Ads

Saturday, January 19, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 094

◄◄◄◄ Kembali

Kartikosari dari Roro Luhito hidup dengan aman dan tenang di Pulau Sempu. Pulau ini kosong dan tanahnya cukup subur sehingga dua orang wanita perkasa itu tidak mendapat kesukaran untuk hidup mengasingkan diri di situ. Mereka bercocok tanam dan mendirikan sebuah pondok baru karena pondok bekas tempat tinggal Resi Bhargowo telah rusak. Kandungan mereka sudah makin tua. Kartikosari mengandung tujuh bulan sedangkan Roro Luhito mengandung lima bulan. Sebagai puteri-puteri yang memiliki kepandaian tinggi, hidup menyendiri di pulau itu bukanlah hal yang sukar bagi mereka, bahkan menenangkan pikiran setelah mereka mengalami hal-hal yang menegangkan di masa yang lalu. Juga merupakan hiburan atas kedukaan hati mereka kehilangan suami. Yang terutama sekali, tempat yang sunyi dan jauh dari dunia ramai ini merupakan tempat sembunyi yang paling aman sehingga tak mungkin ada musuh yang dapat mengganggu mereka. Hanya Joko Wandiro seorang yang tahu akan tempat sembunyi mereka ini. Orang lain siapakah dapat menduga bahwa dua orang puteri itu bersembunyi di pulau kosong?

Mereka mempunyai sebuah perahu dan dengan perahu inilah kadang-kadang Roro Luhito menyeberang untuk mencari kebutuhan mereka yang tak dapat ditemukan di atas pulau. Dan pada siang hari itu, Roro Luhito baru saja datang dari darat, di mana ia mencari dan membeli bumbu-bumbu masak karena persediaan di pulau sudah habis. Mereka berdua duduk meneduh di bawah pohon sambil menikmati angin semilir dan memandang ombak-ombak Laut Selatan yang menggelora ke pantai.

"Kak Sari, ada orang datang berperahu ..!" Tiba-tiba Roro Luhito berbisik sambil menudingkan telunjuknya ke arah pantai.

Kartikosari cepat memandang dan bangkit berdiri. Betul saja. Sebuah perahu makin mendekati pulau. Keduanya menduga-duga dengan hati berdebar dan tanpa disadari mereka sudah berpindah tempat, menyelinap di balik segerombolan tanaman untuk menyembunyikan diri. Mereka tidak ingin dilihat orang luar. Sambil bersembunyi dua orang wanita perkasa itu mengintai.

"Mereka Joko Wandiro dan Endang Patibroto...!" Kartikosari berseru setelah perahu itu makin dekat pulau. Suaranya terdengar penuh kegembiraan dan kini mereka berdua melompat keluar dari tempat sembunyi. Setengah berlari mereka menuju ke tepi laut dan melambai-lambaikan tangan.

"Joko...Endang...! Ke sini....!"

Kartikosari berseru keras. Suaranya nyaring terbawa angina melalui atas ombak samudera. Agaknya terdengar oleh Joko Wandiro karena pemuda itu sambil mendayung, sejenak melambaikan tangan ke atas.

"Kak Sari, gadis itu bukan Endang ....!!" Roro Luhito berkata, suaranya mulai tegang.

"Bu.. bukan Endang.., benar, dia bukan anakku..!" Suara Kartikosari tidak hanya tegang, bahkan gemetar.

Roro Luhito dengan halus memegang tangan madunya, menepuk-nepuk perlahan untuk menenangkan hati dan menghiburnya.

"Siapapun dia, kalau datang bersama Joko Wandiro, tentu seorang baik-baik."

MEREKA berdua berdiri sambil bergandeng tangan, menanti datangnya perahu itu. Setelah perahu tiba di pantai, mereka melihat bahwa gadis itu benar bukan Endang Patibroto, melainkan seorang gadis cantik jelita yang juga memandang mereka penuh perhatian. Joko Wandiro meloncat ke atas pantai dan menyeret perahunya naik. Ayu Candra juga meloncat turun, membantu kakaknya menyeret perahu. Kemudian keduanya berjalan menghampiri dua orang wanita yang telah menunggu.

"Joko Wandiro, di mana Endang Patibroto? Tak berhasilkah engkau membujuknya ikut ke sini?” Kartikosari menegur setelah Joko Wandiro menghaturkan sembah.

"Maafkan saya, bibi Kartikosari. Sudah dua kali saya membujuk dengan kata-kata halus sampai dengan kekerasan, namun sia-sia hasilnya. Hatinya terlalu keras dan kesaktiannya terlalu hebat sehingga saya tidak berhasil. Akan tetapi, saya rasa tak lama lagi ia akan ke sini, bibi. Tak jauh dari pantai saya telah bertemu dengan dia."

"Betulkah?" Kartikosari menjadi gembira "Coba ceritakan apa yang telah terjadi dan gadis ini siapakah?"

"Bibi, inilah Ayu Candra, adik kandung saya......"

Seketika wajah Kartikosari berubah pucat. Ia berseru perlahan dan melangkah mundur.

"Kau.. ? Kau.... membawa puteri Listyakumolo ke sini? Joko Wandiro! Kalau kau memang berniat membalas dendam atas kematian ibu kandungmu, mengapa tidak kaulakukan sendiri ketika kita saling bertemu di Bayuwismo? Mengapa baru sekarang"

Juga Roro Luhito terkejut dan menegur keponakannya,
”Joko, kau berjanji takkan melanjutkan permusuhan dan dendam, mengapa sekarang kau ajak puteri mbok-ayu Listyakumolo ke sini?"

Mendengar kata kata dan melihat sikap dua orang wanita cantik itu, Ayu Candra cepat maju dan berkata, suaranya halus namun tegas,

"Harap bibi berdua jangan khawatir. Memang benar aku pernah menurutkan dendam sakit hati karena duka kehilangan ayah bunda, tanpa mengingat pesan terakhir ayah yang melarangku membalas dendam, tadinya saya berniat untuk mencari bibi dan melakukan pembalasan. Akan tetapi, setelah kakang Joko Wandiro menceritakan semua sebab-sebab permusuhan, saya sudah sadar dan takkan melanjutkan permusuhan ini."

Sejenak Kartikosari dan gadis itu saling pandang, seperti hendak mengukur isi hati masing-masing. Kemudian Kartikosari terisak dan melangkah maju, dan di lain saat Ayu Candra sudah jatuh ke dalam pelukannya. Ayu Candra menangis, Kartikosari juga bercucuran air mata.

"Aduh, anak baik..! Sungguh besar hatiku mendengar kata-katamu. Kau patut menjadi puteri seorang perkasa seperti Ki Adibroto! Akupun selalu rela untuk menebus dosa puteriku, Ayu Candra. Aku siap untuk menerima pembalasan atas kematian ayah bundamu, hanya aku ingin agar supaya anak yang kukandung ini terlahir lebih dahulu, baru aku bersedia menerima kematian. Akan tetapi, kini engkau telah sadar, menghabiskan permusuhan, alangkah bahagia hatiku!"

Setelah reda keharuan hati mereka, Ayu Candra berkata,
"Sayangnya, bibi, puterimu Endang Patibroto itu entah mengapa, setiap kali bertemu dengan aku atau kakang Joko Wandiro, tentu menyerang dan hendak membunuh kami! Dia amat benci kepadaku."

"Hemm, kau tinggallah di sini. Biarlah dia datang! Hendak kulihat apakah dia masih melanjutkan sikap gila itu kepadamu. Aku akan membela dan melindungimu dengan taruhan nyawaku, Ayu Candra!" kata Kartikosari dan pada saat seperti itu, wanita cantik ini sikapnya sama benar dengan Endang Patibroto, dadanya dibusungkan, matanya berapi-api, kedua tangan dikepal, sepasang pipinya merah!

"Sudahlah, kiranya tak perlu dibicarakan lagi hal-hal yang tidak menyenangkan hati ini. Marilah kalian ikut kami ke pondok di mana kita dapat bicara dengan leluasa," kata Roro Luhito.

Kartikosari mengangguk dan berangkatlah mereka berempat ke pondok sederhana yang berada di tengah Pulau Sempu. Di dalam pondok, Joko Wandiro lalu menceritakan semua pengalaman dan semua peristiwa yang terjadi selama ini. Ia juga menceritakan sepak terjang Endang Patibroto yang telah menewaskan Ni Durgogini, Ni Nogogini, Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono, Ki Krendoyakso, dan betapa gadis itu bersama Ayu Candra hampir mengalami malapetaka hebat di tangan Bhagawan Kundilomuko. Juga tentang pertemuan-pertemuannya dengan Endang Patibroto, tentang pertandingan di antara mereka. Setelah mendengar semua penuturan Joko Wandiro, Kartikosari termenung, menarik napas panjang lalu berkata lirih,

"Betapapun juga, dia telah dapat membalaskan sakit hati eyangnya dan membasmi orang-orang jahat itu. Ahhh.. Endang,... kalau engkau tidak menjadi murid Dibyo Mamangkoro, agaknya kau tidak akan menyeleweng sedemikian jauh.”

"Semua sudah dikehendaki Dewata, ayunda Kartikosari," kata Roro Luhito menghibur. "Kalau Endang tidak menjadi murid Dibyo Mamangkoro, kurasa juga bukan hal mudah baginya untuk dapat membasmi orang-orang sakti seperti Cekel Aksomolo dan kawan-kawannya!"

Setelah bertemu dengan dua orang wanita perkasa ini, Ayu Candra kembali harus membenarkan sikap kakaknya. Memang dua orang wanita ini jelas adalah orang-orang yang berpribudi tinggi sehingga sebentar saja ia sudah tidak ragu-ragu dan tidak sungkan-sungkan lagi untuk bercakap-cakap dan menuturkan semua riwayatnya. Kartikosari dan Roro Luhito merasa terharu dan menaruh rasa sayang kepada gadis yang kehilangan ayah bunda ini. Sekali lagi Kartikosari menghibur hati Ayu Candra dan mengatakan bahwa kalau benar Endang Patibroto datang ke pulau itu, ia akan mencuci habis permusuhan yang mengotori hati dan pikiran anaknya.

Joko Wandiro lalu minta diri kepada Kartikosari.
"Saya hendak mencari pusaka Mataram yang dulu oleh eyang guru diberikan kepada saya untuk disimpan. Pusaka itu masih saya simpan di pulau ini, bibi, dan sekarang saya hendak mencarinya, untuk dikembalikan kepada yang berhak, yaitu sang prabu di Panjalu."

Kartikosari dan Roro Luhito tercengang. Baru sekarang mereka mendengar akan hal itu.
"Pusaka Mataram?" Kartikosari bertanya heran. "Ramanda resi tak pernah menceritakan hal itu kepadaku. Joko Wandiro, bagaimanakah pusaka Mataram dapat berada di tangan eyang gurumu?"

"Tadinya saya pun tidak tahu, bibi. Akan tetapi ketika saya mengikuti guru saya di Jalatunda, dan mendapat kesempatan bertemu dengan eyang guru yang mengabdi kepada Sang Prabu Airlangga yang bertapa, eyang pernah menceritakannya kepada saya bahwa pusaka Mataram yang lenyap itu sebenarnya dicuri oleh Jokowanengpati. Secara kebetulan pusaka itu dapat dirampas oleh eyang resi dari tangan bedebah itu. Ketika eyang berada di pulau ini dan tahu bahwa musuh-musuh utusan Pangeran Anom datang untuk merampas pusaka, eyang guru lalu membagi pusaka menjadi dua, selubungnya yang berbentuk patung kencana diserahkan kepada saya untuk disimpan dan disembunyikan. Adapun isinya berupa keris pusaka berada di tangan Endang Patibroto, juga untuk disembunyikan. Akan tetapi ketika saya bertemu dengan Endang, dia mempergunakan pusaka itu yang ampuhnya menggila”

Kartikosari mengangguk-angguk.
"Biar lah, kalau dia datang, akan kuminta pusaka itu. Pusaka Mataram harus kembali kepada sang prabu di Panjalu, karena tanpa adanya pusaka itu, kerajaan akan selalu menjadi kacau, demikian dahulu rama resi pernah bercerita. Kau pergilah dan cari kembali pusaka yang kausembunyikan dahulu, anakku."

Joko Wandiro lalu keluar dari pondok itu. Masih teringat olehnya betapa selama dua tahun ia bermain-main di pulau ini, bermain-main bersama Endang Patibroto, kadang-kadang sama-sama berlatih ilmu. Kemudian ia teringat betapa ia membawa patung kencana menyusup-nyusup ke tengah pulau menuju ke sebelah barat karena ia memang hendak menyembunyikan pusaka itu di bagian barat pulau. Dari jauh sudah tampak olehnya sebatang pohon randu alas yang besar, menjulang tinggi seperti raksasa. Hatinya berdebar keras.

Pohon itulah tempat rahasianya. Di sanalah ia menyimpan patung kencana dan di sana pula dahulu ia digigit ular berbisa. Semua itu terbayang jelas dan ketika ia sudah tiba di bawah pohon randu alas, ia berdiri termenung. Pohon itu kini sudah menjadi pohon raksasa. Biarpun ia kinipun sudah menjadi seorang dewasa, namun dibandingkan dengan pohon ini, ia kalah jauh pesatnya dalam pertumbuhan. Di manakah kira-kira pusaka itu? Ia masih ingat betul. Dahulu patung kencana itu ia masukkan dalam sebatang cabang yang berlubang, cabang besar yang letaknya paling tinggi. Akan tetapi pohon itu kini sudah amat banyak cabangnya sehingga sukar baginya untuk menentukan cabang yang mana yang menyimpan patung kencana. Dengan jantung berdebar Joko Wandiro lalu melompat naik dan memanjat pohon. Karena ingat bahwa dulu ia pernah digigit ular berbisa di sini, kini ia memandang teliti kalau-kalau ada ular lagi. Akan tetapi tidak ada ular di situ. Mulailah ia mencari-cari, meneliti setiap cabang besar.

Pada saat Joko Wandiro mencari kembali pusaka yang belasan tahun yang lalu ia sembunyikan di dalam cabang pohon randu alas, di pantai sebelah selatan mendaratlah Endang Patibroto bersama Jokowanengpati atau Ki Jatoko! Ki Jatoko merasa gelisah dan kecut-kecut hatinya, namun ia tidak dapat mundur lagi. Ia telah menjalankan siasat, membujuk gadis itu dan ia maklum bahwa gadis ini tentu hendak membuktikan kebenaran pengakuannya dengan menanyakan hal itu kepada Kartikosari Apa boleh buat, pikir Ki Jatoko. Pengakuannya ini bukan ngawur belaka. Semenjak ia memperkosa Kartikosari, wanita itu berpisah dari suaminya. Kemudian melahirkan Endang Patibroto. Bukankah amat mungkin sekali bahwa gadis ini adalah anaknya? Keturunannya? Ia tak dapat mundur lagi, sekali melangkah harus terus nekat maju.

"Ibu.......!!" Suara Endang Patibroto tercampur isak ketika ia memanggil ibunya.

Kartikosari yang sedang duduk di luar bersama Roro Luhito dan Ayu Candra, cepat menoleh dan ia melompat bangun. Wajahnya tegang, matanya bersinar.

"Endang Patibroto! Engkau datang........!!" Kemudian matanya menyapu ke arah orang buntung itu, keningnya berkerut, pandangnya tajam penuh selidik.

"Ahhhh...!!!" Roro Luhito menjerit dan mencengkeram tangan Kartikosari.

Wanita ini sekali pandang saja sudah mengenal Ki Jatoko. Sebaliknya, Kartikosari hanya merasa seperti pernah bertemu dengan orang buntung ini, akan tetapi lupa lagi di mana dan kapan.

"Yunda ...... dia.. dia... " Roro Luhito tak dapat melanjutkan kata-katanya, mukanya pucat.

"Bibi, dia itu adalah Ki Jatoko yang jahat!" kata Ayu Candra.

Sementara itu, Endang Patibroto juga mengerutkan keningnya ketika melihat Ayu Candra di situ bersama ibunya.

"Ibu, dia anak musuh kital" bentaknya marah.

"Yunda Sari yunda dia... dia Jokowanengpati...!" Roro Luhito kembali berbisik dengan mata terbelalak dan muka pucat.

Kartikosari kini mengenal pula si buntung itu dan mukanya menjadi pucat, matanya mengeluarkan cahaya berkilat dan ia membentak puterinya,

"Endang Patibroto! Tahukah engkau, dengan siapa kau datang ini?"

Karena memang maksud kunjungannya ini untuk mempertemukan ibu kandungnya dengan orang yang mengaku ayahnya; maka seketika Endang Patibroto melupakan urusan Ayu Candra. Ia lalu berkata, suaranya lantang menantang,

"Ibu, justeru aku yang ingin bertanya apakah ibu mengenal orang ini?"

"Dia.......dia.. Iblis telah melindunginya, dia inilah Jokowanengpati si keparat jahanam!!"

"Ahh, sampai bagaimanapun, mana bisa kau lupakan aku, Kartikosari?" Ki Jatoko berkata lirih, cukup jelas terdengar oleh Endang Patibroto.

"Ibu, baik sekali bahwa ibu seketika mengenal dia. Ada hubungan apakah dia dengan ibu? Jokowanengpati ini mengaku bahwa dia adalah ayah kandungku! Benarkah ibu dahulu menjadi kekasihnya sebelum menikah dengan Pujo, dan benarkah bahwa aku ini... anaknya?"

Hebat bukan main kata-kata ini bagi Kartikosari. Bagaikan sebatang pedang beracun karatan menusuk tembus jantungnya. Matanya terbelalak, mukanya tak berdarah lagi, ingin ia menjerit, memaki, berteriak, namun tenggorokannya penuh sesak oleh hawa amarah yang menyesak ke atas sehingga akhirnya ia terguling dan roboh pingsan! Tentu ia akan terbanting roboh kalau tidak cepat-cepat Ayu Candra memeluknya. Gadis ini lalu duduk dan memangku kepala Kartikosari yang pingsan. Roro Luhito meloncat bangun, menudingkan telunjuknya dengan marah kepada Endang Patibroto sambil berseru,

"Endang Patibroto! Engkau sungguh terlalu! Sampai hati engkau menghina ibumu sendiri sampai begitu? Engkau telah terkena bujukan iblis ini! Huh, Jokowanengpati, semua keteranganmu tentang Kartikosari dan engkau bohong semua!"

"Hemm, bagaimana bibi Roro Luhito bisa tahu?" Endang Patiproto bertanya, mengejek.

"Mengapa aku tidak tahu.. Ah, kau anak durhaka kepada ibu kandung! Endang Patibroto, jangan percaya mulut bangsat rendah, keparat hina ini. Tahukah engkau bahwa tidak hanya ibumu menjadi korban kekejiannya, akan tetapi juga aku? Ibumu sedang bertapa bersama... ayahmu di dalam Guha Siluman, tidak tahu bahwa di dalam guha itu bersembunyi si keparat Jokowanengpati ini. Karena ayah dan ibumu pingsan setelah bertanding melawan kakak kandungku, Wisangjiwo ayah Joko Wandiro, mereka tak berdaya. Jokowanengpati si keparat ini lalu memperkosa ibumu, di depan mata ayahmu! Kemudian ia melarikan diri! Dan bukan itu saja, diapun menggunakan nama kakangmas Pujo untuk memperkosa diriku di tengah malam! Dia ini manusia rendah, iblis bermuka manusia, serigala bertubuh manusia, kau jangan percaya omongannya yang berbisa. Kami, ibumu dan aku sudah menghukumnya sehingga ia terjungkal ke laut, disambar ikan, kami kira sudah mampus... ah...."

Biarpun mulutnya masih tersenyum mengejek, namun di dalam hatinya, Endang Patibroto merasa lega. Iapun tidak suka kalau betul-betul ayah kandungnya adalah si buntung ini. Kini dengan pandang mata dingin ia menoleh kepada Ki Jatoko, suaranya juga dingin sekali ketika bertanya,

"Jokowanengpati, betulkah apa yang dikatakan bibi Roro Luhito?"

Maklum bahwa percuma saja untuk berbantah karena tentu Roro Luhito dan Kartikosari akan membuka semua rahasianya, Jokowanengpati atau Ki Jatoko lalu tertawa bergelak.

"Huah-ha-ha-ha-hah! Di dunia ini mana ada perempuan yang mau mengakui penyelewengannya? Endang Patibroto, engkau bukan bocah lagi, engkau sudah dewasa dan sudah dapat mempertimbangkan. Katakanlah bahwa ibumu tidak mengaku sebagai kekasihku, akan tetapi betapapun juga, Roro Luhito sudah mengaku bahwa aku pernah memperkosa Kartikosari. Dan semenjak peristiwa itu Kartikosari tak pernah berdekatan dengan Pujo sampai engkau terlahir!" Ki Jatoko menyeringai penuh kemenangan dan menoleh kepada Kartikosari yang sudah mulai sadar. "Kartikosari, hayo sangkal kalau kau mampu. Semenjak peristiwa malam di dalam guha, bukankah engkau meninggalkan Pujo dan melahirkan Endang Patibroto ini? Hayo jawablah! Engkau tidak mungkin dapat menyembunyikan kenyataan ini! "

Wajah Kartikosari pucat sekali. Terbayang dalam ingatannya semua pengalamannya dahulu. Dahulupun ia sudah seringkali meragu dan keraguan inilah yang merupakan siksaan batinnya sampat berbulan-bulan. Semenjak ia tahu bahwa ia mengandung, ia sudah meragu dan hendak membunuh diri karena ia tidak tahu pasti anak siapakah dalam kandungannya Itu. Bahkan setelah anak itu terlahir, pernah ia melemparkan anak itu ke laut. Kinipun ia menjadi ragu-ragu, tak dapat menjawab!”.

"Ibu, jawablah, ibu. Jawablah sejujurnya!" Terdengar suara Endang Patibroto mendesak.

Wajah Kartikosari seperti wajah mayat. Pandang matanya kosong dan bibirnya menggigil.

"Apa apa yang harus kujawab...? Betul semenjak itu aku....pergi meninggalkan kakangmas Pujo....akan tetapi kuanggap kau anak kakangmas Pujo. Kalau kuanggap dahulu bahwa engkau bukan anak kakangmas Pujo, tentu sudah kubunuh kau!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba Kartikosari menangis tersedu-sedu dan Roro Luhito cepat merangkulnya dan membujuknya agar tidak melayani mereka itu.

Ayu Candra hanya mendengarkan dengan muka pucat dan mata terbelalak, penuh kasihan kepada Kartikosari dan penuh kebencian kepada Ki Jatoko. Diam-diam ia bergidik kalau Ia teringat betapa pernah ia mempercaya manusia iblis dan menyerahkan nasib dirinya kepada Ki Jatoko!

Kembali terdengar Jokowanengpati tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.
"Ha-ha-ha-ha! Anakku cah-ayu Endang Patibroto! Baru percayakah engkau sekarang, anakku? Engkau anakku, engkau darah dagingku, tak salah lagi! Bukankah banyak persamaan di antara kita? Bukankah cocok watak kita, sama-sama gagah perkasa, sama-sama cerdik penuh akal dan kalau saja mukaku tidak menjadi rusak begini, wajahmu sama benar dengan wajahku. Aku dahulu tampan, seorang ksatria yang elok, kau tanya saja ibumu. Ha-ha, kau tanya juga Roro Luhito ini, dia dahulu di waktu perawan telah diserahkan oleh ayahnya kepadaku untuk menjadi isteriku. Ha-ha, banyak wanita tergila-gila kepadaku. Kau boleh bangga mempunyai ayah seperti aku ini, Endang... heeee! Endang...! Mau.......mau apa kau...?" Tiba-tiba suara yang penuh kemenangan itu berubah penuh ketakutan.

Endang Patibroto kini berdiri memandang wajah si buntung yang mengaku ayahnya dan keadaan gadis ini benar-benar amat mengerikan. Sepasang matanya penuh kemarahan, penuh hawa nafsu membunuh, agaknya mata iblis seperti itulah. Mulutnya setengah tersenyum, wajahnya pucat sekali. Jokowanengpati mundur-mundur ketakutan. Sinar mata itu membisikkan maut, membuat ia bergidik ngeri.

"Endang...... Endang Patibroto... ingat, kau ...anakku... mau apa kau... ?"

Endang Patibroto melangkah maju, perlahan-lahan, mengikuti gerakan Jokowanengpati yang mundur-mundur. Bibirnya bergerak-gerak, mula-mula hanya bisikan-bisikan lirih yang tidak terdengar orang lain, kemudian makin keras bisikan-bisikannya itu,....kubunuh kau.... ayahku atau bukan... kau yang menyebabkan ibuku sengsara... kau yang... mendatangkan kutuk atas diriku... kubunuh kau... kubunuh kau..."

Jokowanengpati takut bukan main. Ke manapun ia mundur, gadis itu terus mengikutinya sehingga mereka berdua makin menjauhi pondok Kartikosari. Tiga orang wanita di depan pondok itu mengikuti mereka berdua dengan pandang mata penuh kengerian. Kartikosati mendekap mulut menahan jerit yang hendak keluar. Biarlah, bisik hatinya, biarlah. Kini ia tidak meragu lagi. Sepatutnya gadis itu memang keturunan Jokowanengpati. Keturunan Pujo tidak seperti itu! Biarlah, biarlah anak dan ayah laknat itu saling bunuh!

"Endang Patibroto... ingatlah,.. aku... ayahmu..." Jokowanegpati berkali-kali memperingatkan dan mohon dikasihani.

"Ayahku atau bukan, harus kubunuh engkau... kubunuh... kubunuh... "

Tiba-tiba Jokowanengpati atau Ki Jatoko yang sudah ketakutan setengah mati itu meloncat jauh untuk melarikan diri akan tetapi tubuhnya roboh terguling karena Endang Patibroto sudah memukulnya dengan ilmu pukulan jarak jauh. Dan sebelum ia sempat lari lagi, Endang Patibroto sudah meloncat di depannya. Saking takutnya, Jokowanengpati menjadi nekat. Begitu gadis itu mendekat, ia menubruk dengan pukulan keras ke arah pusar.

"Bagus, kaulawanlah!" kata Endang Patibroto sambil miringkan tubuh mengelak, kemudian kedua tangannya bagaikan dua ekor ular cepatnya menyambar dan sudah mencekik leher Jokowanengpati.

"Endang... auughhh...!" Jokowanengpati menggunakan kedua tangannya mencengkeram tangan gadis itu, membetot-betot dan meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Namun usahanya sia-sia. Kedua lengan gadis itu yang berkulit halus putih seolah-olah telah berubah menjadi sepasang jepitan baja yang kokoh kuat. Mata gadis itu masih melotot mengerikan, sama sekali tak pernah berkedip, dan mulutnya yang agak terbuka mengeluarkan kata-kata lirih,

"Kubunuh... kau... kubunuh kau... kubunuh kau...”

Makin takutlah Jokowanengpati. Ia kini tahu betul bahwa maut telah membayang di depan matanya. Kalau tadi ia mencengkeram kedua lengan Endang Patibroto berusaha melepaskan cekikan, kini ia mengepal kedua tangannya dan menghantam sekenanya. Terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan-pukulannya mengenai perut, lambung dan pangkal lengan Endang Patibroto, namun agaknya sama sekali tidak terasa oleh gadis perkasa itu. Jokowanengpati menjadi makin ngeri dan takut. Sudah ia kerahkan tenaga untuk melawan dan untuk menahan cekikan, namun cekikan makin erat dan ia sudah tak dapat bernapas lagi, matanya berkunang-kunang telinganya terngiang-ngiang kepalanya berdenyut-denyut. Saking takutnya, kedua tangannya kini tidak memukul-mukul lagi, melainkan menyembah-nyembah minta ampun. Matanya yang melotot membayangkan rasa takut hebat dan mulutnya terbuka memperlihatkan gigi yang besar-besar dan tidak karuan bentuknya, lidahnya mulai terjulur. Mukanya menjadi merah sekali seperti kepiting direbus.

Endang Patibroto seperti orang mabuk. Tubuhnya bergoyang-goyang, matanya melotot, napasnya keluar dari mulut, terengah-engah. Cekikannya makin diperkuat. Darah mulai menetes turun dari kedua telinga, mata, hidung dan mulut Jokowanengpatil Muka yang merah itu kini membiru, matanya melotot seperti hendak meloncat keluar dari tempatnya. Lidahnya terjulur keluar seperti ditarik. Tubuhnya mengejang, kaki tangannya berkelojotan. Terdengar suara mengorok di kerongkongan. Endang Patibroto makin memperkuat cekikannya.

”Krokkk...”

Batang leher itu patah! Tubuh Jokowanengpati atau Ki Jatoko tidak bergerak lagi. Endang Patibroto melepaskan tangannya dan mendorong tubuh yang sudah tak bernyawa itu ke samping. Kemudian perlahan-lahan pandang matanya bergerak, beralih dari tubuh yang tak bernyawa itu, kini memandang ke depan, ke arah tiga orang wanita yang berdiri di depan pondok.

Isak tangis keluar dari kerongkongan Kartikosari yang mendekap mulutnya dengan tangan yang
menggigil. Ayu Candra berdiri dengan muka pucat saking seremnya. Juga Roro Luhito pucat wajahnya, akan tetapi wanita ini merasa jijik. Pandang mata Endang Patibroto kini seluruhnya ditujukan kepada Ayu Candra. Kemudian terdengar ia berseru,

"Ayu Candra, majulah! Kaupun harus mati di tanganku!"

Tiba-tiba, seperti mendapat aba-aba, Kartikosari dan Roro Luhito maju ke depan, melindungi Ayu Candra dengan sikap siap bertanding. Kartikosari berkata, suaranya tenang namun mengandung kemarahan ditahan-tahan,

"Endang Patibroto! Pergilah kau dari sini dan jangan memperlihatkan diri kepadaku lagi! Agaknya engkau memang patut menjadi anak Jokowanengpati dan karena itu aku....... benci kepadamu! Kau akan membunuh Ayu Candra? Boleh, akan tetapi melalui mayat kami berdua!"

Endang Patibroto mengeluarkan pekik dahsyat Sardulo Bairowo. Kemudian ia menjerit,

"Ibu, dia itu musuh kita! Kau hendak melindunginya?" Pertanyaannya ini diajukan penuh penasaran, penuh kekecewaan, penuh kedukaan.

"Kalau mau bicara tentang musuh, agaknya engkaulah musuh kami!" jawab pula Kartikosari dengan pandang mata penuh amarah.

Endang Patibroto kembali memekik. Air matanya bercucuran keluar, tangannya menggigil, siap menerjang.

"Ibu....!....Ibu ! Begitukah anggapanmu tentang....diriku??"

"Apa boleh buat, engkau anak durhaka, engkau anak yang mengotori pesan kakangmas Pujo. Engkau memang pantas menjadi anak Jokowanengpati, karena itu engkau patut pula menjadi musuhku. Hayo, jangan kepalang melakukan kekejian. Aku ibumu, aku yang melahirkanmu, hayo kaubunuhlah aku sekalian, kalau kau berani!"

"Ibu...!!" Jerit ini bercampur isak.

"Hayo pergilah, pergi jangan datang kembali atau....... kau maju dan serang aku, bunuh aku!"

"Ibu.....!" Pekik yang dikeluarkan Endang Patibroto menyayat hati. "Ayu Candra, kau pengecut! Hayo maju dan lawanlah aku, jangan kau berlindung di belakang orang-orang tua!".

Pada saat itu, terdengar lengking tinggi di sebelah belakang Endang Patibroto disusul suara yang tenang namun tegar.

"Endang Patibroto, mengapa engkau selalu haus darah? Kaulihat, Ayu Candra sebagai puteri suami isteri yang telah kaubunuh, mau melihat kenyataan dan tidak menaruh dendam, berdamai dengan ibu kandungmu. Akan tetapi engkau, mengapa begini ganas Endang, kau insyaflah, mintalah ampun kepada bibi Kartikosari dan mari kita semua hidup dalam suasana persaudaraan, melenyapkan segala dendam dan"

"Joko Wandiro, keparat! Kau sombong sekali! Kau kira aku takut kepadamu? Kau hendak membela Ayu Candra mati-matian? Boleh, hayo kau majulah!" Setelah berkata demikian, Endang Patibroto sudah meloncat bagaikan terbang menerjang Joko Wandiro yang sudah muncul dan berdiri tak jauh di depannya.

"Endang.......! Jangan.." Kartikosari berseru keras penuh kekhawatiran.

Pada saat itu, udara menjadii gelap dan angin bertiup kencang dari arah utara. Daun-daun pohon rontok tertiup angin dan terdengarlah suara angin rnnenggiriskan. Langit mendadak menjadi gelap dan dari dalam mendung tebal tampak kilat menyambar-nyambar.

Lanjut ke Jilid 095 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment