Ads

Saturday, January 12, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 090

◄◄◄◄ Kembali

Tanpa ragu-ragu lagi Joko Wandiro lalu memimpin anak buahnya untuk melakukan pengejaran ke tempat itu. Sehari sebelum tiba di Durgaloka, ia bertemu dengan Wiku Jaladara! Sang wiku yang bermata tajam dapat mengenal Joko Wandiro dan pengikutnya sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian. Akan tetapi hatinya juga khawatir melihat sekian banyaknya gadis-gadis cantik yang sebagian besar tidak terlalu tinggi ilmunya itu melakukan perjalanan yang menuju ke Durgaloka. Maka ia menyalami dan berkata sungguh-sungguh,

"Andika sekalian kalau melakukan perjalanan, hendaknya berhati-hati dan kalau andika suka mendengarkan nasehat orang tua, sebaiknya andika mengambil jalan lain dan jangan melanjutkan perjalanan ini."

Joko Wandiro juga dapat menduga bahwa kakek yang sudah tua akan tetapi berwajah sehat dan bermata lembut ini tentulah seorang berilmu tinggi, maka cepat ia memberi hormat dan berkata,

"Banyak terima kasih atas petunjuk dan nasehat paman. Akan tetapi maafkan kami orang-orang muda yang kurang terima dan ingin tahu lebih jelas lagi, yaitu apa sebabnya paman menganjurkan agar kami mengambil jalan lain. Adakah bahaya menghadang di depan?"

Wiku Jaladara menarik napas panjang lalu menjawab,
"Di depan sana terdapat bahaya mengancam," ia menuding ke depan. "Di sana terdapat orang-orang yang sedang diliputi kegelapan yang mengeruhkan budi pekerti mereka sehingga menyelewengkan mereka daripada kebenaran. Menjauhi kekotoran dan mencegah kekerasan, pergi dengan tenang dan damai adalah pekerti orang-orang bijaksana. Orang muda, harap kauajak rombonganmu ini mengambil jalan lain."

Joko Wandiro bertukar pandang dengan Dewi. Gadis ini tersenyum lalu melangkah maju dan berkata lantang,

"Eyang, bukankah yang kaumaksudkan itu adalah pertapaan Durgaloka di mana Bhagawan Kundilomuko tinggal bersama murid-muridnya?"

Sejenak pendeta tua itu tertegun, memandang tajam kepada Dewi dan adik-adiknya, lalu mengelus jenggotnya dan menghela napas pula.

"Sadhu-sadhu-sadhu. semoga damai dan bahagialah diantara semua manusia di permukaan bumi!
Ah, nini, terutama sekali engkau dan teman-temanmu ini, seyogyanya jangan melanjutkan perjalanan melalui pertapaan Durgaloka. Sungguh baik kalau kalian sudah tahu, dan orang yang secara sadar menjauhkan diri daripada bencana, adalah seorang bijaksana."

Joko Wandiro cepat bertanya,
"Paman, kalau tidak keliru penglihatan saya, paman adalah seorang wiku. Sebagai seorang wiku yang sudah lanjut usia, paman menasehatkan kami orang-orang muda supaya menjauhi bahaya. Akan tetapi mengapa paman sendiri yang sudah tua malah hendak menempuh bahaya itu? Apakah kalau terhadap paman, orang-orang Durgaloka tidak akan mengganggu?"

Kakek itu kembali mengelus-elus jenggotnya dan memandang tajam kepada Joko Wandiro, kemudian berkata,

"Orang muda, aku yang tua dan bodoh memang sengaja hendak menemui Bhagawan Kundilomuko. Mendengar akan penyelewengannya, sudah menjadi kewajibanku untuk berusaha mengingatkannya agar jangan makin berlarut-larut dan banyak menimbulkan banyak korban."

"Maaf, paman wiku. Kalau begitu, tugas kita ada persamaannya, yaitu membersihkan dunia daripada yang kotor dan jahat. Hanya bedanya, kalau paman mengusahakan dengan jalan halus dan menyadarkan mereka dengan petuah, kami akan melenyapkan segala kekotoran itu dengan membasmi mereka kalau perlu!"

"Ahhh... manusia dapat berusaha, hanya Hyang Maha Agung yang menentukan. HambaMu sudah berusaha dan segalanya terserah.... terserah...!" Pendeta itu tidak bicara lagi, hanya berjalan dengan kedua tangan dirangkap dan ditaruh di depan dada, mulutnya berkemak-kemik membaca mantera dan doa.

Demikianlah maka Joko Wandiro bersama anak buahnya datang ke Durgaloka bersama dengan Wiku Jaladara ini. Dan atas desakan dan anjuran sang wiku pula maka perjalanan itu diteruskan biarpun malam sudah tiba. Sang Wiku Jaladara yang sudah awas paningal (berpemandangan waspada) ini tahu bahwa pada malam bulan purnama itu tentulah terjadi hal-hal mengerikan dan hebat di Durgaloka. Dan untunglah bahwa Sang Wiku Jaladara mendesak Joko Wandiro melanjutkan perjalanan di malam itu, karena terlambat sebentar saja, keadaan Ayu Candra dan Endang Patibroto tak mungkin dapat tertolong lagi!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Joko Wandiro ketika dalam penyusupannya ke Durgaloka itu ia melihat Ayu Candra dan Endang Patibroto yang duduk seperti arca hidup itu sedang dirangkul oleh Ki Jatoko dan Bhagawan Kundilomuko untuk diberi minum dari sebuah cawan. Karena dapat menduga bahwa isi cawan itu tentulah benda yang amat berbahaya, maka ia cepat bertindak. Kemarahan yang membakar hatinya jauh melampauhi kekagetannya, maka begitu kedua tangannya bergerak, dua buah batu kerikil terbang dan berhasil memukul jatuh cawan berisi anggur darah yang mengerikan itu.

Sementara itu, Dewi dan adik-adiknya serta anak buahnya sudah pula menyerbu dan mereka ini mendapat sambutan dari para anak murid Bhagawan Kundilomuko sehingga terjadilah perang tanding yang amat seru di sekitar tempat pemujaan dan taman belukar sekeliling sumber mata air Sungai Bondoyudo. Pertandingan mati-matian yang hanya diterangi sinar bulan purnama.

Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko sudah menerjang dengan berbareng, menyerang Joko Wandiro. Ki Jatoko maklum bahwa pemuda ini sakti luar biasa, akan tetapi karena di situ terdapat Bhagawan Kundilomuko, maka ia tidak takut. Dengan keris di tangan ia menerjang Joko Wandiro, sedangkan Bhagawan Kundilomuko juga sudah menubruk maju sambil menggerakkan sebatang tongkat yang bentuknya seperti seekor ular. Melihat gerakan mereka berdua itu, Joko Wandiro yang sudah siap lalu memapaki mereka dengan gerak tangan yang melancarkan pukulan Bojro Dahono.

"Werrrrr.. desssss.......!!" Ki Jatoko terjungkir-balik oleh hawa pukulan yang dahsyat itu, bahkan Bhagawan Kundilomuko juga terkejut karena tubuhnya terhuyung ke belakang sampai dua langkah. Maklumlah sang bhagawan bahwa pemuda ganteng yang datang ini memiliki kesaktian yang hebat, maka ia cepat berteriak minta bantuan murid-muridnya, Memang jumlah anak murid Bhagawan Kundilomuko jauh lebih banyak, ada kurang lebih seratus onang sedangkan Joko Wandiro hanya diikuti oleh Dewi dan adik-adiknya dan anak buahnya yang jumlahnya hanya tiga puluh orang. Maka kini belasan orang anak murid Bhagawan Kundilomuko sudah menerjang naik ke atas tempat pemujaan untuk mengurung dan mengeroyok Joko Wandiro.

Yang naik adalah murid-murid wanita sehingga dalam sekejap mata saja Joko Wandiro menjadi merah padam mukanya karena harus menghadapi pengeroyokan hampir dua puluh orang gadis yang sebagian besar bertelanjang bulat tidak berpakaian sama sekali! Ia menjadi muak dan marah, akan tetapi juga bingung karena wataknya yang baik membuat ia tidak tega menjatuhkan tangan maut kepada wanita-wanita muda itu.

Sang Wiku Jaladara juga sudah naik ke tempat pemujaan. Ia menghela napas panjang menyaksikan pertempuran yang tak mungkin dapat dicegah lagi itu, kemudian ia lari menghampiri Endang Patibroto dan Ayu Candra. Dipegangnya kedua tangan gadis ini dan ditariknya mereka itu ke pinggir. Kemudian ia cepat-cepat mengambil secepuk obat dari dalam sakunya dan ditekankan cepuk yang sudah dibukanya itu di bawah hidung Ayu Candra, kemudian di bawah hidung Endang Patibroto. Dua orang gadis yang menurut saja seperti arca hidup itu kini terbangkis-bangkis sampai beberapa kali. Mereka berbangkis terus ketika Wiku Jaladara menaruh kedua tangan di atas kepala mereka sambil membaca mantera dan mengerahkan kekuatan batinnya untuk mengusir hawa beracun dan awan hitam yang menyelimuti kesadaran dan ingatan kedua orang gadis itu.

Kakek ini begitu tekun dalam usahanya menyadarkan mereka berdua sehingga ia sama sekali tidak memperdulikan pertempuran yang makin menghebat di sekelilingnya. Sang Wiku Jaladara sama sekali tidak tahu betapa Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko menghampirinya dengan mata mendelik saking marahnya. Dua orang ini dapat menduga apa yang sedang dikerjakan oleh pendeta Buddha itu, maka tanpa diberi komando lagi keduanya meloncat maju dengan keris dan tongkat di tangan.

"Cepp! Trakkkk!!" Keris di tangan Ki Jatoko menancap lambung, sedangkan tongkat ular di tangan Bhagawan Kundilomuko menghantam pelipis kepala sampai pecah!

Tanpa mengeluh tubuh Wiku Jaladara menjadi lemas dan terguling. Dari mulutnya terdengar ucapan lemah,

"Semoga Sang Buddha memberi penerangan kepada kalian..!"

Ayu Candra ikut pula terguling dan roboh pingsan. Akan tetapi tidak demikian dengan Endang Patibroto. Tentu saja Endang Patibroto memiliki daya tahan dan kekuatan sakti yang jauh lebih unggul daripada Ayu Candra, maka usaha sang wiku tadi sudah berhasil. Begitu ia terlepas daripada penyelimutan hawa hitam dari ilmu sihir dan racun, ia meloncat dan membuka mata lebar-lebar. Seketika ingatlah ia akan semua pengalamannya, maka sambil mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo, tubuhnya menerjang ke depan. Kaki kanannya menendang dada Ki Jatoko membuat si buntung ini terguling-guling jauh sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah muka Bhagawan Kundilomuko. Bhagawan itu kaget sekali, cepat membanting tubuh ke belakang, lalu melarikan diri secepatnya. Juga Ki Jatoko sudah melarikan diri.

Sejenak Endang Patibroto tertegun, lalu ia menggoyang-goyang kepalanya mengusir sisa kepeningan dan kehampaan. Ketika ia memandang sekeliling, ia menjadi terheran-heran melihat sekian banyaknya orang bertanding, sebagian besar wanita. Ia tidak tahu siapa kawan siapa lawan, dan makin heranlah ia ketika melihat Joko Wandiro dikeroyok oleh dua puluh lebih gadis-gadis cantik yang telanjang. Mereka itu mengeroyok sambil cekikikan dan merayu-rayu! Muak rasa perutnya, dan ia segera meloncat dari situ. Satu-satunya yang ia ketahui benar adalah bahwa Ki Jatoko harus ia bunuh, karena Ki Jatoko inilah yang menyebabkannya. Dan juga kakek tua bangka yang datang bersama Ki Jatoko itu agaknya Bhagawan Kundilomuko, maka kakek itupun harus ia bunuh.

Ia dapat menduga! bahwa ia tentu terpedaya oleh kakek itu dengan ilmu mujijat. Cepat-cepat ia lari mencari pondok di mana ia dikeram untuk mengambil kembali pusakanya yang ia sembunyikan. Dengan hati lega dan gembira Endang Patibroto mendapatkan kembali keris pusakanya, Brojol Luwuk. Ia merasa bersyukur bahwa sebelum ia pingsan, ia masin ingat untuk menyembunyikan pusakanya. Kalau tidak, tentu pusaka itu terjatuh ke tangan musuh dan hal ini amat berbahaya. Kini dengan Brojol Luwuk di tangannya, pulih kembali semua kekuatan dan kegagahannya, maka ia lalu berlari keluar. Begitu ia meloncat keluar, tiga orang laki-laki anak murid Bhagawan Kundilomuko mencegat dan serta-merta menubruk hendak menangkapnya.

"Mampuslah kalian anjing-anjing keparat!" bentak Endang Patibroto, tangan kirinya menampar. Terdengar suara keras dan tiga orang laki-laki itu roboh dengan kepala pecah terkena pukulan halilintar tangan kiri Endang Patibroto! Gadis perkasa ini segera mulai mencari dua ocang yang amat dibencinya di saat itu. Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko!

Dengan sikap beringas penuh amarah bagaikan seekor singa betina, Endang Patibroto mencari Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko. Ia melihat betapa Joko Wandiro dikeroyok puluhan orang wanita telanjang dan anak murid Bhagawan Kundilomuko, melihat pula sepasukan wanita berperang tanding mati-matian melawan para anak murid sang bhagawan, namun ia tidak memperdulikan itu semua.

Setiap kali ada anak buah Durgaloka menghadap di depannya, tangan kirinya menampar dan robohlah si penghadang itu dengan kepala pecah atau dada remuk! Gadis ini sudah marah sekali sehingga setiap gerakannya mengandung hawa pukulan yang amat ganas dan keji. Semua rumah dimasukinya, diobrak-abrik dalam usahanya mencari Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko. Bahkan setiap kali keluar dari pondok kosong, gadis ini mendorong dan menendang roboh pondoK itu, kemudian memasuki pondok lain untuk mencari dua orang yang disangkanya bersembunyi di sebuah di antara pondok-pondoK itu.

Ketika ia memasuki pondok di mana selama ini ia ditahan dan di mana ia tadi mendapatkan kembali pusakanya, ia melihat pakaiannya bertumpuk di atas pembaringan. Teringatlah ia bahwa ia masih mengenakan pakaian sutera putih halus yang amat memalukan itu. Cepat-cepat ia berganti pakaian, memakai pakaiannya sendiri. Kemudian ia melanjutkan usahnya mencari dua orang yang amat dibencinya itu.

Setelah semua pondoK ia robohkan dan belum juga ia menemukan dua orang yang dicarinya, Endang Patibroto menjadi marah sekali. Ia meloncat keluar dan menyambar seorang anak murid pertapaan yang terdekat. Anak murid itu wanita dan melihat bahwa ia tidak telanjang, tentu bukan seorang di antara tiga puluh orang penari tadi. Wanita itu berusaha melawan dan menusukkan kerisnya ke arah Endang Patibroto.

"Takk!"

Wanita itu menjerit dan memandang dengan muka pucat. Bukan perut gadis itu yang pecah, melainkan keris di tangannya yang patah dan tinggal gagangnya saja! Sebelum hilang kagetnya, tangan kiri Endang Patibroto sudah mencengkeran pundaknya. Wanita itu menjerit-jerit. Rasa nyeri yang amat luar biasa menembus jantung meresap ke seluruh tulang sumsum seakan-akan ribuan ekor semut memasuki tubuhnya dan menggigitnya dari dalam.

"Aduh, mati aku aduhh ampun....... bunuh saja aku" Wanita itu bersambat, menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu panas. Namun Endang Patibroto tidak melepaskan cengkeraman pada pundaknya.

"Hayo katakan di mana tempat sembunyi gurumu dan Ki Jatoko!" Endang Patibroto membentak sambil memandang penuh kebencian.

"Aduhh....... ah, kau....... kau mencari pengantin pria.......? Auggghh!!" Wanita itu tak sempat melanjutkan kata-katanya karena sebuah tamparan tangan kiri Endang yang amat keras membuat rahang bawah mukanya remuk. Ia berkelojotan sekarat, tak dapat bicara lagi.

Endang Patibroto kini melompat ke depan dan menyambar seorang anak murid pria, tidak perduli bahwa anak murid ini masih telanjang dan sedang sibuk mengeroyok Joko Wandiro di barisan terbelakang. Sekali banting, laki-laki itu roboh dan Endang Patibroto menggerakkan tangan kirinya, menangkap lengan kiri laki-laki itu dan memilinnya.

"Krekk" Lengan itu patah tulangnya dan laki-Iaki itu melolong kesakitan

"Hayo katakan, ke mana larinya gurumu dan Ki Jatoko?"

"Aku.. aku tidak tahu....... mungkin ....... ke mana lagi kalau tidak ke hutan Gumuk-mas dekat pantai ?"

"Gumuk-mas. Tempat apa itu dan di mana? Jawab cepat!"

Endang Patibroto sudah mencengkeram lengan kanan orang itu, membuat gerakan ancaman untuk mematahkan lagi lengan ini.

"Am....... ampun.....Gumuk-mas tempat pertapaan juga dari sini terus ke selatan....... mungkin dia belum jauh......."

Hanya sampai di situ, anak murid ini dapat bicara karena tiba-tiba jari tangan kiri Endang Patibroto sudah menyambar ke lehernya dan terdengar suara tulang patah. Laki-laki itu tewas di saat itu juga! Endang Patibroto melempar pandang ke sekelilingnya. Pertandingan masih berlangsung hebat. Joko Wandiro boleh jadi sakti mandraguna, akan tetapi ia melihat bahwa pemuda itu terlalu lemah hatinya. Dikeroyok banyak wanita telanjang itu kelihatan gugup dan agaknya pemuda itu tidak cukup tega untuk menjatuhkan tangan maut, hanya merobohkan mereka tanpa melukai berat. Tentu saja hal ini membuat para pengeroyoknya makin ganas dan berani sehingga pertempuran menjadi makin lama. Sementara itu, para wanita yang merupakan pasukan yang datang bersama Joko Wandiro juga bertanding ramai sekali melawan anak murid Durgaloka.

Harus diakui bahwa anak murid Durgaloka rata-rata memiliki kepandaian yang lumayan dan karena jumlah mereka jauh lebih besar, maka para penyerbu menghadapi perlawanan berat dan banyak di antara para penyerbu roboh pula. Endang Patibroto tersenyum mengejek ke arah Joko Wandiro, kemudian seperti seekor burung srikatan saja gesitnya, ia sudah melompat dari situ, lenyap di antara pohon-pohon kemudian lari bagaikan seekor kijang menuju ke arah selatan, melakukan pengejaran terhadap dua orang yang melarikan diri itu.

Pemberitahuan anak murid Durgaloka yang bernasib sial itu tadi memang tidak bohong. Ketika Dhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko tahu bahwa gadis sakti itu sudah sadar kembali dari pengaruh jampi dan guna-guna, mereka menjadi terkejut dan ketakutan, menggunakan kesempatan selagi gadis itu belum sadar benar, cepat mereka berdua melarikan diri. Setelah di situ muncul seorang pemuda sakti seperti Joko Wandiro, ditambah lagi Endang Patibroto yang sudah sadar, tentu saja mereka berdua tidak berani membahayakan keselamatan diri untuk melawan pendekar-pendekar muda itu. Dan satu-satunya tempat yang dianggap paling aman oleh
Dhagawan Kundilomuko adalah hutan Gumuk-mas, tempat pertapaannya yang kedua karena tempat ini berada di dekat pantai dan dekat pula dengan Pulau Darung (Nusabarung).

Semalam suntuk mereka lari dengan kecepatan mereka. Pada keesokan harinya, setelah matahari terbit, barulah kedua orang ini tiba di hutan Gumuk-mas. Biarpun Bhagawan Kundilomuko seorang tua yang sakti, namun oleh karena ia terlalu suka mengumbar nafsu keadaan tubuhnya kekurangan daya sakti sehingga dipakai lari semalam suntuk itu ia merasa lelah dan kehabisan tenaga. Terengah-engah ia lari menubruk dan memeluk kaki sebuah arca Sang Bathari Durgo yang menjadi dewi pujaannya, kemudian mengeluh,

"Duh Sang Bathari pujaan hamba! Hamba mohon perlindungan, Sang Dewi.... "

Ki Jatoko yang sepagi itu sudah berpeluh seluruh muka dan lehernya, mengusap peluh sambil memandang dengan hati kecut. Kecewa ia melihat keadaan pendeta itu. Ternyata biarpun sakti mandraguna, pendeta ini seorang pengecut dan penakut. Pertapaan dan anak muridnya diserbu musuh, malah lari seperti seekor anjing digebuk! Diam-diam ia merasa kecewa telah bersekutu dengan seorang yang sama sekali tak dapat diandalkan itu.

"Paman, kenapa kita berhenti di sini? Bukankah lebih baik kita terus saja berlindung di Nusabarung?"

Bhagawan Kundilomuko menggeleng kepala, menarik napas panjang. Wajahnya muram dan ia berduka juga mengingat anak-anak muridnya yang terkasih itu yang tentu akan terbasmi oleh dua orang muda sakti bersama pasukannya.

"Tidak, anak-mas, aku tidak akan pergi ke Nusabarung! Setelah kawan-kawan seperti Cekel Aksomolo dan yang lain-lain tewas, siapa lagi boleh diandalkan? Tentu Jenggala akan mengerahkan pasukan besar menyerang Nusabarung dan kalau kita berada di sana, sama dengan mencari mampus. Tidak, anak-mas, biarpun sudah tua, aku belum kepingin mati. Aku hendak pergi kepada keponakanku, Adipati Blambangan."

"Kenapa, paman bhagawan? Kalau kita membantunya dan mengerahkan pasukan mempertahankan Nusabarung, belum tentu kalah oleh barisan Jenggala."

"Tidak, kau pergilah ke Nusabarung kalau kaukehendaki, anak-mas. Aku tetap akan pergi ke Blambangan."

Tiba-tiba wajah Ki Jatoko menjadi pucat, matanya terbelalak. Tanpa mereka ketahui datangnya, tahu-tahu ia melihat bayangan....... Endang Patibroto di balik sebatang pohon, di belakang Bhagawan Kundilomuko! Rasa takut yang hebat menggetarkan jantung Ki Jatoko. Namun tidak menghilangkan kecerdikannya yang luar biasa. Ia maklum dalam sedetik itu bahwa jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri haruslah mengambil sikap tepat dan cepat. Ia pura-pura tidak melihat bayangan Endang Patibroto dan meloncat ke depan Bhagawan Kundilomuko, menudingkan telunjuknya ke hidung pendeta itu sambil membentak.

"Huh, kau pendeta bajul buntung! Sudah kusangka bahwa engkau adalah seorang pendeta yang tak patut, siapa kira kenyataannya lebih buruk lagi. Engkau tidak setia, pengecut dan pengkhianat! Sungguh aku menyesal sekali telah mendengar bujukanmu. Dengan baik-baik aku mengajak Endang Patibroto untuk merundingkan perihal perang antara Jenggala dan Nusabarung, tahu-tahu engkau gunakan akal keji untuk merobohkannya! Karena aku tidak ingin melihat dua orang gadis itu kaubunuh, terpaksa aku menurut dan......."

''Jatoko! Tutup mulutku yang busuk....! Kau... kau.......!"

Pendeta itu marah sekali sehingga tak dapat melanjutkan kata-katanya dan langsung saja ia menerjang ke depan dan menghantamkan kepalan tangan kanan ke arah dada Ki Jatoko. Melihat pukulan yang mendatangkan angin dingin itu, Ki Jatoko cepat mengangkat lengan kanan pula dan menangkis dari samping. Inilah kesalahannya. Ia tidak tahu bahwa Biarpun dalam ilmu silat ia belum tentu kalah oleh sang pendeta, namun dalam hal tenaga mujijat ia kalah ampuh, kalah kuat. Pendeta ini seorang ahli ilmu hitam, tenaga sakti di tubuhnya memang melemah karena ia hamburkan untuk mengumbar nafsu, akan tetapi tenaga yang timbul dari ilmu hitam amat kuat dan hebat.

"Dukkk !!"

Hebat pertemuan kedua lengan ini dan Ki Jatoko terkejut sekali, berseru keras ketika tubuhnya terlempar ke belakang sampai beberapa meter jauhnya, kemudian ia terbanting roboh di depan arca Bathari Durgo yang sebesar manusia itu. Untuk mencegah tubuhnya terhuyung-huyung, Ki Jatoko memeluk arca itu sehingga kelihatannya ia memeluk dan mencium tubuh arca yang telanjang! Cepat sekali Ki Jatoko menjatuhkan diri untuk mengelak kalau-kalau lawannya melanjutkan serangannya dari belakang. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring,

"Kundilomuko, bersiaplah kau menerima hukumanku!!"

Ki Jatoko cepat menengok dan melihat betapa Endang Patibroto telah menyerang Bhagawan Kundilomuko dengan garang, ia menonton dengan hati risau dan gelisah sekali. Memang ia telah dapat menyelamatkan diri dari tangan Endang Patibroto untuk sementara waktu dengan jalan "mengadu" gadis sakti itu melawan Bhagawan Kundilomuko. Akan tetapi sampai di manakah hasil daripada akalnya tadi itu? Keadaannya sekarang masih tidak lebih baik daripada tadi.

Sebelum ia menjalankan siasat "membalikkan kepala" menentang Bhagawan Kundilomuko, ancaman mutlak datang dari Endang Patibroto, akan tetapi ia masih bersahabat dengan pendeta itu. Kini ia telah merobah keadaannya sendiri. Ia menjadikan pendeta itu sebagai musuhnya, akan tetapi mungkin sekali gadis itu dapat ia bujuk kembali dan sikapnya tadi mungkin akan berhasil mengurangi kebencian Endang Patibroto kepadanya. Kini ia gelisah sendiri. Gadis itu sakti mandraguna, andaikata ia membantu Bhagawan Kundilomuko, belum tentu dapat menangkan gadis itu. Kalau kini ia membantu Endang Patibroto seperti pernah ia lakukan ketika gadis itu bertanding melawan Joko Wandiro, tentu sang bhagawan akan dapat dirobohkan lebih cepat dan ia akan menggunakan kecerdikannya untuk membujuk gadis yang masih hijau ini. Diam-diam Ki Jatoko sudah mempersiapkan jarum racun ular di tangannya.

Pertandingan antara Endang Patibroto dan Bhagawan Kundilomuko berlangsung seru dan mati-matian. Sang bhagawan mula-mula menerjang hebat mengerahkan semua kepandaian dan mengerahkan tenaga dalamnya, menghujankan pukulan-pukulan tangan miring ke arah tubuh Endang Patibroto. Namun dengan mudah Endang Patibroto mengelak dan menangkis. Melihat rangkaian serangannya gagal sama sekali, sang bhagawan meloncat mundur dan berkata,

"Endang Patibroto, aku masih merasa sayang kepadamu. Mengapa kau berkeras hendak bertanding melawanku? Sayang kalau sampai kau roboh binasa. Sebelum terlambat, kuperingatkan kau bahwa lebih baik kita bersahabat. Aku sayang kepadamu, manis. Engkau akan bahagia hidup menjadi isteri Bhagawan Kundilomuko, minta apapun akan terlaksana."

"Tua bangka jahanam! Sudah mendekati mampus masih banyak cakap?" bentak Endang Patibroto gemas.

Bhagawan Kundilomuko tiba-tiba tertawa, tertawa bergelak sampai suaranya menggetarkan seluruh hutan. Ki Jatoko yang menonton, tiba-tiba merasa perutnya kegelian dan tak dapat tertahan lagi iapun tertawa-tawa mengikuti suara ketawa sang bhagawan. Makin lama makin hebat sampai Ki Jatoko terpingkal-pingkal dan bergulingan di atas tanah, di depan kaki arca Bathari Durgo. Endang Patibroto juga merasa geli dan ingin sekali tertawa, sukar untuk mempertahankannya. Mulutnya sudah bergerak-gerak, bibirnya tersenyum-senyum, akan tetapi sebagai murid tunggal Dibyo Mamangkoro yang sakti mandraguna, ia teringat bahwa-ini adalah pengaruh ilmu hitam yang hebat. Maka ia segera mengerahkan Aji Sardulo Birowo (Pekik Harimau) lalu menjerit atau mengaum dengan keras dan nyaring sekali. Hebat sekali pengaruh pekik mujijat yang disalurkan dengan dorongan tenaga sakti ini. Seketika Bhagawan Kundilomuko menghentikan tawanya, mukanya pucat dan dahinya penuh keringat. Begitu sang bhagawan berhenti tertawa, Ki Jatoko juga otomatis berhenti tertawa. Ki jatoko terkejut dan melompat bangun, mukanya pucat napasnya terengah-engah. Celaka pikirnya, hampir ia menjadi
korban. Ia kurang berhati-hati tadi sehingga terseret hawa mujijat dari suara ketawa kakek itu.

BHAGAWAN Kundilomuko kini berdiri dengan kedua lengannya bergoyang-goyang ke atas dan jari-jari tangannya bergerak-gerak mencengkeram membuka seperti kuku harimau. jari-jari tangan ini tergetar dan terdengarlah suara "kletak-kletuk" seakan-akan semua kuku-kuku jarinya meledak-ledak. Bibirnya berkemak kemik dan kulit tubuhnya seakan-akan mengeluarkan minyak, menjadi mengkilat. Sang Bhagawan Kundilomuko sedang mengerahkan kesaktiannya dan dalam keadaan seperti itu ia seakan-akan berotot kawat bertulang besi!

"Bocah perawan sombong! Tak boleh diberi hati! Tidak bias menjadi isteriku, kau akan menjadi mangsaku. Kuminum darahmu, kuganyang dagingmu, kuhisap sumsummu!"

Setelah mengeluarkan ancaman yang menyeramkan ini, sang bhagawan meloncat ke depan. Ki Jatoko hampir berteriak kaget ketika dalam pandangan matanya, kakek itu berubah menjadi seekor ular naga yang bertubuh manusia, atau manusia berkepala ular naga!

Endang Patibroto juga melihat perubahan ini, namun sekali lagi ia memekik dengan Aji Sardulo Bairowo dan lenyap pula perubahan itu dalam pandang matanya, kemudian ia mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk menyelinap ke samping, menghindarkan diri dari tubrukan yang disertai cengkeraman ganas itu. Kemudian, dari samping ia mengirim pukulan dengan jari-jari tangan dikembangkan dan ia telah menggunakan aji pukulan Gelap Musti yang ia pelajari dari kakeknya dahulu. Sang bhagawan menangkis dan ketika dua lengan bertemu, terdengar suara keras seperti logam beradu. Endang Patibroto terkejut karena ia merasa betapa lengan tangannya dingin sekali, rasa dingin yang meresap ke dalam tulang dan membuatnya bergidik kedinginan.

Pada saat itu, sang bhagawan sudah menerjang lagi dan kini hawa pukulannya mengandung hawa dingin yang mengejutkan. Endang Patibroto harus mempergunakan gerak kecepatan Bayu Tantra untuk menyelamatkan diri, bahkan ia lalu memakai ilmu ibunya, yaitu gerakan burung walet dan camar. Dengan gesit sekali tubuhnya berkelebatan, kadang-kadang melompat tinggi seperti burung terbang dan menyelinap dari bawah amat capetnya. Kakek ini menjadi geram dan penasaran. Ia maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan tangguh dan harus mengerahkan seluruh aji dan kepandaiannya, karena pertandingan ini adalah pertandingan mengadu nyawa! Sambil memekik dahsyat, ia meloncat ke depan, mencegat tubuh gadis itu yang baru melayang turun ketika menghindar dari tendangan kakinya. Sebelum tubuh Endang Patibroto tiba kembali di atas tanah, Bhagawan Kundilomuko sudah menyambutnya dengan pukulan kedua tangannya yang dilakukan berbareng, yang kanan menghantam perut, yang kiri menampar ke arah muka.

Pukulan yang amat berbahaya ini menyambar cepat sekali, mengeluarkan hawa yang amat dingin. Endang Patibroto terkejut, tidak menyangka lawannya dapat bergerak secepat itu. Pukulan ke arah muka mudah saja dielakkan, akan tetapi pukulan tangan terbuka dan miring ke arah perutnya tak mungkin dielakkan lagi. Terpaksa ia menangkis ke bawah.

"Dukkk...!!"

Tubuh Endang Patibroto yang masih di atas itu terlempar ke belakang dan gadis ini merasa pundaknya kaku dan amat dingin. Ia kaget dan marah sekali, apalagi melihat pendeta tua itu terkekeh mentertawakannya. Dengan muka beringas Endang Patibroto menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan mengebutlah asap dari kedua tangannya itu sedang telapak tangannya menjadi makin merah. Itulah aji Wisangnolo, aji pukulan jarak jauh Api Beracun yang ia warisi dari gurunya, Dibyo Mamangkoro!

Menyaksikan kehebatan ini, seketika terhenti suara ketawa Bhagawan Kundilomuko, akan tetapi kekagetannya ini masih kalah oleh rasa kagetnya ketika pada saat itu terdengar suara mendesir dari sebelah kiri. Cepat ia mengebutkan tangan kirinya dan runtuhlah tiga batang jarum hitam. Ia memandang Ki Jatoko dengan mata mendelik, saking marahnya tak dapat mengeluarkan kata-kata, seperti hendak menelan hidup-hidup orang buntung itu.

Ki Jatoko menjadi pucat wajahnya. Tak disangkanya bahwa sang bhagawan itu benar-benar sakti dan tinggi kepandaiannya. Sementara itu, ketika Endang Patibroto melihat bantuan ini, ia bukan menjadi girang, sebaliknya ia memaki,

"Iblis buntung! Siapa sudi akan bantuanmu? Berdiamlah kau di situ menanti giliran!"

Setelah berkata demikian, tanpa memperdulkan si bunting yang berdiri di dekat arca dengan muka pucat dan dahi penuh keringat, Endang Patibroto sudah menerjang maju, menggunakan tangan kanan yang penuh dengan saluran tenaga Wisangnala untuk menyerang lawan. Bhagawan
Kundilomuko melangkah mundur menghindar, kemudian balas memukul dengan tangan kiri. Endang Patibroto yang sudah mengerahkan Aji Wisangnala, tidak takut bahkan sengaja menangkis dengan tangan kanannya.

"Plakkkk"

Lengan kiri Bhagawan Kundilomuko dan tangan kanan Endang Patibroto bertemu seakan-akan lengket. Mereka berdua tak bergerak seperti patung, namun kedua lengan yang bertemu itu menggigil karena di situ terjadi adu kekuatan yang dahsyat. Hawa dingin yang keluar dari tangan
kiri pendeta itu bertemu dengan hawa panas yang keluar dari tangan Endang Patibroto! Beberapa menit mereka dalam keadaan seperti ini, muka Endang Patibroto menjadi kemerahan dan muka pendeta itu makin lama makin pucat.

Lanjut ke Jilid 091 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment