Ads

Saturday, January 19, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 091

◄◄◄◄ Kembali

Sebagai seorang yang memiliki ilmu tinggi, Ki Jatoko maklum apa yang sedang terjadi. Ia bukan seorang bodoh. Kalau Sang Bhagawan Kundilomuko menang, dia tentu akan diserang kakek itu dan melihat kesaktian kakek ini dalam pertandingan melawan Endang Patibroto, ia merasa tidak kuat untuk menandinginya. Sebaliknya, kalau Endang Patibroto yang menang, biarpun mungkin ia dapat membujuknya namun masih tetap ada bahayanya, mengingat akan watak gadis itu yang liar dan ganas. Mengapa kesempatan sebaiK ini tidaK ia pergunakan? Mereka sedang mengadu tenaga sakti, siapa yang mengalihkan perhatian akan kalah. Oleh karena itu, diam-diam kakinya yang buntung bergerak dan ia menyelinap pergi dari tempat itu. Ia harus melarikan diri, lebih cepat lebih baik.

Tak lama setelah bayangan Ki Jatoko menyelinap pergi, terdengar Endang Patibroto mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo sedangkan Bhagawan Kundilomuko juga mengeluarkan lengking panjang. Keduanya terhuyung ke belakang, akan tetapi keadaan Bhagawan Kundilomuko lebih payah karena tangan kirinya menjadi lumpuh dan tergantung lemas di samping pinggangnya. Endang Patibroto hanya merasa betapa lengan kanannya kaku dan kesemutan saja.

Sang Bhagawan Kundilomuko menjadi makin marah. Sambil berteriak keras ia melolos ikat pinggangnya yang terbuat daripada logam kuning seperti emas. Senjata itu ia pegang dengan tangan kanan, diputar di atas kepala dan menerjanglah ia dengan dahsyat.

"Trang-trang..!!"

Alangkah kaget hati pendeta ini ketika melihat ikat pinggangnya patah-patah menjadi beberapa potong ketika bertemu dengan sebatang keris yang mengeluarkan cahaya menyeramkan. Kiranya Endang Patibroto yang marah sudah pula mencabut keris pusaka Brojol Luwuk dan dengan mudah keris pusaka ini membabat putus senjata lawan.

"Celaka..!" Teriakan Bhagawan Kundilomuko ini disusul dengan jerit mengerikan ketika ujung keris pusaka Brojol Luwuk menyentuh lambungnya. Kembali keris yang ganas ini telah mendapat mangsa. Seketika tubuh pendeta tua itu roboh dan kering menghitam, tewas di saat itu juga!

Endang Patlbroto menyimpan kerisnya, sepasang matanya mencari-cari dengan pandang mata liar, kemudian tubuhnya berkelebat cepat menyelinap di antara pohon-pohon. Ia tadi juga melihat betapa Ki Jatoko pergi namun karena pertandingan melawan Bhagawan Kundilomuko tadi membutuhkan pencurahan tenaga dan perhatian, terpaksa ia mendiamkannya saja. Belum lama si buntung pergi, maka iapun cepat mengejar dan mencari. Setelah beberapa kali melayang naik ke atas pohon yang tinggi, akhirnya ia melihat betapa si buntung berlari-lari cepat menuju ke arah barat. Senyum mengejek mengembang di bibirnya ketika Endang Patibroto melayang turun kembali lalu mengerahkan aji berlari cepat melakukan pengejaran ke barat.

Agak lega rasa hati Ki Jatoko setelah ia meninggalkan hutan Gumuk-mas dan memasuki hutan lain di sebelah barat. Bhagawan Kundilomuko berniat pergi ke Blambangan yang letaknya di sebelah timur. Nusabarung letaknya di seberang pantai selatan dan Jenggala berada di sebelah utara. Agaknya, siapapun yang menang di antara dua orang itu, tidak akan ada yang mengejar ke arah barat. Hatinya lega, dadanya terlalu lapang. Akan tetapi ia cukup hati-hati dan terus mempergunakan ilmu lari cepat. Ia akan berlari-lari terus sehari penuh itu dan takkan mau berhenti sebelum dunia menjadi gelap yang berarti bahwa ia sudah bebas dan aman betul daripada ancaman dua orang sakti itu.

"Ha-ha-ha! Siapa yang kalah okol (kuat) harus mencari kemenangan mengandalkan akal" katanya dalam hati, akan tetapi saking girangnya, suara hati ini terucapkan keluar melalui mulutnya. Akan tetapi, bibirnya yang belum tertutup rapat sehabis mengeluarkan kata-kata itu, kini terbuka lebar, bersaing lebar dengan kedua matanya. Kedua kakinya yang bunting otomatis berhenti bergerak, tubuhnya menggigil dan merasa betapa rambut di tengkuknya bergerak-gerak meremang dan leher terasa kering, jantung di dada berdetak-detak seperti genderang. Tak jauh di depannya, hanya empat meter jauhnya, berdiri Endang Patibroto dengan senyum di bibir, senyum yang dingin mengerikan! Beberapa kali Ki Jatoko berusaha mengeluarkan suara. Kecerdikannya membuat otaknya bekerja cepat dan ia hendak menyelamatkan diri menggunakan kata-kata, akan tetapi celaka, lidahnya serasa menempel dengan telak, mulutnya tak dapat digerakkan! Dan senyum itu makin melebar, makin manis makin mengerikan, sepasang mata yang bening itu bersinar-sinar seperti hendak menembus jantungnya.

"E..eh.. Endang.. eh, syukurlah.. syukur kau menang! Pendeta kementhus (sombong) itu memang patut mampus! Aku... hemm, aku tadi berusaha membunuhnya dengan jarum, tapi.. tapi ia terlampau sakti.. sehingga tak... berhasil... hehheh, Endang, kau sungguh hebat, sakti mandraguna. Sungguh bagaikan dewi kahyangan saja.. heh-heh" Ki Jatoko yang sudah pulih kembali perasaannya makin lancar bicaranya, mulutnya menyeringai, sikapnya menjilat-jilat.

"Cukup! Kau manusia jahanam, jangan mengira aku akan terbujuk oleh omonganmu yang manis lagi! Kau sengaja menjebakku di Durgaloka, kau bersekongkol dengan Bhagawan Kundilomuko untuk menangkap aku! Manusia macam engkau ini sudah selayaknya mampus!" Endang Patibroto maju perlahan, senyumnya makin dingin, matanya seperti mata harimau marah. Serasa lolos melayang semangat Ki Jatoko dari raganya. Ia mundur-mundur dan wajahnya pucat.

"Jangan.. ! Endang Patibroto, jangan........ aku.. aku tertipu oleh Kundilomuko, aku terbujuk... apakah kau tadi tidak melihat betapa aku marah dan menyerangnya? Aku ... aku... tidak berniat busuk terhadapmu, mana aku berani? Selain tidak berani, akupun tidak sudi berlaku jahat kepadamu, Endang, karena kau sudah baik kepadaku.... kau tidak membunuh Ayu Candra....."

"Tutup mulut” Endang Patibroto menerjang maju dan sebuah tamparan tangannya tak dapat dielakkan Ki Jatoko, tepat mengenai pipinya.

"Plakkk!" Serasa kiamat dunia ini bagi Ki Jatoko. Matanya berkunang-kunang, tubuhnya terhuyung ke belakang. Untung ia seorang yang memiliki kesaktian, kalau tidak tentu sudah pecah kepalanya terkena tamparan itu.

"Endang, jangan bunuh aku... ingat... aku bukan musuhmu... aku sudah membuka rahasia..."

"Wuuuutt...dessss !!"

"Aduh mati aku...!" Tubuh Ki Jatoko bergulingan. Untung pukulan pertama yang mengarah pelipisnya dapat ia elakkan dan hanya sebuah tendangan saja yang membuat ia terjungkal dan bergulingan. Kalau pukulan tadi yang mengenainya, belum tentu ia dapat menahannya.

"Memang kau akan mati di tanganku! Hayo bangkit lah. Kau bukan seorang lemah. Kau memiliki kesaktian. Bangkitlah dan mari kita bertanding, jijik aku melihat lawan yang tidak mau bertanding. Jijik aku membunuh orang yang tidak mau melawan. Hayo bangkit!"

"Endang... betul-betulkah kau berniat membunuh aku.......??” Suara Ki Jatoko gemetar dan nadanya menimbulkan iba.

"Betul! Mengapa tidak” bentak Endang Patibroto, kedua tangannya sudah menegang, siap mengirim pukulan maut.

"Tidak ........ tidak ! Jangan bunuh aku, aku tidak mau melawanmu. Jangan kaubunuh aku, anakku........ jangan !"

"Wuuuuttt..!!" Pukulan ini merupakan tamparan yang hebat sekali, akan tetapi untung bagi Ki Jatoko bahwa ia sudah siap dan cepat-cepat ia menggulingkan tubuh di atas tanah terus menggelinding menjauhkan diri. Endang Patibroto dengan langkah ringan mengejar.

"Hayo bangun! Pengecut menjijikkan! Hayo bangun dan pergunakan kepandaianmu. Bukankah kau laki-laki? Hayo kaulawan aku!"

'Tidak! Tidak bisa kau membunuh aku, Endang Patibroto!"

"Mengapa tidak?"

"Lupakah kau akan ceritaku, akan pembukaan rahasia besar dalam kehidupanmu? Ceritaku belum habis, kau ingatkah ?”

Berubah wajah Endang Patibroto, keningnya yang bagus bentuknya itu berkerut-kerut, matanya menyinarkan kebimbangan hatinya dan mata itu menjadi basah. Cerita itu mengguncangkan hatinya. Dia bukan puteri Pujo? Ayah kandungnya Jokowanengpati yang telah dibunuh ibunya dan isteri muda Pujo?

"Andaikata benar dongengmu itu, tetap tidak ada hubungannya dengan kau. Justeru karena kau menceritakan dongeng busuk kepadaku, kemudian menjebakku bersama Bhagawan Kundilomuko, maka sekarang kau akan kubunuh?”

Kembali Endang Patibroto menerjang dengan tamparan tangannya yang ampuh. Dua kali ia menampar, sekali kena dielakkan oleh Ki Jatoko, yang kedua kali ditangkis, membuat tubuh si buntung kembali jungkir balik dan roboh. Sebelum Endang Patibroto mengirim pukulan terakhir, Ki Jatoko berteriak,

"Jangan bunuh aku! Aku.. aku ayahmu! Aku ayah kandungmu, karena akulah Jokowanengpati!"

Tangan yang sudah diangkat ke atas dan sudah menegang penuh tenaga sakti itu, tertahan, menggigil kemudian menjadi lemas dan turun kembali. Sepasang mata itu memandang wajah Ki Jatoko, terbelalak dan kosong, bergerak-gerak bingung, hidungnya kembang-kempis, bibir yang tersenyum dingin kini tertarik seperti orang menderita nyeri yang hebat.

"Kau bohong... kau ... kau bohong........ kuhancurkan kepalamu...”

"Boleh. Kaupukullah, kaubunuhlah, akan tetapi ingat, aku benar-benar ayah kandungmu. Aku Jokowanengpati dan kau ini anakku, karena dahulu akulah kekasih ibumu, Kartikosari!"

Kini suara Ki Jatoko tenang, hilang rasa takutnya karena ia sudah mempunyai pegangan. Pegangan yang menguatkan hatinya, yang menimbulkan keyakinannya bahwa hanya inilah jalan keluar dari bahaya maut di tangan gadis sakti ini.

"Bohong! Tak mungkin ibu sudi dengan manusia buruk macam engkau! Kau bukan Jokowanengpati karena orang itu sudah tewas di tangan ibuku "

"Ha-ha-ha! Memang mereka mengira aku telah tewas. Memang, ibumu bersama Roro Luhito mengeroyokku di pantai Laut Selatan. Aku terpelanting dan terjatuh ke dalam lautan. Ibumu dan Roro Luhito tak dapat mengejarku. Akan tetapi malang bagiku, seekor ikan hiu besar menyergap dan menyeretku. Biarpun aku berhasil membunuh ikan itu, akan tetapi kedua Kakiku menjadi buntung, tubuhku menjadi cacat dan mukaku rusak. Mereka tentu mengira aku mati karena melihat aku diseret ikan. Kautanyalah ibumu. Biarpun aku sudah menjadi begini, ibumu tentu akan mengenal aku. Ha ha-ha, karena aku kekasihnya dahulu, aku ayahmu. Ha-haha!" Ki Jatoko tertawa bergelak ketika melihat betapa Endang Patibroto terhuyung ke belakang seperti disambar petir. Dialah yang kini melangkah maju dan menantang,

"Endang Patibroto, kau anakku, karena itu mana mungkin aku berniat buruk dan jahat terhadap dirimu? Tidak, anakku, sama sekali tidak. Kalau kau tidak percaya dan membunuhku, silahkan. Ini kepalaku, pukullah. Ini dadaku, tusuklah, aku takkan melawan anak kandungku sendiri!"

"Diam! Cukup!!" Endang Patibroto menyumbat kedua telinga dengan jari telunjuknya, matanya dipejamkan. Ki Jatoko tertawa bergelak dan baru berhenti ketika gadis itu membuka matanya.

"Dahulu aku tampan sekali, anakku. Tak usah kau malu, karena dahulu aku jadi seorang laki-laki yang dijadikan rebutan kaum wanita! Kau tanyakan saja kepada ibumu. Wajahmu mirip dengan wajahku ketika itu dan...”

"Cukup! Diam kau dan mari kau ikut bersamaku!"

"Ikut? Ke mana...?" Akan tetapi Ki Jatoko tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba Endang Patibroto sudah menyambar tangannya dan menyeretnya dengan berlari cepat sekali. Ki Jatoko tak berdaya meronta, terpaksa iapun mengerahkan kepandaiannya untuk berlari cepat kalau tidak mau terseret-seret oleh gadis yang hebat ini. Hatinya mulai berdebar, akan tetapi ia mengandalkan kecerdikannya. Dengan akalnya, kali inipun ia terbebas daripada maut yang mengerikan di tangan Endang Patibroto. Karena itu, ia tidak mau bicara lagi hanya ikut lari, menyerahkan diri kepada nasib dan kecerdikannya.

**** 091 ****
Lanjut ke Jilid 092 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment