Ads

Thursday, January 10, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 075

◄◄◄◄ Kembali

Akan tetapi pada saat itu, para perwira yang lain sudah tiba di situ dan mendengar ucapan puteri tadi mereka sudah menerjang lagi dan mengurung Joko Wandiro. Adapun Ki Darmobroto yang melihat kenekatan Joko Wandiro hendak melindungi sang puteri, sudah turun tangan pula memutar tongkatnya ikut menerjang. Sebetulnya, mengingat kedudukannya sebagai seorang tokoh besar Merbabu, seorang angkatan tua yang terkenal, Ki Darmobroto merasa sungkan untuk melawan Joko Wandiro yang bertangan kosong itu dengan tongkatnya yang sakti, Apa pula mengeroyoknya bersama lima orang perwira Panjalu. Akan tetapi karena yang dihadapinya ini bukan urusan pribadi, melainkan urusan membela Panjalu, ia mengesampingkan perasaan pribadi dan mendahulukan kepentingan junjungannya. Akan tetapi tidak seperti para perwira yang sudah marah dan terhina karena tadi beberapa kali dikalahkan Joko Wandiro dan kini menyerang dengan mati-matian, Ki Darmobroto menggerakkan tongkatnya hanya untuk merobohkan dan menawan pemuda itu.

Biarpun demikian, segera Joko Wandiro mendapat kenyataan betapa serangan orang tua ini amat hebat, ujung tongkatnya menyambar-nyambar dan pecah menjadi belasan batang agaknya saking cepatnya gerakan. Tongkat kayu cendana itu mengeluarkan bau harum dan ketika digerakkan, memperdengarkan suara mengaung. Joko Wandiro terkejut dan segera ia mengerahkan kepandaiannya untuk menghindari hujan senjata itu. Serangan para perwira yang lima orang jumlahnya itu dapat dengan mudah ia hindarkan, akan tetapi bayangan tongkat kayu cendana di tangan Ki Darmobroto benar-benar membuat ia repot. Ketika ia melompat jauh ke belakang untuk menjauhi para pengeroyoknya, bayangan tongkat dan bayangan putih itu mengejarnya, ujung tongkat tak pernah meninggalkan jalan darah di lehernya dan terdengar orang tua itu berseru,

"Menyerahlah!" sambil menusukkan ujung tongkat kearah jalan darah di leher yang akan membuatnya lumpuh seketika!

Joko Wandiro terpaksa mengeluarkan kepandaiannya. Dengan kelincahan mengandalkan Aji Bayu Sakti, ia miringkan tubuh ke kiri, kemudian dengan jari jari tangan terbuka ia memukul ujung tongkat. itulah pukulan Aji Pethit Nogo yang ampuhnya bukan main. Jangankan hanya tongkat kayu, biarpun tongkat besi akan dapat dipukul patah oleh jari jari tangan yang penuh Aji Pethit Nogo!. Akan tetapi kakek itu ternyata hebat. Agaknya dari sambaran angin yang keluar dari tangan Joko Wandiro, kakek itu maklum akan keampuhan Pethit Nogo, maka ia menarik tongkatnya dan menggoyang tangan sehingga ujung tongkat itu kini menyambar dan menotok ke arah telapak tangan Joko Wandiro.

Pemuda itu terkejut dan kagum. Dalam segebrakan ini saja ia maklum bahwa tingkat kepandaian Ki Darmobroto ini tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Ni Durgogini atau Ni Nogogini! Totokan pada telapak tangannya itu amat berbahaya. Pusat jalan darah di tangan berada di telapak tangan, antara ibu jari dan telunjuk, kalau sampai kena tertotok, tentu kelima buah jarinya akan kaku dan tak dapat dipergunakan lagi untuk beberapa lama. Totokan serupa ini sekaligus melumpuhkan atau membuyarkan keampuhan ilmu pukulan Pethit Nogo yang dilakukan dengan telapak tangan terbuka, mengandalkan kepretan jari jari tangan.

Maklum bahwa ilmu tongkat kakek Itu dapat mengatasi ilmunya Pethit Nogo, Joko Wandiro segera menggerakkan tubuhnya dan mulailah ia melakukan gerakan-gerakan dari Ilmu Silat Bramoro Seto. Tubuhnya berkelebat cepat sekali dan ia menggunakan kecepatannya yang mengatasi kecepatan kakek itu untuk berusaha merampas tongkat. Ketika kakek ini menggerakkan tongkatnya menyabet dari kanan ke kiri, Joko Wandiro merendahkan tubuh dan secepat kilat tangannya menyambar ke depan. Di lain saat dua jari tangannya telah berhasil menjepit tongkat kayu cendana itu. Betapa kagetnya hati Ki Darmobroto ketika merasa betapa jepitan itu kuat sekali. la mengerahkan tenaga menarik, namun sia-sia, tongkatnya tak dapat terlepas dan pada detik itu, tangan kiri Joko Wandiro dengan jari tangan terbuka melakukan pukulan Pethit Nogo ke arah pelipisnya!.

"Celaka..........!!" seru Ki Darmobroto, terkejut sekali. La dapat menduga bahwa pukulan dengan jari tangan itu amat berbahaya, maka ia tadi memunahkannya dengan totokan-totokan tongkat. Kini tongkatnya terjepit dan dengan tangan kosong, tak mungkin ia berani menerima tamparan dengan jari jari seperti itu.

Untuk mengelak, terpaksa ia harus melepaskan tongkatnya dan hal ini alangkah akan mendatangkan malu baginya. Ia bertongkat, bahkan dibantu lima orang perwira. Pemuda itu bertangan kosong, namun pemuda itu masih dapat merampas tongkatnya? Tidak! Tiba-tiba Ki Darmobroto mengeluarkan pekik nyaring dan tiba-tiba tubuhnya menggelinding ke bawah, terus bergulingan dan tentu saja tongkat itupun ikut terbawa olehnya. Caranya bergulingan amat aneh, akan tetapi Joko Wandiro merasa betapa lengannya yang jarinya menjepit tongkat itu tak dapat menahan dan hendak ikut terbawa gerakan si kakek. Terkejutlah ia dan pada saat itu, kakek itu meloncat sambil menggerakkan kedua kakinya, bertubi-tubi melakukan tendangan.

"Bagus!" Joko Wandiro berseru kagum. Terpaksa kini ia melepaskan tongkat kakek itu dan melompat ke samping sambil menggerakkan tangan kiri menangkis kaki lawannya.

"Desss........!!”

Tubuh kakek itu berputar-putar, namun dengan cekatan sekali kakek itu melompat ke atas dan mematahkan gaya berpusing sehingga ia tidak sampai roboh. Kembali Joko Wandiro memuji. Akan tetapi Ki Darmobroto mengeluarkan keringat dingin. Dua gebrakan tadi hampir saja mencelakainya. Kini tahulah ia bahwa pemuda ini benar-benar amat sakti, maka ia lalu menggerakkan tongkatnya dan menerjang tanpa sungkan-sungkan lagi.

KALAU tadi ia hanya berusaha mengalahkan dan menaklukkan pemuda itu, kini ia menyerang sungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Kebetulan lima orang perwira juga sudah maju lagi mengurung sehingga keadaan Joko Wandiro benar-benar terancam.

“Paman sekalian sungguh terlalu, mendesak-desak tanpa mernberi kesempatan kepadaku. Kuharap paman suka mernbiarkan aku mengantar sang puteri kembali ke Jenggala."

"Tak perlu banyak cakap!" bentak seorang perwira.

Sesabar-sabarnya orang, tentu ada batasnya Joko Wandiro sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan para perwira Panjalu yang ia tahu adalah orang orang gagah perkasa dan perajurit perajurit utama ini, lebih-lebih lagi ia tidak ingin bermusuhan dengan Ki Darmobroto, calon ayah mertua Ayu Candra yang sedang di cari carinya itu! Akan tetapi ia pun tidak mungkin membiarkan Sang Puteri Mayagaluh menjadi tawanan, karena perang di antara kedua kerajaan kakak beradik itu sebetulnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pribadi sang puteri. la menganggap tidak semestinya dan amat curanglah kalau mempergunakan permusuhan kerajaan itu untuk menyeret seorang gadis muda menjadi tawanan. Melihat betapa kini kuda yang ditunggangi Puteri Mayagaluh kembali sudah dituntun dan dibedalkan cepat oleh si perwira berrkumis, kesabarannya lenyap.

"Paman-paman sekalian, sekali lagi hamba minta bebaskanlah sang puteri. Kalau tidak, terpaksa hamba berlaku kurang hormat!" Sengaja ia merendahkan diri kali ini.

"Joko Wandiro! Dengan berpihak kepada Jenggala, engkau menjadi pengkhianat dan menjadi musuh kami!" bentak seorang perwira dan mereka yang dipimpin oleh Ki Darmobroto yang sakti itu sudah menerjang maju bersama.

"Kalau begitu, terimalah ini!" Joko Wandiro mengeluarkan bentakan nyaring sekali, pekik dahsyat yang bukan menyerupai suara manusia lagi.

Pekik dahsyat ini mengiringi dorongsn kedua tangannya yang bergerak mendorong sambil membuat lingkaran kearah pengeroyoknya. Inilah pekik Dirodo Melu (Gajah Mengamuk) yang mengiringi Aji Bojro Dahono (Kilat Berapi) scbuah pukulan sakti yang dahulu pernah membuat Ki Patih Narotama terkenal! Hebat bukan main daya serangnya, baru pekik dahsyat itu saja sudah cukup untuk merobohkan lawan kuat yang tergetar jantungnya dan terbang semangatnya, apalagi aji pukulan yang mendatangkan angin lesus dan panasnya kilat menyambar itu.

Tubuh lima orang perwira Panjalu terlempar ke sana ke mari dalam keadaan pingsan! Hanya Ki Darmobroto yang dapat mempertahankan diri, hanya terhuyung-huyung sampai beberapa meter jauhnya, mukanya pucat dan dahinya mengeluarkan keringat dingin. Masih untung bahwa pemuda itu tidak bermaksud mencelakai mereka, dan hanya mempergunakan tenaga terbatas saja. Kalau tidak, tentu mereka semua termasuk Ki Darmobroto, akan tewas semua. Kakek itu berdiri terbelalak, menarik napas panjang berkali-kali untuk menghimpun tenaga memulihkan keadaan tubuhnya, memandang tubuh Joko Wandiro yang berkelebat cepat lari mengejar sang puteri yang dilarikan. Kemudian Ki Darmobroto menggeleng geleng kepalanya dan berkata seorang diri,

"Dari mana gerangan datang seorang muda yang begini hebat? Kalau pihak Jenggala memiliki jago muda seperti ini....... ahh, tiada harapan bagi Panjalu agaknya.....!"

Karena merasa tidak akan mampu melawan Joko Wandiro, Ki Darmobroto tidak mengejar, melainkan segera memberi pertolongan kepada para perwira yang masih pingsan. Ternyata Sang Puteri Mayagaluh telah dilarikan jauh sekali oleh perwira berkumis tadi. Joko Wandiro menjadi bingung ketika tidak melihat bayangan mereka. Terpaksa ia beberapa kali meloncat naik ke atas pohon tinggi untuk melihat ke sekeliling. Setelah berlari-lari cepat dan meloncat ke atas beberapa batang pohon tinggi besar, akhirnya ia melihat banyak sekali pernunggang kuda berkumpul di tempat jauh.

Ia menjadi girang akan tetapi juga khawatir akan keselamatan Puteri Mayagaluh, lalu meloncat turun dan cepat-cepat mempergunakan ilmu lari cepatnya untuk mengejar ke tempat yang tampak dari atas itu. Dia seorang yang amat berhati-hati. Begitu dekat dengan tempat itu, ia tidak langsung memperlihatkan diri. Melihat banyak sekali orang di situ, ia lalu menyelinap dan bersembunyi, memandang penuh perhatian. Kaget dan heranlah ia melihat betapa sang puteri tadi kini menangis di atas dada seorang pemuda tampan yang menghiburnya dengan ucapan dan belaian mesra, kemudian pemuda tampan itu menghardik kepada perwira berkumis yang berlutut dan menyembah-nyembah di depannya,

"Manusia lancang! Berani sekali kau menghina diajeng Mayagaluh? Biarpun kerajaan kita bermusuh dengan kerajaan paman di Jenggala, akan tetapi musuhmu adalah perajurit-perajurit Jenggala, bukan diajeng Mayagaluh! Laki-laki macam apa engkau ini? Pengawal, hajar dia dengan sepuluh kali cambukan!"

Kasihan juga si perwira berkumis itu. Susah payah ia melarikan Puteri Jenggala dengan harapan mendapat puji dan pahala. Siapa tahu, bukan pahala didapat, melainkan cambukan sepuluh kali. Pengawal yang tubuhnya seperti raksasa itu bertenaga besar. Biarpun hanya sepuluh kali, akan tetapi begitu selesai hukuman itu, si perwira berkumis tak sanggup bangkit lagi dan terpaksa harus digotong pergi dari situ oleh dua orang perajurit.

Melihat perkembangan yang sama sekali tidak diduga-duganya ini, hati Joko Wandiro menjadi girang sekali. Siapakah pemuda itu? Apakah sang pangeran kakak Puteri Mayagaluh yang disebut-sebut oleh gadis bangsawan itu tadi? Bersama para pengawalnya? Akan tetapi, mengapa ucapan pemuda bangsawan itu demikian ? Saking herannya dan karena menduga bahwa tak perlu lagi ia bersembunyi, ia lalu meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan berjalan menghampiri tempat itu. Melihat munculnya seorang pemuda yang tak dikenal, belasan orang pengawal segera maju dan sebentar saja Joko Wandiro sudah dikurung. Akan tetapi terdengar seruan Puteri Mayagaluh.

"Tahan! Dia adalah penolongku Eh Joko Wandiro ke sinilah engkau. Jangan takut, ini adalah kakangmas Pangeran Darmokusumo!"

Joko Wandiro cepat menghampiri puteri itu dan para pengawal yang mendengar seruan Puteri Mayagaluh memberi jalan kepadanya. Puteri itu kini berpaling kepadanya dan berkata,

"Joko Wandiro, kakangmas Pangeran Darmokusumo ini adalah pangeran dari Panjalu, kakak misan saya."

Joko Wandiro terkejut, heran, akan tetapi juga girang hatinya. Kiranya pangeran ini tidak sepicik anak buahnya dan bersikap baik terhadap Puteri Jenggala. Maka ia lalu cepat menghaturkan sembah dengan sikap hormat. Pangeran Darmokusumo adalah putera sang prabu di Panjalu dari selir, berusia dua puluh empat tahun, wajahnya tampan sekali dan sikapnya agung.

Ketika Kerajaan Kahuripan belum terpecah dahulu, yaitu ketika kakek mereka Sang Prabu Airlangga belum meninggal dunia, para pangeran dan puteri cucu Sang Prabu Airlangga masih tinggal menjadi satu dalam lingkungan keraton. Biarpun banyak di antara mereka sudah terbawa dalam permusuhan ayah mereka, namun antara Pangeran Darmokusumo dan Puteri Mayagaluh telah terdapat hubungan yang amat akrab. Bahkan diam-diam kedua orang muda ini saling mencinta. Ketika kerajaan terpecah, mereka terpaksa saling berpisah dan dengan hati sedih kedua orang muda ini melihat betapa ayah mereka saling bermusuhan. Tentu saja sebagai anak, mereka harus berfihak kepada ayah dan kerajaan masing masing, namun di lubuk hati mereka ini tak dapat saling melupakan. Maka pertemuan di dalam hutan, pertemuan yang tak disangka-sangka antara dua hati yang saling dipisahkan ini merupakan pertemuan mengharukan dan mesra. Biarpun mereka dahulu belum pernah saling menyatakan perasaan cinta kasih masing-masing, dalam pertemuan ini perasaan itu tertumpah dan tadi mereka saling peluk tanpa malu-malu lagi. Pangeran Darmokusumo ketika mendengar nama Joko Wandiro, sudah terkejut dan memandang penuh perhatian. Kini melihat pemuda yang kelihatannya sederhana itu menghaturkan sembah, ia bertanya, suaranya halus namun mengandung wibawa,

"Joko Wandiro namamu? Bukankah engkau ini satria yang pernah menghadap ramanda prabu dan yang telah mengusir mundur Ni Durgogini dan Ni Nogogini dari Panjalu?"

"Benar seperti yang paduka katakan gusti pangeran."

"Joko Wandiro, kau pernah menghadap ramanda prabu hendak mengabdikan diri, sekarang engkau melakukan perlawanan terhadap perajurit-perajurit Panjalu. Apakah hal ini berarti bahwa engkau kini telah berfihak kepada Jenggala?"

"Tidak, dalam peristiwa ini hamba sama sekali tidak mengingat tentang kerajaan manapun. Hamba hanya melihat seorang wanita yang hendak dibawa secara paksa oleh serombongan pria yang mempergunakan kekerasan. Andaikata wanita itu bukan kebetulan sang puteri dari Jenggala, sekalipun seorang gadis dusun, sudah pasti hamba juga akan turun tangan membelanya. Sebaliknya, andaikata rombongan pria itu bukan perajurit-perajurit Panjalu, misalnya mereka itu para perajurit Jenggala yang mengganggu seorang puteri Panjalu, hambapun tentu akan bertindak mencegah dan menentang mereka."

Senyum kagum menghias wajah tampan itu dan sepasang mata Pangeran Darmokusumo bersinar-sinar, kemudian ia mengangguk-angguk dan menoleh ke arah Puteri Mayagaluh dan berkata,

"Diajeng Mayagaluh, sungguh bahagia sekali engkau mendapatkan seorang penolong seperti satria bagus ini." Kemudian ia memandang Joko Wandiro dan berkata halus, "Joko Wandiro, aku sudah mendengar tentang pertolonganmu kepada sang puteri dari tangan perampok jahat. Sebagai kakak misannya, aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu dan harap kau jangan kepalang dalam melepas budi kepada kami keluarga yang tak bahagia. Antarkan diajeng Mayagaluh sampai selamat ke Jenggala."

Joko Wandiro menyembah, hatinya kagum terhadap pangeran ini. Alangkah akan senang hatinya kalau ia dapat menghambakan diri kepada seorang junjungan yang bijaksana seperti Pangeran Panjalu ini.

"Memang sudah hamba janjikan kepada gusti puteri untuk mengantar beliau pulang ke Jenggala. Kewajiban ini hamba sekali-kali tidak menganggap sebagai pertolongan, maka harap paduka jangan memuji hamba terlalu tinggi."

Pada saat itu, Ki Darmobroto dan perwira Panjalu yang tadi mengejar sudah tiba di tempat itu. Para perwira masih lemah dan pucat akibat pukulan Bojro Dahono dan mereka hanya dapat menundukkan muka ketika ditegur oleh sang pangeran. Akan tetapi pangeran ini hanya bertanya dengan suara halus kepada Ki Darmobroto,

"Paman Darmobroto, mengapa pula paman mencampuri pertandingan antara Joko Wandiro dan perwira-perwira Panjalu yang kurang ajar ini?"

Ki Darmokusumo menghaturkan sembah lalu menjawab, suaranya tenang karena ia merasa dalam kebenaran,
"Hamba hanya melihat para perwira Panjalu bertanding melawan orang muda yang sakti ini dan sebagai seorang hamba Panjalu tentu saja hamba tidak dapat tinggal diam. Menyesal sekali bahwa kepandaian hamba tidak ada artinya sehingga biarpun hamba bantu, para perwira paduka tetap saja mengalami kekalahan."

Setelah berkata demikian, Ki Darmobroto melirik dengan pandang mata kagum terhadap bekas lawannya yang masih bersimpuh di dekatnya, depan sang pangeran. Mendengar ini, Pangeran Darmokusumo menjadi makin kagum terhadap pemuda itu.

"Joko Wandiro, karena diajeng Mayagaluh telah sesat jalan dan berpisah dari rakandanya Sang Pangeran Panjirawit, maka lebih baik kau lekas-lekas mengantar pulang ke Jenggala agar jangan sampai menggelisahkan keluarganya."

Pangeran itu lalu memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan dua ekor kuda pllihan. Setelah dua ekor kuda yang pilihan dipersiapkan, Puteri Mayagaluh sejenak saling pandang dengan Pangeran Darmokusumo, kemudian sang puteri menangis dan mengeluh,

"Kakangmas, mungkinkah kita dapat saling bertemu kembali... "

Pangeran itu tersenyum sedih dan ketika Mayagaluh menangis, ia lalu memeluknya dan mengusap-usap rambutnya yang hitam halus, berbisik-bisik memberi hiburan kepada puteri itu. Betapa hancur hati kedua orang muda yang saling mencinta ini menghadapi kenyataan betapa ramanda mereka saling bermusuhan. Melihat dua orang itu mengadakan perpisahan yang mengharukan, Joko Wandiro mempergunakan kesempatan ini untuk mendekati Ki Darmobroto dan berkata,

"Paman Darmobroto, saya gembira sekali dapat bertemu dengan paman. Memang saya mempunyai niat untuk mencari paman."

Ki Darmobroto tersenyum. Ia merasa kagum dan suka kepada orang muda ini, yang memiliki kesaktian hebat akan tetapi selalu bersikap rendah hati dan juga tidak sombong, tidak keji.

"Akupun amat senang dapat berkenalan dengan anakmas Joko Wandiro yang sakti mandraguna. Kehormatan Apa gerangan yang hendak anakmas berikan sehingga anakmas bersusah payah mencari pamanmu yang miskin ini?"

Karena ia tahu bahwa berita yang hendak disampaikannya bukan hal yang menggembirakannya, Joko Wandiro mengerutkan keningnya dan mukanya berubah suram. Hal ini tak terlepas dari pandang mata Ki Darmobroto yang awas, maka kakek itu cepat-cepat bertanya,

"Ada apakah, anakmas Joko Wandiro?"

"Paman, sungguh berat rasa hati saya untuk menyampaikan berita ini. Paman....secara tak disengaja saya telah menjadi saksi akan kematian paman Adibroto dan.... isterinya, serta mendengar pula pesan terakhir mendiang paman Adibroto."

Ki Darmobroto adalah seorang sakti yang gentur tapa (tekun bertapa), batinnya sudah amat kuat, tidak mudah dipengaruhi suka-duka duniawi. Namun mendengar berita bahwa sahabat baiknya, Ki Adibroto dan isterinya telah meninggal dunia, ia terkejut bukan main sehingga sejenak ia tak dapat berkata-kata. Kemudian ia bertanya, suaranya gemetar,

"Adibroto dan isterinya..... meninggal dunia...... ? Belum lama ini mereka berdua singgah di rumahku......!!"

"Saya menyaksikan kematian paman Adibroto dengan kedua mata saya sendiri, paman. Beliau tewas karena luka-luka yang dideritanya "

"Terbunuh!!" Ki Darmobroto berseru. "Siapa pembunuhnya? Mengapa orang sebaik budi Adibroto dibunuh?"

Joko Wandiro menggeleng kepalanya, hatinya terasa perih. Diam-diam ia menduga bahwa kematian Ki Adibroto dan isterinya, atau ibu kandungnya sendiri, tentu ada hubungannya dengan Pujo, guru dan ayah angkatnya. Hal inilah yang membuat hatinya sangat berduka setiap kali ia teringat.

"Saya tidak tahu, paman. Paman Adibroto tidak mengatakan apa-apa, hanya meninggalkan pesan kepada.... Ayu Candra bahwa bahwa Ayu Candra telah dijodohkan dengan putera paman yang bernama Joko Seto."

"Betul sekali. Di mana kini adanya nini Ayu Candra? Kasihan sekali anak itu, kehilangan ayah bundanya!"

Kemudian kakek itu teringat sesuatu dan bertanya, memandang penuh selidik,
"Anakmas Joko Wandiro, bagaimana anakmas dapat menyaksikan itu semua? Kenalkah anda dengan keluarga itu?"

Joko Wandiro merasa berat untuk membentangkan semua keadaannya. Ia hanya menggeleng kepala dan menjawab,
"Secara kebetulan saja saya lewat di Telaga Sarangan dan menyaksikan hal itu. Adapun..... diajeng Ayu Candra telah pergi, saya sendiri tidak tahu ke mana, bahkan sekarangpun sebenarnya saya sedang mencarinya dengan maksud mengantarnya ke Merbabu, ke tempat tinggal paman."

"Mengapa pergi? Kemana ?"

"Saya tidak tahu, paman. Mungkin pergi mencari musuh yang telah menewaskan paman Adibroto dan isterinya, padahal dia sendiripun tidak tahu siapa musuhnya itu dan paman Adibroto sudah berpesan agar jangan membalas dendam, jangan mencari musuh."

Ki Darmobroto masih ingin banyak bertanya, akan tetapi pada saat itu terdengar suara Puteri Mayagaluh,
"Joko Wandiro, sudah siapkah engkau? Mari kita berangkat!”

Joko Wandiro bangkit berdiri lalu berpamit kepada Pangeran Darmokusomo, kemudian meloncat ke atas punggung kuda yang disediakan untuknya, lalu bersama Puteri Mayagaluh yang sudah naik ke atas kuda pula meninggalkan tempat itu.

Sang puteri beberapa kali menengok dan bertukar pandang mesra dengan Pangeran Darmokusumo, kemudian setelah mereka berbelok pada sebuah tikungan, sang puteri menghapus air mata dari pipinya dengan tangan.

"Gusti Pangeran Darmokusumo sungguh seorang yang berbudi luhur!" Joko Wandiro berkata perlahan.

Sang puteri terkejut dan mengangkat muka memandang kepada pemuda yang menjalankan kuda di sebelah kirinya, lalu memaksa senyum. Senyum yang amat cerah sehingga lenyaplah semua kedukaan dan kekecewaan.

"Mengapa kau berkata demikian, Joko Wandiro?"

"Mengapa? Hamba memuji gusti pangeran dari Panjalu itu, dan memang sepatutnya dipuji."

"Hemm, tiada hujan tiada angin engkau memuji-mujinya di depanku. Apa yang tersembunyi di balik kata-katamu, orang muda?"

Joko Wandiro menjadi merah mukanya. Kiranya sang puteri amat peka perasaannya, seakan-akan dapat menjenguk dan mengintai isi hatinya.

"Maaf, gusti puteri. Hamba eh, hamba kira eh, gusti pangeran amat sayang kepada paduka dan......... eh, memang sepadan benar. Sayang sekali, ramanda paduka berdua tak dapat hidup berdampingan dalam suasana damai."

Mendengar ini, sang puteri menarik napas panjang.
"Matamu awas benar, Joko Wandiro. Memang......" Puteri jelita itu menunduk malu, "kangmas Pangeran Darmokusumo amat sayang kepadaku, semenjak dahulu sayang "

Melihat wajah yang jelita itu kembali terselubung awan kedukaan, cepat-cepat Joko Wandiro berkata,
"Sesungguhnya hamba heran sekali, bagaimanakah paduka sampai dapat melakukan perjalanan begini jauhnya? Kalau boleh hamba bertanya, paduka bersama rakanda paduka dan pengawal, hendak pergi ke manakah?"

"Ah, ini gara-gara kakanda Pangeran Panjirawit yang selalu menuruti semua kehendak Endang Patibroto!" Sang puteri menarik napas panjang lalu menyambung lirih, "Orang kalau sudah jatuh cinta...... ah, aneh-aneh saja kelakuannya....!!!”

Akan tetapi ketika sang puteri menengok dan memandang kepada Joko Wandiro, ia melihat pemuda itu memandangnya dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, seakan-akan melihat dia telah berubah menjadi benda yang menakjubkan. Seketika wajah sang puteri menjadi merah sekali, teringat betapa pemuda ini ketika menolongnya dari tangan perampok, telah mencium pipinya! Hal itu telah ia maafkan mengingat bahwa ia telah terbebas daripada bahaya mengerikan, tertolong oleh pemuda ini. Akan tetapi kini melihat betapa joko Wandiro memandangnya seperti itu, ia cepat cepat berkata,

"Kakanda Pangeran Panjirawit jatuh cinta kepada pengawal kami Endang Patibroto sedangkan aku........aku.... dan kakangmas Pangeran Darmokusumo juga saling...... eh, mencinta. Entah siapa di antara kami yang gagal kelak!"

la menundukkan mukanya. Puteri ini dengan bijaksana memaksa diri menyatakan cinta kasihnya kepada Pangeran Darmokusumo untuk mengusir perasaan yang "bukan-bukan" dari dalam hati pemuda penolongnya yang amat ia kagumi ini.

Joko Wandiro seperti baru sadar daripada mimpi buruk. Ucapan terakhir ini hanya lewat saja di telinganya dan dianggapnya tidak ada artinya. la tadi begitu kaget mendengar nama Endang Patibroto disebut-sebut. Sebagai kepala pengawal! Kepala pengawal Kerajaan Jenggala lagi! la begitu heran mendengar ini sampai tadi terlongong dan disalah artikan oleh sang puteri. Untuk memulihkan lagi ketenangannya, Joko Wandiro terbatuk-batuk.

"Maafkan hamba, gusti puteri. Hamba melamun tadi. Jadi paduka pergi bertiga bersama rakanda paduka dan kepala pengawal yang bernama Endang Patibroto? Kepala pengawal seorang wanita?"

Sang puteri tertawa. Sikap dan kata-kata pemuda ini sudah kembali biasa dan hatinya menjadi lega karenanya. Ia tadinya khawatir kalau-kalau pemuda ini tak mampu menguasai hatinya. la akan merasa berduka sekali kalau sampai pemuda ini menjadi korban asmara karena dia. Kembali Lagi kegembiraan sang puteri. Ia tertawa sehingga tampak giginya berderet putih seperti mutiara.

"Ah, engkau tidak tahu, Joko Wandiro. Memang Endang Patibroto seorang wanita, akan tetapi wah, wanita yang bagaimana! Sakti mandraguna pilih tanding. Cantik jelita dan muda belia, akan tetapi kiraku orang senegara tidak ada yang akan dapat menandinginya. Dibandingkan dengan engkau, Joko Wandiro eh betul juga kalian ini!"

Sepasang mata yang indah bening seperti burung nun itu bersinar-sinar, wajah yang kedua pipinya kemerahan berseri-seri. Joko Wandiro tersenyum dan mengeluh dalam hati. Puteri ini lincah, gembira, dan nakal! Namun ia pura-pura tidak mengerti dan bertanya,

"Apa yang paduka maksudkan?"

"Kau tunggu saja sampai kau berjumpa dengan orangnya, Joko Wandiro! Ah, kalau saja kami mempunyai sepasang jagoan seperti kalian!"

Kini wajah Joko Wandiro yagg menjadi merah dan jantungnya berdebar aneh. Endang Patibroto! Hampir ia lupa Lagi bagaimana wajahnya. Sudah terlalu lama ia berpisah dengan anak itu. Anak yang nakal sekali! Puteri ayah angkatnya. terbayang di dalam ingatannya betapa dahulu seringkali ia bertengkar dengan anak perempuan itu. Dan sekarang telah menjadi kepala pengawal Kerajaan Jenggala! Bagaimana mungkin ini? Ayah angkatnya, Pujo dan juga eyangnya, Bhagawan Rukmoseto atau Sang Resi Bhargowo, adalah pembela-pembela Kerajaan Panjalu, seperti juga gurunya, Ki Patih Narotama. Bagaimana sekarang Endang Patibroto bisa menjadi kepala pengawal Kerajaan Jenggala? Teringat pula ia akan peristiwa di Pulau Sempu, ketika eyang mereka, Sang Resi Bhargowo, menyerahkan pusaka Mataram kepada mereka. Makin merah mukanya ketika ia teringat betapa Endang Patibroto anak nakal itu memilih keris pusaka yang luar biasa ampuhnya, sedangkan ia mendapat bagian warangkanya, yaitu patung kencana yang ia simpan dalam cabang pohon randu alas yang besar di Pulau Sempu. Semua ini terbayang dalam ingatannya dan membuatnya termenung.

"Sayang aku terpisah dari mereka," terdengar pula suara sang puteri yang menyeret kembali kesadaran Joko Wandiro.

"Paduka bertiga tadinva hendak pergi ke manakah?"

"Ah, kami berdua terbawa oleh Endang Patibroto yang katanya hendak pergi mencari ibunya di Bayuwismo."

"Bayuwismo ??"

Seruan Joko Wandiro ini membuat sang puteri memandang tajam kepadanya.
"Apakah engkau sudah tahu di mana letaknya Bayuwismo?"

"Hamba belum pernah ke sana, akan tetapi hamba dapat mengantar paduka ke sana. Memang seyogyanya, kalau paduka tidak keberatan, kita pergi saja ke Bayuwismo, hamba rasa paduka akan dapat bertemu dengan mereka di sana atau di tengah jalan."

Lanjut ke Jilid 076 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment