Ads

Friday, January 11, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 077

◄◄◄◄ Kembali

Pangeran Panjirawit menarik lengan Endang Patibroto dan gadis ini betapapun juga tidak berani untuk membantah. Ia hanya berdiri memandang dengan mata melotot dan menantang. Mayagaluh lalu menceritakan dengan singkat semua pengalamannya dan betapa Joko Wandiro menolongnya. Ketika bercerita tentang Pangeran Darmokusumo, Pangeran Panjirawit kelihatan terkejut.

"Wah, kalau begitu kita harus segera pergi dan sini. Sungguh tidak baik kalau sampai aku bertemu dengan kakangmas Pangeran Darmokusumo. Joko Wandiro, aku mengucapkan banyak terima kasih atas semua budi pertolonganmu kepada adikku Puteri Mayagaluh. Kalau kau suka, Joko Wandiro, marilah kau lkut bersama kami ke Jenggala. Kanjeng rama prabu tentu akan suka sekali mendengar tentang jasamu dan kau tentu akan diberi kedudukan tinggi di Jenggala."

Puteri Mayagaluh juga melangkah maju dan berkata sambil tersenyum,
“Betul Apa yang dikatakan kakangmas Panjirawit, Joko. Marilah kau ikut bersama kami ke Jenggala." Ia menoleh kepada Endang Patibroto yang masih cemberut sambil tersenyum dan berkata. "Kebetulan sekali agaknya kau sudah mengenal Endang sejak kecil. Pertengkaran sedikit antara kalian lebih baik dilupakan saja dan aku percaya, kalian berdua akan dapat menjadi eh, sahabat-sahabat baik yang baik sekali...!”

Joko Wandiro menundukkan mukanya yang menjadi makin merah, sedangkan Endang Patibroto memandang dengan makin marah. Pemuda itu menggeleng kepala dan berkata dengan hormat,
"Beribu terima kasih hamba haturkan kepada gusti pangeran dan gusti puteri berdua. Akan tetapi hamba mempunyai banyak urusan lain. Kelak masih banyak waktunya hamba menghadap paduka, apabila keadaan mengijinkan."

Melihat keadaan Joko Wandiro, pangeran itu maklum bahwa ia tidak akan mungkin dapat membujuk seorang satria seperti ini, maka ia lalu berkata,
"Kalau begitu, biarlah lain kali kami menanti kunjunganmu ke Jenggala. Mayagaluh, Endang, mari kita berangkat, jangan sampai bertemu dengan orang-orang Panjalu!"

Ketiga orang muda itu meloncat naik ke atas kuda dan tiga ekor kuda itu lari ke arah timur. Puteri Mayagaluh untuk penghabisan kali melempar kerling dan senyum manis kepada Joko Wandiro, akan tetapi Joko Wandiro yang tadinya tersenyum mesra pula memandang puteri yang pernah dicium pipinya itu, tiba-tiba membuang muka karena melihat Endang Patibroto juga menoleh dan memandang kepadanya dengan pandang mata penuh ejekan!

Setelah bayangan ketiga orang itu lenyap dan derap kaki kuda mereka tak terdengar lagi, barulah Joko Wandiro menaiki kudanya dan menjalankan kudanya ke barat. Tiada habis heran hatinya mengenangkan Endang Patibroto. Gadis itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya. Kalau ia ingat akan benturan tangan dua kali tadi, ia yakin bahwa ilmu kesaktian gadis itu jauh tinggi daripada ilmu orang-orang yang pernah menjadi lawannya. Jauh lebin tinggi dari kepandaian Wirokolo atau Ni Durgogini serta Ni Nogogini digabung menjadi satu! Kalau mengingat bahwa gadis itu adalah puteri ayah angkatnya, ia girang dengan kehebatan itu. Akan tetapi kalau teringat akan sifat-sifat ganas dan keji itu, ia mengerutkan kening dan menarik napas panjang berulang-ulang.

Kemudian pemuda ini lalu mempercepat perjalanannya menuju ke Bayuwismo di pantai Laut Selatan, dengan perasaan bercampur aduk. la merasa girang kalau membayangkan betapa ia akan bertemu dengan ayah angkatnya. Betapapun juga, ia harus mengakui bahwa sampai sekarangpun ia masih menganggap Pujo sebagai ayah sendiri yang amat dicintainya.

Di antara orang-orang tua di dunia ini, Pujolah orang pertama yang ia cinta dan hormati, baru kemudian gurunya, Ki Patih Narotama, dan kakek gurunya, Resi Bhargowo. Ayah bunda kandungnya sendiri tidak begitu dekat dengan hatinya karena semenjak kecil ia tak pernah melihat mereka Lagi. Akan tetapi kalau teringat bahwa ibu kandungnya tewas dalam usaha mencari Pujo, kegirangan hatinya akan bertemu dengan ayah angkatnya itu menipis terganti rasa khawatir dan tegang.

Atas petunjuk para penduduk yang berdekatan, akhirnya ia sampai juga di Bayuwismo dan melihat sebuah pondok yang menyendiri di tepi pantai itu. Hatinya berdebar keras ketika ia meloncat turun dari kuda dan penuh selidik ia memandang kepada dua orang wanita yang keluar dari dalam pondok. Ia segera mengenal dua orang wanita itu, yang seorang adalah Kartikosari ibu kandung Endang Patibroto dan yang kedua adalah bibinya, Roro Luhito adik kandung mendiang ayahnya. Segera ia menghampiri mereka dan memben hormat dengan wajah berseri.

"Bibi kartikosari dan bibi Roro Luhito, saya Joko Wandiro, kiranya bibi berdua belum lupa kepada saya," kata Joko Wandiro ketika melihat dua orang wanita itu rnemandang kepadanya dengan muka pucat dan mata terbelalak seperti melihat setan, dan disangkanya bahwa dua orang bibinya itu pangling (lupa) kepadanya.

Tiba-tiba Kartikosari membalikkan tubuhnya dan masuk lagi ke dalam pondok tanpa berkata sesuatu, sedangkan Roro Luhito lalu menubruk dan merangkul Joko Wandiro sambil menangis sesenggukan! Tentu saja hal ini membuat Joko Wandiro terkejut sekali. Memang hatinya sudah merasa tidak enak dalam perjalanan ke tempat ini dan telah menduga hal-hal yang tidak baik. Melihat sikap kedua orang wanita ini ia berdebar dan merasa cemas sekali.

"Bibi Roro Luhito....... apakah yang terjadi, bibi? Ada apakah? Harap bibi memberi tahu kepada saya....... "

"ADUH, angger Joko Wandiro, anakku......! Semoga Hyang Wisesa mengampuni kita semua, kulup........! Telah terjadi peristiwa yang amat hebat, malapetaka yang mengerikan...."

Tidak syak lagi sekarang hati Joko Wandiro. Sudah tentu perkara kematian ibu kandungnya.
"Bibi, ceritakanlah. Saya dapat menahan segala berita yang bagaimanapun. Ceritakanlah, bibi!"

"Mari, anakku. Mari masuk ke pondok dan kau....... kau maafkanlah sikap bibimu Kartikosari. Engkau akan mengerti mengapa dia bersikap seperti itu ketika tiba-tiba melihat kedatanganmu, Joko Wandiro."

"Tidak mengapa, bibi. Saya percaya, bibi Kartikosari adalah seorang yang bijaksana dan tentu sikap beliau tadi ada sebabnya yang hebat. Marilah, bibi."

Mereka memasuki pondok kecii sederhana itu. Berdegup jantung Joko Wandiro karena ia mengharapkan untuk bertemu dengan Pujo di dalam pondok. Ia menyapu semua penjuru dengan pandang matanya, namun tidak melihat Pujo di situ. Yang ada hanyalah perabot rumah sederhana dan Kartikosari duduk di atas sebuah balai-balai bambu dengan muka berduka dan kedua pipi basah air mata. Melihat keadaan Kartikosari ini, Roro Luhito yang tadi rnenggandeng tangan Joko Wandiro segera rnelepaskan tangan itu dan lari mengharnpiri Kartikosari dan merangkulnya.

"Apakah engkau datang untuk membalas dendam kematian ibumu? Kalau begitu, hunus kerismu dan tusuklah dadaku, agar himpas dan lunas hutang-pihutang nyawa ini!" kata Kartikosari kepada Joko Wandiro, suaranya gemetar akan tetapi sikapnya tenang.

Joko Wandiro terkejut sekali. Tidak disangkanya akan disambut dengan ucapan seperti itu oleh Kartikosari. Apakah ibu kandungnya tewas di tangan bibinya ini? Ah, tidak mungkin! Ia cukup mengenal ayah angkatnya, dan ia mendengar dari ayah angkatnya bahwa bibi Kartikosari ini dahulu adalah adik seperguruan ayah angkatnya. Ayah angkatnya adalah seorang satria sejati, memiliki iimu-ilmu kesaktian yang bersih, warisan Sang Resi Bhargowo. Sedangkan yang membunuh ibu kandungnya tentulah yang melukai Ki Adibroto pula, dan melihat luka itu, jelas membayangkan bahwa pemukulnya adalah seorang yang amat ganas dan memiliki ilmu yang jahat dan keji.

"Bibi Kartikosari, mengapa bibi berkata seperti itu? Sesungguhnyalah bahwa secara kebetulan sekali saya bertemu dengan paman Adibroto dan mendengar bahwa ibu kandung saya yang tak pernah saya jumpai itu telah meninggal dunia, tewas di tangan musuh yang juga melukai paman Adibroto sampai tewas Akan tetapi saya tidak tahu siapa pembunuhnya dan kedatangan saya ke Bayuwismo ini sekali-kali bukan untuk urusan itu, melainkan karena sudah rindu kepada bibi berdua, terutama sekali kepada....... ayahanda Pujo. Di manakah beliau? Dan Apa yang sudah terjadi di sini, bibi?"

Tiba-tiba Kartikosari bangkit berdiri, wajahnya pucat sekali.
"Kau tanyakan kakangmas Pujo.. ? Ayahmu itu kakangmas Pujo...... dia....... dia telah tewas.. dan anak...... anakku keparat dia...... oohhhh...... "

Kartikosari tak dapat melanjutkan kata-katanya dan ia menjatuhkan diri di atas balai bambu sambil menangis tersedu-sedu. Roro Luhito memeluknya dan juga menangis sesenggukan. Joko Wandiro memandang dengan muka pucat. Ayahnya, Pujo, telah tewas? Oleh siapa? Mengapa? Oleh ibunya dan Ki Adibroto? Kemudian mereka berdua itupun tewas dalam pertandingan ini? Melihat betapa dua orang wanita itu menangis penuh kesedihan, dia tidak berani mengganggu dan segera ia menjatuhkan diri duduk di atas bangku sambil menunjang dagu dan mengatur napas menenteramkan hatinya.

Melihat betapa Kartikosari tenggelam ke dalam kedukaan yang hebat, Roro Luhito lalu bangun dan duduk menyusuti air matanya. Dia maklum betapa hancur hati Kartikosari, tidak hanya karena kehilangan suami tercinta, melainkan juga kehilangan puteri yang amat diharap-harapkan. Memang betul Endang Patibroto masih hidup, akan tetapi bahkan lebih hebat daripada mati bagi seorang ibu kandung yang melihat puterinya menyeleweng jauh sekali daripada kebenaran! Di samping ini, Roro Luhito kasihan melihat Joko Wandiro yang tentu saja menjadi bimbang dan bingung serta amat mengharapkan penjelasan.

"Anakku Joko Wandiro, kaudengarlah baik-baik Apa yang akan kuceritakan kepadamu dan bersiaplah engkau menerima pukulan batin ini. Aku percaya, sebagai seorang satria murid Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna dan arif bijaksana, dan sebagai seorang yang telah dewasa, engkau tentu akan dapat menerima semua peristiwa yang terjadi ini sebagai sesuatu yang sudah dikehendaki Hyang Maha Wisesa dan bahwa semuanya itu memang sudah semestinya terjadi maka tak seorangpun manusia mampu merubahnya," kata Roro Luhito yang mulai dapat menekan perasaannya sehingga suaranya makin jelas dan tenang.

"Bicaralah, bibi, Biarpun belum tahu jelas, kiranya saya sudah dapat banyak menduganya."

"Aku akan mulai dari permulaan, anakku. Terjadinya kira-kira dua puluh tahun yang lalu, karena sesungguhnya mulai saat itulah terjadinya awal segala peristiwa ini yang kuharapkan sudah berakhir sampai sekian saja. Ketika itu, ayahmu atau gurumu Pujo bersama bibimu Kartikosari masih pengantin baru. Mereka berdua pergi bertapa ke dalam Guha Siluman. Tidak lama kemudian datanglah kakakku, mendiang ayah kandungmu sendiri Raden Wisangjiwo. Aku berterus terang saja, anakku, biar dia kakak kandungku, biar dia itu ayah kandungmu, dia pada masa itu adalah seorang bangsawan muda yang menjadi hamba nafsunya. Dia bersikap kurang baik terhadap bibimu Kartikosari sehingga terjadi pertempuran. Kakangmas Pujo pingsan dan ketika ia sadar, ia melihat betapa bibimu Kartikosari dalam keadaan terluka dan tak berdaya telah diperkosa orang, Keadaan dalam guha itu gelap-gulita dan karena tadinya yang menyerang mereka adalah Raden Wisangjiwo, tidak aneh kalau kakangmas Pujo dan bibimu Kartikosari merasa yakin bahwa Raden Wisangjiwolah orang yang melakukan perbuatan keji itu."

Joko Wandiro menggigit bibirnya. Dahulu pernah ia mendengar tentang permusuhan itu dan ia amat menyesal sekali. Akan tetapi ia tidak mau mengganggu cerita bibinya karena ia maklum bahwa kalau ia membuka mulut tentu suaranya akan gemetar.

"Memang menyesalkan sekali, anakku, akan tetapi itu kenyataan. Nah, semenjak saat itulah kakangmas Pujo berpisah dari bibimu Kartikosari. Kakangmas Pujo yang merasa dihancurkan kebahagiaannya oleh ayah kandungmu, menyerbu ke Kadipaten Selopenangkep. Di sana dia tidak menemukan Raden Wisangjiwo, maka untuk membalas sakit hatinya, ia.... menculik ibu kandungmu, mbokayu Listyokumolo dan engkau sendiri yang pada waktu itu baru berusia satu tahun."

Joko Wandiro menundukkan mukanya untuk menyembunyikan mukanya yang menjadi merah dan terasa panas. Ia juga amat menyesalkan perbuatan ayah angkatnya yang terburu nafsu dan sembrono ini, Akan tetapi tepat seperti dikatakan bibinya tadi, segala sudah terjadi dan ia juga mempunyai keyakinan bahwa segala hal yang sudah, sedang, atau akan terjadi kesemuanya sudah diatur oleh Hyang Maha Wisesa, sedangkan manusia hanyalah menjadi pelaku-pelakunya belaka.

"Kemudian engkau tahu betapa engkau diaku anak oleh kakangmas Pujo dan engkaupun sudah mendengar betapa setelah kakangmas Pujo dan mbokayu Kartikosari tahu bahwa musuh besar mereka sesungguhnya bukan Raden Wisangjiwo melainkan Jokowanengpati si manusia biadab, dari musuh mereka menjadi sahabat. Dan engkaupun tahu betapa ayah kandungmu, biarpun dahulunya pernah melakukan penyelewengan, namun di saat terakhir telah menjadi seorang pahlawan dan tewas dalam medan yuda sebagai seorang pahlawan pula. Akan tetapi ibu kandungmu........ " Sampai di sini Roro Luhito berhenti dan menarik napas panjang dan dua titik air mata meloncat ke atas kedua pipinya yang pucat.

"Teruskanlah, bibi. Saya siap mendengar hal yang seburuk-buruknya," kata Joko Wandiro tenang.

"Ibumu, mbokayu Listyokumolo setelah kehilangan kau yang dilarikan oleh kakangmas Pujo, dia...... dia menjadi berubah ingatan, kulup. Kasihan sekali. Ayahmu yang pada waktu itu belum sadar daripada penyelewengannya, melihat ibumu seperti orang gila, lalu mengantarnya kembali ke dusun Selogiri di lereng Lawu. Akan tetapi, agaknya memang ibu kandungmu harus banyak menderita di waktu hidupnya. Belum lama tinggal di rumah kakekmu yang menjadi lurah di dusun itu, desa Selogiri menjadi korban serbuan perampok-perampok. Eyangmu dan seluruh keluarganya tewas, ibu kandungmu menjadi tawanan perampok! Dan semenjak itulah kami tidak pernah mendengar apa-apa lagi dari ibumu. Ayahmu setelah insyaf akan kesalahannya, telah bersusah payah, dibantu oleh kami semua dan pasukan-pasukan, berusaha mencari ibumu, akan tetapi sia-sia."

Hemm, setelah itu tentu telah ditolong oleh paman Adibroto, pikir Joko Wandiro, Kemudian setelah ditolong lalu menjadi isteri paman Adibroto dan melahirkan seorang anak, Ayu Candra! Berpikir sampai di sini, jantung Joko Wandiro serasa ditusuk-tusuk, akan tetapi mulutnya tidak mengucapkan sepatahpun kata.

"Siapa dapat menduga, beberapa hari yang lalu..... "

"Ibu datang ke sini bersama paman Adibroto?" Tidak tertahankan lagi Joko Wandiro menyambung karena bibinya agak meragu.

"Benar, anakku. Ibumu tidak melupakan dendamnya kepada kakangmas Pujo yang sama sekali tidak menyangka-nyangka dan hidup aman tenteram bersama kami berdua di sini. Ibumu dapat bertemu berdua saja dengan kakangmas Pujo dan kakangmas Pujo....... yang selalu merasa berduka dan malu atas semua perbuatannya terhadap ibumu dahulu, mengakui dosanya dan rela menebus dosa, rela dijatuhi hukuman oleh ibumu. Kakangmas Pujo tidak melawan ketika ditusuk keris, sengaja menerima kematian di tangan ibumu agar dosanya tercuci oleh darahnya sendiri...."

Roro Luhito terisak dan Kartikosari yang tadinya sudah agak reda tangisnya, kini tersedu kembali. Joko Wandiro mengepal tinjunya. Ingin ia menjerit-jerit. Ingin ia menangis, menangisi keduanya, menangisi Pujo dan Listyokumolo. Bangga ia mendengar akan sikap Pujo yang ternyata seorang satria utama, seorang jantan sejati. Sedih ia mengingat akan nasib ibu kandungnya, dan dia tidak dapat menyalahkan ibu kandungnya yang tentu saja merasa dirusak kebahagiaan hidupnya oleh Pujo. Ingin sekali ia mendesak bibinya agar bercerita terus, akan tetapi kerongkongannya serasa tercekik.

"Kakangmas Pujo...... dia melarang kami menuntut balas....... dia menyatakan rela dan senang mati di tangan ibumu untuk menebus dosa...... "

"Aduh ayahku.......! Ayah dan guruku.......!"

Joko Wandiro bangga sekali dan hampir ia tidak kuat menahan air matanya yang sudah membuat pandang matanya berkaca-kaca.

"Kemudian, secara tak terduga-duga muncullah Endang Patibroto!"

Joko Wandiro terkejut dan mendongakkan muka, memandang bibinya dengan mata terbelalak penuh pertanyaan.

"Sungguh berbahagia sekali kakangmas Pujo ketika melihat puterinya. Baru sekali itu ia memandang wajah anak kandungnya, baru sekali itu, di ambang kematiannya, ia bertemu muka dengan puterinya. Hatinya puas sekali dan merasa betapa mendapat anugerah Dewata. Pertama, sudah dapat menebus dosa di tangan ibumu sendiri, ke dua, sebelum mati dapat bertemu anaknya. Sekali lagi kakangmas Pujo meninggalkan pesan agar jangan membalas kepada ibu kandungmu, bahkan berpesan bahwa untuk menghapus permusuhan itu, Endang Patibroto dijodohkan dengan....... engkau, anakku Joko Wandiro!"

Pemuda itu merasa seakan-akan dadanya hendak meledak, jantungnya berdebar-debar keras sekali. Ia merasa makin bangga kepada Pujo! Bukan main ayahnya, juga gurunya itu, seorang manusia bijaksana, seorang satria sejati.

"Jadi ayah....... Pujo tidak membalas kepada....... ibuku?"

"Tidak. Dia meninggal dunia sambil tersenyum bahagia."

"Dan bibi berdua, juga tidak membalas kepada ibuku.......?"

Roro Luhito menggelengkan kepala.
"Betapapun sakit dan sedih hati bibimu Kartikosari, namun dia juga seorang berdarah satria utama, dan mematuhi pesan suaminya."

"Kalau begitu, mengapa ibuku....... ? "

Tiba-tiba Kartikosari melompat turun dan dengan muka pucat, rambut awut-awutan ia menjerit,
"Anakku yang membunuhnya! Anakku Endang Patibroto, yang kukandung sembilan bulan, yang kubela dengan taruhan nyawa...... dia yang membunuh ibumu! Dan dia pula yang membunuh Ki Adibroto. Ya, anakku! Anak kandungku! Dia yang membunuh ibu kandungmu, Joko Wandiro. Maka itu, kalau kau hendak menuntut balas, jangan ragu-ragu, ini ibunya yang bertanggung jawab. Kaucabutlah senjatamu dan kau bunuhlah aku......... aku........ takkan melawan...... kau sempurnakan aku....... biar aku.......aku ikut suamiku....... "

Terdengar jerit melengking mengerikan dan tubuh Joko Wandiro sudah mencelat keluar dari pondok itu.

"Joko..........!"

Roro Luhito menjerit dan mengejar keluar, juga Kartikosari berlari keluar. Di depan pintu pondok mereka berhenti dan memandang ke depan dengan muka pucat. Mereka melihat betapa Joko Wandiro sambil mengeluarkan suara menggereng-gereng seperti seekor harimau, mengamuk dan kalang kabut menghantami batu-batu karang di pinggir laut! Batu karang pecah berhamburan dan terdengar pemuda itu menggereng-gereng di antara isak tangisnya, terus menghantami batu karang seperti orang gila.

"Joko Wandiro... anakku....! Kau ingatlah, nak........ ingatlah.......!"

Roro Luhito lalu berlari-lari dan menubruk kaki keponakannya, juga Kartikosari rnenghampiri dengan bercucuran air mata. Kini Joko Wandiro telah dapat menguasai iblis yang mengamuk di dalam kepala dan dadanya. Ia berdiri dengan kedua kaki tepentang, kedua tangan berlepotan darah karena dalam kemarahannya tadi ia tidak mengerahkan aji kesaktiannya sehingga kulit tangannya tidak kebal dan kini hancur oleh batu karang. Kedua lengan yang tangannya berdarah itu kini tergantung di kanan kiri tubuhnya, darahnya menetes-netes seperti air mata yang juga menetes-netes dari kedua matanya.

"Anakku...... ah, anakku Joko Wandiro....... jangan salah mengerti, nak. Bibimu...... Kartikosari mengeluarkan kata-kata itu saking remuk perasaan hatinya oleh kelakuan anaknya. Kau tidak tahu, setelah Endang Patibroto membunuh Listyokumolo dan melukai Ki Adibroto tanpa dapat kami cegah karena gerakannya yang amat dahsyat, kemudian bibimu Kartikosari mendengar bahwa Endang menjadi kepala pengawal Jenggala. Bibimu marah dan berusaha menginsyafkan puterinya, akan tetapi sia-sia. Bahkan bibimu sudah menyerang hendak membunuhnya, akan tetapi juga tidak berdaya rnenghadapi kesaktian Endang Patibroto yang amat hebat."

Kini Joko Wandiro sudah dapat menekan perasaannya dan ketenangannya pulih kembali.
"Saya tidak menaruh dendam kepada bibi Kartikosari, bahkan saya merasa amat terharu dan kasihan., Bibi Kartikosari, maafkan saya, percayalah, saya tidak mempunyai permusuhari apa-apa dengan bibi......."

"Joko Wandiro........kau dianggap putera sendiri oleh kakangmas Pujo dan memang....... memang kau patut menjadi puteranya. Ahh, anakku......!"

Kartikosari merangkul dan mereka berpelukan.
"Saya juga tahu akan kesaktian Endang Patibroto, karena sudah dua kali dia menyerang saya, bahkan dia hampir saja membunuh Ayu Candra."

"Ayu Candra? Siapakah dia?" tanya Kartikosari makin sedih mendengar akan penyelewengan puterinya.

"Dia itu....... adik tiriku, puteri ibuku dengan paman Adibroto."

Joko Wandiro lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Ki Adibroto dan Ayu Candra di dekat Telaga Sarangan, tentang pesan terakhir Ki Adibroto yang melarang anaknya mencari pembunuh ayah bundanya, kemudian tentang lenyapnya Ayu Candra.

"Ah..... kakangmas Pujo....... agaknya akan sia-sia semua kehendakmu agar permusuhan itu disudahi dengan pengorbanan darah dan nyawamu........ bukan saja anak kandung kita sendiri sudah melanggarnya, juga........ juga masih ada ekornya lagi, anak Adibroto dan Listyokumolo...."

Kartikosari mengeluh dan menjadi berduka sekali. Suaminya telah mengorbankan nyawa, rela ditusuk sampai tewas oleh Listyokumolo untuk menebus dosa, bahkan melarangnya membalas malah menjodohkan Endang Patibroto dengan Joko Wandiro putera Listyokumolo dalam usaha terakhir menyudahi permusuhan itu. Akan tetapi usaha yang amat mulia dari suaminya itu hancur berantakan, tidak saja oleh anak mereka sendiri, juga kini tentu saja Ayu Candra hendak menuntut balas pula. Dendam permusuhan yang tiada akan habisnya.

"Bibi harap suka tenangkan hati. Saya yang tanggung bahwa Ayu Candra adik saya itu tidak akan melanjutkan permusuhan, tidak akan mencari balas dendam.. "

Kartikosari terharu dan memegang lengan Joko Wandiro.
"Anakku........ Joko Wandiro, engkau patut menjadi putera dan murid kakangmas Pujo. Engkau....... engkau seperti dia, anakku! Terima kasih, Joko Wandiro. Engkau sebagai putera kandung Listyokumolo yang terbunuh oleh Endang Patibroto......... engkau tidak menaruh dendam juga engkau hendak....... mencegah adikmu Ayu Candra menuntut balas."

"Sudah semestinya begitu, bibi. Tidak mungkin saya dapat membiarkan adik saya menjadi korban nafsu dendam dan permusuhan yang tiada berkeputusan ini."

"Aku percaya engkau akan bisa membujuk adikmu. Sebagai puteri Ki Adibroto aku percaya Ayu Candra dapat mengerti, akan tetapi....... ah, kalau aku ingat akan anakku Endang Patibroto ? Dia sukar dikendalikan, memiliki kepandaian seperti iblis betina. Dia telah menjadi murid Dibyo Mamangkoro, dan tidak hanya mewarisi kedigdayaan raksasa yang mengerikan itu, malah juga celaka sekali, agaknya mewarisi wataknya yang seperti iblis."

Joko Wandiro menggigit bibir Ia masih gemas kalau teringat akan Endang Patibroto. Gadis itu telah banyak melakukan perbuatan keji. Hampir saja membunuh Ayu Candra tanpa sebab, juga menyerangnya dengan keji tanpa sebab. Kemudian, gadis itu malah telah membunuh ibu kandungnya dan Ki Adibroto, sungguhpun telah mendengar pesan terakhir ayahnya. Lebih hebat lagi, Endang Patibroto malah menyakiti hati ibunya, membantah dan melawan!

"Bibi, mengingat akan budi ayah Pujo yang berlimpah-limpah kepada diri saya, saya berjanji akan pergi mencari Endang Patibroto dan akan membujuknya agar supaya ia insyaf kembali daripada kesesatannya dan suka kembali kepada bibi di sini."

"Aduh, anakku! Engkau menumpuk-numpuk budi sehingga membuat aku merasa malu sekali. Kakangmas Pujo....kiranya membekas juga semua jasa dalam hidupmu.......! Joko Wandiro, kau tadi mengatakan bahwa sudah dua kali kau bentrok dengan Endang, sudah kauketahui sendiri kedigdayaannya yang seperti iblis. Bagaimana kalau ia tidak mendengar bujukanmu, bahkan menggunakan kekerasan ? Aduh........ alangkah akan baiknya kalau Endang tidak berubah seperti itu dan..... dan dapat terlaksana pesan kakangmas Pujo tentang perjodohannya dengan kau...!!"

"Saya berjanji akan mengajak Endang kembali kepadamu, bibi. Tidak perduli dia mau atau tidak, kalau perlu saya akan memaksanya dengan kekerasan!"

"Ah, Joko. Mudah-mudahan saja kau akan berhasil. Aku khawatir sekali, terutama jika aku ingat akan adikmu itu. Usahakanlah agar dia jangan memperhebat lagi permusuhan yang sudah diusahakan pemadamannya oleh ayahmu Pujo."

"Kalau saya pikir-pikir, sungguh menggemaskan orang biadab yang mempergunakan nama Raden Wisangjiwo sehingga tertanam bibit permusuhan sehebat itu. Bibi Kartikosari, siapakah sesungguhnya orang itu?"

Kartikosari tersenyum di antara air matanya.
"Iblis itu sudah mampus, Joko! Mampus di tangan bibimu berdua ini. Jokowanengpati telah mati dan mayatnya dikubur dalam perut ikan!"

Kemudian dengan penuh nafsu amarah Kartikosari menceritakan betapa dia dan Roro Luhito memaksa Jokowanengpati terjun ke laut sehingga musuh besar itu disambar ikan dan diseretnya ke dalam lautan. Joko Wandiro menarik napas panjang. Ngeri juga hatinya mendengar nasib orang jahat itu, akan tetapi ia maklum bahwa segala perbuatan jahat biarpun lambat akan tetapi sudah pasti akan menyeret pembuatnya ke dalam lembah kesengsaraan dan malapetaka.

"Kiranya cukuplah, bibi berdua. Saya pamit mundur, karena saya sendiripun berkhawatir akan keselamatan adik saya, Ayu Candra yang belum saya ketahui ke mana perginya. Harap bibi berdua menanti di sini, saya pasti akan datang lagi dan mudah-mudahan dapat bersama Endang."

"Tidak di sini, Joko Kami akan pergi dar i tempat ini."

Ucapan Kartikosari ini tidak hanya mengagetkan Joko Wandiro, juga Roro Luhito terkejut dan terheran.
"Kita hendak pergi ke manakah?" tanyanya sambil memegang tangan Kartikosari.

"Adikku Roro Luhito. Setelah kini kita ketahui bahwa di sana masih ada Ayu Candra yang mungkin akan menuntut balas, lebih baik kita pergi menyembunyikan diri. Siapa tahu sebelum dapat ditemukan Joko Wandiro, dia akan lebih dulu datang ke sini mencari kita. Sesungguhnya aku tidak akan mundur dan rela menyerahkan nyawaku kepada anak Listyokumolo yang terbunuh oleh anakku, akan tetapi kita harus mengingat akan nasib.... anak-anak kita dalam kandungan ini. Setelah jabang bayi terlahir, barulah aku siap menerima pembalasan. Karena ini, aku mengambil keputusan untuk bersembunyi ke Pulau Sempu di mana dahulu ayahku bertapa."

Roro Luhito menundukkan muka dengan terharu. Ucapan ini mengingatkan kepadanya bahwa anak yang ia kandungpun telah yatim, tiada berayah lagi.
"Aku menurut segala keputusanmu."

Joko Wandiro mengangguk-angguk. Diam-diam ia terharu juga ketika mendengar bahwa kedua wanita yang di tinggal mati ayah angkatnya ini dalam keadaan mengandung.

"Baiklah, bibi berdua. Saya kelak akan menyusul ke Pulau Sempu."

Setelah bermohon diri, Joko Wandiro lalu meninggalkan Bayuwismo, menunggang kudanya, pemberian Pangeran Darmokusumo, Pangeran Panjalu yang haik hati itu. Sementara itu, beberapa hari kemudian setelah menaburkan bunga di laut sebagai pernyataan selamat tinggal kepada suami mereka, Kartikosari dan Roro Luhito juga meninggalkan Bayuwismo yang menjadi sunyi dan menyedihkan.

**** 077 ****
Lanjut ke Jilid 078 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment