Ads

Thursday, January 10, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 074

◄◄◄◄ Kembali

Hanya sebentar dan cepat-cepat Joko Wandiro menjauhkan lagi mukanya sambil memaki diri sendiri dalam hatinya. Ihh! Benar-benar dia telah gila. Setan telah menguasai hatinya. Benarkah ia seorang mata keranjang? Seorang yang gila akan wajah jelita? Kalau tidak demikian, mengapa ia suka sekali kepada gadis ini, suka mendukungnya dan bahkan ingin sekali berdekatan, ingin sekali menciumnya? Makin berdebar jantung Joko Wandiro ketika ia merasa betapa dada gadis itu terengah-engah, betapa detak jantung gadis itu seakan-akan hendak memecahkan rongga dadanya, kemudian melihat betapa warna kemerahan pada wajah yang berkulit halus putih itu kini menjadi makin merah seperti udang dipanggang. Tiba-tiba dara itu meronta, membuka matanya yang lebar dan amat indah, mulutnya menahan isak dan ia merintih perlahan, lalu berkata,

"Lepaskan aku.....!”

Joko Wandiro melepaskan dukungannya. Melihat gadis itu berdiri di depannya dengan wajah penuh kemarahan, mata itu memancarkan sinar dan kedua tangan kecil terkepal, Joko Wandiro menundukkan mukanya dan berkata perlahan,

"Maafkan aku, nona. Aku sudah berani....... berani memondongmu...... karena kau tadi..... dilarikan perampok dan kau pingsan," kata Joko Wandiro gagap.

Mata gadis itu tidak sehebat mata Ayu Candra, akan tetapi harus ia akui bahwa tidak banyak ia bertemu dengan gadis yang bermata seindah ini. Karena tidak berani berterus terang, Joko Wandiro merasa seperti orang membohong dan mukanya seketika menjadi merah sekali.

"Engkau laki-laki lancang! Engkau sudah berani....... hemm........ berbuat kurang ajar kepadaku. Apakah kau tahu siapa aku? Aku adalah Puteri Mayagaluh, puteri Raja Jenggalal"

Bukan main kagetnya hati Joko Wandiro. Celaka, pikirnya. Ia telah melakukan dosa besar sekali. Ia telah berani mencium pipi puteri raja! Dosa yang tak dapat diampuni lagi. Biarpun gurunya berpesan agar ia membantu Kerajaan Panjalu untuk menghadapi Jenggala, namun betapapun juga, Kerajaan Jenggala masih bersaudara dengan Kerajaan Panjalu. Raja Jenggala adalah adik kandung Raja Panjalu, masih keturunan mendiang Sang Prabu Airlangga. Dan ia telah berani mencium pipi sang puteri. Wajahnya seketika menjadi pucat, kedua kakinya lemas dan ia sudah menjatuhkan diri berlutut sambil menundukkan mukanya.

"Karena hamba tidak tahu, hamba mohon paduka suka memberi ampun," katanya merendah.

Dan karena ia tertunduk itulah, ia tidak melihat betapa wajah sang puteri berseri-seri dan kemerahan, betapa sepasang mata yang jeli itu menatap wajahnya dengan tajam dan senyum simpul menghias bibir merah.

"Sudahlah, tidak mengapa. Karena kau tidak tahu, dan juga karena aku sedang pingsan sehingga aku tidak tahu akan perbuatanmu, biarlah kita jangan bicarakan hal itu pula. Betapapun juga, engkau sudah menolongku dari tangan perampok jahat. Orang muda, siapakah namamu?"

Lega rasa hati Joko Wandiro. Terasa lapang dan kepucatan wajahnya segera terganti warna merah. Ia tahu betul bahwa sang puteri tadi tidak pingsan lagi ketika ia menciumnya, tapi kini sang puteri menyatakan bahwa sang puteri dalam keadaan pingsan ketika ia melakukan "perbuatan" tadi dan menghendaki agar hal itu jangan dibicarakan lagi. Memang tidak akan ia bicarakan, akan tetapi bagaimana akan dapat ia lupakan? Ia telah mencium pipi seorang puteri raja! Biarpun puteri ini puteri Kerajaan Jenggala, namun ternyata baik budi dan mudah mengampuni kesalahan orang serta menghargai pertolongan orang.

"Nama hamba Joko Wandiro, gusti puteri."

"Joko Wandiro, aku mengucap banyak terima kasih kepadamu atas pertolonganmu tadi. Engkau kawula manakah? Dan di mana tempat tinggalmu?"

Joko Wandiro tidak suka menceritakan keadaannya. Apalagi menceritakan tentang gurunya, Ki Patih Narotama karena gurunya ini amat tidak suka kepada ayah puteri ini. Di samping itu, tidak ada keinginan hatinya pula menceritakan keadaan keluarganya. Bukankah ia sekarang sudah yatim piatu? Ayahnya yang bernama Wisangjiwo sudah tewas dalam perang membela Pangeran Sepuh yang kini menjadi Raja Panjalu, yaitu dalam perang melawan bala tentara ayah puteri ini! Ibunya belum lama ini terbunuh orang pula. Dan tempat tinggalnya Dia tidak mempunyai tempat tinggal tertentu.

"Hamba adalah seorang yang hidup sebatangkara, tidak mengabdi kepada siapapun juga dan tiada tempat tinggal tertentu seperti sehelai daun kering terbawa angin tanpa tujuan."

Berkerut kening sang puteri, dan pandang matanya membayangkan iba hati.
"Ah........! Betapa mungkin seorang seperti engkau tidak mempunyai pekerjaan!"

Hampir saja terloncat kata-kata "gagah dan tampan" dari mulut puteri ini. Segera ia menyambung,
"Joko Wandiro, maukah engkau menolongku? Kelak tentu ramanda prabu akan memberi ganjaran yang setimpal dengan jasamu ini."

Lucu, pikir Joko Wandiro. Sudah jelas tadi tanpa diminta ia sudah menolong puteri ini, mengapa sekarang masih ditanya lagi apakah suka menolong Adapun tentang ganjaran.......................... ah, kembali mukanya menjadi merah sekali karena harus la akui bahwa ia tadi telah menerima ganjaran yang lebih menyenangkan daripada ganjaran apapun juga!.

"Tentu saja hamba akan melakukan segala perintah paduka tanpa mengingat akan ganjaran apapun juga."

"Engkau baik sekali, Joko Wandiro. Aku minta agar kau suka mengantar aku pulang ke Jenggala."

"Kalau tidak salah, Kerajaan Jenggala amatlah jauh dari sini, gusti puteri. Maka amatlah mengherankan bagaimana paduka bisa sampai di tempat sejauh ini, seorang diri pula dan terjatuh ke tangan penjahat? "

"Kau tidak tahu, Joko Wandiro. Aku tadinya tidak melakukan perjalanan seorang diri. Aku pergi mengikuti kakakku, Pangeran Panjirawit, dan dikawal oleh panglima kepala pengawal istana sendiri. Akan tetapi ketika kami berlomba, aku kehilangan jalan dan tersesat, kemudian bertemu dengan lima orang perampok. Yang empat orang dapat kurobohkan, akan tetapi kepala perampok itu dapat menawanku dan membawaku lari. Untung ada engkau yang menolong, hanya sayang kudaku tidak dapat kau rampas kembali."

"Ahhh! Kalau hamba tahu bahwa dia itu tadi kepala perampok, tentu hamba tidak akan semudah itu melepaskannya Dan kuda itu hamba sangka miliknya. Benar keparat!"

Joko Wandiro mendongkol sekali, dan berbareng juga kagum terhadap puteri ini. Seorang puteri bangsawan, puteri raja, dapat merobohkan empat orang perampok Benar-benar hebat!

"Sudahlah, engkau sudah membebaskan aku dari tangannya, itu sudah merupakan jasa yang amat besar. Joko Wandiro, mari kau antar aku pulang ke Jenggala."

"Baiklah, gusti. Hanya sayang, kuda itu dirampas perampok. Kalau tidak, tentu paduka dapat menunggang kuda dan perjalanan dapat dilakukan lebih cepat lagi."

"Tidak mengapa. Kita jalan kaki. Jangan kau khawatir, biarpun seorang puteri raja namun aku bukan seorang lemah. Aku dapat berjalan cepat."

"Ssttt..........! Ada orang datang! Harap paduka bersernbunyi...................." bisik Joko Wandiro yang merasa khawatir kalau-kalau yang datang adalah perampok tadi bersama teman-temannya. Jika terjadi pertempuran, ia piker lebih baik sang puteri bersembunyi saja sehingga tidak menambah bebannya harus melindungi diri sang puteri. Akan tetapi Mayagaluh mengerutkan keningnya dan memasang telinga mendengarkan. Pendengaran telinganya tidak setajam Joko Wandiro dan setelah agak lama barulah ia mendengar derap kaki kuda dari jauh. Segera wajahnya berubah girang.

"Ah, itulah kakakku dan kepala pengawal!" teriaknya sambil meloncat dan menghadap di tengah jalan.

Joko Wandiro juga girang mendengar ini. Kalau puteri ini bertemu dengan kakaknya dan pengawal, ia akan terbebas daripada tugas mengantar ke Jenggala. Sebetulnya, iapun segan untuk pergi ke Jenggala, pertama karena ia masih merasa cemas akan hilangnya Ayu Candra dan sedang mencari dara itu, ke dua ia ingin mengunjungi ayah angkatnya di Bayuwismo, ke tiga iapun merasa tidak enak harus membantu puteri Raja Jenggala yang dianggap musuh oleh gurunya, Ki Patih Narotama.

Setelah derap kaki kuda terdengar makin jelas, Puteri Mayagaluh berseru heran,
"Mengapa begitu banyak kuda? Dengan siapakah rakanda pangeran datang??"

Kembali Joko Wandiro merasa tidak enak hatinya. Akan tetapi sekarang sudah tidak ada waktu lagi bagi sang puteri untuk bersembunyi. Sebelum ia minta kepada sang puteri supaya bersembunyi, para penunggang kuda itu sudah muncul dari sebuah tikungan jalan. Mereka Itu ternyata adalah tujuh orang pria menunggang kuda-kuda besar. Lega hati Joko Wandiro ketika melihat tujuh orang itu, karena pakaian mereka menunjukkan bahwa mereka adalah ponggawa-ponggawa berkedudukan tinggi dan sama sekali bukanlah perampok perampok. Tujuh orang itupun merasa heran melihat dua orang muda itu berada di dalam hutan liar di pegunungan sunyi. Mereka menahan kuda mereka yang tubuhnya sudah basah oleh keringat.

"Eh, bukankah andika Joko Wandiro??" Seorang di antara mereka menegur ketika mengenal pemuda itu.

"Betul, anda Joko Wandiro!" seru orang ke dua.

Joko Wandiro memandang dan kini iapun teringat bahwa dua orang ini adalah dua orang di antara panglima Kerajaan Panjalu, anak buah Ki Patih Suroyudo dan dahulu ikut menyaksikan ketika la menghadapi pengeroyokan Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Lima orang yang lain agaknya juga Panglima-panglima Panjalu karena pakaian mereka menunjukkan bahwa merekapun perajurit-perajurit tingkat tinggi dan karena usia mereka sudah tua daripada kedua orang itu, tentu mereka memiliki kepandaian yang lebih tinggi pula.

"Benar, hamba adalah Joko Wandiro. Paduka sekalian ini datang dari mana dan hendak ke mana?"

Akan tetapi sebelum ada yang menjawab, tiba-tiba seorang di antara mereka berseru sambil memandang kepada sang puteri,

"Dan paduka ini bukankah Gusti Puteri Mayagaluh dari Jenggala??"

Yang Iain-Iain kaget dan kini semua orang memandang. Biarpun mereka adalah Panglima-panglima Panjalu yang bermusuhan dengan Jenggala, akan tetapi sang raja di Jenggala adalah putera mendiang Sang Prabu Airlangga pula sehingga puteri ini termasuk anak kemenakan Raja Panjalu, maka tentu saja mereka menghadapinya dengan sikap hormat pula. Dengan sikap agung dan gagah, menyembunyikan kekhawatiran hatinya, Puteri Mayagaluh menjawab,

'Benar, aku adalah Mayagaluh. Paman sekalian hendak ke mana?"

Seorang di antara mereka yang tertua dan yang kumisnya panjang ujungnya menjulang ke atas, segera meloncat turun dari kudanya, diikuti enam orang teman-temannya. Dengan sikap hormat si kumis panjang ini menghampiri sang puteri, kemudian berkata,

"Kalau begitu, hamba persllahkan paduka menunggang kuda ini untuk hamba antar menghadap paman paduka, sang prabu di Panjalu."

Puteri itu nampak terkejut. Sebagal seorang puteri raja, tentu saja ia maklum Apa artinya kata-kata yang halus itu. Di balik sikap halus dan ucapan mempersilahkan, ia telah dijadikan seorang tawanan! Akan tetapi ia tidak takut. Ia maklum bahwa biarpun ayahnya bermusuhan dengan pamannya, namun permusuhan itu hanya karena urusan kerajaan, sehingga dia sendiri tentu tidak akan diganggu oleh pamannya. la tidak takut maupun khawatir, hanya ia menjadi tidak senang sekali.

"Paman, aku mau pulang ke Jenggala! Kalau aku berniat mengunjungi paman prabu di Panjalu, tidak perlu kalian minta! Pergilah dan jangan menggangguku."

Wajah perwira berkumis panjang itu menjadi merah. la tak dapat menyangkal kebenaran jawaban puteri itu. Akan tetapi, setiap orang ingin menonjolkan pahala kepada yang dipertuan. Secara kebetulan ia bertemu dengan seorang Puteri Jenggala. Kalau ia dapat menawannya ke Panjalu dan menyerahkan puteri itu sebagai tawanan, tak dapat tidak sang prabu tentu akan merasa senang. Biarpun sang puteri takkan diganggu, akan tetapi hal ini sedikitnya akan menyuramkan Jenggala dan siapa tahu puteri itu akan dapat dijadikan semacam cara untuk menundukkan musuh.

"Harap saja paduka tidak menyulitkan hamba. Paduka adalah seorang Puteri Jenggala, karena itu termasuk musuh hamba sekalian. Hanya karena mengingat bahwa paduka adalah anak kemenakan gusti prabu, maka hamba memperlakukan paduka sebagai seorang tamu agung, bukan sebagai seorang tawanan. Gusti puteri, silahkan menunggang kuda ini."

Menyaksikan betapa sang puteri dipaksa secara halus, Joko Wandiro lalu melangkah maju dan berkata,
"Paman, yang berselisih adalah Raja Panjalu dan Raja Jenggala, yang berperang adalah perajurit-prajurit Panjalu melawan perajurit-perajurit Jenggala. Kurasa dalam hal itu sang puteri tidak ikut-ikut. Jelas bahwa sang puteri tidak suka singgah di Panjalu, mengapa kalian hendak memaksa? Apakah perbuatan ini tidak memalukan kalian sebagai perwira-perwira yang perkasa? Menghina wanita bukanlah perbuatan jantan!"

Seorang perwira yang paling muda menghardik,
"Joko Wandiro! Begini mudahkah engkau berkhianat? Belum lama ini engkau memohon kepada gusti prabu untuk menghambakan diri kepada Panjalu, dan sekarang engkau sudah ingin melindungi puteri musuh?"

"Kalau kalian berperang melawan perajurit-perajurit Jenggala, aku tidak akan membantu Jenggala, akan tetapi saat ini kalian tidak sedang perang, melainkan sedang melakukan perbuatan yang tidak benar. Kalian hendak memaksa, hal itu berarti hendak menculik sang puteri. Hal ini mana mungkin aku mendiamkan saja? Pendeknya, kalau sang puteri tidak dengan suka rela sendiri ikut kalian menghadap pamannya, aku akan membelanya!”

"Keparat, kau memang manusia sombong!" bentak perwira muda itu yang segera menerjang maju dengan pukulan keras ke arah dada Joko Wandiro. Pemuda ini tenang saja, tidak menangkis, juga tidak mengelak.

"Blukkk!!!!"

Kepalan yang besar dan keras Itu dengan tenaga dahsyat menghantam dada Joko Wandiro. Akan tetapi akibatnya tubuh perwira Panjalu itu sendiri yang terlempar dan terjengkang ke belakang! Melihat datangnya pukulan tadi, Joko Wandiro maklum bahwa lawannya ini hanya memiliki tenaga kasar yang kuat, maka ia lalu mengerahkan hawa saktinya, menggunakan tenaga menendang pada dadanya sehingga akibatnya lawan itu terjengkang. Bukan main marahnya perwira ini. la meloncat bangun tanpa memperdulikan tangannya yang sakit dan membengkak. Ia telah dibikin malu di depan rekan-rekannya. Seorang perwira Panjalu adalah seorang perajurit pilihan yang sudah lulus ujian ketangkasan, bagaimana kini menghantam dada seorang pemuda malah roboh sendiri? Ia menerjang lagi sambil mengeluarkan suara menggereng seperti harimau.

Melihat kenekadan orang ini Joko Wandiro mendongkol. Kini kepalan lawan di arahkan ke perutnya. Sekali lagi ia tidak menangkis rnaupun mengelak, melainkan diam-diam mengerahkan hawa sakti, menggunakan tenaga menempel dan menekan.

"Krakkk!" Si berangasan menjerit dan tubuhnya tcrlempar sampai tiga meter ke belakang, di mana ia terbanting jatuh dan menggereng kesakitan sambil memegangi lengan yang sudah patah tulangnya.

"Keparat engkau, Joko Wandiro Merobohkan seorang perwira kerajaan berarti memberontakl" bentak perwira ke dua yang bertubuh tinggi besar. Diikuti empat orang temannya yang semua menghunus keris, mereka maju dan menerjang Joko Wandiro.

Pemuda ini merasa menyesal. Teringat akan pesan gurunya, ia tidak suka bermusuhan dengan orang-orang Panjalu. Bahkan ketika ia dipandang rendah di istana dan tidak ditenma penghambaan dirinya, ia tidak merasa sakit hati. Akan tetapi, kali ini ia menghadapi perwira-perwira Panjalu bukan sekali-kali membela Jengga!a, dan di dalam hatinyapun bukan sekali-kali ia hendak membela seorang puteri Jenggala, melainkan ia hendak membela seorang wanita yang terancam kebebasannya oleh sekelompok orang-orang yang hendak menawannya.

"Aku tidak memberontak atau melawan Panjalu, aku menentang dan melawan kalian orang-orang yang hendak menghina wanita!" jawabnya dan kini ia tidak berani menerima sambaran keris para perwira itu. Bukan saja ia khawatir bajunya akan rusak oleh tikaman keris-keris itu, juga ia tahu bahwa perwira-perwira Panjalu bukanlah orang-orang sembarangan dan keris merekapun tentu saja merupakan senjata-senjata ampuh yang tak boleh dipandang rendah.

Memang sesungguhnya demikianlah. Gerakan lima orang itu tangkas dan cepat sekali dan biarpun mereka berlima bergerak berbareng mengurung Joko Wandiro, namun gerakan mereka tidak kacau dan dapat saling membantu. Lima orang perwira ini adalah perwira-perwira setengah tua yang sudah banyak pengalaman. Mereka tidak sembrono seperti perwira berangasan tadi. Mereka tahu bahwa pemuda ini pernah mengalahkan pengeroyokan Ni Durgogini dan Ni Nogoginl yang membuktikan bahwa pemuda Ini seorang sakti mandraguna. Oleh karena itulah kini mereka mengeroyok dengan gerakan hati-hati. Kalau saja mereka tidak sudah tahu bahwa Joko Wandiro adalah seorang yang memiliki ilmu kesaktian tinggi, tentu saja sebagai perwira-perwira Panjalu mereka akan merasa malu untuk mengeroyok.

Keris pertama yang menyerangnya dengan tusukan kilat ke arah pusar adalah keris perwira tinggi besar. Joko Wandiro menggeser kaki miringkan tubuh. Pada detik berikutnya, dua batang keris perwira Iain menyambarnya dari kanan kiri, mengarah leher dan lambung. Ia merendahkan tubuh mengelak dari tusukan keris di leher sambil memutar tubuh dan mencengkeram lengan yang memegang keris menusuk Iambung sehingga si pemegang keris cepat-repat menarik kembali kerisnya. Namun pada saat itu, kembali ada dua batang keris menyerangnya dengan gerakan cepat sekali, dari depan dan helakang. Terpaksa Joko Wandiro meloncat ke kanan dan menggerakkan kakinya menendang ke arah pergelangan tangan lawan yang berada di belakang, namun tendangannya juga luput karena perwira itu sudah menarik kembali kerisnya sambil meloncat mundur.

Joko Wandiro terus didesak, dihujani serangan dari lima penjuru, serangan yang cepat, kuat, dan susul-menyusul. Dengan Aji Bayu Sakti, Joko Wandiro seenaknya mengelak ke sana ke mari. Jangankan baru dikeroyok lima, biarpun ditambah sepuluh orang lagi kalau ia menggunakan aji ini, tak mungkin tubuhnya akan dapat dicium senjata lawan. Lima orang perwira itu menjadi pusing dan mata mereka berkunang ketika tubuh lawan yang dikeroyok bergerak-gerak amat cepatnya sehingga lenyap bentuk tubuhnya, hanya tampak bayangan yang tentu saja sukar sekali untuk diserang.

Sementara itu, perwira berkumis panjang yang tidak ikut mengeroyok, cepat-cepat membujuk dengan kata-kata mengandung ancaman. Karena tidak ingin diperlakukan kasar dan dipaksa naik kuda, terpaksa sekali Sang Puteri Mayagaluh meloncat ke atas punggung kuda itu, diikuti oleh perwira berkumis panjang yang meloncat ke atas seekor kuda lain. Mayagaluh menoleh dan melempar pandang terakhir ke arah Joko Wandiro yang masih sibuk menghadapi lima orang pengeroyoknya, kemudian kudanya dicambuk dari belakang oleh perwira berkumis sehingga kuda itu meloncat ke depan dan berlari cepat.

Joko Wandiro mendengar derap kaki kuda cepat menengok. Alangkah kaget dan mendongkol hatinya melihat sang puteri sudah dilarikan seekor kuda, diikuti si perwira berkumis. Tadinya ia tidak berniat merobohkan lima orang perwira ini karena ia masih merasa segan untuk bermusuhan dengan mereka. Akan tetapi melihat sang puteri dibawa pergi dan menduga bahwa betapapun juga, puteri seorang musuh tentu takkan mendapat perlayanan baik kalau terjatuh di tangan musuh, timbul kekhawatirannya. Sekali ia berseru keras, kedua tangannya bergerak dan dua orang pengeroyok tak dapat mempertahankan diri terhadap dorongan kedua tangan Joko Wandiro yang mengandung hawa pukulan luar biasa panasnya itu. Mereka berteriak kaget dan terdorong roboh, keris mereka mencelat entah ke mana. Menggunakan kesempatan ini, Joko Wandiro meloncat jauh melakukan pengejaran.

Biarpun kuda yang membawa lari puteri itu membalap, namun Joko Wandiro yang mengerahkan Aji Bayu Sakti, sebentar saja sudah hampir dapat menyusulnya. Namun tiga orang perwira yang belum roboh, juga sudah mencemplak kuda dan mengejar sambil berteriak-teriak. Tiga orang perwira itu adalah ahli-ahli dalam hal menunggang kuda, maka sebelum Joko Wandiro dapat turun tangan merampas kembali Puteri Mayagaluh, la sudah tersusul dan kembali mereka menerjang dan mengurungnya sambil melompat dari atas kuda masirtg-masing. Gerakan mereka cukup gesit dan tangkas dan sekali lagi Joko Wandiro terpaksa menggunakan Aji Bayu Sakti untuk menghindarkan diri dari hujan tikaman keris.

Melihat sang puteri makin jauh, Joko Wandiro panas hatinya.
"Kalian ini benar-benar tak tahu diri!" bentaknya dan mulailah ia menggerakkan kaki tangan untuk menangkis dan balas menyerang. Pada saat itu, dua orang perwira yang tadi hanya roboh oleh tenaga dorongan dahsyat dan tidak terluka, kini sudah datang pula menyerbu sambil melompat turun dari atas kuda masing-masing. Kembali lima orang perwira mengeroyok Joko Wandiro. Dua orang perwira yang kehilangan keris, kini malah menggunakan tombak yang tadinya terselip di punggung kuda. Dari jauh tampak perwira ke enarn yang patah tulang lengannya, berjalan perlahan karena kudanya ditunggangi oleh sang puteri. Tentu saja setelah tulang lengannya patah, ia tidak dapat membantu teman-temannya.

Tadi ketika Joko Wandiro hanya menggunakan kegesitannya berlandaskan Aji Bayu Sakti untuk mengelak ke sana ke sini, lima orang itu sudah tak berdaya dan sama sekali tidak mampu menyentuh ujung bajunya. Sekarang, dengan menggunakan Aji Kukilo Sakti yaitu gerak silat tangan kosong yang amat lincah dan hebat, tubuh Joko Wandiro menyambar-nyambar seperti seekor burung garuda dan kocar-kacirlah lima orang pengeroyoknya. Terdengar teriak-teriakan kaget, keris terlempar dan tubuh terbantmg. Dalam beberapa menit saja, lima orang itu sudah roboh tanpa memegang senjata lagi dan biarpun mereka tidak menderita luka parah, namun tamparan tangan Joko Wandiro membuat mereka pening dan untuk beberapa lama mereka tidak mampu bangun!

Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih dan seorang kakek berusia kurang lebih lima puluh lima tahun berdiri di depan Joko Wandiro. Kakek itu bertubuh sedang namun berdiri tegak dan gagah seperti tubuh seorang pemuda, wajahnya kemerahan dan keren gagah, alis, kumis dan jenggotnya masih hitam akan tetapi rambutnya sudah berwarna dua. Di tangan kanannya terpegang sebatang tongkat kehitaman yang mengkilap dan pakaiannya ringkas serba putih.

"Hemmm, pemuda jahat dari manakah berani mengandalkan kepandaian menghina dan merobohkan para perwira Kerajaan Panjalu?" katanya dengan suara keren, matanya bersinar keras dan tangan kirinya mengelus jenggot.

Berkelebatnya bayangan kakek ini tadi membuktikan bahwa kakek ini seorang berilmu, rnaka Joko Wandiro tidak berani memandang rendah. Pemuda ini segera membungkuk dan berkata penuh hormat,

"Paman, aku tidak menganggap mereka ini perwira-perwira Panjalu yang gagah, melainkan orang-orang jahat yang hendak menculik seorang wanita. Harap paman jangan mencampuri urusan ini."

Seorang di antara para perwira, yaitu yang lengannya patah, mengenal kakek ini dan segera berkata,

"Paman Darmobroto! Saya Jatmiko dari kaki Merbabu pula, sahabat putera paman Joko Seto! Paman, orang muda ini hendak membela seorang puteri Jenggala yang menjadi tawanan kami. Harap paman suka membantu kami dan jangan membiarkan dia mengejar seorang kawan kami yang membawa puteri itu menghadap Gusti Prabu."

"Orang muda, menyerahlah!" Ki Darmobroto, kakek itu membentak.

Mendengar disebutnya nama kakek ini, dan disebutnya pula nama Joko Seto putera kakek ini, sejenak Joko Wandiro tertegun. Itulah nama-nama yang disebut oleh Ki Adibroto dalam pesan terakhir! Inilah Ki Darmobroto calon mertua Ayu Candra! Hatinya makin tidak enak. Kalau tadi ia meragu untuk melawan kakek ini, sekarang ia makin merasa berat pula.

"Paman Darmobroto, kumohon agar paman jangan mencampuri urusan ini, biarlah lain kali aku akan datang menghadap paman, minta-maaf dan akan bicara hal yang amat penting bagi paman dan putera paman, Joko Seto "

"Hemm, kau sudah merobohkan perwira-perwira Panjalu, siapa peraaya omonganmu ? Bocah, lebih baik kau pergi dan jangan lanjutkan perbuatanmu menentang Panjalu, dan akupun sudah memaafkanmu."

Diam-diam Ki Darmobroto yang kini memperhatikan para perwira yang roboh, merasa kaget dan kagum. Perwira-perwira itu bukan orang-orang muda, tentu bukan perwira sembarangan dan sudah memiliki kepandaian yang lumayan. Akan tetapi enam perwira itu semua roboh oleh pemuda ini, tanda bahwa pemuda ini benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa. Apalagi melihat betapa mereka berenam itu tidak ada yang menderita luka berat, hal ini kembali membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang yang kejam. Inilah yang membuat Ki Darmobroto merasa suka dan sayang kepada Joko Wandiro dan ingin menyudahi urusan itu asal Joko Wandiro suka pergi dan tidak melanjutkan usahanya merampas puteri. Akan tetapi justeru hal inilah yang memberatkan hati Joko Wandiro. Ia suka mengalah asal Puteri Mayagaluh dibebaskanl Dengan suara bingung karena sang puteri kini sudah dilarikan jauh, ia berkata,

"Paman Darmobroto, aku tidak berniat melawanmu, juga tidak ingin bermusuhan dengan perwira Panjalu. Aku hanya ingin membebaskan sang puteri!"

Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat cepat sekali, meloncat jauh dan kembali ia mengejar sang puteri dan si perwira berkumis. Ki Darmobroto makin kagum menyaksikan gerakan pemuda itu. Iapun cepat mengejar sambil mengerahkan ilmunya berlari cepat. Alangkah kagum hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa ilmu lari cepat pemuda ini tidak kalah olehnya. Padahal ia sudah mempergunakan aji keringanan tubuh yang merupakan ilmu warisan dari nenek moyangnya dan yang sudah amat terkenal di daerah Merbabu! Ia makin penasaran dan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun karena Joko Wandiro juga mengerahkan seluruh tenaganya, menggunakan Aji Bayu Sakti yang ia dapat dari Empu Bharodo, maka pendekar Gunung Merbabu itu hanya mampu membayanginya, belum mampu menyusulnya.

Para perwira juga segera berloncatan ke atas kuda dan mengejar. Perwira yang lengannya patah membonceng salah seekor kuda mereka. Kejar-kejaran terjadi dengan seru. Debu mengepul dan tubuh mereka berkelebat keluar masuk hutan. Dengan loncatan-Ioncatan jauh dan berlari cepat sekali, akhirnya Joko Wandiro berhasil menyusul Mayagaluh dan perwira berkumis.

"Gusti puteri, hentikan kuda paduka! Jangan takut, hamba melindungi paduka!" teriak Joko Wandiro.

Perwira berkumis marah sekali, membalikkan tubuhnya dan menyerang dengan sebatang tombak yang panjang ke arah Joko Wandiro. Akan tetapi tanpa mengelak, pemuda itu menggerakkan tangan dan berhasil menangkap leher tombak lalu membetot keras. Perwira itu terkejut sekali dan terpaksa melepaskan tombak karena kalau tidak, ia tentu akan turut terbetot jatuh dari atas kuda.

"Perwira Panjalu, jangan kurang ajar dan bebaskan sang puteri!" Joko Wandiro membentak marah.

Puteri Mayagaluh kagum memandang Joko Wandiro, mulutnya tersenyum manis dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri. Ia senang sekali melihat kesetiaan pemuda itu. Maka ia lalu menahan kudanya. Akan tetapi pada saat itu, sesosok bayangan putih sudah tiba di tempat itu dan langsung menerjang Joko Wandiro sambil dibarengi bentakan,

"Orang muda, kaulah yang kurang ajar!"

Itulah Ki Darmobroto yang sudah menyerang dengan tangan kirinya mencengkeram ke arah pundak Joko Wandiro. Hebat gerakan kakek ini, didahului angin menyambar amat kuat. Joko Wandiro maklum bahwa kakek ini memiliki tenaga yang hebat, maka ia tidak mau membiarkan pundaknya dicengkeram. Akan tetapi iapun sebagai seorang sakti ingin sekali menguji sampai di mana keampuhan tangan kakek Merbabu itu, maka ia lalu mengangkat tangan kanannya menangkis sambil berkata,

"Paman, aku hanya ingin mencegah orang menghina seorang wanita!"

Dua buah lengan yang mengandung tenaga mujijat itu saling bertemu dan terkejut bukan main hati pendekar Merbabu ketika tidak hanya lengannya tergetar, bahkan sebagian dadanya kesemutan akibat benturan itu. Di lain fihak, Joko Wandiro juga kagum karena tenaga kakek itu cukup ampuh, tidak kalah banyak kalau dibandingkan dengan tenaga sakti mendiang Wirokolo yang tangguh. Karena maklum bahwa pemuda ini merupakan lawan berat, maka Ki Darmobroto lalu memegang tongkatnya erat-erat, melangkah maju dan bertanya,

"Orang muda, apakah engkau seorang ponggawa Jenggala? Kalau engkau seorang ponggawa Jenggala, aku hormati kesetiaanmu dan pembelaanmu terhadap gusti puterimu. Akan tetapi kalau engkau bukan ponggawa Jenggala, harap kau suka pergi dengan aman, jangan mencari penyakit."

"Dia bukan ponggawa Jenggala, akan tetapi sebentar lagi tentu dia diberi anugerah kedudukan mulia oleh ramanda prabu!"

Tiba-tiba Puteri Mayagaluh berkata. Joko Wandiro terkejut dan cepat-cepat ia berkata,
"Aku bukan ponggawa kerajaan mana pun, paman. Aku membelanya berdasar keadilan karena aku tidak suka melihat seorang wanita muda tanpa dosa diculik."

Lanjut ke Jilid 075 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment