Ads

Thursday, January 3, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 068

◄◄◄◄ Kembali

"Joko, siapakah wanita tadi?"

"Entahlah, aku tidak tahu, sungguhpun serasa pernah aku melihatnya, akan tetapi entah di mana."

"Dia cantik sekali."

"Hemmm, agaknya dia berkepandaian hebat, melihat cara ia melayang turun dari pohon. Cara dia melepaskan anak panah tanpa busur, benar-benar membutuhkan tenaga yang hebat. Akan tetapi ia kejam."

"Dia cantik sekali," Ayu Candra mengulang.

"Memang cantik dia."

"Lebih cantik daripada aku."

"Lebih cantik daripada engkau ? memang, pakaiannya lebih cantik, lebih mewah, akan tetapi orangnya.......hemmm, tiada bidadari kahyangan, apalagi manusia biasa, yang menandingi kecantikanmu, Ayu."

Makin merah wajah dara itu, sampai ke leher dan daun telinganya. Akan tetapi giginya berkilat putih di balik bibirnya.

"Bisa saja kau memuji."

"Bukan memuji, melainkan bicara sebenarnya. Dia memang cantik dan kepandaiannya hebat. Hal itu tidak ada artinya. Yang mengkhawatirkan, ia amat kejam dan entah mengapa dia memusuhi kita."

"Karena harimau."

"Bukan, Ayu. Tidak mungkin kalau hanya karena harimau tadi ia melepas anak panah untuk membunuh kita. Aku khawatir sekali kalau-kalau ia akan datang kembali ke sini dan mengganggumu. Kau katakan tadi bahwa ayah bundamu sedang bepergian, bukan?"

"Kalau begitu engkau jangan pergi dulu, Joko. Kautemani aku sampai ayah bundaku pulang."

Di balik kata-kata ini ada harapan di hati Ayu Candra agar pemuda ini berkenalan dengan ayah bundanya!. Joko Wandiro mengangguk-angguk.

"Baiklah, Ayu. Akan tetapi karena engkau hanya seorang diri di pondok, tidak baik kalau aku bermalam di pondokmu. Biarlah aku tinggal di luar pondokmu, menjaga kalau-kalau wanita kejam itu datang kembali."

"Apa engkau mampu melawan dia? Tidak kusangka kau seorang yang sakti, Joko. Kalau kubayangkan betapa tadi kusangka kau seorang....... " Dia menutupi mulut menahan tawa. "....seorang gendeng dan berpenyakit ayan.......!"

"Kau bocah nakal Aku bukan orang sakti, bukan pula gendeng atau ayan, akan tetapi sedikit-sedikit aku mengerti bagaimana caranya menghadapi orang jahat."

Ketika mereka berjalan menuju ke pondok Ayu Candra, kadang-kadang tangan Joko Wandiro menggandeng tangan dara itu. Mula mula tangan dara itu gemetar, akan tetapi tak lama kemudian, tangan itu menjadi hangat dan mereka bergandengan tangan sambil bercakap-cakap. Ketika Ayu Candra bercerita tentang laki-laki buntung, Joko Wandiro mengerutkan keningnya, akan tetapi tidak menyatakan sesuatu. Setelah tiba di depan pondok, dari jauh mereka melihat laki-laki buntung duduk di atas bangku depan pondok Mereka saling melepaskan gandengan tangan.

"Ayu Candra! Kalau ayah bundamu mendengar , bahwa engkau bermain-main dengan seorang pria muda, tentu mereka akan menjadi marah sekali! "

Ayu Candra terkejut mendengar teguran ini. Dan ia merasa heran pula mengapa laki-laki buntung itu kelihatan begitu marah. Menurutkan suara hatinya, ia membentak laki-laki bunting itu, ingin mengatakan agar laki-laki itu tidak mencampuri urusannya. Akan tetapi mengingat bahwa laki-laki itu sudah tua dan buntung pula kedua kakinya, ia hanya menjawab dengan mata bersinar marah,

"Paman Jatoko, dia ini adalah seorang sahabat baruku yang telah menolongku dari maut. Namanya Joko, dan dia akan menemaniku di sini sampai ayah ibuku pulang."

Dalam ucapan yang sifatnya memberi keterangan ini terkandung tantangan dan penandasan bahwa dialah pemilik pondok dan dia pula yang berhak menentukan Apa yang akan dibuatnya. Mendadak sikap Ki Jatoko berubah. Lenyap sinar matanya yang marah, lenyap pula sikapnya yang keras dan kaku. Mulutnya kini tersenyum dan Joko Wandiro mendadak merasa kasihan. Muka yang buruk itu makin jelek kalau tersenyum, Laki-laki yang malang, pikirnya.

"Ahh, lain lagi kalau begitu! Ada terjadi apakah? Aku tadipun mendengar suara harimau menggereng-gereng marah. Saking takut aku tadi masuk ke pondok bersembunyi. Apakah kalian diserang harimau?"

Ayu Candra lalu menceritakan pengalaman mereka. Tentu saja ia tidak bercerita tentang anggapannya semula bahwa Joko adalah seorang gila atau ayan. Ia menceritakan betapa mereka diserang harimau dan betapa Joko telah mengalahkan harimau itu. Ia bercerita pula tentang munculnya wanita keji yang membunuh harimau dan berusaha membunuh mereka pula, dan tentang dirinya yang terkena anak panah, sehingga hampir saja nyawanya melayang.

"Aduh kau terpanah? Ah, kulihat dadamu itu..... di situkah yang terpanah?" Ki Jatoko membelalakkan kedua matanya, kelihatan terkejut dan khawatir sekali.

"Betul, paman. Akan tetapi sekarang sudah sembuh."

Ki Jatoko memandang ke arah Joko Wandiro penuh selidik.
"Kalau wanita itu demikian jahat dan kau hendak melindungi Ayu Candra, hal itu adalah baik sekali. Biarlah aku berganti tempat, kalau malam aku tidur di bilik belakang dan kau boleh tidur di bangku ini, orang muda."

Joko Wandiro menggeleng kepalanya.
"Tidak usah, paman. Biarlah saya akan mencari tempat di luar untuk mengaso. Saya tidak mau mengganggu Ayu dan paman."

"Sesukamulah! Ayu Candra, biarkan hari ini aku yang masak. Aku sudah menanak nasi dan tadi kebetulan sekali ada seekor kelinci yang kudapati terluka dan tidak bisa lari. Mungkin terluka oleh harimau tadi. Aku akan memasaknya."

Tanpa menanti jawaban, Ki Jatoko turun dari bangku dan berjalan terbongkok-bongkok dan sukar sekali ke samping pondok, diikuti pandang mata Joko Wandiro dengan kening berkerut.

"Ayu," bisiknya, "kau berhati-hatilah terhadap dia...... "

"Apa?!” Ayu Candra juga berbisik, wajahnya terheran, "dia seorang tapadaksa, orang yang lemah dan patut dikasihani "

"Ssttt, aku melihat sesuatu yang tak menyenangkan akan dirinya. Aku tidak percaya kepadanya. Kau berhati-hatilah, Ayu."

'Tapi" Melihat wajah Joko Wandiro yang bersungguh-sungguh, Ayu Ñàndra tidak mau membantah lagi. "Baiklah, Joko, akan kuperhatikan pesanmu. Akan tetapi.... engkau hendak bermalam di mana?"

Pemuda itu tersenyum.
"Mudah bagiku. Kalau perlu biar di atas pohon dekat pondokmu, agar lebih mudah aku menjaga keselamatanmu."

Ayu Candra menyentuh tangan Joko Wandiro yang segera menggenggam tangan yang.kecil hangat itu.

"Engkau baik sekali kepadaku, Joko."

"Aku harus baik kepadamu, Ayu. Harus, dan selamanya."

"Siapa mengharuskan?"

"Hatiku."
"lhh, bicaramu aneh sekali, tapi... tapi..... hatiku sendiripun mengharuskan aku berbaik dan tunduk kepadamu, Joko."

Kembali kedua tangan itu saling genggam ketika mereka bercakap-cakap sambil berbisik dan baru mereka saling menjauhkan diri ketika Ki Jatoko berteriak memanggil mereka, mengundang mereka untuk makan.

**** 068 ****
Lanjut ke Jilid 069 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment