Ads

Thursday, January 10, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 076

◄◄◄◄ Kembali

"Bagus! Begitu lebih baik, karena tidak enak juga rasanya kalau aku pulang sendiri tanpa rakanda Panjirawit dan Endang Patibroto. Jauhkah Bayuwismo dari sini, Joko Wandiro?"

"Hamba rasa tidak begitu jauh lagi, gusti," kata Joko Wandiro dengan hati berdebar.

Mengapa begini kebetulan, pikirnya. ibu kandungnya, diantar oleh Ki Adibroto, pergi mencari dia dan mudah diduga bahwa ibu kandungnya tentu hendak mencari Pujo, ayah angkatnya yang dahulu telah menculiknya. Sangat boleh jadi Ki Adibroto dan isterinya itu pergi ke Bayuwismo. Dan Endang Patibroto, yang menurut penuturan Sang Puteri Mayagaluh kini merupakan seorang yang sakti mandraguna, telah pergi pula ke Bayuwismo. Lalu terjadi ibu kandungnya dan Ki Adibroto tewas di tangan musuh! la harus segera pergi ke Bayuwismo, menemui ayah angkatnya, mencari tahu perihal kematian ibu kandungnya. Diam-diam ia menjerit kepada Dewata dengan harapan semoga ibu kandungnya tidak terbunuh oleh Pujo, karena kalau hal itu terjadi, ia tidak tahu Apa yang harus ia perbuat!

"Duh, Hyang Maha Wisesa, lindungilah hamba-Mu daripada malapetaka itu..... " keluhnya.

"Kau bicara Apa, Joko Wandiro?" Sang puteri yang melihat gerak bibirnya tanpa mendengar suara, bertanya,

"Ohh hamba hendak mengatakan bahwa lebih baik kita segera berangkat sekarang agar jangan kemalaman di tengah hutan, gusti."

"Baiklah, Joko Wandiro. Mari!" Sang puteri lalu menyendal kudanya dan membalapkan kudanya menuju ke barat.

**** ****

Dengan hati uring-uringan Endang Patibroto meninggalkan ibu kandungnya. Ia membalapkan kudanya dengan cemberut, pandang matanya menyala-nyala dan hatinya kecewa sekali. Bertahun-tahun ia tidak bertemu lbunya dan merasa amat rindu kepada ibunya. Baru saja bertemu, ia telah ditinggal mati ayah kandungnya. Kemudian, ibu kandungnya sendiri marah-marah kepadanya, hendak memaksanya meninggalkan Jenggala, bahkan ibunya telah menyerangnya dengan keris, hendak membunuhnya. Ibu kandungnya sendiri, Ingin sekali Endang Patibroto menangis dan menjerit-jerit, akan tetapi hatinya yang sudah menerima gemblengan gurunya, Dibyo Mamangkoro, sudah membeku dan tidak ada setitikpun air mata di pelupuk matanya.

"Endang.......! Endang Patibroto.....! Kautunggulah aku!"

Berkali-kali Pangeran Panjirawit berteriak sambil mengejar. Diam-diam pangeran inipun merasa prihatin sekali. Sebagai seorang pangeran, ia maklum pula akan segala peristiwa di Bayuwismo tadi. Sebagai seorang satria, iapun tidak bias menyalahkan ibu Endang Patibroto yang berjiwa satria. Dan sebagai seorang pria yang amat mencinta Endang Patibroto, iapun maklum betapa hancur hati dara perkasa yang dicintanya itu. Akan tetapi Endang Patibroto yang sedang marah-marah itu tidak memperdulikan panggilan sang pangeran. Bahkan ia tidak memperdulikan kudanya yang sudah terengah-engah hampir putus napasnya dan sudah bermandi peluh karena dilarikan kencang terus-menerus tak kunjung henti.

Tiba-tiba dari depan nampàk tiga orang penunggang kuda. Mereka itu bukan lain kepala rampok yang kemarin dulu telah menawan Puteri Mayagaluh. Setelah berhasil diusir oleh Joko Wandiro, kepala rampok ini melarikan diri di atas kuda tunggangan Sang Puteri Mayagaluh. Akan tetapi hatinya masih penasaran karena puteri yang cantik jelita dan yang bagaikan sepotong daging telah berada di depan mulutnya, kini terampas orang lain. Sengoro, kepala rarnpok ini tidak pergi
jauh, yaitu ke tempat persembunyian dua orang kakak seperguruannya yang bernama Kolodumung dan Kolomedo, dua orang kakak beradik yang tentu saja memiliki kesaktian lebih hebat daripada Sengoro sendiri. Setelah menuturkan perihal puteri jelita terutama perhiasan-perhiasan indah yang dipakainya, Sengoro lalu mengajak kedua orang kakak seperguruannya ini untuk melakukan pengejaran. Tentu saja kedua orang jahat itu menjadi tertarik dan segera mereka menunggang kuda lalu bersama Sengoro pergi mencari.

"Nah itu dia agaknya!"

Seru Sengoro ketika melihat di depan seorang dara jelita berpakaian mewah membalapkan kuda yang sudah payah. Hati kedua orang temannya juga girang sekali karena gadis itu benar-benar amat cantik jelita dan perhiasan yang dipakai di kedua tangan dan di pinggangnya sudah berkilauan dan jelas dapat mereka ketahui bahwa perhiasan-perhiasan itu terbuat daripada emas permata yang mahal harganya! Mereka bertiga sengaja menghadang di tengah jalan sehingga jalan sempit itu penuh dengan tiga ekor kuda mereka. Endang Patibroto sedang marah. Andaikata ia tidak sedang marah sekalipun, ia tentu takkan mengampuni tiga orang yang berani menghadang perjalanannya. Apalagi pada saat itu ia sedang diamuk kemarahan maka dari jauh ia sudah membentak,

"Tiga ekor anjing busuk, minggir!!”

Akan tetapi tiga orang laki-laki itu sama sekali tidak mau minggir, bahkan Kolodumung segera menggerakkan tangan kanannya dan sinar hitam menyambar ke depan, tepat mengenai kepala kuda yang ditunggangi Endang Patibroto. Kuda itu meringkik keras, mengangkat kaki depan ke atas, terhuyung-huyung lalu roboh dan mati seketika! Untung Endang Patibroto sudah melompat turun sehingga ia tidak terhimpit badan kuda. Tiga orang laki-laki itu tertawa dan melompat turun dari atas kuda pula.

"Ha-ha-ha, kakang berdua! Perempuan y«ng kumaksudkan bukan ini. Akan tetapi, dia inipun hebat sekali, malah lebih liar daripada yang kumaksudkan!"

"Hua-ha-hah! Bagus kalau begitu, lebih banyak lebih baik" jawab Kolodumung gembira.

Endang Patibroto yang sedang dilanda kemarahan itu kini berdiri dengan mata seakan-akan mengeluarkan api. Dapat dibayangkan betapa hebat kemarahannya, makin menyala-nyala melihat kuda tunggangannya roboh dan tewas. Menurutkan kemarahannya, ingin la sekali turun tangan membunuh tiga orang kasar ini. Àkàn tetapi pandang matanya tertarik oleh kuda yang ditunggangi Sengoro. Ia mengenal kuda itu sebagai kuda tunggangan Mayagaluh! Kalau kuda itu terjatuh ke dalarn tangan iblis ini, berarti Mayagaluh juga tertawan!

Berdebar keras jantung Endang Patibroto. Betapapun juga, dialah yang bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu yang tak baik atas diri sang puteri. Dia adalah pengawal, dan dia pula yang membawa sang puteri sampai ke tempat ini dan harus menyiksa mereka ini dan memaksa mereka mengaku di mana adanya Mayagaluh dan Apa yang terjadi atas diri puteri itu. Karena teringat akan puteri itu maka Endang Patibroto menahan kemarahannya dan tidak ingin menurunkan tangan maut. Ia menoleh dan melihat sebatang pohon waru di dekatnya. Tangannya lalu menjangkau dan memetik beberapa helai daun waru, kemudian ia berseru keras sambil menyambitkan daun-daun itu ke depan,

"Anjing busuk rasakan ini!!”

Tiga orang itu tertawa makin lebar melihat betapa Endang Patibroto menyerang mereka dengan sambitan daun-daun waru. Mereka menganggapnya lucu sekali dan tentu saja sebagai orang-orang yang digdaya, mereka sama sekali tidak perdulikan serangan ini. Siapa yang sudi mengelak dari sambaran daun-daun waru, apalagi yang disambitkan oleh seorang wanita ayu? Riuh-rendah mereka tertawa-tawa.

"Huah-hah-hah ha-ha-ha-ha........ haa-uupp!"

"Ha-hauiiihhh!"

"Ha-haduuuhhh!!"

Suara ketawa mereka segera terhenti, muka yang tadinya tertawa-tawa itu kini menyeringai dengan mata terbelalak dan mereka mengaduh-aduh kesakitan. Daun-daun waru menempel di muka dan lengan mereka dan kulit di bawah daun itu keluar darah bertetes-tetes! Saking hebatnya sambitan itu, daun-daun waru kini menempel menjadi satu dengan kulit daging, bahkan ada yang gagangnya menancap sampai dalam seperti paku. Daun yang agak berbulu ini selain menimbulkan sakit dan perih, juga gatal-gatal.

"Perempuan lblis......!!”

"Kuntilanakl"

"Keparat, tunggu kau, kuengkuk-engkuk (tekuk-tekuk) engkau.....!"

Rasa kaget, heran, dan kesakitan kini berubah menjadi kemarahan hebat. Tiga orang itu memang orang-orang kasar yang biasanya jarang bertemu tanding, yang selalu dapat memaksakan kehendaknya kepada orang lain mengandalkan kekerasan, sehingga kemenangan-kemenangan itu membuat mereka sombong dan merasa seakan-akan tiada tandingan mereka di dunia ini. Kini bertemu dengan Endang Patibroto yang hanya seorang dara ayu, biarpun mereka dikejutkan oleh serangan daun waru, namun belum membuka mata mereka bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang yang memiliki kesaktian jauh iebih tinggi daripada mereka. Serentak ketiganya menerjang maju dengan kedua lengan dikembangkan, jari jari tangan dibuka seperti tiga ekor harimau hendak menerkam seekor domba.

Betapapun marah hati mereka, tiga orang laki-lakl kasat ini masih merasa sayang untuk membunuh seorang dara muda belia yang jelita tu, maka mereka menerjang maju untuk menangkap dan tidak mau menggunakan senjata. Tentu saja Endang Patibroto tidak sudi disergap laki-laki kasar macam mereka. Sekali tangan kirinya bergerak eperti orang menampar dari kanan kiri, tiga orang itu merasa seakan-akan disambar petir, pandang mata berkunang, kepala pening dan tubuh mereka terpelanting kemudian jatuh ke atas tanah!

Masih baik bahwa Endang Patibroto tidak mengerahkan seluruh tenaga dalam aji pukulan Wisang Nolo (Api Beracun) ini, kalau hal itu dilakukannya, tentu mereka bertiga sudah roboh tak bernapas lagi dan dengan tubuh hangus-hangus! Mendapat kenyataan betapa dara itu tanpa menyentuh mereka telah dapat membuat mereka terpelanting, tahulah tiga orang kasar ini bahwa lawannya, biarpun muda belia dan ayu manis, ternyata adalah seorang yang sakti mandraguna, memiliki aji kesaktian tidak lumrah manusia, seperti iblis saja. Mereka menjadi makin marah akan tetapi kali ini juga gentar, maka sambil melompat bangun, mereka serentak mencabut senjata mereka. Kolodumung memegang senjata cambuk yang berwarna hitam. Cambuk ini terbuat daripada kulit kerbau, ulet dan kuat sekali, dan ujung cambuk dipasangi kaitan baja seperti pancing. Celakalah lawan kalau terkena sambaran kaitan ini, sekali masuk ke dalam daging sukar ditarik keluar lagi. Sambil berteriak-teriak marah Kolodumung memutar cambuknya ke atas kepala dan terdengar suara meledak-ledak keras.

Kolomedo mengeluarkan senjatanya sebatang pedang melengkung yang amat tajam sehingga mengeluarkan sinar berkilauan ketika ia putar-putar dan tenaga yang besar membuat pedang itu mengeluarkan bunyi berdesing-desing. Juga Sengoro sendiri sudah mencabut goloknya yang besar dan berat.

"Perempuan iblis! Kau mencari mampus sendiri!"

Seru Kolodumung sambil menerjang maju dengan ayunan cambuknya, melecutkan ujung cambuk ke arah leher Endang Patibroto. Alangkah akan mengerikan kalau kaitan baja di ujung cambuk itu mengenai leher yang berkulit kuning halus itu! juga pada detik berikutnya, Kolomedo dan Sengoro sudah menerjang dengan bacokan pedang dan golok dari kanan kiri. Dalam kemarahannya yang meluap-luap, Endang Patibroto tidak sudi melayani tiga orang ini. Diserang seperti itu, ia sama sekali tidak beranjak pergi dari tempat ia berpijak. Ia hanya mengangkat kedua lengannya ke atas, dengan lengan telanjang ia menerima kaitan baja berikut ujung cambuk itu. Kaitan baja yang menghantam kulit lengannya yang putih halus itu sama sekali tidak membuat lecet kulitnya dan kini ujung cambuk melibat lengannya. Dengan gerakan cepat sekali kedua tangan Endang Patibroto berputar-putar dan pedang serta golok dari kanan kiri telah terlibat oleh cambuk. Begitu ia menarik dengan sentakan keras, tiga orang lawannya terkejut dan terhuyung ke depan.

Endang Patibroto menggerakkan kaki kanan, tiga kali menendang maju dan kembali tiga orang itu terpental ke belakang dengan senjata sudah terampas. Tendangan tadi tepat mengenal kempungan perut mereka sehingga ketika terlempar dan terbanting jatuh, mereka tidak dapat segera bangun berdiri, melainkan merintih-rintih dan bergulingan memegangi perut yang menjadi mulas dan senep!

"Tar-tar-tar!"

Tiga kali cambuk rampasan itu meledak dan ujungnya mematuk tubuh tiga orang itu.

"Aduhh.......!"

"Mati aku.......!”

"Aduhhhh.......!!"

Tiga orang itu seperti cacing kepanasan, menggeliat-geliat dan berkelojotan karena kaitan baja di ujung cambuk telah mencokel keluar otot dan daging.

"Hayo katakan, di mana adanya sang puteri??"

Kembali cambuk itu berkelebat dan terdengar suara meledak-ledak di atas kepala tiga orang itu. Dengan penuh kengerian, tiga orang laki-laki kasar yang biasanya sewenang-wenang ini menggunakan kedua lengan menutupi kepala.

"Aku tidak tahu" jawab Kolodumung.

"Kami kakak beradik tidak tahu, tanyalah kepada adi Sengoro ini " kata Kolomedo.

"Tar-tar!" Kolodumung dan Kolomedo menjerit dan menangis tak kuat menahan rasa sakit ketika ujung cambuk itu menggigiti kulit daging muka mereka.

Endang Patibroto menghampiri Sengoro yang kini tanpa malu malu Lagi sudah berlutut dan menyembah-nyernbah. Wajah yang cantik jelita itu kini berubah menjadi kedok, dingin dan kaku.

"Hayo kau katakan, di mana sang puteri dan bagaimana kudanya sampai kau rampas?"

"Ampun....... ampunkan hamba....... dewi!!"

"Tarr!"

"Aduhhh....... mati aku.......!”

Sengoro bergulingan karena kaitan baja itu sudah menancap di pundaknya dan kaitannya mengait urat besar di pundak!

”Ampun....!!"

"Hayo bilang, benarkah dua orang ini tidak tahu menahu tentang sang puteri?"

"Be....... benar....... :

Endang Patibroto memandang kepada Kolodumung dan Kolomedo yang kini membayangkan kelegaan hati mendengar jawaban adik seperguruan ini. Terbayang senyum di bibir yang berbentuk indah dan kemerahan itu, kemudian Endang Patibroto memegang pedang dan golok rampasan. Sekali ia menggerakkan tangan, pedang dan golok meluncur bagaikan anak panah cepatnya dan.......

"Cepp! Cepp!!" Dua buah senjata itu sudah menancap di ulu hati Kolodumung dan Kolomedo sampai menembus ke dalam tanah sehingga dua orang itu tewas seketika. Menyaksikan peristiwa mengerikan menimpa dua orang kakak seperguruannya Sengoro terbelalak ketakutan, mukanya pucat dan dengan tubuh menggigil ia menyembah-nyembah minta ampun.

"Tar-tar-tar!"

Cambuk yang mengerikan itu kembali sudah meledak-ledak di atas kepala Sengoro, membuat kepala rampok makin ketakutan.

"Hayo lekas ceritakan di mana adanya sang puteri yang kudanya kaupakai itu!"

Suara Sengoro menggigil ketika ia berkata,
".......hamba....... hamba tidak tahu, dia....... sang puteri dibawa.... oleh pemimpin kami hamba....... mana berani....... ? Hanya mendapatkan kudanya....... "

"Di mana dia? Di mana sang puteri dan pimpinanmu. Dibawa ke manakah?"

Dengan telunjuk menggigil Sengoro menunjuk ke belakang.
"Mungkin di............. di sana...... hamba tak tahu benar ke mana "

"Crattt!" Kaitan baja di ujung cambuk itu menancap ke dalam pelipis Sengoro yang menjerit keras dan roboh berkelojotan dalam sekarat.

"Endang , siapakah mereka ?"

Derap kaki kuda yang datang disusul pertanyaan suara Pangeran Panjirawit yang melihat tiga orang laki-laki menggeletak tak bernyawa di depan kaki Endang Patibroto. Endang Patibroto menunjuk ke arah kuda tunggangan Puteri Mayagaluh dan berkata,

"Gusti puteri tertawan perampok, ini kudanya dan mereka ini adalah anak buah perampok."

"Aduh, Jagad Dewa Bathara! Di mana sekarang diajeng Mayagaluh?"

Kembali Endang Patibroto menunjuk ke arah mayat Sengoro dan berkata,
"Menurut pengakuan dia, gusti puteri berada di tangan kepala rampok yang kini masih berkeliaran di sekitar hutan ini. Mari kita mencarinya!”

Terhibur hati Pangeran Panjirawit ketika melihat sikap Endang Patibioto yang tenang. Timbul kepercayaannya kembali bahwa sudah pasti kepala pengawal yang cantik dan gagah perkasa itu akan dapat menolong adiknya, membebaskan dari tangan kepala rampok.

"Kenapa engkau menuntun seekor kuda lain ?" Tanya pangeran itu ketika melihat Endang Patibroto meloncat ke atas punggung kuda tunggangan sang puteri sambil menuntun seekor kuda lain bekas tunggangan perampok.

"Untuk gusti puteri," jawab Endang Patibroto dan membalapkan kudanya ke depan diikuti oleh Pangeran Panjirawit.

Ketika tiba di bagian yang tinggi di tanah Pegunungan Seribu, Endang Patibroto menghentikan kudanya, kemudian ia meloncat dan memanjat sebatang pohon besar sampai di puncaknya yang paling tinggi. Dari tempat tinggi inilah ia memandang ke sekeliling dan tak lama kemudian terdengar seruannya,

"Ah, itu dia.......!!”

Pangeran Panjirawit ikut berdebar hatinya mendengar suara girang ini dan begitu wanita cantik dan perkasa itu melompat turun, ia bertanya,

"Kau sudah melihat diajeng Mayagaluh?"

"Mereka di sana, naik kuda. Mari kita menghadang, kita jalan kaki saja agar penjahat itu tidak mengetahui kedatangan kita dan kabur."

Mereka meloncat turun dari atas kuda, mencancang kuda di bawah pohon, kemudian pangeran itu mengikuti Endang Patibroto menyelinap di antara pohon-pohon dan menuju ke sebelah selatan. Tidak lama kemudian sang pangeran mendengar derap kaki kuda makin lama makin mendekat. Endang Patibroto mengajaknya bersembunyi di belakang pohon. Jantung pangeran itu berdegup tegang. Endang Patibroto tenang-tenang saja, namun dara perkasa ini sudah siap untuk menerjang maju.

Akhirnya, setelah menanti dengan ketegangan hati yang makin memuncak, Pangeran Panjirawit melihat munculnya dua orang penunggang kuda dari sebuah tikungan jalan setapak dalam hutan itu. Tidak salah lagi, seorang di antara mereka adalah Mayagaluh, adiknya. Akan tetapi wajah adiknya yang cantik itu sama sekali tidak tampak seperti seorang tawanan, tidak menangis atau ketakutan, melainkan tersenyum-senyum manis! Dan penunggang kuda di sebelahnya adalah seorang laki-laki yang muda belia dan amat tampan, sungguhpun pakaiannya sederhana sekali namun sungguh jauh berbeda jika dibandingkan dengan tiga orang perampok yang terbunuh oleh Endang Patibroto tadi. Orang muda ini tidak akan lebih tua daripadanya, dan lebih pantas disebut seorang satria gunung daripada seorang perampok!

Ia menjadi ragu-ragu dan hendak memberi peringatan kepada Endang Patibroto tentang pendapatnya itu. Namun terlambat karena pada saat itu, tubuh Endang Patibroto sudah berkelebat ke depan dan langsung dara perkasa ini bagaikan seekor harimau betina yang marah, telah melompat jauh kedepan, menerkam laki-laki penunggang kuda di samping Mayagaluh sambil mengeluarkan pekik dahsyat.

"Celaka dia.......!"

Sang Pangeran Panjirawit mengeluh dan mengira bahwa laki-laki tampan itu tentu tewas seketika diserang seperti itu oleh Endang Patibroto yang sudah cukup ia kenal kedigdayaannya yang menggiriskan. la segera melompat dan lari ke depan.

Joko Wandiro yang sedang enak-enak menunggang kuda bersama Puteri Mayagaluh dalam perjalanan mereka ke Bayuwismo di pantai Laut Selatan, tentu saja kaget setengah mati ketika tiba-tiba ada sesosok bayangan putih menyambar dan menerkamnya laksana seekor harimau dan kedua tangan yang menerkamnya itu tahu-tahu telah melancarkan pukulan dengan kedua tangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat sekali ke arah pelipis dan ubun-ubun kepalanya!

Dari sambaran angm pukulan mi saja maklumlah Joko Wandiro bahwa siapapun juga yang menyerangnya, penyerang ini adalah seorang yang amat ganas dan kejam, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi dan dahsyat. la belum dapat melihat siapa penyerangnya dan juga tidak tahu mengapa orang ini datang-datang menyerangnya sedahsyat itu, maka lapun hanya mengangkat kedua tangannya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sakti Bojro Dahono ke dalam kedua tangannya.

"Dessss!!"

Hebat bukan main pertemuan dua pasang tangan di udara itu. Joko Wandiro menggunakan Aji Bojro Dahono yang sifatnya panas dan kuat cepat bagaikan kilat menyambar. Di lain fihak Endang Patibroto mempergunakan AJI Wisang Nolo, juga sifatnya panas sekali mengandung hawa beracun. Saking hebatnya pertemuan tenaga sakti itu, tubuh Endang Patibroto yang terapung di udara itu, terlempar sampai empat meter jauhnya dan terbanting di atas tanah di mana gadis itu cepat menggunakan Aji Trenggiling Wesi, bergulingan untuk mematahkan luncuran tubuhnya.

la selamat tidak terbanting, namun pakaian dan rambutnya kotor terkena debu. Di lain fihak, Joko Wandiro kaget sekali karena pertemuan tenaga itu membuat ia terpelanting dari atas kudanya dan biarpun ia dapat berjungkir-balik sampai tiga kali sehingga dapat turun ke atas tanah dengan kedua kaki lebih dulu, namun ia terhuyung-huyung ke belakang sampai empat meter jauhnya!

Kini keduanya sudah bangkit berdiri, dalam jarak tujuh delapan meter, saling pandang dengan heran dan penasaran. Endang Patibroto marah sekali. Marah sampai hampir tak tertahankannya Lagi. Mukanya mangar-mangar (merah padam), sepasang matanya bercahaya menyilaukan seperti sepasang mata harimau tersorot lampu, bagaikan bernyala-nyala menciptakan api unggun yang akan membakar lawannya, memandang kepada Joko Wandiro seakan-akan hendak menelannya bulat-bulat! Hidung yang kecil mancung itu bergerak-gerak karena cuping hidungnya yang tipis kembang-kempis, napas halus yang keluar masuk agak berdesis. Bibirnya tersenyum! Ya, bibir yang manis, merah basah itu tersenyum, akan tetapi senyum yang bagaimana! senyum maut! Senyum yang sama sekali bukan menyejukkan hati pemandangnya, melainkan senyum yang membayangkan ancaman maut, yang dingin seperti air wayu, Dagunya agak berlekuk karena ditarik keras dalam kemarahannya, kedua tangannya mengepal tinju.

Endang Patibroto marah sekali. Apalagi ketika ia mengenal laki-laki yang pernah ia jumpai di dekat Telaga Sarangan, yang pernah ia serang dengan panah tangan namun gagal, laki-laki yang mengawani seorang gadis jelita, agaknya kekasih si gadis jelita yang menjadi korban anak panahnya. Sekarang, dalam adu tenaga ia sampai dibikin jatuh terguling-guling oleh bocah ini!

Joko Wandiro tadinya terheran-heran, juga kagum dan penasaran ketika mendapat kenyataan bahwa yang penyerangnya demikian dahsyat dan ganas adalah seorang wanita muda yang cantik jelita seperti bidadari. Akan tetapi kekagumannya segera berubah menjadi kemarahan yang meluap-luap ketika ia mengenal wanita itu. Inilah dia wanita iblis yang pernah merobohkan Ayu Candra dengan serangan anak panah tangan! Inilah dia wanita iblis yang selain memanah mati harimau dan melukai Ayu Candra, juga pernah menyerangnya dengan panah tangan, dan kini tiada hujan tiada angin menyerangnya dengan pukulan maut yang demikian dahsyatnya!

"Kau! Perempuan keji......!"

"Kau! Bocah keparat!”

Keduanya memaki hampir berbareng, disusul gerakan tubuh mereka menerjang maju. Hebat sekali terjangan kedua orang muda ini dan berbareng mereka berseru kaget karena loncatan mereka itu serupa benar gayanya. Gaya dari aji meringankan tubuh Bayu Tantra dan ketika mereka berdua menampar ke depan, keduanya secara kebetulan sekali juga menggunakan aji yang sama, yaitu tamparan dengan jari-jari tangan, Aji Pethit Nogo! Kembali mereka mengadu tenaga dan keduanya terpental ke belakang oleh getaran jari tangan mereka yang mengandung tenaga sakti yang sama kuatnya!.

Karena terkejut dan terheran betapa lawan masing masing memiiiki aji yang sama, sejenak keduanya hanya saling pandang dan saling melotot, seakan-akan hendak melanjutkan pertandingan itu bukan dengan kepalan dan kesaktian lagi, melainkan dengan saling menusuk dan menelan melalui pandang mata!. Saat ini dipergunakan oleh Pangeran Panjirawit dan adiknya, Puteri Mayagaluh. Pangeran Panjirawit melompat maju dan rnemegang kedua lengan Endang Patibroto dari belakang, sedangkan Puteri Mayagaluh juga menghampiri Joko Wandiro dan memegang lengannya.

"Joko Wandiro, sabar dulu, dia itu adalah kepala pengawalku, Endang Patibroto!" kata Puteri Mayagaluh dengan suara halus dan menarik-narik lengan Joko Wandiro yang ia rasakan amat keras macam baja saja pada saat itu.

"Endang, sabarlah. Dia bukan musuh, dia malah penolong diajeng Mayagaluh. tenangkan hatimu, padamkan kemarahanmu" kata Pangeran Panjirawit sambil menarik tangan Endang Patibroto.

"Kau........Endang Patibroto...... ?"

Joko Wandiro membelalakkan matanya, berseru dengan suara gagap. Endang Patibroto tersenyum mengejek, dan tiba-tiba dara perkasa ini tertawa. Suara ketawanya bebas lepas, tak ditutup-tutupinya lagi dan inilah kebiasaan dara murid Dibyo Mamangkoro. Akan tetapi dasar dara cantik manis, biarpun tertawa secara terlepas seperti itu, tetap saja masih menarik dan menggairahkan.

"Hi-hi-hi-hik! Jadi engkau ini Joko Wandiro bocah bengkring (berpenyakitan) seperti cacing dahulu itu? Hi hi-hik! Kiraku masih berada di Sempu sambil menimang-nimang golek kencanamu!"

Wajah Joko Wandiro menjadi merah sekali. Pantas saja ketika dahulu di telaga Sarangan menyerangnya dan Ayu Candra, ia merasa kenal baik dengan wanita ini. Kiranya Endang Patibroto si bocah nakal! Dan kini tidaklah aneh baginya kalau Endang Patibroto menjadi kepala pengawal Kerajaan Jenggala. Kiranya gadis ini sekarang telah menjadi seorang yang sakti mandraguna, yang memiliki kedigdayaan yang hebat, yang dahsyat dan yang amat ganas. Kalau tadi ketika diserang pertama kali ia tidak mempergunakan Bojro Dahono untuk menangkis, tentu sekarang ia telah menjadi mayat! la diam-diam bergidik.

Mengapa puteri ayah angkatnya kini menjadi seperti ini? Mengapa sifatnya menjadi ganas dan keji, mudah menurunkan tangan maut kepada orang yang baru saja dijumpainya? Memang harus ia akui, Endang Patibroto sekarang amat cantik jelita, di dalam keganasannya itu bersembunyi kecantikan dan keluwesan yang aseli, tidak dibuat-buat, kecantikan seekor harimau betina yang kuat dan indah, kegagahan seekor kuda betina liar, dengan tubuh yang lemas tapi kuat, bergoyang-goyang lemas seperti ular sawah kembang.

"Endang, tak kusangka bertemu denganmu di sini. Dan sungguh tak pernah kusangka bahwa engkaulah yang begitu keji menyerangku dengan panah tangan di Telaga Sarangan dahulu "

"Hemm, kau mau apa? Gadis cantik itu tentu telah mampus! Dan kau sakit hati? Hendak membalas? Boleh!" Endang Patibroto terus saja menantang dan melangkah maju hendak menyerang!

Teringat ia betapa ibu kandung Joko Wandiro telah membunuh ayah kandungnya, dan biarpun ia telah membalas, telah membunuh Listyokumolo untuk membalas kematian ayahnya, namun pemuda ini tentu saja menjadi musuh besarnya Ayahnya sebelum mati berpesan menjodohkan dia dengan bocah ini? Ah, begitu bertemu untuk pertama kalinya telah bermusuhan, mana bisa menjadi jodoh?

"Ah, Endang Patibroto, bersabarlah engkau. Orang muda ini sudah menolong dan menyelamatkan diajeng Mayagaluh, bukan musuh kita."

Lanjut ke Jilid 077 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment