Ads

Thursday, January 10, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 071

◄◄◄◄ Kembali

Menjelang senja, amat sunyi di daerah Tclaga Sarangan. Sunyi dan dingin. Permukaan telaga seakan-akan mengeluarkan uap keabu-abuan. Joko Wandiro dan Ayu Candra bergandeng tangan, berjalan perlahan meninggalkan telaga, menuju ke pondok. Selama belasan hari, hubungan mereka makin akrab dan seringkali mereka berdua bercengkerama di tepi telaga. Walaupun tiada kata-kata kasih dan cinta keluar dari mulut mereka yang belum mengenal ucapan itu, namun sinar mata dan getaran jari tangan mereka merupakan bahasa indah tak terucapkan yang langsung membisiki hati masing-masing. Asyik-masyuk percakapan mereka selalu, percakapan yang tidak ada artinya, kadang-kadang seperti dua anak-anak bergurau. Namun selalu perhatian mereka tercurah penuh kepada diri masing-masing sehingga mereka tidak tahu betapa sepasang mata yang bersinar tajam mengintai mereka penuh cemburu, iri hati dan marah. Itulah sepasang mata Ki Jatoko yang tentu saja sama sekali tidak disangka-sangka oleh sepasang muda-mudi itu. Ketika menjelang senja hari itu mereka berdua seperti biasanya kembali ke pondok, tubuh Ki Jatoko menyelinap di antara gerombolan pohon dan mengikuti mereka dari jauh.

"Ayu Candra........... "

"Itu suara ayah......!"

Ayu Candra berseru kaget dan girang ketika tiba-tiba terdengar suara panggilan itu. Ia segera lari ke arah suara yang datangnya dari pondok. Joko Wandiro lari pula dl belakang dara itu. Alangkah kaget hati Ayu Candra ketika dalam cuaca yang sudah remang-remang itu ia melihat ayahnya rebah tertelungkup di depan pondok sambil merintih-rintih dan bergerak-gerak lemah.

"Ayahhh.........!"

Ia meloncat dan berlutut, menubruk ayahnya. Dengan hati cemas dara ini membalikkan tubuh ayahnya dan memangku kepalanya. Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hatinya ketika melihat wajah ayahnya yang tampan itu kini mengerikan, berubah biru kehitaman, napasnya terengah-engah dan warna putih bola matanya menjadi merah sekali!

"Ayah.........! Kau kenapa? Ayah ayah........ Apa yang terjadi? Mana ibu?"

Dara ini menjerit-jcrit dan mengguncang-guncang tubuh ayahnya. Joko Wandiro yang juga berlutut di dekat tubuh Ki Adibroto, menjadi terkejut sekali setelah memeriksa tubuh orang tua itu.

"Akibat pukulan berbisa yang amat hebat......!" katanya lirih.

Mendengar ini, Ayu Candra menangis dan mengguncang-guncang tubuh ayahnya sambil memanggil-manggil.

"Ayah...........! Ayah............!!"

"Ayu, minggirlah sebentar. Biar kucoba menyadarkannya," bisik pula Joko Wandiro.

Kemudian ia memeriksa dada Ki Adibroto. Tepat dugaannya, dada pendekar itu totol-totol hitam merah, dan hawa beracun sudah menjalar naik sampai ke muka! Diam-diam Joko Wandiro merasa ngeri. Pukulan ini hebat sekali dan kalau bukan Ki Adibroto yang memiliki kesaktian, tentu sekali terkena pukulan ini terus tewas. Kini keadaan orang tua itu sudah tak mungkin tertolong lagi, maka Joko Wandiro lalu menggunakan lima buah jari tangan kirinya mengurut kedua pundak dan menotok tengkuk. Seketika Ki Adibroto terbatuk-batuk, lalu bergerak-gerak dan mengeluh.

"Ayah.........!" Ayu Candra sudah menubruk dan kembali memangku kepala ayahnya,

Ki Adibroto membuka matanya yang merah, memandang Ayu Candra, lalu bibirnya bergerak-gerak dan terdengar ia berkata dengan bisikan lemah.

"Ayu kau pergilah kepada Ki Darmobroto di kaki Merbabu..., dia.......dia calon mertuamu, kujodohkan engkau dengan puteranya, Joko Seto."

"Ayah, kau kenapa? Di mana ibu......... ? "

Ayu Candra yang amat pucat mukanya itu bertanya. Ia lebih mengkhawatirkan keadaan ayahnya dan gelisah karena tidak melihat ibunya sehingga pesan tentang perjodohan itu sama sekali tidak ia perdulikan.

"Ibumu........ ibumu sudah tewas.......kalau bertemu dengan Joko Wandiro dia putera ibumu yang sulung....... kau beritahukan....... uuuhhh-uuhhh...... "

"Ayah.........!” Ayu Candra merangkul sambil menangis.

"Beritahukan bahwa ibunya telah meninggal dunia........ "

"Ayah, siapa pembunuh ibu? Kenapa ibu tewas?? Katakanlah ayah........ katakanlah!"

Ayu Candra menjerit-jerit sehingga ia tidak melihat betapa Joko Wandiro yang mendengar pesan terakhir itu menjadi pucat wajahnya dan terbelalak matanya. Ki Adibroto sudah payah sekali keadaannya. ia berusaha untuk bicara banyak, namun tenaganya sudah tidak mengijinkannya. Ia hanya mampu berbisik-bisik,

"Jangan..... jangan melanjutkan permusuhan........ kau cari tunanganmu..... Joko Seto...... "

"Ayah, kenapa ibu tewas? Siapa yang membunuhnya? Dan siapa yang melukai ayah?"

Kembali Ayu Candra mendesak-desak dengan suara parau. Hampir ia pingsan, namun rasa penasaran membuat ia dapat bertahan dan kemarahannya melihat ayahnya terluka hebat dan mendengar ibunya tewas membuat ia lupa diri, berteriak-teriak dan mengguncang-guncang tubuh ayahnya yang keadaannya sudah payah itu.

"Ibumu........ ibumu........ mencari anaknya........ Joko Wandiro......... kau beritahu dia telah tewas........... dia itu bukan....... bukan........ "

Agaknya Ki Adibroto dalam saat terakhir itu hendak membuka rahasia bahwa Listyokumolo bukan ibu kandung Ayu Candra, namun ia tidak kuat lagi dan putuslah napasnya.

"Ayaaaahhh..........!!!”

Ayu Candra merangkul dan pingsan di atas dada ayahnya. Joko Wandiro juga terpukul perasaannya. lapun sedang mencari ibu kandungnya. Ia hanya tahu bahwa ibu kandungnya itu kabarnya diculik perampok. Kini ia mendengar pesan ayah Ayu Candra bahwa ibu kandungnya telah tewas, padahal yang tewas itu adalah ibu kandung Ayu Candra pula! Hal ini hanya berarti bahwa Ayu Candra adalah anak ibunya pula, jadi adik tirinya! Keterangan ini baginya lebih hebat daripada berita kematian ibu kandungnya yang belum pernah ia kenal. Lebih hebat daripada kematian ayahnya Ayu Candra. Lebih hebat dari Apa saja yang mungkin terjadi. Kenyataan ini membuat hatinya serasa ditusuk keris berkarat. Ayu Candra, dia adiknya, adik tirinya, anak kandung ibunya!

Namun Joko Wandiro pemuda gemblengan itu dapat segera menguasai kesadarannya kembali. Betapapun juga, dara remaja yang sudah merebut hatinya ini bukan orang lain, melainkan adiknya sendiri, sekandungan, seibu. Ia akan tetap mencintanya. Mereka tetap akan saling mencinta sebagai kakak dan adik. Selain itu, oleh ayahnya, Ayu Candra sudah dijodohkan dengan seorang pemuda Iain. Hal ini lebih baik lagi. Setelah dapat menguasai hatinya yang tertusuk, baru Joko Wandiro bergerak menolong Ayu Candra yang pingsan.

Pada saat itu, ia mendengar gerakan perlahan di belakangnya. Ketika ia menengok, kiranya Ki Jatoko yang dating terhuyung-huyung dengan kedua kaki buntungnya. Joko Wandiro sama sekali tidak tahu bahwa laki-laki buntung itu sudah sejak tadi mengintai dan kini melihat Ki Adibroto sudah mati, lalu datang dan membantu Joko Wandiro mengangkat jenazah Ki Adibroto ke dalam pondok.

Ayu Candra yang sudah siuman kembali itu menangis sedih, dihibur oleh Joko Wandiro dan Ki Jatoko. Setelah pembakaran jenazah selesai dan abunya dihanyutkan di Telaga Sarangan, Ayu Candra duduk di pinggir telaga itu. Wajahnya pucat sekali, matanya sayu dan ia tampak lemas karena duka dan kurang tidur. Rambutnya kusut. Hati dan pikirannya sekusut rambutnya. Biar bokor terisi abu jenazah ayahnya sudah tenggelam dan abu itu sendiri telah menjadi satu dengan air telaga, ia masih belum bergerak pergi dari pinggir telaga.

Ki Jatoko diam-diam pergi dari telaga. Joko Wandiro dengan hati penuh keharuan dan kedukaan berjongkok di belakang Ayu Candra yang duduk bersimpuh di atas tanah berumput. Hening keadaan di situ pagi hari itu. Tiada suara burung yang agaknya ikut berkabung. Air telaga juga tenang, tidak ada angin bersilir. Telaga yang tua itu sudah banyak menyaksikan suka-duka manusia, karenanya ia tenang-tenang saja. Ia maklum bahwa manusia hidup memang selalu menjadi permainan suka-duka, si kembar sakti yang selalu bercanda dan bermain-main dengan manusia secara bergilir. Telaga tua itu tenang-tenang saja karena ia tidak mengenal suka-duka, karena baginya, suka-duka itu tidak ada,t yang ada hanya kewajaran. Hal ini hanya dapat dimiliki oleh mereka yang telah menyatukan diri dengan alam, telah menjadi sebagian daripada alam itu sendiri. Tanpa pamrih, karenanya wajar. Karena wajar, maka tiada suka maupun duka.

"Ayu......!"

Panggilan ini hanya merupakan bisikan yang keluar dari mulut Joko Wandiro, bisikan yang keluar dari hati yang merintih. Getaran bisikan ini amat kuat sehingga Ayu Candra seketika tersadar. Seperti orang kaget ia sadar, seakan-akan diseret turun kembali dari alam mimpi, ke alam kenyataan yang pahit. Ia menoleh dan menghadapi Joko Wandiro. Sejenak mereka saling pandang, dua pasang mata yang bersinar sayu.

"Joko......... "

"Ayu!"

Seperti digerakkan tenaga ajaib, keduanya saiing tubruk dan saling rangkul. Ayu Candra menangis tersedu-sedu di atas dada Joko Wandiro sehingga sebentar saja dada itu menjadi basah. Joko Wandiro merasa seakan akan yang membasahi dadanya itu adalah darah yang bercucuran dari jantungnya. Ia mengelus-elus kepala gadis itu, penuh kasih sayang, kasih sayang yang kini ia paksa dan belokkan dari kasih sayang seorang pria terhadap wanita, menjadi kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya. Joko Wandiro merasa sangat kasih kepada adiknya ini. Ia tahu bahwa mereka tadinya saling mencinta dan ia tahu bahwa sampai saat ini, perasaan Ayu Candra terhadap dirinya tetap tidak berubah. Karena Ayu Candra belum tahu siapa sebenarnya ia. Tidak tahu bahwa dialah Joko Wandiro, bahwa dialah kakaknya yang kemarin disebut-sebut Ki Adibroto dalam pesan terakhirnya.

Dara ini harus diberitahu, akan tetapi ia tidak tega untuk menghacurkan hati yang sudah parah itu, hati yang penuh kedukaan karena sckaligus kehilangan ayah bunda. Dia sendiripun kehilangan ibu kandungnya, yang katanya tewas oleh musuh. Akan tetapi kedukaan hatinya tidaklah begitu besar karena ia belum pernah bertemu ibunya, tidak tahu bagaimana rupa ibu kandungnya. Ia lebih berduka karena kenyataan bahwa Ayu Candra adalah adik tirinya, satu ibu!

"Joko..........!" Ayu Candra berbisik tanpa mengangkat mukanya yang bersembunyi di dada Joko Wandiro.

"Ada Apa, Ayu?"

"Engkau mendengar semua pesan ayah kemarin?"

"Aku mendengar, Ayu."

"Joko engkau tahu bahwa kini aku tidak punya siapa-siapa lagi.... " ia terisak lalu menyambung,"....... aku sebatangkara di dunia........ aku hanya... hanya punya.... engkau, Joko. Katakanlah, Apa yang harus kulakukan sekarang?"

Berdebar jantung Joko Wandiro. Bagaimana ia harus menjawab? la masih tidak tega untuk membuka rahasia yang akan rnenghancurkan hati dara itu. Karena itu ia mengalihkan kepada soal lain.

"Apa yang harus kaulakukan, Ayu? Kurasa sementara ini tidak ada apa-apa. Aku setuju dengan pesan ayahmu bahwa kita...... eh, kau tidak perlu mencari musuh, tidak perlu memperbesar permusuhan." Sebagai murid Ki Patih Narotama, tentu saja Joko Wandiro sudah mendapat gemblengan batin yang hebat sehingga ia dapat mengatasi rasa dendam karena kematian ibunya dibunuh orang.

Ayu Candra mengangkat mukanya dari dada Joko Wandiro. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu ia nampak makin jelita sehingga Joko Wandiro mengerutkan kening dan terpaksa ia mengalihkan pandang matanya.

"Hal itu harus kupertimbangkan lebih dulu, Joko. Memang semestinya aku mentaati pesan ayah, akan tetapi bagaimana mungkin aku diam saja karena ayah dan ibuku terbunuh orang? Akan kuselidiki mengapa ayah dan ibu sampai tewas di tangan orang dan Apa pula sebabnya ayah meninggalkan pesan seperti itu...... "

"Mungkin karena musuh itu luar biasa saktinya, Ayu. Melihat luka di dada ayahmu, memang pukulan itu amat luar biasa, keji dan hanya dapat dilakukan orang yang sakti mandraguna. Agaknya ayahmu tidak ingin engkau bermusuhan dengan orang sakti itu, demi keselamatanmu sendiri."

"Kalau itu sebabnya, tidak mungkin aku berdiam diri saja!" Ayu Candra berkata marah, mencabut sebatang rumput dan mengigit-gigit rumput itu di antara kedua baris giginya. "Kalau sebabnya hanya karena musuh amat sakti, aku tidak takut. Dan aku yakin bahwa engkau akan suka membantuku. Bukankah engkau suka membantuku, Joko?"

"Tentu saja, Ayu. Akan tetapi amatlah tidak baik kalau tidak mentaati pesan terakhir ayahmu sendiri. Ada hal yang lebih penting.... lagi "

"Hal Apa lagi? Kalau menurut pendapatmu, aku harus bagaimana?"

"Daripada mencari musuh yang tidak diketahui siapa dan yang dilarang pula oleh ayahmu, lebih baik apabila engkau mentaati pesan ayahmu, pergi mencari Joko Seto tunanganmu, Ayu "

Tiba-tiba Ayu Candra meloncat bangun dan berdiri dengan muka merah dan mata terbelalak.

"Tidak mungkin!!" Ia membanting-banting kaki kanannya.

Joko Wandiro juga bangkit berdiri, membujuk.
"Mengapa tidak mungkin, Ayu? Ayahmu sudah meninggalkan pesan yang amat jelas. Joko Seto adalah putera Ki Darmobroto di kaki Gunung Merbabu. Biarlah aku membantumu, Ayu. Kita pergi bersama mencari rumah calon mertuamu............ "

"Joko.........!!!"

Ayu Candra menjerit, sepasang mata yang tadinya bersinar sayu itu kini memancarkan api kemarahan.

"Sekejam itukah hatimu? Seganas itukah engkau hendak menyiksa hatiku? Engkau hendak membalas karena engkau marah mendengar ayah menjodohkan aku dengan orang Iain? Joko, kau tahu bahwa itu kehendak ayah, bukan kehendakku, dan ayah tidak tahu bahwa ada engkau.."

"Ah, engkau salah mengerti, Ayu. Aku bicara dengan hati tulus ikhlas, aku tidak menyindir, tidak ingin merusak hatimu, Ayu, percayalah, sebaiknya kalau aku antarkan engkau mencari tunanganmu........!"

"Cukup!!” Kembali Ayu Candra menjerit. "Joko, engkau....... engkau tega mengeluarkan kata-kata seperti itu setelah kau tahu bahwa hal itu tidak mungkin kulakukan? Kau masih bicara seperti itu padahal engkau tahu bahwa aku aku bahwa kita...... ah, Joko, tak tahukah kau bahwa tak mungkin aku menjadi..... isteri orang lain ? Ataukah...... kau kini hendak mengaku bahwa sikapmu yang lalu itu hanya palsu belaka? Engkau sengaja hendak mempermainkan aku?"

Joko Wandiro meramkan kedua matanya. Jantungnya terasa dibetot-betot, ditusuk-tusuk. Ia masih meramkan kedua mata menahan keluarnya air mata ketika menjawab dengan suara gemetar,

"Ayu Candra...., adikku sayang............. ketahuilah, hal itu tidak mungkin.......... antara kita... aku...... aku adalah Joko Wandiro, aku......... kita kakak adik sekandung........ ibumu adalah ibuku, berlainan...... ayah "

"Aduh Gusti!!"

Tubuh Ayu Candra menjadi limbung dan tak dapat berdiri lagi, lemas seluruh sendi tulangnya. Ia jatuh berlutut dan menangis, mengguguk di belakang kedua telapak tangannya. Kenyataan yang menjadi pukulan ke dua benar-benar meremukkan kalbunya. Kematian ayah bundanya membuat ia kehilangan pegangan, sebatangkara di dunia. Namun di sana masih ada Joko yang telah merebut hatinya, orang yang dicintanya sepenuh jiwa raga, yang menjadi pegangan terakhir baginya. Kini pegangan itupun direnggut kenyataan bahwa laki-laki yang dipuja dalam hatinya itu adalah kakak tirinya, sekandung, dan bahwa ia harus ikut dengan laki-laki lain, menjadi isteri laki-laki lain.

"Ayah ibu........ kenapa tidak membawaku bersama ? Kenapa meninggalkan aku hidup seorang diri menderita siksa ini........ ?" Ia merintih di antara tangisnya.

"Jagad Dewa Batara kuatkanlah batin hamba!" Joko Wandiro berdoa sambil menekan perasaannya, menarik napas panjang beberapa kali. Setelah guncangan batin itu mereda dan kedua matanya tidak terasa panas lagi, ia membuka matanya. Sambil menggeleng-geleng kepala ia memandang dara yang mengguguk dalam tangisnya itu. Beberapa kali ia menggerakkan bibir, namun suara hatinya tak terucapkan. Lalu ia mendekat dan berlutut pula, menyentuh kepala Ayu Candra.

"Ayu, adikku jangan engkau khawatir. Ada kakakmu disini, aku pengganti ayah bundamu, aku akan mengantarmu mencari Joko Seto tunanganmu." Ia berkata dengan suara halus menghibur.

Tiba-tiba Ayu Candra menghentikan tangisnya, menurunkan kedua tangannya dan wajah yang kini berada di depan Joko Wandiro dan memandangnya, adalah sebuah wajah pucat sekali dengan sepasang mata yang telah lenyap sinar dan semangatnya. Ayu Candra memandang sejenak, lalu meloncat bangun sambil menjerit,

"Tidak! Tidak!!"

Kemudian ia lari meninggalkan Joko Wandiro yang masih berlutut di atas tanah. Joko Wandiro meloncat pula berdiri, akan tetapi mengurungkan niatnya mengejar. Ia menarik napas panjang, wajahnya juga pucat dan ia malah kembali ke pinggir telaga. Percuma menemui Ayu Candra pada saat itu, pikirnya. Dara itu baru saja mengalami pukulan batin yang luar biasa hebatnya. Sedangkan dia sendiri yang hanya kehilangan ibu kandung yang belum pernah dilihatnya dan mendengar bahwa dara yang dikasihinya itu ternyata adik sendiri, sudah merasa betapa jantungnya serasa ditusuk-tusuk. Apalagi Ayu Candra yang kehilangan ayah bunda yang tak pernah berpisah semenjak kecil, yang amat dicintanya, ditambah lagi kenyataan bahwa satu-satunya orang yang diharapkannya ternyata adalah kakak sendiri dan karena itu terpaksa mereka akan berpisah pula karena ia harus menikah dengan laki-laki lain. Penderitaan yang berat, terutama bagi seorang wanita yang perasaannya tentu lebih halus.

Pagi hari sampai sore, sehari penuh, Joko Wandiro duduk termenung di pinggir telaga. Tidak pernah ia berkisar dari tempat duduknya, merenungi nasibnya yang buruk. Dalam renungannya ini, tampaklah jelas-jelas dalam ingatannya betapa tepat sekali wejangan gurunya. Ki Patih Narotama pernah memberi wejangan kepadanya, bahwa sekali hati menikmati kesenangan, maka hati itu pun takkan kebal terhadap kedukaan. Atau, singkatnya, siapa menikmati kesenangan harus siap untuk menderita kedukaan. Sebelum ia bertemu dengan Ayu Candra hatinya kosong, batinnya tenang dan ia berada dalam kebahagiaan, karena sesungguhnya kebahagiaan letaknya di antara susah dan senang, letaknya di tengah-tengah di mana tiada kesenangan dan kesusahan.

Akan tetapi, begitu berjumpa dengan Ayu Candra, hatinya jatuh, darah mudanya menuntut dan menggelora, dan ia menikmati perasaan senang yang luar biasa. Siapa kira, baru beberapa hari saja, saudara kembar kesenangan, ialah kedukaan, muncul dan menggantikan kedudukan dalam hatinya. Lenyap kesenangan, datang kedukaan! Menjelang senja hari itu, batin Joko Wandiro mulai tenang setelah ia teringat akan pelajaran gurunya ini. la bangkit dan merasa heran bercampur kaget melihat bahwa cuaca sudah mulai gelap. Tidak disangkanya bahwa saat itu sudah senja. Tidak terasa waktu terlewat sedemikian cepatnya. Ia teringat akan Ayu Candra dan ia bernapas panjang dengan hati lega. Wejangan gurunya itu menyadarkannya dan kini ia mengenang Ayu Candra dengan hati lega, menganggap dara itu adiknya dan mulailah ia dapat mengganti rasa kasihnya dengan kasih seorang kakak.

"Kasihan Ayu, aku harus menghiburnya........!!"

Ia lalu berjalan perlahan menuju ke pondok. Pondok itu sunyi, sesunyi hati Joko Wandiro. Lebih sunyi lagi hatinya ketika ia memasuki pintu pondok dan mendapatkan pondok itu kosong. Ke manakah perginya Ayu Candra? Ia keluar lagi dan mencari-cari di sekitar pondok. Tidak hanya Ayu Candra, juga Ki Jatoko tidak tampak! Rasa khawatir menyelinap di dada Joko Wandiro. Ia mulai memanggil-manggil, tiada jawaban. Kemudian ia memasuki pondok, memasuki bilik dara itu. Semua pakaian Ayu Candrapun tidak ada lagi di dalam bilik. Jelas kini bahwa Ayu Candra telah pergi, pergi meninggalkan Sarangan, meninggalkan pondok, meninggalkan dia. Joko Wandiro duduk di atas bangku depan pondok, keningnya berkerut. Kalau Ayu Candra pergi seorang diri, hal itu tidak akan menggelisahkan hatinya benar. Dara itu cukup perkasa, cukup marnpu menjaga keselamatan diri sendiri.

Akan tetapi, yang benar-benar mencemaskan hatinya adalah lenyapnya Ki Jatoko, laki-laki buntung itu. Ia tidak percaya kepada Ki Jatoko dan kalau Ayu Candra pergi bersama Ki Jatoko, benar benar membuat hatinya tidak enak. Berpikir demikian, Joko Wandiro lalu meloncat dan lari untuk mencari jejak dan mengejar. Sebentar saja ia telah meninggalkan tempat itu. Memang tepat Apa yang dikhawatirkan Joko Wandiro itu. Ayu Candra bukan pergi seorang diri, melainkan bersama Ki Jatoko. Dan juga kepergiannya atas bujukan Ki Jatoko pula. Ketika tadi ia
meninggalkan Joko Wandiro sambil menangis, Ki Jatoko menyambutnya.

Dara ini tidak tahu bahwa orang buntung yang kelihatannya lemah itu sesungguhnya berilmu tinggi dan tadipun telah mendengarkan semua percakapannya dengan Joko Wandiro. Ketika dara itu meninggalkan Joko Wandiro dan berlari ke pondok, Ki Jatoko telah mendahuluinya dan kini menyambut dara itu dengan muka serius.

"Kasihan sekali engkau, nini!"

Suara Ki Jatoko menggetarkan keharuan, karena sesungguhnya Ki Jatoko memang menaruh rasa iba yang amat besar terhadap gadis yang diam-diam dicintanya itu. Ki Jatoko selama hidupnya belum pernah mencinta orang, mencinta dalam arti kata yang semurninya. Biasanya ia mencinta wanita berdasarkan nafsu berahi semata. Kini entah bagaimana, ia betul-betul jatuh cinta dan melihat gadis itu berduka, ia merasa kasihan dan juga ikut menderita. Namun di samping perasaan ini, kelicikan juga membuat ia melihat kesempatan baik sekali untuk melaksanakan maksud dan niat hatinya.

Orang yang sedang berduka dan tertimpa malapetaka, apalagi kalau ia wanita, paling tidak kuat mendengar orang yang menyatakan iba hatinya.Mendengar ucapan Ki Jatoko yang menggetar penuh keharuan, makin menggungguk tangis Ayu Candra. Dara ini menjatuhkan diri duduk di atas bangku depan pondok, menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis, memanggil-manggil ayah ibunya.

"Ayu Candra, aku mengerti betapa sakit hatimu dan betapa engkaupun bingung karena tidak tahu siapa pembunuh ayah bundamu. Akan tetapi jangan khawatir, bocah ayu, pamanmu ini jelek-jelek tahu siapa musuh besarmu dan percayalah, aku bersumpah kepada Dewa Yang Maha Agung untuk membantumu mencari musuh-musuhmu dan membalaskan sakit hatimu."

Seketika Ayu Candra menghentikan tangisnya. La menurunkan tangan dan memandang laki-Iaki buntung itu dengan mata terbelalak kaget.

"Engkau.. engkau tahu betul siapa pembunuh ayah bundaku, paman........................... ?"

Ki Jatoko mengangguk-angguk dan memandang kedua kakinya yang buntung, lalu menarik napas panjang.

"Tidak hanya tahu, bahkan musuhmu itu juga musuh besarku, Ayu Candra. Ketika ayahmu dalam pesannya mengatakan bahwa ibumu adalah ibu Joko Wandiro, maka jelaslah semua bagiku. Bukankah ibumu itu bernama Listyokumolo?"

Lenyap seketika keraguan hati Ayu Candra. Ia ingat betul bahwa selama ini tidak pernah ia menyebutkan nama ibu kandungnya. Dari mana si buntung ini mengetahui nama ibunya kalau tidak memang mengetahui hal ini sejak dahulu? Akan tetapi kalau tahu nama ibunya mengapa tidak mengenal Joko Wandiro? Betapapun juga, peringatan Joko Wandiro kepadanya agar ia berhati-hati terhadap orang buntung ini membuat Ayu Candra berhati-hati. Ia cukup cerdik, maka
untuk meyakinkan hatinya, ia bertanya,

"Paman Jatoko, kalau engkau mengenal ibuku, tentu engkau mengenal pula puteranya yang bernama Joko Wandiro."

Ki Jatoko menggeleng-geleng kepalanya.
"Aku tidak pernah melihat puteranya karena puteranya itu hilang ketlka masih kecil, diculik musuhnya, Ibu kandungmu, kalau benar dia itu ibu Joko Wandiro, tentu bernama Listyokumolo. Dahulu ibumu itu adalah Isteri Raden Wisangjiwo, putera kadipaten di Selopenangkep. Nah, kemudian muncullah musuh besar keluarganya, menculik ibumu dan puteranya yang baru berusla setahun bernama Joko Wandiro. Agaknya kemudian ibumu menikah dengan ayahmu dan mempunyai anak engkau ini. Mendengar ucapan mendiang ayahmu, tidak salah lagi, ibu dan ayahmu tentu pergi mencari Joko Wandiro itu dan bertemu dengan penculik yang menjadi musuh besarnya, kemudian bertanding. Memang musuh besarnya itu amat sakti mandraguna sehingga ibumu tewas dan ayahmu terluka hebat. Tidak bisa salah lagi. Aku sendiri mengalaminya. Kedua kakiku ini buntung karena mereka "

"Mereka.......... ?"

Ki Jatoko mengangguk-angguk.
"Ya, selain dia....... sendiri........ sakti mandraguna, si keparat itu masih mempunyai dua orang isteri yang juga tinggi ilmunya. Karena itu tidaklah mudah bagimu untuk membalas dendam. Akan tetapi kalau engkau percaya kepadaku, aku dapat membawamu. Asal saja engkau tidak bicara kepada siapapun juga, jangan pula kepada orang muda temanmu itu."

Kini lenyaplah semua syak wasangka di hati Ayu Candra, namun ia masih bertanya lagi,
"Paman Jatoko, bagaimana paman tahu akan hal itu semua?"

"Ayu Candra, engkau masih tidak percaya kepadaku? Aku adalah seorang penduduk Kadipaten Selopenangkep, tentu saja peristiwa yang menimpa keluarga Selopenangkep itu kuketahui jelas. Sekarang, hendak kutanya kepadamu. Apakah kau tidak ingin membalaskan kematian ayah bundamu?"

Ayu Candra bangkit berdiri, mengepal kedua tangannya.
"Tentu saja!" jawabnya penuh kemarahan dan dendam.

"Bagus! Kalau begitu, hayo kita berangkat sekarang juga."

"Beri tahu saya, paman. Siapa musuhku Itu dan di mana dia?"

Ki Jatoko menggeleng kepalanya.
"Tidak bisa. Mereka itu berpindah-pindah, hanya aku yang akan dapat mencari mereka. Akupun menaruh dendam, akan tetapi aku sudah cacat, sudah buntung. Aku mengharapkan engkau akan dapat membalas mereka, dan aku harus menyaksikannya dan membantumu. Marilah!"

Tanpa disadarinya, Ayu Candra menoleh ke arah telaga. Hatinya berdebar keras. Girang bahwa ia kini mendapat jalan untuk membalaskan sakit hati ayah bundanya. Akan tetapi teringat kepada Joko Wandiro, ia bersangsi.

"Aku akan memberitahu lebih dahulu kepadanya "

"Apa?? Kepada pemuda itu? Kau keliru, rahasia pribadi yang begini penting tidak boleh sekali-kali diberitahukan orang lain."

"Paman Jatoko, hal yang ajaib telah terjadi. Engkau tidak tahu. Kaukira siapakah pemuda itu? Dialah Joko Wandiro....... kakak kandungku Dialah putera........ ibuku."

Tidak dapat ditahan lagi, ucapan yang menusuk perasaannya ini kembali mendorong keluar air matanya. Ki Jatoko benar-benar kaget dan tanpa disadarinya lagi ia lupa bahwa ia sedang bersandiwara, pura-pura menjadi orang tapadaksa yang lemah. Tubuhnya mencelat ke atas, tinggi sekali lalu melayang turun bagaikan seekor burung garuda, kedua kaki buntungnya hinggap kembali di atas tanah tanpa mengeluarkan suara, tubuhnya ringan dan gerakannya tadi cepat. Karena ia menggunakan aji meringankan tubuh Bayu Sakti, tentu saja hebat sekali sehingga Ayu Candra yang tidak menduganya semula, memandang dengan bengong.

"Wah, kiranya engkau berkepandaian hebat, paman Jatoko!" serunya terheran-heran.

Ki Jatoko menyesal mengapa ia tidak dapat menguasai dirinya sehingga membuka rahasianya sendiri. Ia menghela napas. Sungguh mengagetkan sekali kenyataan bahwa pemuda yang gerak-geriknya tangkas itu adalah Joko Wandiro, putera Wisangjiwo yang dahulu lenyap diculik Pujo.

Lanjut ke Jilid 072 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment