba-tiba ia menyelinap ke kiri dan lari sambil menekuk ekornya kebawah di antara kedua kaki belakang.

Ayu Candra dan Joko Wandiro tertawa tawa melihat harirnau itu lari ketakutan. Akan tetapi tiba-tiba suara ketawa mereka terhenti seketika dan pandang mata mereka terbelalak ditujukan ke arah tubuh harimau yang mendadak terjungkal dan rebah berkelojotan di atas tanah. Dengan beberapa kali loncatan, Ayu Candra dan Joko Wandiro sudah tiba di dekat harimau itu. Keduanya makin terheran ketika melihat sebatang anak panah yang kecil pendek sudah menancap di antara kedua mata binatang itu yang kini berkelojotan dalam keadaan sekarat. Yang mengerikan adalah keadaan luka di mana anak panah itu menancap karena di sekitar tempal itu, ialah seluruh muka harimau, menjadi biru kehitaman tanda bahwa anak panah itu mengandung bisa yang amat jahat!.

"Keji.........!" Joko Wandiro berkata, masih tertegun.

Juga Ayu Candra marah sekali jelas bahwa harimau itu dikalahkan, bahkan ditaklukkan oleh Joko, diampuni dan dibiarkan lari. Akan tetapi ada orang lain yang mernpergunakan kesempatan itu untuk membunuh binatang ini secara curang dan kejam sekali. la mencari-cari ke arah dari mana datangnya anak panah dan ketika ia menengadahkan mukanya, ia melihat seorang wanita berdiri di atas cabang pohon yang tinggi. Wanita yang berpakaian indah dan mewah, dengan hiasan terbuat daripada emas permata pada pergelangan tangan, lengan, leher dan rambut.

Wanita itu masih muda, sebaya dengan dirinya, amat cantik dan tersenyum-senyum penuh ejekan memandang ke bawah. Sejenak Ayu Candra tertegun dan kagum, akan tetapi ketika melihat betapa kedua tangan wanita itu memegang beberapa batang anak panah kecil yang sebentuk dengan anak panah yang menancap di kepala harimau, timbul kemarahannya.

"lblis betina yang curang!" bentaknya sambil menudingkan telunjuk ke arah wanita di atas pohon itu.

"Lihat, Joko! Dialah yang memburtuh harimau secara curang!" Ketika Ayu Candra menoleh ke belakang, ia melihat Joko berdiri dan terbelalak memandang ke arah wanita cantik itu.

Pandang mata penuh kagum, kaget, dan heran. Ketika ia mengalihkan pandang ke atas, ia melihat wanita cantik itupun memandang ke arah Joko dengan mulut tersenyum! Rasa panas yang aneh menyelinap dan membakar dada Ayu Candra.

"lblis betina yang curang! Kau pengecut sekali, tanpa alasan membunuh harimau secara curang!" ia makin marah dan menghardik ke atas.

Wanita itu memperlebar senyumnya lalu menjawab, suaranya halus lunak dan merdu,
"Bocah dusun, mengapa kau banyak tingkah? Aku sedang berkuda, mendadak harimau ini menggereng-gereng keras mengagetkan kudaku yang tidak mau berjalan tenang lagi. Aku datang dan menghukum harimau itu, dan kau masih bilang tanpa alasan?"

"Keparat, kau sombong sekali! Harimau ini memang tempatnya di hutan. Kau ini wanita sombong mau Apa berkeliaran di sini, mengumbar nafsu mengandalkan kepandaian bermain curang membunuhi binatang hutan?" Ayu Candra makin marah karena dilihatnya Joko masih diam saja seperti orang terkena pesona, menengadah memandang wanita itu dengan mata terbelalak dan mulut celangap.

"Turunlah kalau kau berani! Atau aku harus menyeretmu turun.... ?" Ayu Candra berteriak marah.

"Ayu....., jangan...........! Eh, awas senjata.........!!"

Joko Wandiro berseru keras ketika melihat berkelebatnya tiga sinar ke arah dirinya dan tiga sinar lagi ke arah Ayu Candra. Ia cepat menggunakan tenaga saktinya, memutar tangan dengan jari-jari terbuka, memukul runtuh tiga batang anak panah itu dengan hawa pukulannya, dan melanjutkan gerakannya untuk menolong Ayu Candra. Ia berhasil meruntuhkan sebatang anak panah lagi dan Ayu Candra sendiri berhasil mengelak dari sambaran sebatang anak panah, akan tetapi anak panah yang terakhir menyambar, tak dapat dielakkannya dan karena ia berdiri agak jauh dari Joko Wandiro, pemuda inipun tidak sempat menyelamatkannya.

"bles!"

Anak panah itu menancap di dada kanan Ayu Candra yang mengeluarkan suara rintihan dan terguling roboh!

"Ayu!"

Joko Wandiro berseru kaget. la menoleh dan melihat wanita cantik itu melayang turun dengan gerakan ringan seperti seekor burung, kemudian mulut yang selalu tersenyum manis itu mengeluarkan suara mencemooh dan sekali berkelebat, wanita itu lenyap. Kemudian terdengar suara derap kaki kuda pergi menjauh. Rasa penasaran hampir saja membuat Joko Wandiro meninggalkan Ayu Candra untuk mengejar dan memberi hajaran kepada wanita cantik itu. Akan tetapi pada saat itu Ayu Candra merintih-rintih dan ia cepat menghampiri dan berlutut. Alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa anak panah itu menancap di dada dan betapa di sekitar kepala anak panah itu kulit yang tadinya putih kuning tampak menghitam. Anak panah beracun!

Masih untung bahwa Ayu Candra bukan seorang wanita biasa. Ketika tadi mengelak kemudian melihat bahwa sebatang anak panah tak mungkin dielakkan, ia mengerahkan tenaga dalam dan hal ini membuat anak panah itu menancap hanya sampai di kepala anak panah saja, tidak terlalu dalam. Namun cukup membahayakan keselamatan nyawanya karena racun di ujung anak panah mulai bekerja.

"Ayu, diamlah saja jangan bergerak, dan maafkan aku. Ini demi keselamatan nyawamu, Ayu."

Tanpa meragu lagi, Joko Wandiro membalikkan tubuh Ayu Candra sehingga terlentang, kemudian sekali mengerahkan tenaga ia mencabut keluar anak panah itu. Darah yang hitam mengalir keluar dari luka di dada. Joko Wandiro lalu mengerahkan tenaga dalam, menyalurkan hawa sakti. Kemudian menunduk. Ia harus mengerahkan kekuatan batin seluruhnya, bukan hanya untuk pengobatan, melainkan terutama sekali untuk menekan guncangan hatinya. Terpaksa ia meramkan mata untuk mengusir bayangan dada yang membusung, kulit yang halus putih ketika ia menempelkan bibirnya pada luka menghitam itu. Dengan mengerahkan tenaga ia menyedot luka itu, menyedot terus sampai darah hitam memenuhi mulutnya. Ia melepaskan mukanya dan meludahkan darah hitam itu keluar. Ketika ia hendak menempelkan mukanya lagi, tiba-tiba Ayu Candra menampar pipinya.

"Plakk.........!!”

Berkunang pandang mata Joko Wandiro. Pipi yang ditampar terasa berdenyut-denyut panas. Ketika ia menatap wajah dara itu, ia melihat Ayu Candra menjadi merah sekali kedua pipinya dan dua butir air mata menitik turun. Ia tidak perduli. Luka itu belum bersih betul dari racun. Dengan nekad Joko Wandiro kembali menempelkan mukanya pada dada, mulut-nya menyedot luka. Ia merasa betapa tubuh dara itu meronta, mendengar suara dara itu mengeluh dan merintih, akan tetapi ia tidak perduli. Ia cukup maklum betapa keadaan ini amat janggal, betapa perbuatan ini merupakan pelanggaran susila yang hebat, tetapi Apa artinya pelanggaran itu kalau dipikirkan betapa keselamatan nyawa dara ini terancam hebat? Kåmbali ia meludahkan darah dari dalam mulutnya. Hatinya lega melihat warna hitam di sekitar luka itu telah menipis, tinggal warna hijau.

"Sekali lagi cukup" katanya perlahan dan kembali ia menunduk.

"Plakk.........!!"

Tamparan di pipi kirinya lebih keras daripada tadi, sampai terasa nanar kepalanya. Kini air mata di kedua pipi dara itu makin banyak. Joko Wandiro maklum akan perasaan dara itu namun keyakinan bahwa Apa yang ia lakukan itu berlandaskan kebenaran dan usaha menolong, ia tidak perduli, terus saja ia membenamkan muka pada dada yang lembut dan menempelkan mulut pada luka, lalu menghisap. Baru sekarang setelah perasaannya tidak tercekam kegelisahan lagi, ia merasa betapa lembut dada itu, dan jantungnya berdebar seperti hendak meledak.

Tiba-tiba ia merasa betapa kedua tangan gadis itu mencengkeram rambut di kepalanya, menjambak-jambak dan betapa Ayu Candra menangis terisak-isak. la melepaskan mukanya dan ketika ia menyemburkan darah dari mulutnya, darah itu sudah banyak yang merah. Ia memandang ke arah luka. Tidak ada warna hijau lagi dan darah mulai mengalir keluar. Bahaya sudah lewat. Akan tetapi Ayu Candra menangis tersedu-sedu, bangkit duduk dan menyembunyikan muka di belakang kedua tangan, pundaknya berguncang-guncang, tangisnya tersedu-sedu.

"Ayu, kenapa kau menangis? Kau sudah bebas daripada bahaya maut. Diamlah, Ayu, mengapa kau begini berduka?"

Dara itu tidak menjawab, bahkan tangisnya makin menjadi, sampai mengguguk sehingga Joko Wandiro menjadi bingung sekali. Dengan gerakan halus ia menyentuh pundak dara itu dan berkata lagi,

"Ayu, aku mengaku salah. Aku...... aku telah berlaku amat tidak sopan Kau maafkanlah aku, Ayu. Tadipun sebelumnya aku sudah minta maaf. Sekarang, aku minta maaf lagi dan kalau kau mau melampiaskan kemarahanmu, kaupukullah aku, kaubunuhlah aku."

Ayu Candra tiba-tiba menghentikan tangisnya, mengangkat muka dari balik telapak tangan. Mukanya masih merah padam, akan tetapi basah air mata. Hanya sebentar saja ia berani bertentang pandang dengan Joko Wandiro karena ia segera menundukkan muka seperti orang yang merasa malu. Bibirnya bergerak perlahan, berbisik lirih,

"Mengapa kau lakukan itu?"

"Mengapa? Tentu saja untuk menolongmu, Ayu. Kaupun maklum bahwa anak panah itu mengandung bisa yang amat jahat. Karena tidak mungkin mendapatkan obat yang bias cepat menyedot racun, jalan satu-satunya terpaksa harus menyedotnya langsung dengan mulut untuk mengeluarkan racunnya. Memang aku lancang........ kurang ajar, tapi..... kau maafkanlah aku, aku terpaksa "

"Tidak Apa, bukan itu. Yang kumaksud, kenapa kau menolongku dan rela melakukan hal semacam itu? Kenapa?"

Joko Wandiro bingung.
"Kenapa aku menolongmu? Ah, Ayu, aku harus menolongmu, biar apapun akibatnya. Andaikata aku akan kehilangan nyawa untuk menolongmu, aku rela."

Kembali Ayu Candra mengangkat muka memandang, kini amat tajam pandangannya, penuh selidik.
"Kenapa begitu? Mengapa kau rela berkorban nyawa untukku? Kita baru saja bertemu, kita bukan apa-apa, bukan sanak bukan kadang. Kenapa kau rela berkorban nyawa untukku?"

Joko Wandiro merasa terpojok. lapun memeras otaknya untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang sama, yang mengaduk hatinya. Memang sudah menjadi kewajibannya sebagai seorang pendekar untuk menolong sesamanya. Hal ini sudah ia janjikan kepada gurunya. Akan tetapi, mengapa terhadap gadis ini landasan itu berubah? Tidak sekedar sebagai kewajiban lagi, bahkan agaknya ia, akan rela mati berkorban nyawa untuk gadis ini. Mengapa?

"Karena....... karena aku tidak ingin melihat kau mati, Ayu. Dan karena bagiku kau bukanlah seorang yang baru saja kukenal. Bagiku, kau seakan-akan sudah selama hidupku kukenal baik, bahkan lebih dari itu. Aku sendirit idak mengerti mengapa begini, Ayu, Semenjak pertemuan kita tadi, aku tidak dapat menguasai hatiku sehingga aku melakukan hal-hal yang tidak patut. Sudah mengintaimu, mengikutimu secara diam-diam sampai-sampai menimbulkan kemarahanmu. Aku sendiri tidak mengerti, Ayu. Selama hidupku baru kali ini aku mengalami hal aneh seperti ini. Agaknya..... kalau menurut dongeng....... dalam kelahiran dahulu, agaknya kita sudah saling mengenal, tidak asing lagi. Aku malah ingin bertanya kepadamu mengaku kau berhal seperti ini, Ayu Candra."

Dara itu menundukkan mukanya, menyembunyikan senyum! Senyum yang mekar dari hati penuh kebungahan. Ia sendiripun tidak mengerti mengapa hatinya menjadi begini bungah mendengar ucapan pemuda itu. Sedangkan perasaannya sendiri yang aneh ia tidak dapat mengerti artinya, apalagi keadaan pemuda itu. Ia hanya tahu bahwa ia senang sekali dekat dengan pemuda ini, dan bahwa tadi, biarpun ia merasa amat malu dan marah, namun di balik itu ia merasakan kebahagiaan yang amat aneh dalam hatinya.

"Joko "

la sendiri kaget mengapa mulutnya memanggil nama ini. Ia tidak bermaksud memanggil, akan tetapi sebutan dalam hatinya ini menyundul sampai ke mulutnya.

"Ya........ ? Ada Apa, Ayu?"

"Ahh… tidak ada Apa-Apa, Joko. Eh, maksudku, kau baik sekali dan aku berterima kasih atas pertolonganmu tadi. Kau telah menyelamatkan nyawaku, Joko."

Girang bukan main hati Joko Wandiro. Dara ini ternyata benar seorang yang amat baik hatinya, tidak seperti yang kadang kadang ingin diperlihatkannya. Saking girang hatinya, ia memegang gadis itu, memegang kedua tangannya.

"Bukan aku yang baik, Ayu, melainkan engkau. Aku hanya membalas, ingat? Kaulah yang pertama-tama nekat berusaha menyelamatkan nyawaku dari dalam air. Kaulah seorang yang berhati mulia, Ayu."

"Ahh, kau hanya pura-pura tenggelam."

"Betapapun juga, kau mengira aku benar-benar akan mati tenggelam dan kau telah terjun menolongku. Apa bedanya? Aku yang berterima kasih kepadamu."

Sejenak kedua orang remaja itu berdiri dan saling berpegang tangan. Jari-jari tangan mereka saling menggenggam. Hati mereka berdebar aneh penuh kebahagiaan. Mereka sendiri tidak tahu mengapa begitu, tidak tahu Apa artinya perasaan yang menerbangkan semangat mereka ke angkasa ini. Namun jari-jari tangan mereka, digerakkan oleh perasaan halus, lebih tahu. Jari-jari tangan mereka membelai mesra, saling mencurahkan rasa kasih asmara.

Akan tetapi hanya sebentar. Kewanitaannya membuat Ayu Candra melepaskan kedua tangannya karena jengah. Mukanya merah sekali, matanya bersinar-sinar, akan tetapi pandang matanya tidak berani langsung menatap wajah Joko Wandiro. Untuk menenangkan dada yang berdebar-debar ia mengalihkan perhatian.

Lanjut ke Jilid 068 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment